Mari kita membicarakan tema Kitab Wahyu [KW] yang sering disalahartikan oleh Gereja-gereja kontemporer. Salah satunya adalah Advent, Gereja yang tidak pernah bosan menyalahtafsirkan Kitab Wahyu sesuai logika sempit dan kebutaan sejarah. Kitab Wahyu adalah sebuah kitab yang penuh symbol, angka-angka dan ritual-ritual Kristen. Kitab Wahyu adalah sebuah kitab penyingkapan sesuatu yang riil dan kongkrit. KW menyingkapkan sebuah perintah untuk melakukan penyembahan dalam roh dan kebenaran. Yaitu penyembahan dalam Tubuh Mistik Kristus melalui GerejaNya yang satu, kudus, katolik dan apostolik, yakni terangkum dalam Liturgi Ekaristi Kudus.
Pengertian kaum kontemporer selalu berputar-putar dan lebih mementingkan kepopuleran tafsiran dikalangan mereka sehingga umat mereka diajak masuk ke dalam alam imajinasi tafsiran semu. Mereka yang terpisah dari Gereja Ibu, Katolik, tidak akan dapat menemukan kepenuhan kebenaran sejati karena akal dan pikiran mereka menyatu dengan egoisme sempit. Oleh sebab itu, mereka tidak memiliki akar pemahaman iman yang mendalam tentang Trinitas Maha Kudus dan kekayaan Alkitabiah yang tak terbatas. Mereka tidak mau mendengarkan kesaksian guru-guru kudus atau Bapa-bapa Gereja dari umat Kristen angkatan pertama dst, tetapi telinga mereka lebih senang mendengarkan dongeng dan mitos sehingga Kerajaan Allah sejati yang ada dalam jangkauan mereka justru semakin sulit digapai.
Marilah sekarang kita mempertimbangkan pemikiran Scott Walker Hahn di bawah ini tentang kajian beliau bahwa Kitab Wahyu – berdasarkan tulisan para Bapa Gereja – telah digenapi dalam Liturgi Ekaristi Kudus.
Bab Satu
“Saya Dapat Melihat”
Yang Masuk Akal Di Antara Keanehan
Empat Bab dari bagian pertama adalah bagian yang mudah. Kebanyakan umat Katolik, setidaknya mempunyai kesadaran penghayatan walaupun tidak mendetail tentang Misa Kudus. Mereka kenal doa-doa dan gerakan-gerakannya, walaupun mereka mengalaminya dalam keadaan mengantuk. Meskipun demikian, di bab ini kita akan melihat (Why 1:12) apa yang dihindari oleh kebanyakan umat Katolik – kadang-kadang dalam kengerian, kadang-kadang dalam frustasi.
Kitab Wahyu, Kitab Terakhir dalam Kitab Suci, kelihatannya buku yang aneh:penuh dengan peperangan yang mengerikan dan api yang bernyala-nyala, aliran darah serta jalan-jalan yang terbuat dari emas. Di dalam setiap bagian, Kitab itu sepertinya tidak masuk akal dan tidak mempunyai cita rasa yang baik. Misalnya, kita ambil saja sebuah contoh terkenal, wabah belalang. Yohanes mencatat bahwa ”dari asap keluarlah belalang...seperti kuda-kuda yang disiapkan untuk berperang; di atas mereka seperti wajah manusia, rambut mereka seperti rambut wanita dan gigi mereka seperti gigi singa; dada mereka sama seperti baju zirah, dan bunyi sayap mereka seperti bunyi kereta-kereta yang ditarik banyak kuda....Ekor mereka seperti ekor kalajengking, dan ada sengatnya dan kuasa di ekor-ekor mereka untuk menyakiti manusia selama lima bulan (Why 9:3, 7-10).
Kita tidak tahu apakah kita harus tertawa atau berteriak ketakutan. Dengan rasa penuh hormat, kita ingin menanyakan St. Yohanes, ”Baiklah, saya ingin meluruskan hal ini: Anda melihat belalang berambut panjang, bergigi singa dan berwajah manusia...dan mereka mengenakan mahkota emas lagi pula bersenjata ?” Godaannya sangat besar dan beralasan untuk tidak membaca Wahyu, mengingat bahwa kita sudah disibukkan dengan berbagai pekerjaan di dunia ini.
Tidak dapat saya pungkiri bahwa detail isi Kitab Wahyu sangatlah aneh. Tetapi, saya akan mengundang Anda untuk bersama-sama saya melakukan pencarian fakta, sehingga Anda dapat menemukan, seperti halnya saya, bahwa ada hal-hal yang masuk akal diantara keanehan-keanehan.
NODA TINTA TANPA ALUR CERITA ?
Saya mulai mempelajari Kitab Wahyu saat saya menjadi seorang penginjil Protestan, Kalvinis dalam teologi. Seperti kebanyakan para penginjil, saya sangat tertarik akan pewahyuan. Tentu saja berdasarkan Kitab Suci, dan saya mempunyai paham “Hanya Kitab Suci Saja (“Sola Scriptura”) sebagai hukum iman. Terlebih lagi, Kitab Wahyu mempunyai kedudukan yang jelas sebagai kitab terakhir Kitab Suci – “Sabda terakhir” Tuhan, dapat dikatakan demikian. Wahyu juga sepertinya bagi saya merupakan kitab yang paling misterius dan kitab yang penuh dengan sandi, dan saya menganggapnya terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja. Saya melihat Wahyu sebagai teka-teki dimana Tuhan menantang saya untuk memecahkannya, sebagai sandi untuk dipecahkan.
Saya mempunyai banyak rekan. Menjelang penutupan milenium kedua, tafsir Kitab Wahyu bertumbuh menjadi industri kecil diantara saudara-saudara penginjil. Setiap kali saya mengunjungi toko buku, saya menemukan pengungkapan baru dan lebih canggih dari Wahyu.
Hal ini tidak selalu demikian bagi penafsir-penafsir Protestan. Orang Protestan pertama Martin Luther, menganggap seluruh Wahyu terlalu aneh. Bahkan ada saatnya dimana ia menolak menempatkannya dalam Kitab Suci, karena, katanya, “Wahyu seharusnya menyingkapkan”. Padahal Wahyu adalah selalu penyingkapan, menyingkapkan prasangka-prasangka, kekhawatiran-kekhawatiran dan pembengkokan ideologis dari penafisir-penafsir tertentu.
Kitab Wahyu menjadi semacam tes Rorschach (tes noda tinta dalam ilmu psikologi, dimana noda tinta memberikan kesan-kesan tertentu) bagi umat Kristen. Para penginjul mula-mula mencoba membeda-bedakan urutan-urutan dalam naskah ini. Biasanya usaha ini tidak berhasil, karena kitab ini tidak mempunyai prinsip urutan alur sastra: alur cerita yang konvensional atau sebuah argumentasi. Gagal menemukan urutan alur cerita, mereka kemudian mencoba memaksakan urutan. Ini kurang lebih cara yang saya ikuti semasa saya masih menjadi seminaris dan pendeta Protestan. Yang biasanya terjadi adalah bahwa detail-detail tertentu menyita imajinasi dan menjadi kunci interpretatif untuk membaca seluruh buku. Misalnya “seribu tahu,” – konsep yang hanya muncul di bab 20 pada Kitab Wahyu – akan dilihat sebagai kunci untuk mengerti seluruh Kitab Wahyu: bab 1-19 dan 21-22.
VIRUS MILENIUM
Milenium (seribu tahun) itu adalah kunci tafsir yang paling disukai diantara para penginjil dan para fundamentalis dewasa ini. Penulis buku laris Hal Lindsey, pada tahun 1970 menulis buku “The Late, Great Planet Earth” (“Almarhum Planet Bumi Besar”), menampilkan suatu gaya penulisan yang menjadi karya kedua terbesar dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir. Penjualannya pada perhitungan terakhir melampui tiga puluh lima juta buku dalam lima puluh bahasa. Lindsey mempertahankan pendapatnya bahwa ramalan tentang Kitab Wahyu adalah ramalan yang tepat tentang kejadian-kejadian yang akan datang, masa yang akan datang yang baru saja muncul pada tahun 1970-an. Ia melihat gambaran-gambaran aneh Kitab Wahyu cocok dengan manusia, tempat-tempat, kejadian-kejadian yang waktu itu muncul di media massa. Rusia adalah binatangnya, misalnya; Gog dan Magog adalah Uni Sovyet. Lindsey meramalkan bahwa Rusia akan menyerang Palestina; tapi Yesus akan kembali dan membantai mereka dan mendirikan Kerajaan seribu tahun di Yerusalem.
Lindsey tidak sendirian. Sejujurnya, untuk beberapa tahun saya setuju dengan dia – walaupun ada beberapa nuansa yang berlainan – pada kubu penafsir-penafsir “futuris”. Dalam buku ini juga ada ketidak-cocokan, misalnya apakah umat Kristen akan mengalami “bencana”, dan kapan dunia ini pada akhirnya memasuki kekuasaan seribu tahun Kristus. Beberapa orang mengembangkan konsep baru seperti misalnya “Rapture” (pengangkatan meriah yang penuh sukacita) untuk menggambarkan campur tangan ajaib yang mereka ramalkan untu akhir zaman. Pada pengangkatan meriah itu, mereka katakan, Tuhan akan mengangkat orang-orang pilihan-Nya ke atas awan-awan untuk hidup bersama-Nya (lihat 1 Tes 4:16-17).
Saya mengembara di padang rumput ini bertahun-tahun, tapi tanpa menemukan kepuasan yang sejati. Yang terjadi adalah berulang kali seorang pengkhotbah akan menetapkan sebuah elemen- angka binatang, misalnya – dan seluruh bacaan Wahyu-nya akan berkisar pada pengidentifikasian angka tersebut dengan seseorang yang ada di berita media massa. Padahal sepanjang tahun 1970 dan 1980-an, pemimpin-pemimpin dunia bermunculan dan berjatuhan, kekuasaan hancur; dengan setiap kejatuhan seorang pemimpin, dan dengan setiap kehancuran kekuasaan, saya melihat sebuah teori besar hancur lagi berkeping-keping.
Sedikit demi sedikit saya mulai melihat alasan yang lebih luas dari ilusi saya yang salah ini. Apakah benar Tuhan menginspirasikan Kitab Wahyu Yohanes “terkapar” di bagian paling belakang Kitab Suci, aneh dan tidak dapat dijelaskan, selama dua puluh abad – sampai masa pemenuhan dan perubahan besar tiba ? Tidak, Wahyu dimaksudkan untuk disingkapkan, dan pewahyuannya adalah untuk semua umat Kristen sepanjang masa, termasuk pembaca-pembaca dimana naskah itu ditujukan pada abad pertama.
HEMBUSAN DARI MASA LAMPAU
Kaum futuris yang banyak macamnya itu, tidak menguras habis pandangan interpretatif Kitab Wahyu. Beberapa orang (disebut “idealis”) berpikir bahwa seluruh isi buku hanyalah sebuah metafora perjuangan-perjuangan dalam kehidupan rohani. Yang lain berpikir bahwa Kitab Wahyu berisi kerangka suatu rencana untuk sejarah Gereja. Yang lain bersikeras bahwa kitab itu hanyalah keterangan yang penuh dengan bahasa sandi tentang keadaan politik umat Kristen pada abad pertama. Sifat memberi dorongan dalam Kitab Wahyu, menurut pandangan ini, adalah untuk menasehati umat beriman agar tetap setia dalam iman, dan untuk janji akan pembalasan ilahi terhadap penganiaya-penganiaya Gereja. Saya menemukan hal yang berharga pada argumen-argumen ini, terutama ketika dihubungkan dengan kalimat-kalimat tertentu, tidak tidak ada satu pun yang memuaskan keinginan saya untuk mengerti cerita rahasia Yohanes.
Semakin saya mempelajari komentar-komentar tentang Wahyu, semakin saya mengerti detail-detail terpilih, tapi sepertinya saya semakin tidak mengerti keseluruhan isi kitab. Kemudian ketika sedang melakukan riset untuk hal-hal lain, saya kebetulan menemukan rahasia tersembunyi – tersembunyi bagi orang yang mempelajari Kitab Suci menurut tradisi empat ratus tahun yang lampau.
Saya mulai membaca tentang Bapa-bapa Gereja, penulis-penulis Kristen dan guru-guru pada permulaan abad delapan, terutama komentar-komentar mereka tentang Kitab Suci. Tiap kali saya terbentur pada ketidakpedulian saya saat Bapa-bapa berulang-berulang menyebutkan sesuatu yang saya tidak kenal : Liturgi. Sangat menarik, bagaimanapun juga, saya menemukan bahwa liturgi kuno ini kelihatannya menyatu dengan banyak detail kecil Kitab Wahyu – dalam konteks dimana semuanya menjadi masuk akal ! Lalu saya meneruskan membaca studi eksegese Bapa-bapa Gereja tentang Kitab Wahyu, saya menemukan bahwa banyak dari orang-orang ini secara khusus menghubungkan Misa Kudus dengan Kitab Wahyu. Kenyataannya, umat Kristen zaman dahulu sepakat bahwa Kitab Wahyu tidak dapat dimengerti bila lepas dari liturgi.
Seperti yang saya jelaskan dalam bab 1, justru ketika saya mulai mengerti Misa Kudus, bagian-bagian Kitab yang membingungkan ini, tiba-tiba mulai cocok satu dengan yang lainnya. Tidak lama sesudah itu saya dapat melihat arti altar dalam Kitab Wahyu (Why 8:3), tua-tua berjubah putih (4:4), kaki dian (1:12), kemenyan (5:8), manna (2:17), cawan-cawan (bab 16), Ibadat Minggu (1:10), Perawan Maria yang terberkati ditonjolkan (12:1-6), “Kudus, Kudus, Kudus” (4:8), Kemuliaan (15:3-4), Tanda Salib (14:1), Aleluia (19:1, 3, 6), pembacaan dari Kitab Suci (bab 2-3), dan “Anak Domba Allah” (berulang-ulang kali). Ini semua bukanlah detail-detail pengucapan seperti interupsi atau insidental; ini adalah materi sesungguhnya Kitab Wahyu.
MENGAPA MENGAPA MENGAPA
Dengan demikian, Kitab Wahyu bukanlah pemberitahuan terselebung tentang geopolitik 1970-an, atau sejarah dalam bahasa sandi dari Kekaisaran Romawi pada abad pertama, atau sebuah buku panduan untuk akhir zaman, melainkan ini adalah tentang sakramen yang mulai membawa “Umat Kristen Alkitabiah” kepada kepenuhan iman Katolik.
Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan. Bila pada naskah liturgi kuno saya tersandung pada “apa” yang dinamakan Wahyu, pertanyaan-pertanyaan yang sekarang ada adalah “mengapa”. Mengapa dikemukakan dengan cara yang aneh ? Mengapa sebuah penglihatan dan bukan naskah liturgi ? Mengapa Wahyu diberikan kepada Yohanes bukan murid-murid lain ? Mengapa ditulis padahal sudah tertulis ? Jawaban-jawabannya muncul ketika saya mulai mempelajari periode waktu Kitab Wahyu dan liturgi-liturgi pada masa itu.
Sumber : The Lamb’s Supper - The Mass as Heaven On Earth, Oleh Scott Walker Hahn, 1999, Terj. Indonesia : Perjamuan Anak Domba - Perayaan Ekaristi, Surga Di Atas Bumi, Penerbit Dioma, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar