Selasa, 30 Juni 2009

Gandum Vs Ilalang

Matius 13: 24 - 30 : Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi. Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak jugalah lalang itu. Maka datanglah hamba-hamba tuan ladang itu kepadanya dan berkata: Tuan, bukankah benih baik, yang tuan taburkan di ladang tuan? Dari manakah lalang itu? Jawab tuan itu: Seorang musuh yang melakukannya. Lalu berkatalah hamba-hamba itu kepadanya: Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu? Tetapi ia berkata: Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku."

Inilah prolog suci dari Tuhan kita tentang post-modernisme dunia. Saat ini dunia semakin diinvasi oleh pandangan-pandangan mulai dari relativisme ke ekstrimisme, dari spiritualisme ke agnotisme, dari kolektivisme hingga ke individualisme radikal. Pemikiran kontemporer ini semakin gencar menyerbu masyarakat seiiring kemajuan teknologi dan kebebasan demokrasi. Tak terkecuali umat Kristen, kita semakin terombang-ambing diantara berbagai pemikiran-pemikiran kontemporer yang membonceng nilai-nilai new age.

Seringkali keyakinan Kristen ditentukan oleh dominasi pemikiran kontemporer yang membuat kita tidak sadar untuk mulai meragukan iman kita. Yesus seakan-akan mulai dijauhkan dari berbagai sendi kehidupan. Ia kini mulai menjadi semacam bahan literatur dan sejarah masa lalu. Dampak-dampak seperti ini akibat semakin semaraknya produk-produk modern yang memenuhi hasrat sesaat kebutuhan manusia. Ini juga tak terlepas dari berbagai macam publisitas media melalui kreasi seni tinggi, penuh trik, anti kemapanan, dan bersifat self-sufficient.

Lalu apa yang mau disampaikan dalam tulisan ini? Saya ingin kembali mengajak pembaca menghadirkan kembali Yesus di hati kita secara berkesinambungan. Kesibukan aktivitas bekerja, bersosialite, mengejar karier, berbisnis, dan berbagai macam kegiatan mencari material hidup membuat kita tidak mempunyai ruang untuk Tuhan. Bagi sebagian orang di kota-kota besar mungkin kita tidak punya waktu lagi untuk bertemu secara akrab dengan Sang Pencipta. Yesus bahkan seringkali hanya dijumpai pada sisa waktu kita yang sedikit.

Gejala yang saya sampaikan di atas adalah pertempuran antara Gandum Vs Ilalang yang telah disampaikan oleh Yesus ketika Dia masih menjadi daging. Pertempuran ini bukan lagi pertempuran antara kaum kafir vs kaum agamawan seperti jaman dulu tapi dunia ini dihadapkan pada pertempuran non kasat mata, yakni pertempuran batin yang halus tapi menyesatkan. Ilalang dalam dunia modern adalah ajaran-ajaran dengan kekuatan idealis yang meminggirkan Allah dari kehidupan kita. Sebagai contoh : umat Kristen kini dihadapkan degnan banyaknya film, buku-buku yang menggangap remeh Yesus Kristus bahkan menghujatNya. Kita tahu bahwa film-film atau novel-novel karya Dan Brown adalah sebuah permulaan dari rencana si jahat untuk membingungkan umat Kristen akan imannya. Sebagian orang memandang itu hanya novel atau ”just a movie” yang tidak berpengaruh bagi iman si pembacanya. Tapi sebenarnya apa yang kelihatannya tidak berbahaya justru itulah yang patut diwaspadai. Apa yang diserang oleh novel-novel kontemporer seperti itu adalah ketidaktahuan kita tentang iman kita, tentang Siapa Juru Selamat kita itu. Dua ribu tahun umat Kristen saat ini berjarak dengan Yesus Daging akan mengakibatkan munculnya efek keterpisahan dan irelevansi dari Yesus Iman. Ini bisa semakin memuncak apabila banyak sekali himpitan dalam hidup kita baik berupa kesulitan ekonomi, pengangguran hingga tingginya budaya permisif korupsi di negeri ini. Kurangnya keteladanan dari pemimpin kita serta tidak adanya ”role model”, ”success story” akan kepemimpinan yang bersih dan jujur akan mengakibatkan umat Kristen akan semakin apatis dan cenderung bingung memilih jalan yang benar.

Industrialisasi Pemikiran

Potret kekinian masyarakat kita ini ditunjang oleh merasuknya pola industrialiasi tanpa batas. Industrialisasi sudah menyebar ke segenap ranah hidup manusia baik di Indonesia maupun di dunia. Industrialisasi inilah yang dipakai oleh kekuatan si jahat sebagai mesin penyebar ajaran yang aneh, membingungkan dan sesat. Kita bisa lihat dari jutaan kopi buku Harry Potter yang segera diserbu oleh anak-anak remaja sebagai bacaan ”wajib” dan menggairahkan. Industrialisasi nilai-nilai seperti ini berubah menjadi industrialisasi pemikiran yang berbahaya ketika iman tidak lagi penting. Pasar menjadi ukuran yang diikuti oleh masyarakat yang bisa mengarahkan mereka kepada pemenuhan hidup sehari-hari. Efeknya adalah munculnya eskapisme masyarakat dari kekeringan jiwa yang alih-alih seharusnya kembali ke Tuhan, malah sekarang masuk ke selera pasar yang sudah terindustrialisasi oleh nilai sekuler tertentu.

Belum lagi kita melihat pada perilaku masyarakat saat ini dimana masyarakat sudah mulai secara lambat-laun diperkenalkan pada gaya hidup homoseksual. Diimbangi dengan semakin menjamurnya perumahan dan apartemen yang modern yang menawarkan gaya hidup modis, individualis dan kosmopolitan yang mengarah pada konsumerisme. Begitu juga industri musik dan film yang saat ini semakin dikejar rating dan mendongkrak popularitas artis yang ujung-ujungnya mendapatkan keuntungan materi yang sangat besar sehingga seringkali terjebak dalam plagiarisme. Gejala-gejala budaya kontemporer ini semakin mengerucut pada hilangnya prinsip-prinsip nurani dan iman.

Daya Dukung Lingkungan Yang Hilang

Ketika kita bicara perilaku hidup yang terindustrialisasi yang berujung penguasaan kapital oleh kelompok pengusaha kelas berat berkolusi dengan oknum birokrat yang korup maka yang muncul saat ini adalah lingkungan hidup yang terdegradasi. Jutaan hektar hutan dan lahan hijau ”disulap” menjadi pemukiman, mal, bangunan dan bermacam-macam manufaktur tanpa melihat daya dukung yang ada. Sungguh mengerikan melihat kolaborasi paham kontemporer yang sekuler-materialistis dengan pasar sebagai mesin penggerak. Pada akhirnya bumi menghancurkan dirinya sendiri karena ulah kita. Banjir dimana-mana bahkan terjadi di daerah tak pernah banjir sebelumnya, air bersih sulit dikonsumsi di kota-kota metropolitan karena direbut oleh gedung-gedung pencakar langit, kemacetan jalanan yang semakin parah, polusi udara, hilangnya keanekaragaman hayati dan punahnya kawanan hewan di hutan semakin menambah runyam masalah lingkungan di negeri ini. Bahkan khusus Indonesia, menurut para ahli, pemanasan global bukanlah prioritas pertama yang harus diantisipasi melainkan perusakan lingkungan secara sistematis oleh stakeholder terkait lah yang menjadi isu utama negeri ini. Yach, masalah lingkungan adalah ujung (akibat) dari pangkal (sebab) iman yang lemah karena ”ilalang” yang menancap ke batin manusia di negeri ini. Sadar atau tidak sadar itulah yang terjadi.

Solusi: Ketika Yesus lahir kembali di hati kita

Bagaimana kita mencabut ilalang-ilalang hidup ini? Pertama, ilalang tidak pernah akan hilang, sesuai titah Yesus Yang Maha Tahu. Kedua, kuncinya adalah memperbanyak gandum hidup dalam masyarakat kita. Gandum ini pertama-tama harus tumbuh berakar di hati umat Kristen. Bagaimana caranya? Resepnya sbb:

  1. Umat Kristen harus sadar dan realistis bahwa Yesus itu benar-benar ada secara historis dan benar-benar Tuhan secara Iman maupun historis. Ini untuk melawan ajaran-ajaran sesat dari kalangan intelektual muda, yang karena pintar berorasi dan menemukan kunci idiosinkratik pada alkitab, akhirnya runtuh imannya. Takjub pada perbedaan idiomatik pada teks-teks di keempat Injil dalam Kitab Suci, mereka akhirnya menghujat Yesus bahkan menurunkan Yesus selevel dengan nabi-nabi lain. Jangan khawatir, terlalu banyak saksi mata pada saat Dia Hidup yang mengetahui dengan pasti bahwa Yesus adalah Allah. Apa yang dikerjakan Yesus selalu bersifat publik, banyak orang menyaksikan mujizat-mujizatNya, Dia tidak diam-diam (gerakan bawah tanah), dan Aksi-aksiNya juga sering dilihat oleh kaum farisi.
  2. Umat Kristen patut melatih doa-doa kontemplatif. Doa adalah obat paling ampuh dari segala kesulitan hidup. Ditambah unsur kontemplatif, yakni berdoa dengan hati, menyelaraskan kata-kata batin dengan wajah Yesus Yang Maha Kudus maka kita akan menemukan damai Tuhan dalam diri kita.
  3. Membaca alkitab dan tulisan-tulisan orang suci lainnya dapat membantu kita menjalani hidup ini dari kacamata Yesus yang penuh kasih, berbobot, berakar dan bernilai tinggi. Inilah pahala kita dalam hidup sehingga kita bisa menghasilkan buah-buah Roh.
  4. Jadilah garam, tidak perlu menjadi ”terang”. Maksudnya kita dapat menggarami orang lain secara halus tanpa kita harus terlihat peranannya. Tidak perlu menjadi ”terang” dalam pengertian untuk menghindari kita dari publisitas yang berlebihan yang bisa mengakibatkan kesombongan rohani karena efek ”over-joyous”-nya. Maksudnya karena kita pintar berkotbah, punya karunia menyembuhkan kita berisiko terlalu gembira dengan rahmat-rahmat tersebut sehingga tanpa pengendalian diri yang ketat kita akan jatuh dalam ”okultisme” diri.
  5. Kerajaan Allah ada dalam jangkauan kita. Kerajaan Allah semudah kita mengangkat jari ke arah langit. Dia malah lebih dekat daripada yang kita sangka. Kerajaan Allah adalah Gereja tempat kita mungkin pernah dibaptis, tempat kita mungkin pernah mengaku dosa, belajar sidi dan lain-lain. Kerajaan Allah adalah Gereja itu sendiri. Bukan gedung fisik semata-mata. Kerajaan Allah adalah Allah sendiri yang hadir di situ dan hadir pula di hati kita melalui Sabda-sabdaNya yang disampaikan oleh pendeta atau pastor. Dia menembus ke batin kita dan itulah yang kita bawa pulang sebagai ”oleh-oleh” buat keluarga kita, buat sekeliling kita, akhirnya buat masyarakat kita.
  6. Mencintai Yesus dan mencintai lingkungan karena Yesus. Kita tidak bisa hanya mencintai Yesus dan sesama tetapi kita lupa mencintai lingkungan hidup ini. Lingkungan hidup dengan kekayaan alam, vegetasi, hayati dan satwa adalah anugerah dari Yesus seperti Dia menganugerahkan keturunan bagi kita. Tentunya kita akan memberikan yang terbaik buat anak-anak kita bukan? Begitu juga dengan lingkungan yang adalah rumah kita bersama, ”keturunan” bersama, milik kepentingan umum. Oleh sebab itu kita wajib memeliharanya secara berkelanjutan. Tidak ada gunanya kita mengklaim mencintai Yesus tetapi lingkungan kita rusak melalui aktivitas kita sehari-hari. Mencintai Yesus bisa dilakukan dengan menjaga alam sekitar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Firman itu sendiri. Dia memberikan udara gratis, sinar matahari, sinar bulan, musim yang berganti secara gratis untuk kita ”kuasai” secara benar dan bertanggungjawab.

Inilah ”gandum” sejati umat Kristen untuk melawan pengaruh ilalang-ilalang kontemporer saat ini. Musuh kita adalah mereka yang mengaku bukan musuh melainkan kawan modernis yakni si setan lewat paham-paham kontemporernya. Bersatulah dengan Yesus meskipun kita harus terus menerus berlatih rohani. Tapi jangan takut, Dia menerima kita adanya. Datanglah kepadaNya tanpa kita harus menjadi orang sempurna/orang kudus dahulu. Dia akan mengajar kita dan merawat luka-luka kita. Dia adalah Kasih Yang Maha Luhur. Dia adalah Kesempurnaan Cinta itu sendiri.

Penulis : Leonard T. Panjaitan

Minggu, 28 Juni 2009

Antara Yesus, Hatiku dan Lingkunganku

Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia (Yoh 1: 1-5).

Pada kondisi yang lain di negeri kita tertulis fakta berikut ini: Antara periode tahun 1990 sampai dengan 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 % hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologis ini adalah yang kedua di bawah Brazil pada masa itu, dan sejak akhir 1990-an, penggusuran hutan primer makin meningkat hingga 26 %. Kini, hutan-hutan Indonesia adalah beberapa hutan yang paling terancam di muka bumi. Berdasarkan penafsiran citra landsat, pada tahun 2000–2005 tingkat kerusakan hutan mencapai 1,188 juta hektar/tahun, dengan total sebenarnya hutan yang terdegradasi seluas 59,6 juta hektar (Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Dephut). Mungkin sampai saat ini melalui adanya gerhan (gerakan rehabilitasi lahan) sejak tahun 2003 lalu maka diperkirakan degradasi hutan Indonesia sekarang tinggal menyisakan 56 juta hektar (3 juta hektar lebih hutan gundul telah mengalami perbaikan dan reforestasi).

Pertanyaan yang muncul dalam pikiranku adalah apa tujuan Allah menyelamatkan manusia tanpa Dia sendiri mengajarkan kita bagaimana mencintai alam dan lingkungan? Apakah Yesus pernah mengajarkan murid-muridNya cara memelihara alam dan lingkungan secara sustainable dalam Kitab Suci? Apakah dengan cara ini Yesus mengesampingkan alam ciptaanNya sendiri karena manusia sudah pasti tahu cara mengelolanya sejak dunia ini diciptakan? Lantas adakah pesan tersembunyi dari Injil bahwa ternyata Yesus pun seorang naturalis dan pro lingkungan hidup?

Yang membuat saya semakin heran adalah mengapa masih banyak orang Kristen yang meski bermurah hati, rajin beribadah serta memberikan donasinya ke gereja-gereja dan kaum papa namun masih tidak peduli dengan lingkungan hidup? Apakah kita hanya perlu mengasihi sesama manusia saja tapi di sisi lain cuek terhadap kondisi alam dan lingkungan kita?

Inilah pergumulan batin saya sebagai seorang Kristen ketika dua tahun lalu mulai menerjunkan diri menjadi penggiat lingkungan sampai akhirnya bersama kolega membentuk komunitas warga hijau. Ajaran Kristen cenderung antroposentris dimana karya penyelamatan Allah sangat dominan berbicara pada tataran hubungan antara DiriNya dengan manusia tanpa ada aspek keberlanjutan lingkungan secara eksplisit. Tetapi apakah memang demikian antroposentrisnya ajaran Sang Logos itu? Setelah bergumul dalam hati, berdoa dan terus berhikmat akan karunia Allah terhadap manusia dan bumi CiptaanNya ini, saya menjadi semakin yakin bahwa Allah melalui Sang FirmanNya Yesus Kristus ternyata juga seorang enviromentalist tulen? Mengapa bisa begitu? Jawabnya adalah sbb:

  1. Allah menciptakan alam semesta ciptaanNya adalah bersifat Cuma-Cuma untuk semua mahluk hidup. Ia tidak memberikan sinar matahari, bulan dan bintang hanya kepada orang benar. Ia tidak memberikan hujan hanya untuk orang beriman saja. Yang jahat, dan sesat sekali pun tetap menerima berkat hujan, angin, terang bulan yang sama besarnya dengan mereka yang benar di hadapan Allah. Inilah cinta kasih Allah tanpa batas dan tanpa syarat.
  2. Kadang-kadang Allah menghukum manusia lewat bencana alam seperti tsunami, badai dan sebagainya untuk diberlakukan ke setiap orang. Tidak lantas orang jahat menerima hukuman langsung dari Surga. Inilah yang disebut keadilan Allah kepada setiap orang secara non-diskriminatif. Keadilan ini penuh kebijaksanaanNya agar orang baik dan benar tidak melalukan kejahatan sebaliknya si jahat bertobat menjadi baik dan benar sehingga luput dari keadilanNya yang keras.

Kehadiran Yesus secara seimbang di hati manusia dan alam sekitar

Lalu apa hubungannya Inkarnasi Firman Allah dengan kondisi lingkungan di Indonesia? Justru inilah milestone yang harus menjadi titik balik kita dalam mencintai Yesus secara total. Mengapa demikian? Karena Yesus hadir di hati manusia bukan hanya mengajak kita untuk mencintai diriNya dan sesamanya tapi lebih jauh dari itu adalah supaya kita memelihara alam dan lingkungan hidup yang telah dikaruniakan secara gratis bagi umat manusia tanpa syarat.

Lalu apa hubungannya antara Yesus, diriku dan Alamku? Apakah Yesus perlu menyelamatkan alam ini bersama-sama manusia? Sebelum kita renungkan masalah ini maka menurut ada baiknya kita kutip tulisan Lynn White dalam bukunya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis. Menurut White bahwa demitologisasi terhadap alam ciptaan yang berakar dalam tradisi Yahudi-Kristen lah yang menjadi biang keladi terjadinya krisis lingkungan hidup yang menimpa bumi. Terlepas dari benar tidaknya kritik tersebut, tulisan Lynn White mendorong para teolog untuk merefleksikan sejumlah gagasan mendasar berkaitan dengan lingkungan hidup. Benarkah masalah lingkungan hidup akhirnya berakar pada misalnya pandangan kristiani tentang pembedaan yang tegas antara Allah pencipta yang transenden dengan alam ciptaan? Apakah kisah-kisah penciptaan dalam Kitab Suci memang mendorong atau membenarkan terjadinya perusakan dan eksploitasi alam?

"Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah tu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kejadian 1: 26-28). Melalui teks ini benarkah manusia diberikan kewenangan oleh Allah menguasai alam tanpa batas?

Penguasaan alam semesta oleh manusia dalam ayat tersebut di atas adalah harus secara berkesinambungan mengingat Yesus juga hadir pada segenap mahluk dan alam ciptaannya. Maksudnya adalah bahwa mahluk hidup dan ciptaanNya adalah instrumen atau sarana yang diberikan oleh Allah buat manusia secara sistematis demi keberlangsungan hidupnya. Menurut saya bahwa sama alam ciptaan termasuk lingkungan sekitar adalah diibaratkan tubuh manusia. Apabila tubuh itu rusak atau tercemar karena pola hidup yang tidak baik seperti memakai narkoba, mabuk-mabukan, merokok dan lain-lain maka orang tersebut akan semakin sulit hidupnya. Padahal Yesus mengajarkan kepada kita untuk tidak mencemari tubuh kita sendiri yang adalah bait Allah.

Begitu juga dengan relasi kita dengan alam sekitar, apakah pantas manusia mencemari dan merusak ekosistem, hutan, sungai dan lahan-lahan hijau yang telah dirancang oleh Allah buat kebutuhan dan keseimbangan hidup manusia? Keanekaragaman ciptaan Allah ini harus kita rawat dan kita jaga sebagai persembahan syukur bahwa kita adalah mahluk ciptaan yang fana. Bukankah suatu dosa berat apabila kita merampas dan menghancurkan alam lingkungan demi ujung-ujungnya adalah uang dan kekuasaan. Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Inilah sebenarnya pangkal mula kerusakan parah lingkungan hidup di Indonesia.

Maka dari itu saya mengajak para pembaca untuk segera bertindak dan peduli terhadap lingkungan kita karena hal-hal sbb:

  1. Memelihara dan menjaga lingkungan hidup adalah suatu panggilan dari Allah karena Dia telah memberikan segalanya untuk kita kelola secara benar dan bijaksana. Perbuatan menjaga lingkungan secara berkelanjutan adalah suatu pahala besar di mata Allah karena kita ikut menjaga suatu relasi unik antara mahluk hidup lain (tumbuh-tumbuhan dan binatang) dengan Allah sendiri. Relasi antar mereka tidak boleh dirusak oleh manusia karena akan melanggar sistem keseimbangan ciptaan itu sendiri. Dengan kata lain pribadi manusia perlu dipahami dalam kerangka komunitas ciptaan-ciptaan lain yang juga memiliki nilai sendiri dalam relasinya dengan Allah. Jadi kita perlu menolak antroposentrisme ketat yang dasar penilaian etisnya semata-mata martabat pribadi manusia belaka. Inilah perlunya manusia memegang erat etika lingkungan sebagai bagian dari moral kehidupan.
  2. Ketika Yesus lahir di hati saudara-saudari maka perlu kita yakinkan kembali hati ini bahwa perbuatan kita bukan hanya ditujukan untuk kebaikan terhadap sesama secara charity atau filantropis tetapi untuk kebaikan alam lingkungan sebagai rumah kita bersama. Yesus adalah untuk semua dan di dalam semua. ……….Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua. (1 Kor 15: 24 – 28).
  3. Apabila hati kita bersih dan dipenuhi oleh Roh Kudus maka kita juga secara langsung akan senantiasa menjaga kebersihan lingkungan dan alam sekitar. Kita tidak akan berani menebang hutan secara berlebih-lebihan, mengkonversi lahan-lahan hijau secara sembarangan, mencemari sungai, danau dan lautan demi kepuasan diri sendiri dan kehendak perut ini.
  4. Umat Kristiani yang telah membaca dan memahami isi Alkitab sudah barang tentu akan memahami bahwa manusia hidup bukan berhubungan dengan sesamanya saja. Tetapi lebih jauh dari itu manusia memiliki ketergantungan dan ikatan dengan alam sekitar yang kedua-duanya diciptakan oleh Allah. Sumber satu-satunya adalah Allah dan kembali kepada Allah.
  5. Dilain pihak para aktivis lingkungan harus memandang bahwa kegiatan mulia mereka sebagai untaian rasa syukur dan panggilan hidup yang bernilai di hadapan Allah. Sebab bisa saja bumi dan alam dipandang hanya sekedar kosmos tanpa Roh. Begitu juga bumi bukanlah ilah tetapi bagian kecil yang berharga dari ciptaan Allah yang perlu dijaga dan dirawat sesuai proporsinya. Bumi dan benda-benda angkasa lainnya tetap dipelihara oleh energi Allah sebagai cara Allah untuk membuat hukum alam semesta ini bekerja sesuai dengan rancanganNya.

Dari tulisan di atas maka hamba-hamba Allah akan menyadari bahwa Sang Firman lahir dalam hati kita untuk manusia dan lingkungannya. Sia-sialah kita mengklaim di hati kita ada Yesus tetapi tindakan kita justru melukai Yesus karena perilaku kita yang tidak ramah lingkungan. Kata dan perbuatan haruslah seimbang dan oleh karena itulah Sang Logos lahir untuk menyeimbangkan hidup manusia dengan alam sekitarnya. Dengan demikian tesis Lynn White di atas dapat kita patahkan.

Penulis: Leonard T. Panjaitan

Senin, 22 Juni 2009

Kebebasan Beragama di India Jauh Panggang dari Api

Cardinal: Gandhi Wanted More for India

Says Anti-Christian Persecution Is Part of Bigger Struggle


KKOTTONGNAE, South Korea, JUNE 16, 2009 (Zenit.org).- If Gandhi would have lived longer, India would not be facing some of the human rights abuses it still confronts, according to the president of the Indian episcopal conference.

Cardinal Telesphore Toppo, archbishop of Ranchi, spoke with ZENIT about India's Christian population and the challenges facing the nation, when he attended an international conference organized this month in Korea by the Catholic Charismatic Renewal.

India was the site of a wave of anti-Christian persecution last year, but the cardinal affirmed that Christians in India are still particularly committed to their faith.

India is a very religious nation, he said, where "Christianity is as old as Christianity itself." And, he added, the work of the Charismatic Renewal there has brought the "faithful to love the Word of God, which before had not been greatly appreciated by Catholics."

The cardinal explained that the faith in India dates back to the Apostle Thomas, but it is difficult to count the number of Catholics there today.

"In my state, when Belgian missionary Constant Lievens arrived in 1885, there were only 56 Catholics in all," the cardinal recounted. "Seven years later, however, when Lievens was forced to leave because of ill health, he left 80,000 baptized Catholics and over 20,000 catechumens. It was an incredible explosion of faith known as 'the miracle of Chotanagpur.'"

Fighting a cancer

Asked about May's elections, which brought a surprisingly marked majority to the Congress party, Cardinal Toppo told ZENIT that the vote was "a fantastic success because it marked the defeat of the fundamentalists."

"The new government is made up of people who follow the principles of Mahatma Gandhi, the best part of Hinduism," he contended. "If India today can boast the biggest democracy of the world, it is because of the religiosity of the people of India: a very diverse population whose different components have in common their faith in God and in their fellow humans."

But, the cardinal was less hopeful about an immediate halt to anti-Christian persecution.

"Persecution is difficult to contain," he said. "It is like a cancer."

In fact, the cardinal noted his fear that persecution might grow worse precisely because "fundamentalists are no longer in power and can no longer infiltrate the bureaucracy and put their people in key positions."

He recalled: "When I was appointed cardinal in 2003, the leader of one of these fundamentalist groups said, 'Why do we have to accept this foreign decree? Christians must leave India.' I come from a tribal country, Jharkhand, so I answered 'Let him leave first. I come from one of the first tribes of India, so I am more Indian than he is.'"

Struggle for freedom

Persecution is particularly aimed at Christians, the cardinal added, precisely because if tribal groups convert to Christianity, they could form an imposing middle class.

He explained: "In the eyes of the fundamentalists, the Muslims are also enemies of India, but Muslims retaliate so they are leaving them alone. The Christians they see as a threat they can eliminate.

"Their focus is particularly on tribe members, because the highest number of conversions takes place among them, as among the dalit, or 'untouchables.' Despite having undergone many persecutions throughout history, the tribal groups have maintained their own language and social system, so if they convert, they can form a middle class, which can be a catalyst between the dalit and the higher castes.

"Obviously, if the 100 million dalits and the 70 million tribals were to convert, this would amount to an immense political and social shift."

Cardinal Toppo said Hindu fundamentalists are a small number in India, making up only 11% of the population, and their ideas are far from the religion's traditional association with tolerance and peace.

"Can there be peace with the caste system," he asked. "Can there be peace when you do not recognize your brother as your equal? Mahatma Gandhi freed India from British imperialism, but that liberation has not been completed yet. Gandhi represented universality, an absolutely Christian idea. If he had lived longer he would have abolished the castes, child marriage, the dowry system, bride burning. … India must free itself of all these evils, as well as from fundamentalists.

"Fundamentalists are a very small part of the population […] but they have the same ideas as Hitler and Mussolini. Persecution must be viewed in this context. It comes within the sphere of the struggle for freedom: freedom of conscience. We still have a long way to go; the struggle for freedom, initiated by Gandhi, goes on."

Sabtu, 13 Juni 2009

Konstelasi Agama di Rusia: Politisi Manfaatkan SARA

Ancaman terbesar multikulturalisme Rusia bukan datang dari konflik bernuansa agama, tetapi justru dari serangan dan gelombang fasisme ultranasionalis yang marak sejak runtuhnya Soviet akhir 1980-an.

Banyak pengamat menduga, kelompok ekstremis yang jumlahnya puluhan dan anggotanya diperkirakan tak kurang dari 70.000 di seluruh Rusia sengaja dibiarkan dan dimanfaatkan oleh segelintir politisi Kremlin, termasuk Boris Yeltsin dan Vladimir Putin, untuk mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan pengaruhnya di Rusia. Dalam laporan Mei lalu, Komisi Amerika Serikat mengenai Kebebasan Beragama Internasional yang didukung Kongres kembali menempatkan Rusia dalam daftar watch list , bersama 10 negara lain. Termasuk, antara lain, sejumlah negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah, seperti Turkmenistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Belarusia, selain juga China, Korut, dan Arab Saudi.

Salah satu argumen dimasukkannya Rusia dalam watch list adalah Pembentukan Dewan Pakar Studi Religi (Expert Religious Studies Council) oleh Kementerian Kehakiman Rusia belum lama lalu. Dewan ini dinilai memiliki wewenang berlebihan untuk menginvestigasi organisasi agama, termasuk aktivitas dan literatur- yang mereka terbitkan, karena dugaan ekstremisme.

Ketua Dewan ini, Alexander Dvorkin, dikenal sangat antisekste. Wakilnya, Roman Silantyev, pernah menulis artikel yang sangat tendensius menyerang Islam radikal, dan di antara anggotanya ada lima anggota gereja ortodoks yang sangat vokal menyerang agama Protestan. Laporan ini juga mendesak Pemerintah AS agar menekan Rusia untuk membubarkan Dewan tersebut.

”Konstitusi memang menjamin kebebasan beragama dan pemerintah secara umum menghormati ini dalam praktiknya, tetapi dalam beberapa kasus, restriksi diberlakukan pada kelompok-kelompok agama tertentu. Konstitusi juga mengatur kesetaraan semua agama di depan hukum dan pemisahan gereja dengan negara, tetapi pemerintah sendiri sering tak menjalankan ini,” demikian laporan yang diedarkan di Kedubes AS Moskwa.

Mereka juga mengkritik diskriminasi berupa larangan bagi warga Muslim untuk bergabung dalam militer, tak memberi mereka kesempatan menjalankan ibadah salat lima waktu atau pilihan menu makanan halal di lokasi kerja. Juga disoroti sentimen antisemistis dan kebencian terhadap Katolik Roma dan agama Kristen non-ortodoks.

Isi laporan memunculkan reaksi kemarahan di pihak pemerintah dan gereja ortodoks Rusia. Mereka menyebut tudingan tersebut tak berdasar. Indonesia sendiri pernah dimasukkan daftar ini bersama Azerbaijan, Belarus, Israel, Turki, Brunei, Malaysia, dan Pakistan tahun 2005.

Dimanfaatkan

Sejumlah kalangan aktivis menuduh Pemerintahan Rusia di bawah Putin dan presiden yang sekarang, Dmitry Melvedev, berada di belakang langkah para penegak hukum, terutama di wilayah selatan Rusia, yang menjadikan Muslim sebagai target tudingan sebagai pelaku aksi terorisme dan ekstremisme. Sekitar 25 juta dari 142 juta penduduk Rusia adalah Muslim. Mereka terkonsentrasi di provinsi-provinsi bagian selatan Kaukasus, termasuk Chechnya, Ingushetia, dan Dagestan; di samping juga Tatarstan dan Bashkortostan, yang berada tak jauh dari Sungai Volga.

Penempatan Muslim sebagai target penyelidikan dimulai sejak peristiwa pengepungan teater Dubrovka di Moskwa (2002) dan penyanderaan sekolah di Beslan (2004). Serangan teroris yang melibatkan Islam militan itu menewaskan sekitar 500 orang.

Aleksei Malashenko dari Program on Religion, Society and Security Carnegie Moscow Center mengungkapkan, isu perang melawan ektremisme agama dipakai sebagai alat efektif bagi pejabat untuk memperkokoh posisinya, termasuk Yeltsin dan Putin. Yeltsin memperoleh popularitas dengan meredam pemberontakan di Chechnya pertengahan 1990-an. Perang di wilayah sama 1999 mengantar Putin ke tampuk kekuasaan melalui operasi kontrateroris terhadap pemberontak Chechnya.

Sebagian jurnalis dan aktivis oposisi sudah lama mencurigai sentimen rasisme ini dipicu pihak tertentu yang diuntungkan oleh bangkitnya sentimen nasionalisme di Rusia.

Menurut Aleksei, pecahnya dua kali perang di Chechnya (1994-1996 dan 1999) dan serangkaian serangan teroris di sejumlah wilayah Rusia semakin memunculkan kebencian terhadap kaum Chechens dan etnis Kaukasus lainnya. Opini publik berkembang ke arah kebencian pada etnis Ukraina, Georgia, Polandia, dan Moldova yang dianggap ikut berperan dalam revolusi di sejumlah negara tetangga Rusia. Sikap bermusuhan juga diarahkan kepada pendatang dari Estonia, Latvia, dan Lituania sebagai balasan sikap prejudice dan diskriminasi terhadap minoritas Rusia di negara-negara Baltik tersebut. Aleksei membagi wilayah Rusia dalam kaitan dengan Islam menjadi tiga, yakni wilayah di mana Muslim merupakan mayoritas, wilayah di mana Muslim merupakan minoritas tetapi bersatu dan solid, serta wilayah di mana Muslim relatif jarang. Wilayah di mana Muslim adalah mayoritas terutama ada di Kaukasus Utara.

Untuk wilayah yang berbeda, ditempuh pendekatan berbeda pula, sesuai kepentingan pemerintahan federal. Pada era pasca-Soveit, pemerintahan Rusia di bawah Putin menuntut adanya loyalitas para pemimpin Muslim pada negara, dengan menyubordinatkan kepemimpinan Muslim di bawah kepemimpinan negara. Secara umum, di bawah sistem politik yang ada sekarang, negara bisa dikatakan berhasil dalam mempertahankan kontrol terhadap sebagian besar komunitas Muslim.

Kendati demikian, kelompok oposisi politik berbasis agama bisa dikatakan tetap tak tersentuh dan mereka terutama terkonsentrasi di Kaukasus Utara.

Tuntutan pemisahan diri juga tak pernah surut di wilayah-wilayah Kaukasus Utara ini, sejalan dengan kian meningkatnya derajat otoriterisme dalam sistem politik Rusia, kurang seriusnya reformasi ekonomi, dan kian melebarnya kesenjangan kaya-miskin. ”Sampai sekarang ini kita masih belum tahu bagaimana mengatasi masalah di Kaukasus Utara dan kawasan Muslim lain yang penduduknya kelewat padat bergantung pada pertanian dan menghadapi kemiskinan ekstrem,” ujar analis, Maksim Sokolov. (TAT)

Jumat, 12 Juni 2009 | 06:09 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/06091949/politisi.manfaatkan.sara

Konstelasi Agama di Rusia

Di atas permukaan, hubungan antaragama-agama yang disebut sebagai agama tradisional di Rusia memang berlangsung cukup harmonis. Antara agama satu dan yang lain, bisa hidup berdampingan secara rukun dan saling menghormati (peaceful coexistence).

Dalam dialog antaragama yang diprakarsai Departemen Luar Negeri RI dan Kedutaan Besar RI di Moskwa di Wisma Duta KBRI yang dihadiri perwakilan dari semua agama di Rusia dan dari paparan pihak Dewan Mufti (semacam majelis ulama di sini) dan pimpinan gereja ortodoks Rusia, juga tertangkap keinginan kuat dari masing-masing pihak untuk bisa hidup berdampingan dan saling menghormati kebebasan beragama.

Seperti dikatakan Grand Mufti Ravil Gainutdin, masyarakat Rusia yang pluralis dan multietnis disatukan dalam satu negara Rusia dan mereka memiliki pengalaman panjang dalam mengatasi masalah-masalah bersama, yang juga membutuhkan dukungan kelompok-kelompok minoritas.

”Dalam sejarah Rusia belum pernah ada konflik yang berlangsung lama. Dari dulu sudah seperti ini, tak ada konflik agama dan kami berusaha menjaga keseimbangan,” ujarnya ketika menerima delegasi Indonesia di kantornya di Moskwa, yang kinclong bak istana dan tengah dalam proses finishing pembangunan.

Dukungan dari pemerintah bagi agama-agama yang ada pun sangat kuat, terutama untuk mendirikan masjid dan tempat beribadah. Grand Mufti yang jadi imam dari 20 juta lebih Muslim di Rusia—dua juta di antaranya di Moskwa—mengungkapkan, di Moskwa sendiri, pihaknya mendapat wakaf tiga bidang tanah untuk pembangunan tempat ibadah dan kegiatan keagamaan.

Salah satunya, lahan seluas 2,5 hektar yang di atasnya kini dibangun kantor dan masjid dengan dukungan dana dari pengusaha minyak kaya, Sulaiman Kerimov. Selain itu, pemerintah juga memfasilitasi kegiatan pengiriman calon jemaah haji, terutama urusan pabean, transportasi, dan asuransi. Dukungan serupa juga dinikmati agama-agama tradisional lainnya.

Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan beragama mungkin tidak seindah itu. Setidaknya demikian yang dirasakan penganut agama Kristen non-ortodoks yang mengalami diskriminasi dari kelompok ortodoks. Demikian pula bagi kelompok Muslim yang oleh pemerintah sering dicap sebagai kelompok ekstremis, terutama di daerah selatan.

Laporan lembaga aktivis keagamaan dan HAM beberapa tahun terakhir mengungkapkan banyaknya kasus kekerasan dengan target kelompok Muslim yang dianggap ikut terlibat dalam gerakan separatis dan serangan terorisme di berbagai wilayah Rusia.

Mungkin ini yang ditangkap oleh Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional, yang dalam laporan Mei 2009 kemarin kembali menempatkan Rusia dalam daftar negara yang tak menghargai kebebasan beragama (watch list). Berdasarkan data resmi terakhir, 71,8 persen dari sekitar 142 juta penduduk Rusia adalah penganut Kristen Ortodoks; 5,5 persen Islam; 1,8 persen Katolik; 0,7 persen Protestan; 0,6 persen Buddha; 0,3 persen Yahudi; 0,9 persen lain- lain/sekte; dan 18,9 persen tak beragama.

Undang-undang dan konstitusi tentang keagamaan Federasi Rusia sendiri, menurut seorang pengamat agama di Moskwa yang tak mau disebut namanya, hanya mengakui empat agama tradisional, yaitu Kristen Ortodoks, Islam, Buddha, dan Yahudi.

”Untuk Kristen, UU dan konstitusi hanya mengakui ortodoks. Ini yang menjadi persoalan karena seperti kita tahu, Kristen sendiri ada dua. Paling tidak dalam sejarah kita kenal dua agama besar, yakni Kristen Timur atau yang dikenal dengan Kristen Ortodoks dan Kristen Barat yang awalnya dipimpin oleh Vatikan,” ujar narasumber tersebut.

Setelah kejatuhan Konstantinopel jadi wilayah domain Islam di Turki (sekarang Istambul), gereja ortodoks Rusia merasa terpanggil menjadi pemimpin gereja-gereja ortodoks di seluruh dunia dan menganggap Rusia sebagai domainnya.

Sebagai agama dominan, Kristen Ortodoks sangat diuntungkan dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan pemerintahan. Keterlibatan berlebihan gereja pada urusan politik dan militer banyak dikritik berbagai pihak.

Namun, keterkaitan erat gereja ortodoks dengan negara sendiri sebenarnya memiliki sejarah panjang, bukan hanya di Rusia, tetapi juga di dunia. Pada era Kekaisaran Byzantine, Kristen Ortodoks atau lebih dikenal sebagai Kristen Ortodoks Timur adalah agama resmi negara, sementara agama lain dilarang atau nyaris tak diberi ruang untuk berkembang.

Tradisi ini juga berlangsung turun-temurun dalam sejarah Rusia dan baru pada 1905 diskriminasi terhadap agama lain dihapuskan.

Sejak runtuhnya Uni Soviet, gereja ortodoks Rusia, menurut Thomas Bremer dari Eastern Churches Studies and Ecumenical Theology, Fakultas Theologi Katholik University of Munster, menghadapi situasi baru yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.

Setelah mengalami penindasan selama lebih dari empat dekade, kehidupan agama kembali berkembang pesat (flourished) pada era pascaperestroika. Antara agama satu dan lain saling berlomba mengembangkan ajaran dan kegiatan keagamaannya.

Tak terkecuali Kristen Ortodoks. Pada era komunis yang ateis, banyak gereja dihancurkan, ditutup atau diubah fungsi menjadi gudang pangan atau persenjataan. Setelah Uni Soviet ambruk, gereja itu dipulihkan atau dibangun kembali.

Tak sampai dua dekade setelah runtuhnya Soviet, jumlah gereja bertambah empat kali lipat dan jumlah keuskupan meningkat dua kali lipat. Jumlah kongregasi (persekutuan umat) meningkat pesat dari 6.742 tahun 1986 menjadi 27.942 pada akhir 2007 dan jumlah biara bertambah dari 32 menjadi lebih dari 700. Mereka juga merekrut puluhan ribuan pendeta baru dan sekitar 15.000 anak muda belajar teologi.

Di Moskwa, kota yang mendapat julukan kota sejuta gereja, hampir pada setiap jarak 10 meter ada satu gereja karena pada era Tsar dan setelahnya gereja menjadi penanda untuk setiap kemenangan dalam peperangan. Hal serupa juga dialami agama lain, termasuk Islam yang pada era komunis puluhan ribu masjid dihancurkan dan tinggal tersisa sekitar 30 masjid di seluruh Rusia.

Saling menguntungkan

Pada saat yang sama, gereja Kristen ortodoks juga berusaha membangun posisi kuat dalam struktur baru masyarakat Rusia pascaperestroika. Gereja ortodoks Rusia, menurut Bremer, menempatkan dirinya sebagai pengawal kepentingan publik. Posisi ini tak lantas menempatkannya sebagai oposisi pemerintah karena para pemimpin gereja meyakini pemimpin, seperti Vladimir Putin dan Dmitry Medvedev, sebagai penggantinya, juga loyal pada kepentingan ini

Sebaliknya, negara memanfaatkan gereja sebagai jaminan perekat masyarakat karena kendati dikenal bukan sebagai masyarakat religius, sebagian besar masyarakat masih percaya kepada gereja dan menganggap gereja sebagai saluran efektif komunikasi nilai-nilai moral dan kekuatan penyatu kebersamaan intrinsik bagi bangsa Rusia.

Di sini terjadi hubungan saling menguntungkan antara gereja ortodoks dan negara. Bagai para politisi sendiri, kedekatan dengan gereja dibutuhkan untuk kepentingan pencitraan moral (moral force) dan menggaet simpati publik laiknya motif para politisi di sini yang merasa perlu sowan untuk mendapatkan restu dari para ulama.

Namun, sebagaimana halnya pada agama lain, di kalangan pengurus gereja ortodoks sendiri, ada unsur garis keras atau radikal dan ada yang cenderung liberal. Dari kelompok radikal inilah terutama muncul keinginan kuat untuk mengembalikan status Kristen Ortodoks ke kejayaan masa lalu sebagai agama resmi negara dan mengembalikan negara pada dasar-dasar ajaran ortodoks.

Bagi sebagian besar pengikutnya, terutama garis keras, Kristen Ortodoks bukan sekadar agama, tetapi juga identitas bangsa. Mereka meyakini munculnya agama baru, terutama Kristen di luar ortodoks, sebagai bentuk ekspansi agama lain dan konspirasi negara-negara Barat yang menggunakan agama- agama tersebut untuk menghancurkan dan merongrong Rusia serta melemahkan posisi gereja ortodoks Rusia.

UU tentang Keagamaan tahun 1997 yang menggantikan UU tahun 1990 yang lebih liberal jelas-jelas dimaksudkan melindungi posisi agama-agama tradisional ini.

Dalam UU ini, agama di luar empat agama tradisional tidak dilarang, tetapi juga tak dibiarkan berkembang karena dianggap sebagai bentuk ekspansi pengaruh dan infiltrasi Barat atas Rusia. Hal ini yang menyebabkan mengapa agama Kristen Non-ortodoks, Katolik, atau Protestan relatif tak berkembang pascaperestroika.

Selain karena menganggap Rusia sebagai domain Kristen Ortodoks, sikap defensif dan agresif gereja ortodoks terhadap agama Kristen Non-ortodoks ini, menurut pengamat agama yang tak mau disebut namanya, juga dilatari pengalaman sejarah.

”Ada semacam luka sejarah yang terjadi dalam tubuh gereja ortodoks terkait gereja ortodoks Ukraina yang setelah Glasnot dan Perestroika berubah menjadi gereja katolik Ukraina. Insiden ini sangat sulit diterima oleh gereja ortodoks sehingga para patriach Moskwa sampai dengan saat ini belum bersedia bertemu dengan Paus dari Roma,” ujarnya.

Sikap berbeda ditunjukkan pada agama-agama tradisional lain yang sudah eksis ratusan tahun di Rusia, termasuk Islam. Gereja Ortodoks menerima baik keberadaan Islam, Buddha, dan Yahudi yang sudah berakar kuat dalam kehidupan beragama di Rusia. Keberadaan agama-agama itu sendiri bagian dari konsekuensi wilayah Rusia yang sangat luas dan berbatasan dengan banyak negara sehingga sulit dilepaskan dari pengaruh kuat dari luar, seperti Turki atau Irak untuk Islam dan China untuk Buddha.

Gainutdin mengatakan, sejarah Islam bukan baru dimulai sejak reformasi. Di Moskwa sendiri, masjid sudah ada sejak tahun 1816. Perkembangan Islam di Rusia sendiri sangat beragam karena selain kelompok Sunni, kelompok Syiah juga berkembang di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Irak.

Soal adanya diskriminasi dan represi pemerintahan federal dan lokal terhadap kelompok-kelompok Muslim tertentu, pengamat tersebut mengatakan, memang ada beberapa kantong wilayah di Rusia yang punya potensi radikalisme, seperti Chechnya dan Dagestan.

”Tetapi, kalau kita lihat, masalah wilayah-wilayah itu lebih banyak bukan pada ajaran agama, tetapi lebih pada keinginan untuk memerdekakan diri. Jadi, mungkin mereka menggunakan itu untuk menarik dukungan publik,” ujarnya.

(Sri Hartati Samhadi)

Jumat, 12 Juni 2009 | 06:10 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/06104288/konstelasi.agama.di.rusia

Minggu, 07 Juni 2009

50 Fakta Tentang Petrus Dalam Perjanjian Baru

Nama Petrus paling banyak disebutkan dibandingkan dengan total semua para Rasul bila nama mereka digabungkan. Petrus disebut sebanyak 191 kali dalam seluruh Kitab Perjanjian Baru. Nama Rasul Yohanes hanya disebut 48 kali. Bahkan nama Petrus mengcover 50% setiap kali nama Yohanes ditemukan dalam Perjanjian Baru. Petrus juga bahkan mengcover 60% dari seluruh nama para Rasul yang dirujuk oleh Perjanjian Baru. Dengan demikian, ringkasnya Petrus adalah AKTOR UTAMA dalam Perjanjian Baru. Dan Beliau adalah Paus Pertama Gereja Semesta, yakni Gereja Katolik.

Saya hanya mau menambahkan lagi dari sumber berikut ini : (catt: nanti saya terjemahkan kalau anda masih bingung juga)

1. Peter alone is the Rock upon which Jesus builds his Church (Mt 16:18).
2. Peter alone is given the keys to the kingdom of Heaven (Mt 16:19).
3. Peter is individually given the power to bind and loose (Mt 16:19).
4. Peter’s name appears first in all lists of the Apostles (Mt 10:2; Mk 3:16; Lk 6:14; Acts 1:13). Matthew even calls him the “first” (Mt 10:2).
5. Peter is almost always named first whenever he appears with anyone else. In the one exception (Gal 2:9), the context clearly shows him to be pre-eminent (1:18-19, 2:7-8).
6. Peter alone receives a new name solemnly conferred (John1:42; Mt 16:18).
7. Peter is regarded by Jesus as the Chief Shepherd after himself (John 21:15-17), singularly by name, and over the universal church, even though others have a similar but subordinate role (Acts 20:28; 1 Pet 5:2).
8. Peter alone among the Apostles is mentioned by name as having been prayed for by Jesus Christ in order that his faith may not fail (Lk 22:32).
9. Peter alone among the Apostles is exhorted by Jesus to “strengthen your brethren” (Lk 22:32).
10. Peter is the first to confess Christ’s Messiahship and divinity (Mt 16:16).
11. Peter alone is told that he has received divine knowledge by a special revelation (Mt 16:17).
12. Peter is regarded by the Jews (Acts 4:1-13) as the leader and spokesman of Christianity.
13. Peter is regarded by the common people in the same way (Acts 2:37-41; 5:15).
14. Jesus uniquely associates himself and Peter in the miracle of the tribute-money (Mt 17:24-27).
15. Christ teaches from Peter’s boat, and the miraculous catch of fish follows (Lk 5:1-11): perhaps a metaphor for the Pope as a “fisher of men” (cf. Mt 4:19).
16. Peter was the first Apostle to set out for and enter the empty tomb (Lk 24:12; Jn 20:6). John arrives first but waits for Peter out of deference.
17. Peter is specified by an angel as the leader and representative of the Apostles (Mk 16:7).
18. Peter leads the Apostles in fishing (Jn 21:2-3, 11). The “bark” (boat) of Peter has been regarded by Catholics as a figure of the Church, with Peter at the helm.
19. Peter alone casts himself into the sea to come to Jesus (Jn 21:7).
20. Peter’s words are the first recorded and most important in the upper room before Pentecost (Acts 1:15-22).
21. Peter takes the lead in calling for a replacement for Judas (Acts 1:22).
22. Peter is the first person to speak (and the only one recorded) after Pentecost, so he was the first Christian to “preach the gospel” in the Church era (Acts 2:14-36).
23. Peter works the first miracle of the Church Age, healing a lame man (Acts 3:6-12).
24. Peter utters the first anathema (on Ananias and Sapphira), which is emphatically affirmed by God (Acts 5:2-11).
25. Peter’s shadow works miracles (Acts 5:15).
26. Peter is the first after Christ to raise the dead (Acts 9:40).
27. Cornelius is told by an angel to seek out Peter for instruction in Christianity (Acts 10:1-6).
28. Peter is the first to receive the Gentiles, after a revelation from God (Acts 10:9-48).
29. Peter instructs the other Apostles on the catholicity (universality) of the Church (Acts 11:5-17).
30. Peter is the object of the first divine interposition on behalf of an individual in the Church Age (an angel delivers him from prison, Acts 12:1-17).
31. The whole Church (strongly implied) offers earnest prayer for Peter when he is imprisoned (Acts 12:5).
32. Peter opens and presides over the first council of Christianity and lays down principles afterward accepted by it (Acts 15:7-11).
33. Paul distinguishes the Lord’s post-Resurrection appearances to Peter from those to the other apostles (1 Cor 15:4-8 ). The disciples on the road to Emmaus make the same distinction (Lk 24:34), in this instance mentioning only Peter (Simon), even though they themselves had just seen the risen Jesus within the previous hour (Lk 24:33).
34. Peter is often spoken of as distinct among Apostles (Mk 1:36; Lk 9:28, 32; Acts 2:37, 5:29; 1 Cor 9:5).
35. Peter is often spokesman for the other Apostles, especially at climactic moments (Mk 8:29; Mt 18:21; Lk 9:5, 12:14; Jn 6:67-…).
36. Peter name is always the first listed of the “inner circle” of the disciples (Peter, James, John− Mt 17:1, 26:37, 40; Mk 5:37, 14:37).
37. Peter is often the central figure relating to Jesus in dramatic Gospel scenes, such as walking on water (Mt 14:28-32; Lk 5:1-…; Mk 10:28; Mt 17:24-…)
38. Peter is the first to recognize and refute heresy, in Simon Magus (Acts 8:14-24).
39. Peter’s name is mentioned more often than all the other disciples put together: 191 times. John is next in frequency with only 48, and Peter is found 50% of the time we find John in the Bible. Peter is named a remarkable 60% of the time any disciple is referred to.
40. Peter’s proclamation at Pentecost (Acts 2:14-41) contains a fully authoritative interpretation of Scripture, a doctrinal decision, and a disciplinary decree concern the House of Israel (2:36)−an example of binding and loosing.
41. Peter was the first “charismatic,” having judged authoritatively the first instance of the gift of tongues as genuine (Acts 2:14-21).
42. Peter is the first to preach Christian repentance and Baptism (Acts 2:38).
43. Peter (presumably) leads the first recorded mass Baptism (Acts 2:41).
44. Peter commanded the first Gentile Christians to be baptized (Acts 10:44-48).
45. Peter was the first traveling missionary and first exercised what would now be called “visitation of the churches” (Acts 9:32-38, 43). Paul’s missionary journey begins in Acts 13:2).
46. Paul went to Jerusalem to specifically see Peter for 15 days in the beginning of his ministry (Gal 1:18 ) and was commission by Peter, James, and John (Gal 2:9) to preach to the Gentiles.
47. Peter acts, by strong implication, as the chief bishop/shepherd of the Church (1 Pet 5:1), since he exhorts all the other bishops, or elders.
48. Peter interprets prophecy (1 Pet 1:16-21).
49. Peter corrects those who misuse Paul’s writings (2 Pet. 3:15-16).
50. Peter wrote his first epistle from Rome, according to most scholars, as its bishop, and as the universal bishop (or Pope) of the early Church. “Babylon” (1 Pet 5:13) is regarded by many commentators as a code name for Rome.

Sumber: Dave Armstrong’s A Biblical Defense of Catholicism

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...