Tampilkan postingan dengan label Paus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Paus. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Desember 2010

Uskup Yang Tidak Disetujui Paus, Menduduki Jabatan Puncak di China

Unapproved bishop elected to top China job

Published Date: December 9, 2010
By ucanews.com reporter, Hong Kong
Bishop John Fang Xingyao of Linyi, new head of the Chinese Catholic Patriotic Association

A bishop who does not have papal approval was today elected president of the Bishops’ Conference of the Catholic Church in China (BCCCC) while a Vatican-approved bishop became head of the Chinese Catholic Patriotic Association (CCPA).

The pope’s letter of 2007 indicates that holding the CCPA position was incompatible to Church doctrine.
Bishop Joseph Ma Yinglin of Kunming, 45, who was ordained in 2006 and still has not received papal approval, was elected BCCCC president by 312 votes for and one abstention on the last day of the Eighth National Congress of Catholic Representatives.

Rabu, 08 Desember 2010

Bocoran Wikileaks: Diplomat AS Terkejut Terpilihnya Benediktus XVI

Pope’s election took US diplomats by surprise

Cardinal Joseph Ratzinger prepares for communion at the funeral Mass for Pope John Paul II at the Vatican before the papal conclave (AP Photo/J. Scott Applewhite/ File) Ref

30 Nov 2010
Source:http://www.catholicherald.co.uk/news/2010/11/30/popes-election-took-us-diplomats-by-surprise/

Pope Benedict’s election to the papacy took American diplomats by surprise, it emerged this week.
They predicted that Cardinal Joseph Ratzinger would get a flurry of votes from his fellow cardinals at the beginning of the conclave but that he would be unable to muster the support needed to become Pope.
An April 19 2005 telegram from Rome to Washington signed by Bernt Hardt, says diplomats were “shocked” and “speechless” about the election of Cardinal Ratzinger.

Minggu, 21 November 2010

Paus Benediktus XVI: Kondom Dibolehkan Asal...

Paus Benediktus XVI mengeluarkan pernyataan, Sabtu (20/11/2010), mengenai penggunaan kondom. Ini menunjukkan terlihatnya perubahan sikap Gereja Katolik Roma soal penggunaan kondom.

Benediktus menyatakan bahwa penggunaan kondom dibolehkan atas beberapa kasus untuk mencegah penyebaran AIDS. Pernyataan ini dikeluarkan sebagai bentuk pembolehan pihak gereja terutama sikap mereka selama ini yang menentang penggunaan alat kontrasepsi artifisial termasuk kondom.

"Ada banyak kasus khusus di mana penggunaan (kontrasepsi) dibolehkan. Sebagai contoh ketika seorang prostitusi dan ini akan menjadi langkah awal dari sikap moral yaitu tanggung jawab untuk menghidupkan kepedulian bahwa tak semuanya dibolehkan dan tak seorang pun boleh melakukan sesuatu sesuka hati mereka," kata Benediktus.

Analisis Senior Vatikan CNN, John Allen, menyatakan komentar Benediktus ini tak mengubah kebijakan pejabat Vatikan namun ini menunjukkan sikap kepausan yang fleksibel gereja atas kontrasepsi.

"Saya kira apa yang ingin dikatakannya adalah ketika seseorang menggunakan kondom tidak akan mencegah lahirnya kehidupan baru di mana ini selalu jadi perhatian Gereja Katolik Roma namun mencegah penyebaran penyakit lebih baik," jelas Allen. (Widyabuana/Tribunnews)


21 Nov 2010
Source:http://health.kompas.com/index.php/read/2010/11/21/18322522/Paus.Benediktus.XVI.Kondom.Dibolehkan.Asal...-8

Senin, 15 November 2010

Paus Benediktus XVI: Internet Bikin Kesepian dan Disorientasi

Tak dapat dipungkiri, kaum muda zaman sekarang makin menggilai internet. Menanggapi tren seperti ini, pemimpin agama Katolik, Paus Benediktus XVI, coba memberi wejangan bahwa internet memiliki sisi negatif.

Menurut sang Paus asal Jerman ini, internet tidak membuat orang lebih manusiawi, namun malah menyebabkan pengakses berisiko merasa kesepian dan disorientasi. Risiko ini rentan menghinggapi para anak muda penggemar dunia maya.

"Sejumlah besar kaum muda, melakukan pola komunikasi yang tidak meningkatkan kemanusiaan namun malah melonjakkan risiko perasaan kesendirian dan disorientasi," ucap Paus Benediktus XVI, seperti detikINET kutip dari AFP, Senin (15/11/2010).

Sang Paus menambahkan, sebagian anak muda menjadi seakan mati rasa dengan keberadaan internet. Dia menilai, teknologi adalah sebuah tantangan yang harus ditanggapi dengan pintar.

Pemimpin Vatikan ini memang cukup cemas dengan efek buruk teknologi. Sebelumnya, dia juga pernah menyatakan bahwa teknologi mengaburkan batas antara kebenaran dan ilusi.

Namun demikian, ia bukannya anti sama sekali. Sebagai buktinya, Paus Benediktus XVI tidak segan memanfaatkan Facebook sebagai sarana untuk menarik kaum muda kembali beribadah ke gereja. ( fyk / ash ) 

15 Nov 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/11/15/141552/1494593/398/paus-benediktus-xvi-internet-bikin-kesepian-dan-disorientasi

Paus Ajak Kaum Muda Kembali ke Gereja Lewat Facebook

Paus Benediktus XVI menggunakan jejaring sosial Facebook untuk berdakwah. Melalui media yang 'berpenghuni' ratusan juta orang di seluruh dunia itu, Paus mengajak para kawula muda Katolik untuk kembali ke gereja.

Seperti ditulis Reuters, Jumat (22/5/20090), website baru Vatikan yang beralamat di www.pope2you.net menawarkan sebuah layanan yang disebut 'Paus bertemu Anda di Facebook.' Layanan ini memungkinkan masyarakat mengakses ucapan-ucapan dan pesan-pesan Paus lewat iPhone atau Ipod.

Ini merupakan pola komunikasi baru yang dijalankan oleh Vatikan. "Kami tahu bahwa gereja yang tidak berkomunikasi akan berhenti hanya sebagai gereja," kata Sekretaris Departemen Komunikasi Sosial Vatikan, Monsignor Paul Tighe.

Namun layanan Facebook ini tidak menyerupai pada umumnya. Anda tidak akan menerima 'friend request' dari Paus atau menulis di wall-nya.

"Orang-orang muda sekarang tidak menggunakan media tradisional seperti koran dan majalah untuk mencari informasi dan hiburan. Mereka mencari budaya media yang berbeda, dan ini adalah upaya kami untuk meyakinkan mereka bahwa gereja hadir dalam budaya komunikasi baru itu," imbuh Tighe.
( sho / fyk ) 

23 Mei 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2009/05/23/102533/1135891/398/paus-ajak-kaum-muda-kembali-ke-gereja-lewat-facebook

Senin, 05 Oktober 2009

Paus Menentang Kolonialisme Baru


Paus Benediktus ke-16 membuka pertemuan khusus (sinode) uskup-uskup Afrika di Vatikan, Roma, Minggu (4/10).

Dalam pidatonya Paus menentang apa yang disebut bentuk baru kolonialisme negara-negara Barat. Menurut Sri Paus, zaman kolonialisme politik memang telah berakhir, tapi saat ini warga Afrika menghadapi ancaman lain.

Menurut Paus negara-negara Barat mengekspor "limbah beracun" ke Afrika. Yang dimaksudnya adalah materialisme dan kurangnya nilai-nilai moral. Sri Paus memuji kekayaan budaya dan spiritual benua Afrika. Ia menyebut Afrika adalah "paru-paru spiritual" dunia.

Pertemuan sinode diikuti hampir 200 uskup dari 53 negara Afrika. Dalam tiga pekan mendatang mereka membahas peran Gereja Katolik Roma dalam perang melawan ketidakadilan sosial di Afrika.

Ini untuk kedua kali Roma menggelar sinode uskup Afrika. Yang pertama diselenggarakan tahun 1994, semasa genosida Rwanda. Gereja Katolik berkembang lebih cepat di Afrika ketimbang di negara-negara lain di dunia. Tiga dasawarsa belakangan jumlah umat Katolik Roma di Afrika meningkat hampir tiga kali lipat.

Senin, 5 Oktober 2009 | 04:59 WIB
VATIKAN, KOMPAS.com-http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/10/05/04595645/paus.menentang.kolonialisme.baru

Bicarakan Timur Tengah, Paus Umumkan Sinode

Paus Benediktus XVI pada Sabtu (19/9) mengumumkan pelaksanaan pertemuan khusus untuk membahas upaya perdamaian di Timur Tengah. Pihak Tahta Suci mengatakan pertemuan yang bakal dihadiri oleh para uskup dan para patriak atau pemimpin Gereja Katolik Ortodoks diselenggarakan tahun depan. Tepatnya, pada 10 hingga 24 Oktober. Di dalam ritus Gereja Katolik, pertemuan khusus tersebut dikenal sebagai sinode.

Paus dan Tahta Suci sudah lama aktif untuk mengupayakan perdamaian Timur Tengah melalui diplomasi. Perlindungan terhadap umat Kristiani di Tanah Suci dan pemberian dukungan kepada semua orang di seluruh dunia yang memperjuangkan damai di Timur Tengah menjadi salah satu landasan langkah diplomasi Paus dan Tahta Suci.

Sabtu, 19 September 2009 | 18:52 WIB

VATICAN CITY, KOMPAS.com -  http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/09/19/18525936/bicarakan.timur.tengah.paus.umumkan.sinode

Paus Angkat Tiga Uskup Baru Vietnam

Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Paus Benedictus XVI telah mengangkat tiga uskup baru untuk Vietnam. Para uskup baru itu diberi tanggung jawab untuk mempererat hubungan dengan pemerintah komunis Vietnam.

Pernyataan resmi Vatikan, Sabtu (25/7), menyebutkan, ketiga uskup baru itu adalah Mgr Joseph Vu Duy Thong untuk Keuskupan Phan Thiet, Mgr Pierre Nguyen Van De untuk Keuskupan Thai Binh, dan Joseph Nguyen Nang untuk Keuskupan Phat Diem.

Bulan lalu, Paus Benediktus menyampaikan harapannya yang besar untuk terjalinnya hubungan yang lebih sehat antara Gereja Katolik Roma dan pemerintah Vietnam. Di Vietnam, jumlah umat Katolik mencapai enam juta orang, dan termasuk jumlah terbanyak di Asia.

Ketegangan antara umat beriman --sebutan untuk penganut Katolik-- dan pemerintah sudah berlangsung lama, sejak 1954. Pemerintah mengawasi dengan ketat umat Katolik. Pemerintah juga selalu menolak pengangkatan pemimpin gereja.

Akan tetapi, akhir-akhir ini hubungan antara Gereja Katolik dan pemerintah itu makin cair. Perdana Menteri Nguyen Tan Dung bahkan menemui Paus ketika ia mengunjungi Vatikan pada tahun 2007. Tan Dung adalah pemimpin tertinggi negeri itu yang pernah bertemu Paus.

Awal pekan ini kantor berita Asia News mengutip pernyataan Kardinal Pham Minh Man yang menyatakan bahhwa Presiden Vietnam akan bertemu Paus di Vatikan pada bulan Desember mendatang.

Sabtu, 25 Juli 2009 | 21:19 WIB

VATICAN CITY, KOMPAS.com-  http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/07/25/21195962/paus.angkat.tiga.uskup.baru.vietnam

Rabu, 09 September 2009

Tentang Sayap-sayap Yang Melebar

*) Khotbah Paus Benediktus XVI di Bagnoreggio

ROME, SEPT. 7, 2009 (Zenit.org).- Kadang-kadang kita berpikir bahwa problem fisik, materi adalah problem-problem yang utama.

Hal ini disebabkan problem-problem itu menjadi bukti kita, tepat di depan mata kita. Sebagai contoh: Hujan turun, oleh karenanya kita butuh atap; musim dingin tiba, kita perlu menyimpan persediaan makanan; seorang bayi mengalami demam maka kita butuh obat-obatan atau apapun untuk menghilangkan demamnya.

Tetapi kalau kita mengamati Injil, dan apabila kita menimbang hidup kita sendiri, kita mulai mengenali bahwa problem utama terbesar adalah masalah spiritual.

Dan hal ini yang menyebabkan mengapa kita melihat Yesus sering sekali melakukan penyembuhan penyakit fisik, menyembuhkan orang buta dan tuli – hal-hal ini kita dengar dalam bacaan Injil di hari minggu (Markus 7:34) ketika Dia berbicara dalam bahasa Aramaic ”Ephphatha” (”Terbukalah”) dan telinga orang tuli itu akhirnya bisa mendengar. (Ada juga tiga kejadian dimana Markus mencatat Yesus berbicara dalam bahasa Aramaic; seperti “Talitha cum” – hai anak kecil, bangunlah! – dalam Markus 5:41; dan pada saat penyaliban (Markus 15:34) ketika Yesus berteriak keras “Eloi, Eloi, lama sabachtani!” – Allahku, ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan daku?”.

Inilah sebabnya mengapa Yesus mengampuni dosa manusia

Sebab jatuh dalam dosa menghantarkan kita kepada rasa putus asa dan bahkan ke kematian. Dosa adalah beban berat yang ingin dihapuskan oleh Yesus dari bahu manusia, dihapuskan dari hati manusia.

Dan tindakanNya mengampuni dosa manusia, di atas segala-galanya, yang membuat geram para pemimpin agama Yahudi pada jamanNya sebab Allah sendiri dapat mengampuni dosa-dosa kita.

Yesus membawa harapan. Dia membawa harapan bagi orang-orang buta, tuli dan sekarat bahkan Dia membangkitkan orang mati. Dia juga membawa harapan kepada orang-orang berdosa, kepada orang-orang yang secara spiritual mati. Dia juga membawa harapan adanya hidup baru bagi orang-orang yang jatuh seketika, bahkan gagal dan putus asa.

Benediktus XVI adalah Wakil Kristus, Pengganti Petrus

Demikian halnya, misi Paus Benediktus XVI dalam pengertian terdalam sederhananya adalah membawakan harapan kepada domba-dombanya. Benediktus XVI menghasilkan misinya sendiri dengan cara seperti ini, suatu misi membawakan harapan kepada dunia yang meski nampak kaya dan penuh kekuatan, namun secara spiritual miskin.

Misi Paus Benediktus XVI adalah misi yang membawa arti bagi mereka yang mulai percaya bahwa hidup itu tidak memiliki arti.

Dan ini adalah serangan besar yang dilakukan Benediktus untuk memerangi pertempuran antara “budaya hidup (culture of life) dengan “budaya mati (culture of death)”. Dia melakukan serangan atas nama makna hidup, atas nama “Logos” sejati yang artinya makna hidup itu sendiri. Dan dalam menjalankan misi ini, Benediktus membawa harapan bagi mereka yang tak punya harapan.

Pada hari minggu sore, Paus Benediktus berada di kota kecil berbukit yang bernama Bagnoreggio, tempat kelahiran St.Bonaventura untuk melanjutkan misinya saat ini.

Dan di homilinya itu, Paus menyampaikan khotbah tentang harapan yang begitu indahnya dan patut untuk diingat terus-menerus.

Bonaventura hidup dalam tahun 1.200, waktu jaman Pertengahan ketika Eropa sedang membangun katedral-katedral yang megah dan mendirikan universitas yang masih menakjubkan dan menguntungkan kita saat ini.

Bonaventura lahir tahun 1221 dan hidup sampai tahun 1274 namun dalam setengah abad hidupnya yang singkat itu dia menjadi salah satu teolog hebat Katolik sepanjang masa.

Hari minggu lalu, Benediktus XVI merayakan Bonaventura sebagai pembawa pesan harapan.

Bapa Suci berbicara bagaimana Giovanni Fidanza – nama Baptis Bonaventura – menjadi “Fra Bonaventura,” seorang rahib fransiskan dan pada akhirnya sebagai minister jenderal dari Ordo Fransiskan yang pada saat itu berusaha memperbaharui iman Kristen dengan berkomitmen pada kemiskinan total.

“Bukan hal yang mudah untuk merangkum doktrin filosofis, teologis dan mistika yang sangat kaya yang diturunkan kepada kita semua oleh St.Bonaventura, “ ujar Paus. Namun, Paus menambahkan, apabila dia harus memilih sebuah frase, maka Bonaventura lah yang menemukan “kebijaksanaan yang berakar dalam Kristus”.

Bonaventura, lanjutnya mengadakan orientasi terhadap setiap langkah dari pemikirannya menuju “sebuah kebijaksanaan yang berkembang ke dalam kesucian”.

Bonaventura, ditegaskan Paus, adalah “orang yang tiada lelahnya mencari Allah” dari masa dia menjadi Pelajar di Paris sampai saat-saat akhir hidupnya dan tulisan-tulisannya memberikan indikasi jalan mana yang harus dilalui.

“Sebab Allah ada di atas,” ujar Bonaventura dalam karyanya “De reductione artium ad theologiam” (Tentang Reduksi Seni ke Teologi), maka “perlulah bahwa pikiran manusia itu dinaikkan sendiri menuju kepada Allah dengan segenap kekuatan pikiran itu”. Tetapi bagaimana caranya pikiran manusia melakukan hal ini? Dapatkah pikiran kita, melalui studi and refleksi benar-benar bergerak ke arah Allah?

Bonaventura, lanjut Paus, percaya bahwa studi dan refleksi sendiri tidak lah cukup. Menurut pengajaran Bonaventura bahwa studi harus dibarengi dengan rahmat, sains oleh cinta, intelegensia oleh kerendahan hati (Itinerarium mentis in Deum, pro.4).

“Perjalanan purifikasi melibatkan seluruh pribadi manusia sehingga pribadi itu dapat melalui Kristus, meraih transformasi cinta Trinitas,” ujar Paus lebih lanjut. “Dengan demikian Iman adalah kesempurnaan dari kecakapan kognitif manusia. Harapan adalah persiapan akan adanya pertemuan dengan Tuhan. Dan Cinta memperkenalkan kita kepada hidup yang ilahi dengan membawa pemahaman kepada kita agar memandang semua manusia itu bersaudara.”

Paus berbicara spesifik tentang harapan

“St. Bonaventura adalah pembawa pesan harapan, “ ujar Paus. “Kami menemukan gambaran hebat tentang harapan dalam salah satu homilinya tentang Advent, dimana St.Bonaventura membandingkan pergerakan harapan dengan perjalanan suatu burung di udara, yang melebarkan kepak sayapnya selebar mungkin, dan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menggerakkan sayap itu. Manusia dalam seluruh keberadaannya, dalam aspek tertentu, menjadi suatu gerakan agar dapat bangkit dan terbang.

“Berharap adalah seperti terbang, lanjut St. Bonaventura, kata Paus. “Tetapi harapan menuntut kita agar semua bagian dari keberadaan kita menjadi gerakan dan menuju ke kedalaman diri kita, yakni menuju kepada janji Allah. Orang yang berharap, tegas Bonaventura, “harus mengangkat kepalanya, mengubah pikirannya menuju apa yang tertinggi, yakni menuju kepada Allah”. (Sermo XVI, Dominica I Adv., Opera omnia, IX, 40a).”

Paus mengakhiri khotbahnya seperti ini: “Setiap hati manusia haus akan harapan. Dalam surat ensiklik ku “Spe Salvi”, saya mencatat bahwa beberapa tipe harapan tidak lah cukup untuk dihadapi dan beberapa tipe harapan itu juga tidak lah cukup untuk mengatasi kesulitan hidup saat ini. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah “harapan tertentu” yang karenanya harapan itu memberikan kita kepastian dimana kita akan meraih tujuan “besar”, yakni membenarkan usaha-usaha dalam perjalanan hidup kita.

“Hanya dengan harapan tertentu dan besar ini yang meyakinkan diri kita, meskipun adanya kegagalan dalam kehidupan pribadi kita dan adanya kontradiksi sejarah secara keseluruhan, maka ”kuasa Cinta yang tak dapat rusak” akan selalu melindungi kita.

“Ketika harapan semacam itu mendukung kita, kita tidak pernah berisiko untuk kehilangan keberanian untuk memberikan kontribusi, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang suci, mereka memberikan kontribusi terhadap kemanusiaan, membukakan diri mereka dan dunia ini kepada masuknya Allah – masuknya kebenaran, kasih dan cahaya ilahi (cf. “Spe salvi,” No.35).

“Semoga St.Bonaventura menolong kita untuk “melebarkan kepak sayap” dari harapan itu yang memampukan kita untuk menjadi seperti dirinya, pencari Tuhan yang tiada hentinya, seorang penyanyi tentang indahnya ciptaan Tuhan dan seorang saksi Cinta dan Keindahan yang “menggerakkan segala sesuatu”.

Apabila kita mengikuti ajaran Benediktus XVI dan juga Bonaventura, lantas kita fokuskan pada pencarian akan “harapan tertentu” yang ditawarkan oleh Yesus Kristus, maka kita juga dapat memberikan jiwa kita sayap-sayap untuk terbang, meskipun segala cobaan dunia ini menyakiti kita, dan kemudian kita dapat membumbung tinggi seperti burung di udara, dengan memutuskan keberadaan diri kita ke dalam suatau gerakan, dan menjadi suatu harapan yang kita tunggu-tunggu dalam waktu yang lama.

Penulis: Robert Moynihan is adalah pendiri dan editor majalah bulanan “Inside The Vatican”. Dia juga penulis buku "Let God's Light Shine Forth: the Spiritual Vision of Pope Benedict XVI" (2005, Doubleday).

*) Diterjemahkan oleh Leonard T. Panjaitan

Sabtu, 11 Juli 2009

Petrus dan Kephas dalam Galatia 2:7-14 Adalah Orang Yang Berbeda

Galatia 2:11-14, terdapat adegan dimana Paulus memarahi Petrus. Ayat ini biasanya digunakan untuk mematahkan Primat Paus sebagai Pengganti Petrus. Ayat ini juga dipakai oleh mereka yang tidak mengerti tentang Gereja Katolik. Namun sejarah tidak bohong. Ternyata Petrus dan Cephas adalah 2 orang yang BERBEDA. Penelitian ini dilakukan oleh Pastor Jesuit D Pujol dalam tesisnya yang berjudul "ETUDES" pada abad 19 lampau. Mari kita baca tulisan di bawah ini *):

Romo Jesuit D. Pujol mempublikasikan topik ini dalam bukunya yang berjudul "Etudes" di abad 19 lalu dan ia menjelaskan secara luar biasa dan efektifnya bahwa Rasul Petrus dan Cephas dari Antiokia dan Korintus TIDAK MUNGKIN ORANG YANG SAMA. Hal ini sungguh mengejutkan terlebih lagi tidak ada yang membantah argumentasi Rm. D Pujol tersebut. Sang Romo Jesuit ini menunjukkan lebih jauh lagi bahwa Petrus dan Cephas adalah dua individu berbeda dimana fakta ini mewakili tradisi kuno yang tidak pernah hilang dalam sejarah Gereja. Pada abad 3 M St. Clement dari Alexandria mengamati bahwa "Cephas adalah salah satu dari 70 murid yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan Rasul Petrus." Keyakinan yang sama ini juga ditemukan dalam tulisan-tulisan dari Santo Dorotheus dari Tyre (abad ke-4 M.) dan Eusebius, yang dikenal sebagai sejarawan ulung Gereja kuno (abad ke-4 M.). Bahkan diawal-awal tulisan Bapa-bapa Gereja perdana yang berjudul "Epistle of the Apostles" kira-kira bertahun 160 M dapat dibaca sbb:


"Kami, Yohanes, Thomas, Petrus, Andreas, Yakobus, Filipus, Bartholomeus Matius, Nathaniel, Yudas orang Zelot, dan Kephas, menuliskan kepada Gereja-gereja di sebelah timur dan barat, di sebelah utara dan selatan ..." Lebih lanjut, orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani yang telah mengenal sejak awal Injil Matius (aslinya Injil Matius ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram), hanya akan mengetahui nama Rasul melalui nama Petrus. Dalam teks yang terkenal tentang Petrus pada Mat 16:15-19 kata “Cephas” tidak muncul! Adalah nama Petrus-lah yang selalu akrab di telinga orang-orang Yunani di luar wilayah Palestina.


Berikut adalah ringkasan kesimpulan yang dibuat Rm. Pujol, SJ tentang analisa teks Perjanjian Baru:


  1. Yoh. 1:42 - Teks Yohanes 1:42 di mana Kristus memanggil "Simon, anak Yohanes, dengan sebutan “Cephas” (yang diinterpretasikan sebagai 'Petrus')" tidak mungkin dapat diketahui oleh orang-orang Yunani (yang telah memeluk agama Kristen) yang berasal dari Antiokhia dan Korintus pada masa beredarnya Surat-surat Paulus. Orang-orang Yunani hanya mengenal nama "Petrus" yang merujuk kepada Kepala para Rasul.
  2. Gal. 1:18 – adanya kesalahan teknis penyalinan sehingga mengakibatkan munculnya nama “Cephas” yang seringkali menggantikan nama “Petrus”.
  3. Gal. 2:7-14 –ujian kritis menunjukkan bahwa rujukan kepada Petrus dan Cephas harus dipahami sebagai cara membedakan Petrus dari Chepas. Jika mereka adalah dua orang yang sama, mengapa Paulus merujuk Petrus dalam 2 tempat dan di lain pihak Paulus juga merujuk Cephas dalam 3 tempat yang berbeda? Oleh sebab itu ketidak-konsistenan di sini menunjukkan sesuatu yang tidak masuk akal.
  4. Selain itu, dalam Galatia. 2:9, kita mendapatkan contoh lain pembacan teks Injil yang tidak ada. Ini adalah suatu asumsi nyata bahwa untuk mengidentifikasi "Yakobus, Cephas, dan Yohanes" yang disebutkan di sana akan menjadi Rasul Petrus, Yakobus dan Yohanes. Sebaliknya, Yakobus, Cephas dan Yohanes bersama yang lain sedang berhadapan dengan orang-orang Yahudi dari Yerusalem dimana Paulus sangat menentang mereka.
  5. 1 Cor. 3:21 dan 9:5 - Cephas jelas berada di bawah peringkat para Rasul.
  6. Tidak juga di Korintus. 15:5 membuktikan bahwa Cephas adalah Rasul Petrus karena teks ini justru mengimplikasikan adanya perbedaan diantara mereka, karena Cephas dibedakan dari Daftar Dua Belas Para Rasul. Lalu siapa Cephas itu sesungguhnya ? Rm. Pujol, SJ setuju dengan beberapa kritik yang meyakini bahwa Cephas kemungkinan adalah salah satu dari dua murid dimana Yesus menampakkan diri sesaat setelah Kebangkitan-Nya. Kita tahu bahwa Cleophas adalah salah satu dari dua murid dimana Kristus muncul setelah Kebangkitan. Mengapa tidak orang lain saja yang bernama Cephas? Hal ini tentunya akan menjadi petunjuk yang menjelaskan orang-orang beriman ketika berkumpul di Yerusalem sehingga si Cephas ini menjadi lawan berat dan "pemimpin partai kaum Yahudi" yang menyebabkan keributan di Korintus dan Antiokhia.
  7. Orang-orang yang berpendapat adanya dua identitas berbeda antara Cephas dan Rasul Petrus tentu akan bersikap biasa-biasa saja ketika Paulus dengan percaya diri memarahi si Cephas waktu mereka di Antiokia setelah Konsili Yerusalem. Perselisihan antara Santo Paulus dan Cephas di Antiokhia berlangsung sebelum mulainya Konsili Yerusalem. Lebih lanjut perlu diketahui, adalah TIDAK MASUK AKAL bagi para Rasul yang menghadiri Konsili Yerusalem untuk bertindak diluar sifat-sifat mereka dengan memaksa orang lain yang masih berpegang pada adat Yahudi untuk meninggalkan kebiasaan Yahudinya setelah memeluk Kristen. Potret psikologis dari tokoh Cephas seperti yang digambarkan oleh St. Paulus TIDAK COCOK dengan PENGGAMBARAN KARAKTER dari St. PETRUS setelah PENTAKOSTA.


Selain hal itu di atas, ada argumen yang dibuat oleh Rm. Pujol, SJ secara impresif yakni kesaksian seorang visioner stigmata terkenal yang bernama Theresa Neumann (wafat 1962). Dalam buku kecil tahun 1942 yang berjudul "The Passion Flower of Konnersreuth", Rm. Frederick M. Lynk, S.V.D. membuat pengamatan dari salah satu penglihatan Theresa Neumann sbb:


"Cephas yang dimaksud oleh Surat Paulus ke Galatia, yang kepadanya St. Paulus memarahi di depan wajahnya BUKANLAH PETRUS, Pangeran Para Rasul itu. Tidak ada disebutkan dalam tokoh terkemuka ini berdasarkan fakta kuno bahwa Cephas itu tenggelam di laut saat menjalankan misinya dan oleh karena itu timbul pendapat bahwa dia tidak berbuat apa-apa dalam usahanya menyebarkan ajaran Kristen atau adanya catatan bahwa Cephas jatuh dari imannya”.


Dalam paragraf sebelumnya, saya berani menyatakan secara kredibel bahwa tesis “Etudes” (1865) yang diperbaharui oleh Pastor Jesuit dari Perancis ini (Rm. D. Pujol, SJ) adalah bahwa "Cephas" yang dicela oleh Santo Paulus dalam Suratnya ke Galatia (2:7-14) TIDAK MUNGKIN RASUL PETRUS, Pangeran Para Rasul itu. Rm. Pujol sendiri mengambil tesisnya dari sebuah tradisi kuno yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Santo Clement dari Alexandria (abad 3 M) – suatu tulisan yang juga diakui oleh St Jerome dan juga dipakai oleh beberapa penulis lain dijamannya yakni antara tahun 340 - 420. Walaupun Santo Jerome menyangka bahwa Cephas dan Petrus yang disebutkan oleh Santo Paulus dalam surat-suratnya itu adalah orang yang sama, namun St. Jerome mengakui adanya bukti sbb:


"Ada orang yang berpikir bahwa Cephas, yang kepadanya Paulus memarahi di depan wajahnya, BUKANLAH Rasul Petrus, tetapi orang lain dari ke-70 murid, dan mereka menuduh bahwa Petrus tidak mungkin makan bersama dengan bangsa-bangsa Kafir, sebab Petrus sendiri telah membaptis Kornelius Komandan Pasukan Romawi, dan pada saat ia pergi ke Yerusalem, setelah ditentang oleh orang-orang Kristen yang bersunat dan lantas ada suara yang berkata, "Mengapa Engkau tidak masuk ke mereka yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka?", setelah mendapatkan penglihatan demikian, Petrus akhirnya sadar dan menjawab: "Jika, demikian maka Allah telah memberikan anugerah yang sama dengan kita karena mereka juga percaya kepada Yesus Kristus, lalu katanya: siapalah saya yang bisa menahan Kuasa Allah?" Setelah mendengarkan Petrus, sidang itu diam sesaat dan kemudian mereka memuliakan Allah, dan lantas berkata: "Karena itu kepada bangsa lain juga, Allah memberikan hidup bagi mereka yang bertobat”.


Seperti yang digambarkan oleh St. Lukas, penulis sejarah itu, St. Lukas tidak menyebutkan adanya pertikaian Petrus dan Paulus ini, atau bahkan St. Lukas pernah mengatakan bahwa Petrus ada di Antiokhia bersama dengan Paulus, dan kejadian ini mungkin dapat disampaikan kepada Porphyry karena dia telah menghujat, bahwa katanya : kita bisa percaya bahwa Petrus telah berbuat salah atau bahwa Paulus secara tidak sopan telah mencela Pangeran Para Rasul tersebut”.


*) Sebagian artikel diterjemahkan secara bebas oleh Leonard T. Panjaitan dari:http://credo.stormloader.com/Doctrine/cephas.htm


Tulisan asli dan lengkap sbb:


There is no question that mainstream opinion in the Church has held that the Apostle Peter and the Cephas whom St. Paul rebuked in [the Epistle to the] Galatians were the same person. After all, did not the Gospel of John note that Christ Himself gave the name Cephas (meaning 'Rock') to his leading Apostle? Have not some of the greatest Fathers and Doctors of the Church and modern exegetes all taken for granted the identity of Peter and the Cephas mentioned in Galatians and I Corinthians? Was not Peter-Cephas censured by St. Paul who "withstood him to his face"?

Needless to say, if the Apostle Peter and the Cephas rebuked by St. Paul were not the same person, the polemical arguments of Protestants and Eastern Orthodox claiming that St. Paul's severe rebuke of St. Peter constituted a denial of Peter's Primacy of authority among the Apostles — fall by the wayside.

The following are the Scripture texts which refer to Cephas:

John 1:42 "And Andrew led him (Simon) to Jesus. But Jesus looking upon him, said, 'Thou art Simon, the son of John: thou shalt be called Cephas' (which is interpreted Peter)."
Galatians 1:18 "Then, after 3 years I went to Jerusalem to see Peter [some manuscripts have 'Cephas'] and I remained with him for 15 days."

Galatians 2:7-14 "On the contrary, when they saw that to me was committed the gospel for the un-circumcised, as to Peter that for the circumcised (for he who worked in Peter for the apostleship of the circumcised worked also in me among the Gentiles – and when they recognized the grace that was given to me, James and Cephas and John who were considered the pillars, gave to me and Barnabas the right hand of fellowship, that we should go to the Gentiles, and they to the circumcised) provided only that we should be mindful of the poor, the very thing I was eager to do. But when Cephas came to Antioch, I withstood him to his face, because he was deserving of blame. For before certain persons came from James, he used to eat with the Gentiles, but when they came, he began to withdraw and to separate himself, fearing the circumcised. And the rest of the Jews dissembled along with him, so that Barnabas also was led away by them into that dissimulation. But when I saw that they were not walking uprightly according to the truth of the gospel, I said to Cephas before them all: 'If thou, though a Jew, livest like the Gentiles, and not like the Jews, how is it that thou dost compel the Gentiles to live like the Jews?'"

I Cor. 1:11-13 "For I have been informed about you, my brethren, by those of the house of Chloe, that there are strifes among you. Now this is what I mean: each of you says, I am of Paul, or I am of Apollos, or I am of Cephas, or I am of Christ. Has Christ been divided up?"

I Cor. 3:21 "Let no one take pride in men. For all things are yours, whether Paul, or Apollos, or Cephas, or the world, or life, or death; or things present, or things to come - all are yours, and you are Christ's, and Christ is God's."

I Cor. 9:5 "Have we not a right to take about with us a woman, a sister, as do the other apostles, and the brethren of the Lord, and Cephas?"

I Cor. 15:5 "For I delivered to you first of all, what I also received, that Christ died for our sins according to the Scriptures, and that He was buried, and that He rose again the third day, according to the Scriptures and that He appeared to Cephas, and after that to the twelve."
The Jesuit Father D. Pujol published in "Etudes" in the last century some remarkable articles effectively demonstrating that the Apostle Peter and the Cephas of Antioch and Corinth could not have been the same person. It is surprising that more notice was not given to his arguments. He showed, moreover, that Peter and Cephas as two distinct individuals represents an ancient tradition that has never been lost in the Church. In the 3rd century Clement of Alexandria observed that "Cephas was one of the 70 disciples who happened to have the same name as Peter the Apostle." This same belief is found in the writings of St. Dorotheus of Tyre (4th c.) and Eusebius, the well-known historian of the ancient Church (4th c.). In yet another early Christian writing "Epistle of the Apostles" dated about 160 A.D. can be read:

"We, John, Thomas, Peter, Andrew, James, Philip, Bartholomew, Matthew, Nathaniel, Judas Zelotes, and Cephas, write unto the churches of the east and west, of the north and south... "
Further, Greek-speaking Christians who would have known Matthew's early Gospel (originally written in Hebrew or Aramaic), would only know the Apostle by his name of Peter. In the famous Petrine text Matt. 16:15-19 the word 'Cephas' does not appear! It is always Peter whom the Greeks outside of Palestine would be familiar.

Here is a summary of a few points made in Fr. Pujol's analysis of New Testament texts:
1. Jn. 1:42 — The text of John 1:42 wherein Christ calls "Simon, son of John, 'Cephas' (which is interpreted as 'Peter')" could not have been known to the converted Greeks of Antioch or Corinth at the time of Paul's epistles. The Greeks only knew the name "Peter" as referring to the chief of the Apostles.

2. Gal. 1:18 — Errors of copyists were responsible for "Cephas" often being substituted for "Peter"

3. Gal. 2:7-14 — A critical examination shows that the references to Peter and Cephas must be understood as distinguishing Peter from Cephas. If they were the same, why does Paul refer to Peter in 2 places and to Cephas in 3 others? This strange lack of consistency makes no sense.

4. Moreover, in Gal. 2:9, we have another example of reading into texts something which is not there. It is a pure assumption to identify the "James, Cephas, and John" mentioned there to be the Apostles Peter, James and John. Rather, James, Cephas and John were others: troubling Judaizers from Jerusalem whom St. Paul bitterly opposed.

5. 1 Cor. 3:21 and 9:5 — Cephas clearly ranks below the Apostles.

6. Nor does I Cor. 15:5 prove that Cephas is the Apostle Peter for that text implies a distinction between the two, since Cephas is distinguished from the Apostolic Twelve. Then who is Cephas? Fr. Pujol agrees with certain critics who believe the Cephas in question would have been one of the two disciples to whom Christ appeared after His Resurrection. We know that Cleophas was one of the two disciples to whom Christ appeared after the Resurrection. Why could not the other have been Cephas? This would certainly explain the prestige he had among the faithful in Jerusalem enabling him to be a formidable opponent and "party leader of the Judaizers" causing trouble in Corinth and Antioch.

7. Those who opine for the identity of Cephas and the Apostle Peter take for granted the dating of Paul's rebuke of Peter at Antioch after the Council of Jerusalem. But the dispute between St. Paul and Cephas at Antioch took place before the Council. Further, it makes no sense for the Apostle who presided at the Council of Jerusalem to have acted so out of character in forcing others to retain Jewish customs no longer binding upon Christians. The psychological portrait of Cephas given by St. Paul does not match the character of St. Peter after Pentecost.

Other arguments are made by Fr. Pujol to make an impressive case for his thesis. It is interesting that in one of the visions of the famous stigmatist Theresa Neumann (died 1962) one finds further food for thought on this fascinating subject. In his 1942 booklet, "The Passion Flower of Konnersreuth", Fr. Frederick M. Lynk, S.V.D. makes this observation regarding one of the stigmatist's visions:

"Cephas of the Epistle to the Galatians, whom Paul withstood to his face was not Peter, the prince of the Apostles. That there is no mention of this important personage in antiquity is based on the fact that Cephas was drowned in the sea while on a mission tour and thereupon the opinion arose that he did nothing in his new field of endeavor or even fell away from the faith."
In the preceding paragraphs, I ventured to declare credible the thesis upheld by the French Jesuit Fr. D. Pujol in "Etudes" (1865) that the "Cephas" denounced by St. Paul in his Epistle to the Galatians (2:7-14) could not have been Peter, Prince of the Apostles. Fr. Pujol drew upon an ancient tradition found in the writings of St. Clement of Alexandria (3rd c.) – and a view acknowledged by St. Jerome to have been held by certain writers in his own time (c.340-420 A.D.). Though St. Jerome himself thought that Peter and Cephas mentioned in St. Paul's letters were the same person, he acknowledged that:

"There are those who think that Cephas, whom Paul here writes that he resisted to the face, was not the Apostle Peter, but another of the 70 disciples so called, and they allege that Peter could not have withdrawn himself from eating with the Gentiles, for he had baptized Cornelius the Centurion, and on his ascending to Jerusalem, being opposed by those of the circumcision who said, 'Why hast thou entered in to men un-circumcised and eaten with them?', after narrating the vision, he terminates his answer thus: 'If, then, God hath given to them the same grace as to us who believe in the Lord Jesus Christ, who was I that I should withstand God?' On hearing which they were silent, and glorified God, saying: 'Therefore to the Gentiles, also, God hath given repentance unto life'. Especially as Luke, the writer of the history, makes no mention of this dissension, nor even says that Peter was at Antioch with Paul; and occasion would be given to Porphyry's blasphemies, if we could believe that Peter had erred or that Paul had impertinently censured the Prince of the Apostles."

The noted 19th c. Catholic apologist, Paul Schanz, in his "Christian Apology", vol. III, page 462, echoed other prominent Catholic writers in observing that:
"Some of the Fathers have tried to solve the difficulty (presented by the Galatians' account) by a distinction between Cephas and the Prince of the Apostles, or by representing the whole dissension as a simulation."

This latter explanation was that of St. Jerome, the greatest biblical scholar of his time, and who disputed St. Augustine's interpretation which involved St. Augustine's praising St. Peter for his humility in accepting the sharp rebuke of his fellow-Apostle.

It is fascinating to see how the Fathers of the Church who accepted the identity of Peter and Cephas came to contradictory explanations of the alleged dispute between Peter and Paul. Though they bent every effort not to disparage Peter's Primacy among the Apostles, there is no question that the Galatians' incident has always been seized upon by enemies of the Faith to discount Peter's supremacy of authority in the Apostolic College.
That Peter and the Cephas (of Antioch and Corinth) are two different personages needs to be seriously re-examined and not be testily dismissed as a "cockeyed theory" by a recent contributor to a "traditionalist" publication which only too often takes upon itself the role of a Paul castigating the present successor of Peter.

In a response to my critic, Mr. Charles Hart replied appropriately:

"The word Cephas appears only 9 (8?) times in the entire New Testament; and 8 (7?) of those are in St. Paul's letters (Galatians and I Corinthians). The sole exception is in St. John's Gospel (1:42) where it is immediately translated for the reader's benefit, to "Petros" – since "Cephas" would not have conveyed Simon's designation as Rock to the Greek-speaking audience to whom John's written Gospel is addressed. It should be observed that the name "Cephas" which St. Paul uses 4 times in I Corinthians and 4 (3?) times in Galatians is not a translation of the name "Rock" which Our Lord conferred on Simon – that name in Aramaic is Kepa and "Cephas" is a transliteration – not a translation – into phonetically adaptable Greek. A Greek reader – in the absence of translation – would have no reason to think that "Cephas" means "Petros" – which is, of course, the Greek translation of Kepa.

We see in St. John's Gospel, therefore, that the meaning of the title (or office) which Our Lord conferred on Simon had to be translated if it were to retain its significance. Thus, if a person's given name in Aramaic were Kepa it would be transliterated into "Cephas" for Greek-speaking Christians, — which is just what we find in St. Paul's letters. But, if the title of his office, in Aramaic, were Kepa (so that it is the title's meaning which is important) that title must be translated to "Petros", just what we find in St. John's Gospel."

The upshot of all the above is that in Gal. 2:7-14 where Petros is mentioned and then followed by a shift to Cephas, two distinct personages are differentiated. Similarly, there is reason to believe that in Gal. 2:9 – "James and Cephas and John" – these are not the three Apostles, but rather Judaizers disputing Paul's authority in the matter of circumcision.

Fr. Pujol's thesis is reinforced by such observations as the following:

 Whether the dispute at Antioch between Paul and Cephas occurred before or after the Council of Jerusalem, it was chronologically impossible that Peter could have been there at either time.

 The assumption that Peter and Cephas were the same person is dependent upon the Antioch incident occurring after the Council of Jerusalem (with Peter strangely subverting the Council's decree for which he was largely instrumental in obtaining). The fact is that the Antioch incident must have taken place before the Council of Jerusalem at a time, however, when Peter could not have been present in Antioch.

 If the "New American Bible" (NAB) is correct in stating that the James of Gal. 2:9 – "James and Cephas and John" – could not have been the Apostle James the Less, why jump equally to the conclusion that the Cephas in the passage was the Apostle Peter, or that "John" was the Apostle? Moreover, "reputed to be pillars" is a strange expression to apply to Apostles whose role as foundations of the Church was indisputable. The expression rather smacks of irony as applied by Paul to his three Judaizing opponents.

 The word-order of personages (in I Cor. 1:11-13 and 3:21) further militates against Cephas' identification with Peter whose primacy as first and chief of the Apostles would ordinarily have received due recognition.

 Both I Cor. 9:15 and I Cor 15:5 are better interpreted as viewing "Cephas" as someone distinct from the Apostles.

 The common opinion identifying Peter and Cephas has been based on the supposition that the name Cephas was borne by only one person in history, Simon Peter. The name Kepa (Kephas or Cephas) was surely more common than has been thought. Fr. Joseph A. Fitzmeyer has noted an ancient non-Palestinian Aramaic legal document (dated c. 416 B.C.) which witnesses to the existence of "Aqab, son of Kepa" (See his "To Advance the Gospel", Crossroad, N.Y., 1981).

 Lastly, as Fr. Pujol has insisted, the "vulgar confusion" of Cephas with Peter was fostered by a faulty reading of Scripture resulting from the error of early Greek and Latin copyists who substituted Petros for Cephas and Cephas for Petros in various passages in Galatians.

It is not surprising that some of the Fathers (and later commentators) were misled in identifying two distinct personages.

Minggu, 07 Juni 2009

50 Fakta Tentang Petrus Dalam Perjanjian Baru

Nama Petrus paling banyak disebutkan dibandingkan dengan total semua para Rasul bila nama mereka digabungkan. Petrus disebut sebanyak 191 kali dalam seluruh Kitab Perjanjian Baru. Nama Rasul Yohanes hanya disebut 48 kali. Bahkan nama Petrus mengcover 50% setiap kali nama Yohanes ditemukan dalam Perjanjian Baru. Petrus juga bahkan mengcover 60% dari seluruh nama para Rasul yang dirujuk oleh Perjanjian Baru. Dengan demikian, ringkasnya Petrus adalah AKTOR UTAMA dalam Perjanjian Baru. Dan Beliau adalah Paus Pertama Gereja Semesta, yakni Gereja Katolik.

Saya hanya mau menambahkan lagi dari sumber berikut ini : (catt: nanti saya terjemahkan kalau anda masih bingung juga)

1. Peter alone is the Rock upon which Jesus builds his Church (Mt 16:18).
2. Peter alone is given the keys to the kingdom of Heaven (Mt 16:19).
3. Peter is individually given the power to bind and loose (Mt 16:19).
4. Peter’s name appears first in all lists of the Apostles (Mt 10:2; Mk 3:16; Lk 6:14; Acts 1:13). Matthew even calls him the “first” (Mt 10:2).
5. Peter is almost always named first whenever he appears with anyone else. In the one exception (Gal 2:9), the context clearly shows him to be pre-eminent (1:18-19, 2:7-8).
6. Peter alone receives a new name solemnly conferred (John1:42; Mt 16:18).
7. Peter is regarded by Jesus as the Chief Shepherd after himself (John 21:15-17), singularly by name, and over the universal church, even though others have a similar but subordinate role (Acts 20:28; 1 Pet 5:2).
8. Peter alone among the Apostles is mentioned by name as having been prayed for by Jesus Christ in order that his faith may not fail (Lk 22:32).
9. Peter alone among the Apostles is exhorted by Jesus to “strengthen your brethren” (Lk 22:32).
10. Peter is the first to confess Christ’s Messiahship and divinity (Mt 16:16).
11. Peter alone is told that he has received divine knowledge by a special revelation (Mt 16:17).
12. Peter is regarded by the Jews (Acts 4:1-13) as the leader and spokesman of Christianity.
13. Peter is regarded by the common people in the same way (Acts 2:37-41; 5:15).
14. Jesus uniquely associates himself and Peter in the miracle of the tribute-money (Mt 17:24-27).
15. Christ teaches from Peter’s boat, and the miraculous catch of fish follows (Lk 5:1-11): perhaps a metaphor for the Pope as a “fisher of men” (cf. Mt 4:19).
16. Peter was the first Apostle to set out for and enter the empty tomb (Lk 24:12; Jn 20:6). John arrives first but waits for Peter out of deference.
17. Peter is specified by an angel as the leader and representative of the Apostles (Mk 16:7).
18. Peter leads the Apostles in fishing (Jn 21:2-3, 11). The “bark” (boat) of Peter has been regarded by Catholics as a figure of the Church, with Peter at the helm.
19. Peter alone casts himself into the sea to come to Jesus (Jn 21:7).
20. Peter’s words are the first recorded and most important in the upper room before Pentecost (Acts 1:15-22).
21. Peter takes the lead in calling for a replacement for Judas (Acts 1:22).
22. Peter is the first person to speak (and the only one recorded) after Pentecost, so he was the first Christian to “preach the gospel” in the Church era (Acts 2:14-36).
23. Peter works the first miracle of the Church Age, healing a lame man (Acts 3:6-12).
24. Peter utters the first anathema (on Ananias and Sapphira), which is emphatically affirmed by God (Acts 5:2-11).
25. Peter’s shadow works miracles (Acts 5:15).
26. Peter is the first after Christ to raise the dead (Acts 9:40).
27. Cornelius is told by an angel to seek out Peter for instruction in Christianity (Acts 10:1-6).
28. Peter is the first to receive the Gentiles, after a revelation from God (Acts 10:9-48).
29. Peter instructs the other Apostles on the catholicity (universality) of the Church (Acts 11:5-17).
30. Peter is the object of the first divine interposition on behalf of an individual in the Church Age (an angel delivers him from prison, Acts 12:1-17).
31. The whole Church (strongly implied) offers earnest prayer for Peter when he is imprisoned (Acts 12:5).
32. Peter opens and presides over the first council of Christianity and lays down principles afterward accepted by it (Acts 15:7-11).
33. Paul distinguishes the Lord’s post-Resurrection appearances to Peter from those to the other apostles (1 Cor 15:4-8 ). The disciples on the road to Emmaus make the same distinction (Lk 24:34), in this instance mentioning only Peter (Simon), even though they themselves had just seen the risen Jesus within the previous hour (Lk 24:33).
34. Peter is often spoken of as distinct among Apostles (Mk 1:36; Lk 9:28, 32; Acts 2:37, 5:29; 1 Cor 9:5).
35. Peter is often spokesman for the other Apostles, especially at climactic moments (Mk 8:29; Mt 18:21; Lk 9:5, 12:14; Jn 6:67-…).
36. Peter name is always the first listed of the “inner circle” of the disciples (Peter, James, John− Mt 17:1, 26:37, 40; Mk 5:37, 14:37).
37. Peter is often the central figure relating to Jesus in dramatic Gospel scenes, such as walking on water (Mt 14:28-32; Lk 5:1-…; Mk 10:28; Mt 17:24-…)
38. Peter is the first to recognize and refute heresy, in Simon Magus (Acts 8:14-24).
39. Peter’s name is mentioned more often than all the other disciples put together: 191 times. John is next in frequency with only 48, and Peter is found 50% of the time we find John in the Bible. Peter is named a remarkable 60% of the time any disciple is referred to.
40. Peter’s proclamation at Pentecost (Acts 2:14-41) contains a fully authoritative interpretation of Scripture, a doctrinal decision, and a disciplinary decree concern the House of Israel (2:36)−an example of binding and loosing.
41. Peter was the first “charismatic,” having judged authoritatively the first instance of the gift of tongues as genuine (Acts 2:14-21).
42. Peter is the first to preach Christian repentance and Baptism (Acts 2:38).
43. Peter (presumably) leads the first recorded mass Baptism (Acts 2:41).
44. Peter commanded the first Gentile Christians to be baptized (Acts 10:44-48).
45. Peter was the first traveling missionary and first exercised what would now be called “visitation of the churches” (Acts 9:32-38, 43). Paul’s missionary journey begins in Acts 13:2).
46. Paul went to Jerusalem to specifically see Peter for 15 days in the beginning of his ministry (Gal 1:18 ) and was commission by Peter, James, and John (Gal 2:9) to preach to the Gentiles.
47. Peter acts, by strong implication, as the chief bishop/shepherd of the Church (1 Pet 5:1), since he exhorts all the other bishops, or elders.
48. Peter interprets prophecy (1 Pet 1:16-21).
49. Peter corrects those who misuse Paul’s writings (2 Pet. 3:15-16).
50. Peter wrote his first epistle from Rome, according to most scholars, as its bishop, and as the universal bishop (or Pope) of the early Church. “Babylon” (1 Pet 5:13) is regarded by many commentators as a code name for Rome.

Sumber: Dave Armstrong’s A Biblical Defense of Catholicism

Senin, 06 April 2009

Yohanes Paulus II: Pembela Kristus Yang Pemberani

John Paul II Hailed as "Daring" Defender of Christ

Mass Marks Pope's 4th Anniversary of Death

VATICAN CITY, APRIL 2, 2009 (Zenit.org).- Benedict XVI called Pope John Paul II a "bold and daring" defender of Christ who never hesitated to spend all his energy to spread the word of God.

The Pope said this today in his homily at a Mass with the youth of the Diocese of Rome to mark the fourth anniversary of Pope John Paul II's death. Held at St. Peter's Basilica, the liturgy formed be part of the World Youth Day celebrations, which this year are being observed on a diocesan level on Palm Sunday.

The Pope affirmed that throughout John Paul II's life, he "showed himself a bold and daring defender of Christ": "He did not hesitate to consume all his energies in order to spread the light everywhere.

"He did not accept to give in to compromises when it was a question of proclaiming and defending [Christ's] truth; he never tired of spreading [Christ's] love.

"From the beginning of his pontificate until April 2, 2005, he was not afraid to proclaim to all and always that Jesus alone is the Savior and the true Liberator of man and of all men."

"John Paul II was able to communicate a great amount of hope, founded on faith in Jesus Christ, who is the same yesterday and today and for ever," continued Benedict XVI.

God alone

"Dear young people," the Pope said, "we cannot live without hope. Experience shows that every thing, and our own life, runs the risk, can collapse for any reason internal or external to us, at any moment.

"It is normal: Everything that is human, hence hope, has no foundation in itself, but needs a 'rock' on which to anchor itself.

"This is why Paul wrote that Christians are called to base human hope on the 'living God.' He alone is sure and trustworthy."

The Holy Father added that only God "can be our firm hope. In him, our hope, we have in fact been saved."

"Pay attention," the Pontiff warned: "In times such as these, given the cultural and social context in which we live, the risk can be stronger of reducing Christian hope to an ideology, to a group slogan, to an exterior coating.

"There is nothing more contrary to Jesus' message! He does not want his disciples to 'recite' a part of his teaching, perhaps that of hope. He wants them to 'be' hope, and they can be so only if they remain united to him!"

Benedict XVI said that each Christian should be "a small source of hope for your neighbor, and to be, all together, an oasis of hope for the society in which you are inserted."

He said this means that one must be close to Christ through prayer and the sacraments: "If Christ's words remain in us, we will be able to carry high the flame of that love that he has enkindled in the earth; we can carry high the flame of faith and hope, with which we advance toward him, while we await his glorious return at the end of time."

"Respond generously to Christ's call," the Holy Father added. "In particular, during the Priestly Year that will begin next June 19, make yourselves readily available if Jesus calls you to follow him on the path of priesthood and of consecrated life."

Paus Benediktus XVI, Afrika dan Masalah AIDS

The Pope, Africa and AIDs

Interview With Vatican Spokesman Father Lombardi

By Edward Pentin

ROME, APRIL 2, 2009 (Zenit.org).- In a lengthy interview with Rome Notes, Vatican spokesman Father Federico Lombardi has reflected on Benedict XVI's recent visit to Cameroon and Angola, and explained his own approach to dealing with the world's media in light of recent controversies.

Speaking last Saturday in his office at Vatican Radio, he said the main highlight of the Pope's most recent visit was the presentation of the "instrumentum laboris" to Africa's bishops -- a working document on the Synod for Africa scheduled for October. The synod's theme: "The Church in Africa in Service to Reconciliation, Justice and Peace" formed the basis of his visit.

But he also referred to other key moments, such as the Holy Father's meetings and discourses with the sick and suffering, women, young people, and other religious and political leaders. "The most important messages were well received and understood," Father Lombardi observed, and the "response of the people was impressive -- hundreds of thousands came out to see him." The papal spokesman said what was most striking to many present was the Holy Father's own visible interest in the continent.

"I was speaking with someone only the other day about President Sarkozy who spent three days in three different African countries but the Pope spent one full week in just two countries," Father Lombardi said. "It's unusual for Africans to have someone important staying so long, communicating directly with the people and going out onto the streets of the cities. It really was a demonstration of participation, and they understood this very well."

As always, Father Lombardi said, Benedict XVI tried to direct the faithful not toward himself but toward Jesus Christ through his discourses and his "profound" liturgical preparation and participation. He noted in particular how the Pope again appealed to faith and reason, especially in his message to Muslim religious leaders, and how the Holy Father stressed the "socio-political aspects of Christian witness."

He said the Pope was deeply upset about the deaths of two teenage girls who died in a stampede while trying to see him in Luanda, and sent a delegation to offer his condolences to the families of the deceased. The party included the Holy Father's secretary of state, Cardinal Tarcisio Bertone, the sostituto, Archbishop Fernando Filoni, the apostolic nuncio to Angola, the bishop of Luanda, and the bishop responsible for organizing the event. When they arrived, the identity of one of the girls was unknown, but she has now been identified.

The deaths occurred because of the venue of the youth gathering, Father Lombardi said, which was a stadium rather than a field where the open-air Masses were held. For security reasons, large crowds had to enter through only a few narrow entrances. "It was very sad what happened," said Father Lombardi, "but maybe it's a miracle that in the past 20-30 years there's only been one other incident like this, with John Paul II in Kinshasa in the early '80s."

On a lighter note, he said, the tortoise given to the Holy Father as a gift was "better off" remaining in Africa (it was later handed over to the nunciature). Had Father Lombardi perhaps thought of adopting it as a pet for himself? "I am not able to care for animals," he laughed.

Condom controversy

Father Lombardi, in good spirits throughout the interview, also spoke frankly about the controversy in the Western media over the Pope's comments on AIDS and condoms.

Benedict XVI had told journalists on the plane to Cameroon that the problem of AIDS "cannot be overcome by the distribution of prophylactics: on the contrary, they increase it." The Pope was simply re-iterating the Church's teaching, but the debate over his remarks still continues.

"It's very clear," the papal spokesman said, "that those who want to understand the meaning will, and if they don't, then they will never understand." He added that the Pope "wasn't particularly disturbed" by the outcry, and he alluded to other times the largely Western media has latched onto an aspect of Church teaching and misrepresented it.

"You have to reflect and judge it with a long-term perspective," Father Lombardi said. "For a couple of days, people are against what he has said, but afterward they can reflect a little and see the truth of the Pope's words and what his intention was." He referred to how the Holy Father's comments at the University of Regensburg in 2006 later led to a better understanding between Muslims and Catholics.

However, what upset many was that someone modified the transcript of the Pope's words so the sentence read condoms "risk increasing" the problem of AIDS rather than simply "increase it." Father Lombardi was not responsible for the change but it originated in the Secretariat of State.

A well-intentioned official there was trying to put the Pope's words into better Italian -- something that is often done to the Pope's extemporaneous remarks. However, the official appears to have genuinely made the mistake of changing the meaning of the Pope's words in the process. Father Lombardi said he was aware of the irritation that caused (it happened once before, on the Pope's 2007 trip to Brazil). That part of the text has since been changed back again to the Pope's original words.

So will the Pope continue to speak freely to journalists on the papal plane when he travels to the Holy Land next month? "We will see, I think yes," said Father Lombardi. That visit will be especially delicate, but the papal spokesman appears resolute not to tone down or spin the Pope's words in any way. "In every situation you can have misinterpretations or problems. If you fear this, you'd have to stay in Rome and say nothing," he said.

In spite of this mistake and various media brouhahas over recent years, commentators say that the Pope's message continues to resonate with vast numbers of people. Father Lombardi agreed: "Misinterpretation of the media is not the entire world," he said. "One is able to think with one's own mind and understand. [Many people] appreciate the Pope's teaching and understand he is saying things that are important for today's world."

But I ask him whether today's 24-hour news cycle and the Internet require a more careful approach. "This is naturally a risk and part of the situation -- that is clear," said Father Lombardi. "But I think you also have to be confident that what you are doing is right, that what you are doing is being done with good intentions, otherwise you will be blocked by the other person."

Father Lombardi continued: "Whoever has a bad view of the Pope and the Church has already decided we shouldn't think, that we should be absent and disappear from the world. But no -- we go on. The Pope has a very clear message of spirituality, of peace and reconciliation, which he tries to convey even if it is difficult."

Father Lombardi disagrees with critics who say he is too overloaded with work (he is head of Vatican Radio and Vatican Television as well as director of the Vatican Press Office). "This is up to my superior to judge," he said. "They have given me these jobs, I didn't look for them, so whoever has given me this work can also tell me, 'Thank you, I'm going to give it to another.'" He stressed that his other position that is sometimes cited -- assistant to the Superior General of the Society of Jesus -- is not labor intensive.

"I have done this [work as Vatican Press Office director] with good will and I will do it until they say otherwise," Father Lombardi said cheerfully, adding that he was aware of the rumor being spread that he might be wearing too many hats. "I don't know if someone has started this [rumor] to produce some effect," he said with a laugh. "That is possible, but for me having this work is no particular problem."

* * *

Edward Pentin is a freelance writer living in Rome. He can be reached at: epentin@zenit.org.

Jumat, 13 Juli 2007

Pendapat Scott Hahn tentang Kepausan

Sumber : http://www.catholic-pages.com/pope/hahn.asp

Diterjemahkan oleh Leonard T. Panjaitan

Pemikiran Scott Hahn tentang Kepausan

Pendahuluan

Banyak orang berpikir bahwa visi utama Vatican mengenai Gereja sebagai komuni [persekutuan] telah disimpulkan dalam sebuah ungkapan, “Umat Allah” dimana dalam Perjanjian Lama ungkapan “Umat Allah” ini memiliki akar kata “am’ Yahweh” yang memiliki pengertian dasar sebagai “Keluarga Allah”. Istilah “umat”, ‘am’ secara literal menunjukkan pertalian keluarga, jadi istilah ini dapat diterjemahkan menjadi “keluarga laki-laki” atau “keluarga Allah” dan inilah gambaran bagaimana para sarjana Perjanjian Lama menerjemahkannya. Dengan demikian kita memandang Paus, sebagaimana pagi ini, kita akan memandangnya bukan sebagai tiran, bukan juga sebagai penguasa yang “serba tahu segalanya” dan bukan juga seorang pesulap yang dapat menciptakan wahyu baru untuk memuaskan semua pihak atau sesuatu seperti itu. Kita akan melihat Paus sebagai sosok seorang Bapak yang kepadanya Kristus telah mendirikan sebuah keluarga yang telah Dia beli dengan DarahNya sendiri.

Sekarang ini banyak sekali terjadi salah pengertian di masyarakat. Mereka kadang-kadang berpikir bahwa ajaran Gereja adalah bahwa Paus tidak dapat salah; dengan demikian paus tidak bisa berdosa. Pandangan ini tidak masuk akal, meskipun seorang Paus mengaku dosa [aku mengerti setidaknya seminggu sekali]. Seorang paus harus pergi mengaku dosa karena hal ini adalah sakramen yang sah yang dapat diperolehnya. Sebagian lagi berpikir bahwa Paus selalu berkata-kata benar pada saat yang tepat. Tidak, Gereja tidak pernah memaksakan suatu fakta bahwa Paus akan selalu berkata-kata benar di saat yang tepat. Malahan, akibat suatu kekhawatiran, ajaran Gereja bisa memperbolehkan Paus untuk mungkin menunda suatu keputusan yang benar. Atau ketika Paus berbicara tentang suatu kebenaran atau ketika dia mengajarkan kebenaran, dia mungkin dapat melaksanakannya dengan cara yang mengandung sikap ambiguitas.

Jadi kita harus bertanggungjawab sebagai orang-orang Katolik untuk memahami bukan hanya apa yang Gereja ajarkan namun juga apa yang tidak diajarkan Gereja untuk meluruskan kesalah-pengertian ini. Gereja mengajarkan dalam suatu ringkasan yang sederhana bahwa Bapa Suci, Paus, Uskup Roma adalah sebagai pengganti Petrus dan Wakil Kristus, yakni ketika Paus berbicara sebagai pengajar universal dari Kursi Petrus dalam mendefinisikan iman dan moral dengan karisma yang tidak bisa salah atau melalui karunia Roh Kudus yang tak bisa salah sehingga kita dapat memberikan persetujuan penuh dari intelektualitas dan keinginan kita dan kita dapat mendengar suara Kristus yang berseru kepada kita melalui suara Paus ketika dia berbicara dalam kapasitas ini.

Sekarang mari kita menyegarkan makna ajaran ini sebagaimana waktu berjalan namun terdapat tiga masalah mendasar saat ini. Pertama-tama, dapatkah kita membuktikan Primat [Keutamaan] Paus, yakni bahwa Paus itu bukan hanya yang pertama dari yang terutama namun juga beliau memiliki primat tertentu, suatu supremasi unik dalam relasi dengan seluruh Uskup. Kita harus mulai dengan menunjukkan bahwa Yesus menyematkan [memberikan] karunia ini kepada Petrus. Yang kedua adalah kita harus membuat doktrin suksesi kepausan. Apabila kita dapat membuktikan hal ini dari sumber Alkitab bahwa Petrus lah yang diberikan hak oleh Yesus, maka hal ini tidak melenceng terlalu jauh. Kemudian kita harus menetapkan suksesi kepausan; bahwa Petrus mempunyai pengganti yang kepadanya lah dipercayakan karunia atau karisma yang sama. Yang ketiga, kita harus menetapkan bukti terhadap infalibilitas paus [kebal salah/tidak bisa salah], yakni bahwa Allah memberikan kepada para pengganti Petrus sebuah karunia bukan memberikan mereka wahyu-wahyu baru. Gereja bersikeras bahwa tidak ada Paus yang pernah memberikan wahyu baru. Wahyu telah, dan sekali untuk selamanya disediakan oleh Kristus melalui Para RasulNya dan dengan kematian Rasul terakhir maka ditutuplah sudah semua wahyu publik [umum]. Dalam pengertian ini Para Paus diberikan tugas untuk menjaga, menyebarkan, menjelaskan dan menyelenggarakan wahyu tersebut namun tidak memberikan wahyu baru. Sehingga doktrin ketiga yakni doktrin infalibilitas kepausan berlaku adalah ketika paus menerangkan, menjelaskan, menjalankan wahyu Allah maka mereka diberikan sebuah karisma atau karunia spiritual khusus untuk menjaga wahyu tersebut dari terjadinya eror.

Dalam pengertiannya, Infalibilitas adalah karunia yang bersifat negatif. Ini tidak berarti bahwa paus selalu berkata hal-hal yang benar namun infalibilitas adalah ketika Paus berbicara dalam waktu yang tepat; namun itu hanya terjadi ketika dia berbicara dengan menggunakan otoritas bahwa Kristus lah memberikan otoritas itu kepadanya, sehingga kita memiliki jaminan ilahi, sebab Kristus menjanjikan bahwa “Aku akan mendirikan GerejaKu”. Karena sangat pentingnya, Gereja Kristus bukanlah institusi manusia. Yesus mengidentifikasikan Gereja sebagai KepunyaanNya sendiri. “GerejaKu” dan institusi serta edifikasi [perbaikan] dan pembangunan Gereja hanya dapat diklaim oleh Yesus sendiri. Jadi instrumen apa pun yang Yesus pilih untuk digunakan, pada akhirnya tetap berada di bawah kontrolNya dan Dia akan memanfaatkan instrumen ini dengan tujuan akhir yang dalam pikiranNya, dari mulai membanguan GerejaNya, memerintah KeluargaNya dan sedemikan rupa hingga mengadakan jaminan bahwa Dia melimpahkan dalam Matius 16, seperti yang akan kita lihat, bahwa alam maut pun tak akan mampu mengatasi Gereja dan tidak akan mampu mengatasi si Batu Karang yang adalah Petrus dan para Paus yang berada dalam jalur suksesi kepausan bersama dengan Petrus.

Sampai bagian ini, saya telah memberikan kepada kalian cara yang cepat, dari apa yang harus kita lakukan. Saatnya aku berterus terang dari hati ku yang paling dalam dan dengan penuh kerendahan hati bahwa kita tidak akan sanggup untuk melakukan tugas memadai ini di pagi hari ini. Ini terlalu banyak ! Apabila aku berbicara secepat mungkin dan mencoba untuk mendapatkan seluruh bagian lainnya, aku pun tidak akan mampu mencapai 20% dari keseluruhannya. Jadi, aku tidak akan berbicara sampai telinga kalian tuli. Aku tidak akan mencoba untuk mengeruk seluruh topik ini hingga memakan waktu tiga atau empat jam. Sebaliknya aku akan fokus pada hal-hal utama atau pokok saja, sehingga kalian dapat melihatnya dari Alkitab dan dari sejarah serta dari Gereja, yakni ide-ide kunci yang kita butuhkan untuk dipakai dan berbagi sebagai bukti dan dukungan bagi kepercayaan kita dan praktek iman Katolik.

Pertama-tama kita harus memandang Alkitab. Kita juga harus melihat perkembangan historis dari pemahaman Gereja dan kemudian kita akan fokus pada beberapa hal mengenai ajaran Gereja yang berhubungan dengan Paus dan otoritasnya. Sebelum aku mulai, memberikan kualifikasi ini, aku jadi berpikir bahwa aku perlu untuk merekomendasikan beberapa sumber untuk studi kalian di luar pembahasan pagi hari ini.

Pertama-tama, Aku merekomendasikan kepada kalian sebuah buku yang berjudul ”Catholicism and Fundamentalism and the Attack on Romanism by Bible Christians[Katolisisme dan Fundamentalisme dan Serangan terhadap Romanisme oleh Orang-orang Kristen Alkitabiah]. Buku ini ditulis oleh Karl Keating, pendiri dan direktur dari “Catholic Answer” di San Diego. Kalian juga bisa mendapatkan darinya sebuah catalog dari materi-materi lainnya yang diterbitkan oleh Catholic Answers, namun buku ini cukup untuk menjadi obat yang memadai terhadap beberapa keberatan yang dilayangkan kepada iman Katolik, namun banyak materi dari buku ini tidak dapat kita bahas pada minggu ini namun buku tersebut cukup memberikan gambaran dari sisi Alkitab dan juga sejarah Gereja, kita dapat memberikan jawaban dengan cara yang persuasif dan meyakinkan.

Buku kedua yang kurekomendasikan adalah buku yang ditulis oleh Dr. Alan Schreck dengan judul “Catholic and Christian, an Explanation of Commonly Misunderstood Catholic Beliefs[Katolik dan Kristen, sebuah penjelasan tentang Iman Katolik yang umumnya disalahartikan]. Buku ini sangat positif dan konstruktif, Aku katakan, buku ini bak sebuah presentasi pastoral yang berisi bukti-bukti biblis dan alasan secara historis bagi kepercayaan Katolik. Buku ini tidak diarahkan terhadap sebanyak mungkin orang-orang Fundamentalis atau Protentant Evangelikal dan ini membantu mereka sangat besar.

Ada dua buah buku lain yang ditulis oleh salah satu filsuf terbesar di zaman kita yakni Stanley Jaki. Buku pertama ada di sebelah kanan ku, dan Di Batu Karang ini, Kesaksian Satu Tanah dan Dua Perjanjian. Si penulis memperlihatkan latar belakang secara geografis, historis dan biblis terhadap apa yang Yesus maksudkan ketika Dia menamai kembali Simon, “Batu Karang” atau Petrus. Buku yang sangat menarik tentunya. Kemudian buku lainnya dari Stanley Jaki adalah “Kunci Kerajaan”, Sebuah alat Kesaksian terhadap Kebenaran, yang tdiak banyak berfokus pada si Batu Karang namun pada kunci-kunci Kerajaaan yang Yesus percayakan kepada Petrus dan para penggantinya. Kedua buku tersebut sangat kaya akan informasi berharga, data-data yang menarik yang nantinya bakal banyak kalian jumpai.

Primasi [Primat] dan Suksesi Paus

Saatnya ini menjadi titik awal kita dan saya akan mengambil kebebasan di sini, apabila kalian ijinkan saya, untuk menyimpulkan apa yang telah saya katakan pada kaset ini – bukan karena Saya berasumsi bahwa kalian telah mendengarkan kaset saya atau karena kalian ingin mendengarkannya, namun karena kalian dapat, apabila kalian benar-benar tertarik. Dan saya tidak akan menghabiskan satu jam untuk membahas rincian pada satu bagian padahal ada beberapa bagian lainnya yang penting untuk dibahas pula. Tetapi tiga ide tersebut begitu dekat hubungannya dengan bagian penting lainnya yang kita temukan pada injil pertama, Injil Matius, Bab 16 ayat 17 sampai 19.

Mari kita baca bagian tersebut dan aku akan mem-back up dan mempertimbangkan tiga aspek tersebut. Mari kita loncat ke ayat 13, “Sekarang ketika Yesus menuju distrik Kaisarea Filipi, Dia bertanya kepada para RasulNya, “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu ?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Kesaksian mereka ini agak impresif karena mereka mengangkat Perjanjian Lama tentang sebuah kumpulan orang-orang suci di sini.

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” dan sebagaimana digambarkan dalam Injil Matius, Petrus maju ke depan, atau menurutku dia mau berbicara. Petrus adalah satu-satunya orang yang berjalan di atas air. Petrus adalah satu-satunya yang sering berbicara mewakili duabelas para rasul. Ayat 16, “Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias,” – Cristos [Sang Kristus], Yang Diurapi dalam bahasa Yunani atau Messiah [Sang Mesias] dalam bahasa Ibrani, yang semuanya berarti “Anak Allah yang hidup”. Engkau adalah Kristus, Putera Allah yang hidup. Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu : “Engkau adalah Petrus [Petra] dan di atas batu karang ini [Petros] Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”. Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun bahwa Ia Mesias.

Sekarang ijinkan aku berbicara sedikit secara pribadi. Enam atau tujuh lalu, beberapa tahun sebelum saya menjadi seorang Katolik, saya banyak belajar mengenai Doktrin Perjanjian. Aku mulai paham mengenai Perjanjian sebagai sebuah keluarga dan melalui cara pandang seperti ini aku mulai menemukan semua kebenaran yang memukau, inovasi yang baru, penemuan baru yang kukira selama ini benar-benar tidak dapat ditemukan. Ketika aku semakin menggali lebih dalam literature-literatur tersebut, aku mulai menyadari bahwa dari waktu ke waktu para sarjana Katolik – yang kumaksud bukan hanya yang hidup pada abad pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, abad pertengahan,- orang-orang Kudus dan Doktor Gereja ternyata konsisten dengan penemuan terbaruku dan ajaran mereka mirip dengan sikap seperti “ho-hum” [kurang minat] : “Tahukan kalau kau tahu ini dan itu”.

Sungguh, awalnya hal tersebut membuatku terprovokasi. Kemudian temuan tersebut membuatku takut dan akhirnya aku menggali semakin dalam dan dalam ke sumber-sumber Katolik untuk melihat seberapa banyak penemuanku tersebut pada prakteknya mungkin dapat ditemukan dalam karya bapa-bapa Gereja tersebut. Kecuali beberapa karya yang palsu. Paus, meski ini adalah isu yang berbeda. Bagiku, ide bahwa Paus itu mengklaim primat dan suksesi serta infalibilitas adalah hanya anggapan belaka, yang merupakan anggapan yang sombong bahwa tidak ada seorang pun yang berani mengklaimnya.

Tapi suatu ketika, ketika aku sedang mempelajari keseluruhan Injil Matius yang mana injil tersebut lebih menekankan pada Perjanjian Lama lebih dari pada yang lainnya dan khususnya topik mengenai kerajaan Daud. Injil tersebut kelihatannya benar-benar menjadi titik sentral bahwa Yesus adalah Anak Daud dan Dia sedang mendirikan Kerajaan Daud. Dan di injil inilah bagaimana Matius memperkenalkan Yesus. Dia lah satu-satunya dari keempat penulis injil yang melacak keturunan Yesus hingga kepada Daud dan Matius menempatkan frase “Yesus, Anak Daud” di permulaan injilnya. Inilah topic yang umum dan menonjol sepanjang injil tersebut.

Dengan begitu, aku ingin menggali lebih dalam dan melihat apa yang kutemukan dalam bagian khusus tersebut dan atas dasar penemuan itu, dengan kata lain aku bisa bilang bahwa atas dasar studi itulah, aku membuat sebuah penemuan. Pertama-tama, aku menemukan bahwa ketika kalian membaca ayat 17, “Yesus menjawab, ‘Dan Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya’. Aku temukan bahwa semua bukti ini menunjuk kepada fakta bahwa Petrus adalah “batu karang”.

Sekarang kalian mungkin berkata, “Itu khan seperti layaknya hidung yang ada di muka orang”. Kejutan apa yang ada di penemuan ini ? Yah, orang-orang non Katolik sering mengklaim bahwa pernyataan ayat 17 menunjuk pada iman Petrus yang Yesus katakan itu, atau suatu pengakuan iman Petrus ketika Yesus bermaksud mengatakan “batu karang” ini. Atau orang-orang Protestan keberatan dan berkata, “Tidak, Yesus berkata, Dan Engkau adalah Petros”. “Engkaulah Petros, engkaulah batu karang, dan di atas petra, yang dalam bahasa Yunani artinya batu karang besar, “Aku akan mendirikan GerejaKu”. Jadi beberapa umat Protestan keberatan dengan pandangan Katolik ini dan berkata, ”Apa yang Yesus sungguh katakan adalah ‘Engkau Petrus si batu kerikil kecil dan di atas batu karang ini, yakni Kristus (1 Korintus 10:4 dan seterusnya) Aku akan mendirikan GerejaKu.

Sekarang semakin dekat Aku pelajari semakin banyak Aku sadari bahwa posisi tersebut tak dapat dipertahankan, benar-benar tidak bisa dipertahankan. Aku akan berbagi kepada kalian fakta bahwa kini para sarjana Protestan konservatif yang sangat anti Katolik pun akan mengakui kebenaran fakta tersebut secara terus terang. Semakin dalam aku gali semakin sering aku temukan fakta yang mengacu kepada saat bahwa Yesus berbicara tentang sosok Petrus. Petrus adalah Batu Karang. Petrus berkata, “Engkaulah Kristus”, jadi Yesus menjawab “Engkau adalah Batu Karang. Ada semacam pararelisme di sini, “Engkaulah Anak Allah Yang Hidup” dan “Engkau adalah anak Yunus, Simon bin Yunus, Engkaulah Petros”.

Sekarang orang-orang bisa berkata, “Tunggu dulu sebentar. Ada perbedaan dalam bahasa Yunani antara Petros, yakni nama si Petrus, dengan Petra. Petros dapat berarti “batu”, padahal Petra sering kali berarti “batu karang besar”. Masalahnya adalah pada dua padanan. Pertama-tama, Yesus mungkin tidak berbicara dengan bahasa Yunani ketika Dia bersama-sama dengan para Rasul. Aku maksudkan bahwa hal ini dipegang oleh 99,9% para sarjana. Hal ini jelas-jelas tidak mungkin bahwa Yesus dalam percakapan normalnya berbicara dengan bahasa Yunani. Yang pasti justru bahwa Yesus berbicara dengan bahasa Aramaic dan dalam bahasa Aramaic hanya terdapat satu kata yang mungkin digunakan dan Kouman serta para sarjana lainnya telah menunjuk pada fakta bahwa bila Yesus berbicara Aramaic, Dia hanya dapat mengatakan, “Engkau adalah Cephus [Kefas], dan di atas Cephus [Kefas] ini Aku akan mendirikan GerejaKu”. Jadi dengan pemahaman kita tentang bahasa Aramaic, maka tidak mungkin bagi Yesus untuk membuat perbedaan antara “batu kecil” dengan “batu besar”. Bahasa Aramaic tidak mengijinkan hal itu.

Yah, seseorang mungkin berkata, “Roh Kudus mengilhami Matius untuk menggunakan dua kata yang berbeda. Yah, itu memang benar, sebab “Petra” adalah suatu kata dalam bahasa Yunani yang secara normal digunakan untuk “batu besar” namun Aku juga bisa katakan bahwa “Petra” adalah kata Yunani yang berarti “batu besar” tetapi dalam bentuk feminim. Dengan kata lain, perbedaan jender dari kata Yunani tersebut, yakni “petra”, “batu besar”, adalah bentuk feminim. Anda tidak bisa menerapkan sebuah bentuk kata feminim untuk menamai seorang laki-laki. Anda harus mengadopsinya dengan memberikan bentuk maskulin. Dengan kata lain apa yang Matius lakukan, dibimbing oleh Roh Kudus, adalah sesuatu yang lebih jelas dan perlu dipraktekkan. Yakni bahwa Matius mengambil bentuk Yunani dari kata-kata Yesus dan mulai menggunakakan kata “Aku akan mendirikan GerejaKu pada batu besar ini, “petra” ini dalam bentuk feminim namun kemudian memperlihatkan bahwa Petrus memperoleh sebuah nama, yakni “Batu Karang [Rock]” dalam bentuk maskulin yang lebih tepat.

Sebagai contoh, Anda tidak akan menamakan seorang laki-laki Yosephin atau Rockina dan seterusnya. Anda akan memberikan seorang laki-laki dalam bentuk kata yang maskulin. Aku juga tambahkan bahwa tidak ada bukti arkeologis satu pun dari jaman purbakala bahwa pernah ditemukan ada orang yang dinamakan Petrus sebelum si Simon Bin Yunus. Dengan kata lain, Yesus mengambil sebuah nama yang tidak pernah dipakai sebelumnya sepanjang catatan sejarah kepada seseorang individu dan Yesus-lah yang memberikan nama itu, dan Dia memberikannya kepada Simon.

Sekali lagi aku sarankan bahwa fakta yang ada mengatakan bahwa Simon adalah si Batu Karang. Aku juga sampaikan beberapa hal sejalan dengan masalah ini karena aku memiliki beberapa kutipan Protestan. Aku memiliki kartu catatan yang aku rangkai menjadi satu ketika aku sedang menyiapkan paper untuk seminar S-1 pada subyek tersebut. Aku masih menjadi pelayan Protestan saat itu dan aku mengambil seminar dengan topic Injil Matius dan sang profesor di seminar tersebut adalah seorang Protestan. Dia seorang Lutheran dan dia mengetahui apa yang aku ingin kerjakan untuk proyek seminar tersebut dan aku mempresentasikan paper yang berjudul ”Petrus dan Kunci itu” [Peter and the Keys] dan aku mengerjakan paper tersebut sebab aku tahu bahwa dia mungkin tidak terbuka terhadap kesimpulanku, bahwa aku tahu kesimpulanku akan menjadi sebuah penutup dari penelitianku selama ini. Kesimpulanku tersebut lebih cenderung Katolik dan bukan Presbyterian maupun Lutheran.

Jadi demikianlah Aku terus bekerja dan bekerja dan aku meletakkan bersama-sama kartu-kartu catatan tersebut dan ketika aku membuat presentasi – Aku mau tambahkan di sini bahwa kenyataan ini merupakan pengalaman yang menarik sebab ketika semua mahasiswa mempresentasi paper mereka, sang profesor mendorong mahasiswa yang lainnya untuk berinteraksi dengan sang presenter.

Di akhir presentasi yang berat ini dia berkata, “Aku pikir paper mu mulus. Hanya satu kesalahan saja yang aku temukan yakni di salah satu catatan kakimu, kamu mencatat nama pertama orang secara salah !” Lalu dia berkata, “Aku pikir argumen mu persuasif juga. Aku bersyukur bahwa Aku tidak berpikir bahwa Matius itu secara historis itu bisa dipercaya, sehingga dengan demikian aku tidak harus mengikuti kesimpulan tersebut”. Aku senang bahwa engkau berkata itu, kau tahu bukan aku yang bilang loh.

Orang protestan bahkan sering kali siap mengakui fakta bahwa Petrus itu adalah Batu Karang dan kunci suksesi diberikan kepadanya untuk menyatakan sebuah jabatan [office] yang akan diisi oleh para penggantinya. Sebagai contoh, salah satu sarjana Perjanjian Baru dari Gereja Evangelical, R.T France mengatakan bahwa komentarnya mengenai Matius, “Ayat 17 sampai 19 ditujukan kepada Petrus dan telah dianggap oleh beberapa sarjana sebagai tambahan terakhir untuk mendukung klaim awal terhadap primat Uskup Roma. Apakah ayat-ayat ini memberikan dukungan demikian atau tidaknya, tidak ada bukti tekstual untuk tambahan lainnya terhadap injil tersebut setelah komposisi aslinya dan karakter bahasa yang kuat dari yahudi dan semitik sepanjang ayat-ayat tersebut mengacu pada sebuah asal usul yang relatif awal dalam lingkungan Palestina. Apa maksud si France ini ? Yah, para sarjana telah menganjurkan bahwa Yesus mungkin tidak akan memberikan karunia ini kepada Petrus. Yesus mungkin tidak akan menyampaikan perkataan asli ini. Mengapa ? Sebab banyak sarjana tidak percaya bahwa Yesus meramalkan pembangunan Gereja. Mereka berpikir bahwa perkataan Yesus yang berkaitan dengan Gereja telah ditambahkan kemudian oleh Gereja untuk mendukung apapun yang telah terjadi kepada Gereja.

Dr.France berkata, “Hal ini tidak dapat dipertahankan”. Ketika kalian mempelajari hal ini maka kalian akan menyadari bahwa semua bukti dalam teks tersebut memperlihatkan bahwa ayat tersebut adalah salah satu dari perkataan Yesus yang orisinil. Dia kemudian berkata lagi, “Ucapan bahagia Yesus ini tentang Petrus atau BerkatNya diberikan kepada Petrus sendiri. Murid-murid Yesus lainnya mungkin berbagi pengetahuan yang sama namun secara karakteristik Petrus mengekspresikan hal ini. Matius bahkan mengilustrasikan tempat Petrus di kepala kelompok para murid. Dia adalah juru bicara para murid, sang pionir dan pemimpin secara alamiah”.

Lalu Dr.France melanjutkan bicaranya bahwa bagaimana si Petrus itu dijadikan acuan kepada Batu Karang. Dia berkata, “Pengertian si Batu Karang itu adalah karakter Petrus tidaklah memberikan gambaran yang luas”. Dr. France tidak membuktikan bahwa pengertian seperti batu karang itu ada dalam terminologi stabilitas dan reliabilitas namun agaknya nama si Batu Karang atau Petrus menunjuk kepada fungsi Petrus sebagai batu fondasi dari Gereja Yesus”.

Ini adalah pernyataan dari seorang non Katolik. Ini adalah pernyataan dari seorang protestan evangelical yang tidak memiliki kepentigan apa pun dalam mendukung klaim Gereja namun Dr. France berkata, “Istilah Petrus, si Batu Karang, menunjuk kepada Simon dan bukan kepada karakternya karena bisa saja Petrus itu menjadi sangat tidak stabil, namun istilah si Batu Karang lebih kepada fungsi jabatannya sebagai batu fondasi dari Gereja Yesus. Permainan kata-kata ini sudah jelas. Lalu dia berkata, “Permainan kata-kata tersebut merupakan reaksi berlebihan Protestan terhadap klaim Gereja Katolik, yang sudah tentu permainan tersebut tidak mempunyai pijakan dalam teks alkitab, yakni bahwa ayat yang berbicara tentang Petrus selanjutnya diterapkan pula kepada Uskup Roma “. Dengan kata lain Dr. France berkata, “Kita tidak bisa menerapkan kata-kata dalam ayat tersebut kepada Para Paus, kemudian Uskup Roma. Aku akan membuang pendapat tersebut dalam beberapa menit, namun Dr. France sangat tulus berterus terang dalam kata-katanya, “Lihat, hanya karena kita orang-orang Protestan telah bertindak berlebihan kepada Gereja Katolik bahwa kita tidak jujur dan tulus dalam mengakui fakta bahwa Petrus adalah si Batu Karang. Petrus adalah batu fondasi yang di atasnya Yesus akan mendirikan GerejaNya.

Salah satu sarjana alkitabiah Protestan yang terbesar di abad ini mendukung gagasan di atas – W.F Albright dalam komentar alkitab jangkarnya tentang Matius mengatakan, Aku membuka injil tersebut. Aku terkejut melihat, “Petrus sebagai Batu Karang akan menjadi fondasi komunitas masa depan, yakni Gereja. Yesus di sini menggunakan bahasa Aramic dan dengan begitu bahasa Aramaic tersebut akan menjalankan tujuanNya. Dalam pandangan tentang latar belakang ayat 19, orang harus membuang usaha apapun yang bersifat interpretasi konfesional untuk melihat batu karang sebagai iman atau pengakuan Petrus”. Dengan kata lain, Prof.Albright kini mengakui sebagai seorang Protestan bahwa terdapat sikap bias dalam Protestan yang anti Katolik untuk menginterpretasikan siapa yang mencoba membuat referensi Yesus terhadap batu karang dengan hanya menunjuk kepada iman atau pengakuan. Albright mengatakan bahwa untuk menolak posisi Petrus yang ulung ini, maka diantara para murid atau dalam komunitas Kristen perdana hal ini berarti penolakan terhadap bukti yang ada. Titik tolak dalam hal kegagalan dan kebimbangan Petrus tidak mengurangi dari keunggulannya namun lebih pada untuk menekankan posisi tersebut”. Apabila Petrus merupakan figur yang kurang diandalkan maka perilakunya jelas akan menjadi sebuah konsekuensi yang kurang baik. Justru karena Petrus adalah yang utama dan batu fondasi Gereja yang sudah tentu kesalahannya berpengaruh penting, namun kesalahan-kesalahannya tersebut tidak berkaitan dengan ajaran-ajarannya sebagai Pangeran para Rasul. Kita akan lihat ini nanti.

Albright melanjutkan komentarnya untuk membahas tentang kunci Kerajaan Surga yang Yesus percayakan kepadanya. Di sini ia berkata, “Yesaya 22, ayat 15, niscaya terletak diantara perkataan Yesus. Kunci-kunci tersebut adalah simbol otoritas dan Pastor Roland DeVoe dengan tepat melihat otoritas yang sama yang ditetapkan dalam wakilNya, seorang master dari rumahNya, seorang pengurus rumah tangga kerajaaan dalam Israel kuno. Dalam Yesaya 22, Eliakim digambarkan memiliki otoritas yang sama dengan posisi Petrus.

Mari kita berhenti di sini dan berkata, “Apa yang dia [Albright] maksudkan ?”. Aku pikir itu sederhana koq. Albright sedang berkata bahwa Yesus dalam menyematkan ke Petrus bukan hanya sebuah nama baru namun juga mempercayakan kepadanya kunci Kerajaan Surga, Yesus meminjam frase dari Yesaya 22. Dia mengutip sebuah ayat dalam Perjanjian Lama yang sudah sangat dikenal. Hal ini bagiku adalah suatu terobosan. Penemuan ini adalah penemuan yang sangat penting bagi semuanya. Mari kita kembali ke Yesaya 22 dan melihat apa yang Yesus lakukan ketika Dia mempercayakan kepada Petrus kunci kerajaan Surga.

Omong-omong, Akhir-akhir ini aku tidak sukar menemukan setiap pembela iman Katolik yang memiliki kesadaran akan topik khusus tersebut. Ini adalah sebuah poin di atas semua poin bagiku. Ini adalah poin bahwa para pembela iman Katolik di abad 16 dan 17 juga sadar akan hal tersebut, namun untuk beberapa alasan nampaknya penyakit lupa ingatan menghinggapi sebagaian pembela iman tersebut dan mereka tidak sadar bahwa betapa krusialnya masalah ini. Dalam Yesaya 22 dalam awal ayat 19 dan 20, kita mendapatkan latar belakang yang menarik. Ayat ini menunjukkan dimana Yesus melakukan kutipan pada ayat tersebut.

Apa yang terjadi di sana ? Yah, dalam ayat 19 dikatakan, “Aku akan melemparkan engkau dari jabatanmu, dan dari pangkatmu engkau akan dijatuhkan. Maka pada waktu itu Aku akan memanggil hamba-Ku, Elyakim bin Hilkia. Aku akan mengenakan jubahmu kepadanya dan ikat pinggangmu akan Kuikatkan kepadanya, dan kekuasaanmu akan Kuberikan ke tangannya; maka ia akan menjadi bapa bagi penduduk Yerusalem dan bagi kaum Yehuda. Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya.

Lalu Rumah Daud seperti, yang kamu kenal, adalah Rumah Bourbon. Ini adalah sebuah referensi dinamis. Rumah Daud adalah sebuah kerajaan Daudis [Davidic Kingdom], sebuah dinasti Daudis [Davidic Dynasty]. Kita mengetahui bahwa Daud telah mati ratusan tahun ketika ayat ini terjadi dalam Yesaya 22, “Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka. Maka ia akan menjadi kursi kemuliaan bagi kaum keluarganya”. Lihatlah seluruh simbol otoritas dinasti yang diberikan kepada orang ini. Pertama-tama, sebuah jabatan. Kedua adalah jubah. Ketiga adalah sebuah kursi dan keempat adalah kunci rumah Daud, yakni kunci-kunci kerajaan ini.

Sekarang, apa yang sedang terjadi di sini ? Aku akan menyimpulkannya dalam terma yang sederhana. Ezekiah pada saat itu adalah Raja seluruh Israel. Di adalah anak Daud, ratusan tahun setelah Daud meninggal. Dia ada dalam garis keturunan Daud dan dia juga dalah penguasa atas Rumah Daud. Sekarang semua raja-raja dalam dunia kuno memiliki jabatan sebagai raja dan ratu seperti halnya pada zaman ini yakni pejabat kabinet, sebuah kabinet dari menteri-menteri kerajaan. Sama halnya dengan Margaret Thatcher adalah seorang Perdana Menteri, begitu juga dengan menteri-menteri lainnya di bawah Ratu di negara Inggris Raya. Ezekiah, sebagai Raja mempunyai seorang Perdana Menteri sebelum Shebna yang terbukti tidak layak. Jadi Shebna dibuang namun ketika di dibuang, dia meninggalkan jabatan kosong. Bukan hanya kamu memiliki suksesi yang dinamis bagi seorang raja namun kamu juga memiliki jabatan untuk seorang Perdana Menteri. Ketika Shebna dibuang, ada sebuah jabatan kosong yang perlu diisi dan itulah sebabya Eliakim dipanggil untuk mengisi kursi tersebut.

Sekarang, Eliakim adalah seorang menteri dalam kabinet namun dia sedang diberikan jabatan sebagai posisi Perdana Menteri. Bagaimana kita bisa tahu hal ini ? Karena dia diberikan posisi dimana menteri lainnya tidak mendapatkannya, yakni kunci kerajaan, yakni kunci Rumah Daud. Hal ini mensimbolkan suatu otoritas dinastik yang mempercayakannya kepada Perdana Menteri dan ini ternyata sebuah suksesi dinastik. Mengapa ? Karena hal tersebut menyangkut kunci daud; ini adalah Rumah Daud.

Sekarang kita kembali dan mencoba menyederhanakan hal ini lebih jauh lagi. Aku akan bacakan sebuah kutipan. Albright mengatakan, “Dalam mengomentari Matius 16 dan hal Yesus memberikan kepada Petrus kunci kerajaan, Yesaya 22:15 dan seterusnya terbentang di balik perkataan ini”. Albright, seorang Protestan, seorang Non Katolik, bersikeras bahwa sudah pasti bahwa Yesus sedang mengutip Yesaya 22, “kunci adalah simbol otoritas dan DeVoe dengan tepat melihat otoritas yang sama seperti yang ditetapkan dalam seorang wakil [vicar], penguasa [master] rumah, pengurus rumah tangga kerajaan dari Israel kuno”. Dengan kata lain adalah jabatan Perdana Menteri.

Para sarjana Protestan lainnya mengakui hal ini juga, bahwa ketika Yesus memberikan kepada Petrus kunci kerajaan Surga, Petrus sedang menerima jabatan Perdana Menteri, yang berarti otoritas dinastik dari Anak Daud, yakni Yesus, Raja Israel namun juga sebuah jabatan dimana terdapat suksesi dinastik. Ketika aku temukan hal itu, ini seperti kain penutup mata yang jatuh. Dalam beberapa minggu kemudian aku telah dapatkan bersama-sama dengan seorang teolog Protestan, yakni seorang anti Katolik dan menghabiskan sepuluh jam bersamanya dan kemudian dalam sebuah mobil Mersedes kami berkeliling selama dua jam dan mempresentasikan kepadanya kasus ini, dan komentarnya hanya, “Itu pintar.” Tapi dia berkata, “Kamu tidak harus mengikuti seorang Paus karena hal tersebut khan ?”. Aku bilang, “Kenapa tidak ?” dan dia bilang, “Yah, aku juga harus juga berpikir demikian”. Dia bilang, “Aku tidak pernah mendengar argumentasi ini sebelumnya”. Dan Aku berkata, “Ini salah satu dari argumentasi dasar yang Cajeton gunakan melawan orang-orang Protestan di abad 16 dan Cajeton adalah salah satu pembela iman Katolik yang terkenal dan kamu tidak pernah dengar dia sebelumnya ?” Aku bilang, “Aku tidak pernah dengar hal itu sebelumnya sampai aku temukan itu sendiri dan aku menemukannya dalam orang-orang ini. Dan dia bilang, “Ini pintar”. Pintar mungkin. Benar-benar mencerahkan, mengiluminasikan dan sangat menarik.

Lalu dia berkata beberapa hal lainnya. ”Hal ini adalah sangat penting,” Albright berkata, ”Dalam konteks yang lain, ketika hubungan displiner komunitas didiskusikan, maka simbol kunci tersebut itu menjadi hilang, karena perkataan Yesus tersebut diterapkan dalam contoh-contoh yang memiliki lingkup yang lebih luas”. Peranan Petrus sebagai pengurus kerajaan dijelaskan secara lebih jauh seperti halnya orang yang sedang menjalankan otoritas adminstratif seperti yang terjadi pada kasus sang pengurus rumah tangga di Perjanjian Lama yang memegang kunci.

Sekarang, apa yang dia dimaksudkan bahwa tidak ada di tempat lain ketika para Rasul lainnya menjalankan otoritas Gereja adalah kunci yang pernah disebutkan itu. Dalam Matius 18, para Rasul mendapatkan kuasa untuk mengikat dan melepaskan seperti Petrus dalam Matius 16, namun secara jelas tidak disebutkan adanya kunci. Hal ini cocok sekali bila diterapkan dalam model ini karena dalam kabinet seorang raja, semua menteri dapat mengikat dan melepaskan namun hanya Perdana Menteri yang memegang kunci yang dapat mengikat apa yang mereka lepaskan atau melepaskan apa yang telah mereka ikat. Secara akal sehat, Petrus mengeluarkan keputusan akhir. Dia sendiri memiliki otoritas final dari pengadilan banding dan bahkan orang-orang Protestan dapat melihatnya.

Kenyataanya, aku menemukan kutipan ini dalam Martin Luther dari tahun 1530, bertahun-tahun setelah dia meninggalkan Gereja, “Mengapa kalian menunjuk surga ketika mencari kunci ? Tidakkah kalian pahami, Yesus berkata, “Aku memberikan kunci tersebut kepada Petrus. Kunci tersebut adalah kunci surga, tetapi kunci tersebut tidak ditemukan di dalam Surga karena telah Aku tinggalkan di bumi ini”. Inilah yang Yesus bicarakan, “Mulut Petrus adalah mulutKu, Lidahnya adalah perkara utamaKu, kuncinya adalah kunciKu”. Kunci tersebut adalah sebuah jabatan. Luther bahkan mengerti hal itu,”Kunci tersebut adalah suatu kekuasaan, perintah yang diberikan oleh Allah melalui Kristus kepada semua orang Kristen untuk mengkontrol dan mengampuni dosa manusia”. Satu hal yang tidak diakui oleh Luther adalah adanya suksesi setelah Petrus meninggal, yang justru ditunjukkan oleh kunci tersebut, latarbelakangnya adalah Perjanjian Lama.

Salah satu sarjana Alkitabiah dari Gereja Reformasi di abad ini, Herman Liderboss, seorang sarjana Eropa, dalam komentarnya tentang Matius berkata [ini seharusnya kukatakan beberapa menit yang lalu], “Perbedaan kecil antara dua kata ini, yakni petra dan petros, tidak memiliki arti penting yang khusus. Penjelasan yang paling mungkin diberikan untuk perubahan dari petros, Petrus, bersifat maskulin kepada petra adalah bahwa petra ialah kata yang lazim digunakan untuk batu karang, karena akhiran feminim dari kata benda ini tidak cocok sebagai nama seorang laki-laki; tetapi Simon tidak dipanggil Petra melainkan Petros. Tidak ada alasan baik apa pun bahwa Yesus mengubah nama dari petros menjadi petra hanya untuk menunjukkan bahwa Dia tidak berbicara tentang seorang laki-laki bernama Petrus namun Yesus berbicara tentang pengakuan iman Petrus sebagai fondasi Gereja. Kata “di atas batu karang ini”, petra, jelas-jelas mengacu kepada Petrus. Sebab wayhu yang dia terima dan pengakuan yang memotivasi di dalam diri Petrus, maka Petrus lah yang ditunjuk oleh Yesus untuk meletakkan fondasi bagi Gereja masa depan.

Salah satu sarjana Evangelical yang hebat, seorang Non Katolik di Amerika, Prof. Donald Carson dari Sekolah Evangelical Trinity dalam bukunya yang berjudul “God With Us [Allah bersama Kita], tentang tema di Matius, sang Prof. tersebut berkata, “Yesus hanya memakai permainan kata-kata untuk mengatakan bahwa Petrus adalah batu karang yang diatasnya Yesus akan mendirikan GerejaNya”. Sekarang Dr.Carson bukanlah seorang apologist Katolik. Dia mencoba untuk membuat argumentasi melawan iman Katolik, aku yakin itu, tetapi dia orangnya jujur dan aku pikir dia juga perlu dihormati sebagai salah seorang sarjana dalam menetapkan bukti yang nyata dalam kesimpulannya.

Hal ini membawa seorang Evangelical Protestan dari Jerman, Gerhardt Meier, yang menulis sebuah buku terkenal dimana banyak orang Protestan konservatif mengacu kepadanya, “The End of Historical Critical Method” [Akhir dari Metode Kristis Historis]”. Dalam artikelnya, “Gereja dan Injil Matius”, Gerhardt Meier berkata di halaman 58 sampai 60, “Saat ini, konsensus yang luas telah muncul dimana ada hubungannya dengan kata-kata di teks Injil sebagai penerapan janji kepada Petrus sebagai seorang Pribadi”. Ini adalah gaya orang Protestant bicara. “Pada poin ini para teolog konservatif dan liberal sepakat”, dan Meier menyebutkan beberapa teolog Protestan dari sisi liberal sampai dengan konservatif. “Matius 16:18 seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai gereja lokal. Gereja dalam Matius 16:18 adalah entitas universal, yakni umat Allah. Terdapat banyak konsensus yang berkembang saat ini bahwa ayat yang berkaitan dengan kekuasaan kunci ini berbicara tentang otoritas untuk mengajar dan mendisiplinkan bahkan termasuk untuk membebaskan dari dosa”. Prof. Gerhardt Meier adalah seorang Protestan yang tidak memiliki kepentingan dengan mendukung klaim Gereja Katolik namun sebagai seorang sarjana yang jujur, dia mengakui bahwa Petrus lah satu-satunya orang yang Yesus berikan Kuasa.kepadanya. “Petrus adalah si batu karang dan kunci tersebut menandakannya, bukan hanya kuasa displiner untuk mengajar namun bahkan untuk menghapus dosa. Dengan segala hormat kepada para Bapak Reformasi Protestan, kita harus mengakui bahwa janji pada Matius 16-18 itu ditujukan kepada Petrus dan bukan kapada iman seperti Petrus. Sebagai seorang teolog Evangelical khususnya, kita seharusnya melihat diri kita sendiri secara tidak memihak dan mengakui bahwa kita cenderung bertindak tanpa alasan terhadap konsepsi individualistik dari iman. Untuk mengakui otentisitas Matius 16:17 dan mengikuti permintaan yang kita kembangkan dari injil berdasarkan eklesiologi atau doktrin Gereja.

Gerhardt Meier sedang menunjukkan, sebagai seorang sarjana yang jujur bahwa Gereja yang Yesus bicarakan adalah sebuah gereja universal, bukan hanya konggregasi [umat] lokal, ini juga adalah pandangan favorit dari apologist yang anti Katolik. Dia berkata, “Tidak, Gereja yang dibicarakan Yesus adalah gereja yang satu, kudus, yakni Gereja Katolik, sebuah gereja universal dan si batu karang yang kepadanya akan dibangun Gereja adalah Petrus, bukan pengakuan iman Petrus dan kunci yang Yesus berikan kepada Petrus adalah kunci yang bukan hanya mengajar namun juga menghapuskan dosa”. Dia tidak berkata, “Yah, kita semua seharusnya menjadi orang Katolik, namun kita harus jujur untuk memberikan kepada orang-orang Katolik sebuah poin. Karena apabila kita jujur dalam menginterpretasikan Alkitab, kita harus mengakui adanya kesimpulan seperti ini.

Seorang professor Lutheran lainnya, seorang professor alkitab dan teologi di Seminari Concordia di Hong Kong, Torg Forberg menulis dalam sebuah artikel yang berjudul “Peter, High Priest of the New Covenant” [“Petrus, Imam Besar dalam Perjanjian Baru”]. Forberg bersikeras bahwa Yesus adalah Imam Besar terakhir dalam Perjanjian Baru, namun dia bilang, “Petrus dipresentasikan seperti suksesor [pengganti] Imam Besar dalam tradisi yang digunakan oleh redaktur akhir, Matius 16:13-19. Petrus berdiri seperti seorang kepala Rabbi yang mengikat dan melepaskan dalam pengertian menyatakan bahwa sesuatu itu dilarang atau diijinkan. Petrus dilihat sebagai rekan Imam Besar. Dia adalah wakil tertinggi bagi umat Allah”. Ini adalah kesaksian seorang Protestan.

Di tempat lain aku temukan dalam “The Interpreter’s Bible” [Injil Penafsir], “Kunci kerajaan akan diberikan kepada kepala pelayan dalam rumah tangga kerajaan dan kunci itu secara paripurna menunjukkan otoritas, kekuasaan tanpa batas, suatu totalitas. Kekristenan pasca apostolic sekarang sedang dimulai untuk memberikan atribut kepada para Rasul sebuah hak prerogatif Yesus”. Seseorang yang menulis pada bagian ini dalam Injil Penafsir tersebut berkata, “Aku tidak berpikir secara pribadi bahwa Yesus pernah mengucapkan kata-kata tersebut”. Bagaimana Yesus dapat memberikan hak prerogratif kepada para Rasul yang adalah hak Dia “? Yah, Gereja selalu berkata bahwa Yesus mengucapkan hal ini dan apa yang Yesus berikan adalah karuniaNya sendiri, kuasaNya sendiri dan OtoritasNya sendiri kepada para Rasul.

Sekarang Bultmann, salah satu sarjana Alkitab Protestan yang terkenal dan controversial di abad ini berargumentasi bahwa hal yang tidak mungkin untuk menganggap Matius 16 sebagai suatu perkataan yang otentik dari Yesus. Dia berkata, “Bagaimana Dia telah memimpikan perkembangan masa depan dari konggreasi yang terorganisir dari para pengikutnya dan menunjuk bagi mereka Petrus sebagai pemilik kuasa untuk mengajar dan mendisiplinkan ? “Aku memiliki beberapa kutipan di sini. Aku tidak akan membahas semuanya, namun ijinkan aku menyimpulkan dengan sebuah kutipan dari seorang sarjana Protestan Inggris, J.N.D Kelly dalam bukunya, “Oxford Dictionary of the Popes” [“Kamus Oxford dari para Paus”]. Dia mengatakan, “Kepausan adalah smua institusi Barat yang paling tua dengan eksistensi yang tidak pernah putus selama 2000 tahun”.

Kita sekarang mencapai sebuah poin dalam dialog intelektual yang mengasyikan dimana beberapa poin esensial yang paling penting ialah sekarang sedang diakui dan diperkenalkan melalui kedua sisi. Namun aku harus katakan, sebagaimana Aku dengar pada tape yang berisi perdebatan yang diadakan di sepanjang negeri ini selama beberapa tahun terakhir, masih banyak orang-orang Protestan, atau aku maksud orang-orang Non Katolik yang begitu gigih menentang Gereja Katolik, maka mereka masih akan kembali kepada reaksi berlebihan dari orang-orang Protestan, kesalahpahaman orang-orang anti Katolik dan mereka menggunakan paham tersebut.

Seorang teman baikku dalam sebuah debat baru-baru ini dengan seorang Protestan yang memakai teknik debat kanan dan kiri, bahkan setelah perdebatan tersebut. Kawanku menghampiri dia dan berkata, “Apakah kamu pikir, meskipun kamu berpendapat bahwa Petrus bukanlah si Batu Karang karena kau mengutip hal ini dan itu dan hal-hal lainnya, apakah kau berpikir bahwa Petrus adalah si Batu Karang ? dan si pendebat Anti Katolik itu menjawab, “Ya tentu Aku pikir demikian !” Meskipun dia telah berpendapat melawan posisinya tersebut, dia memegangnya untuk diri sendiri. Dia hanya ingin meruntuhkan ajaran Katolik. Ada konsensus yang luas muncul, dan ini adalah fondasi yang kuat dan menyakinkan bahwa kita dapat membangun di atas diskusi dan dialog. Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang berlebihan, tetapi Aku pikir ini adalah poin yang sangat sangat penting.

Keberatan yang lazim terhadap Infalibilitas Paus

Sekarang, aku akan bergerak menjelaskan di luar Matius 16 dan mempertimbangkan beberapa faktor lain yang juga ikut memainkan peranannya. Pertama, ijinkan aku untuk membuang beberapa keberatan yang mungkin ada dalam pikiran kalian. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa tidak salah [kebal salah] ? Bukankah infalibilitas adalah hak prerogatif Allah sendiri ? Lalu sebagai orang Katolik Aku pikir kita seharusnya mengakui Maria yang tidak pernah berdosa, meskipun kita tidak pernah mengatakan bahwa Paus yang kebal salah tersebut tidak pernah berdosa. Mereka memang berdosa. Mereka bukannya tanpa cela; mereka tidak bersalah namun sebagai pribadi mereka berdosa. Sebagai pribadi manusia, mereka dapat berbuat kesalahan. Sebagai pribadi, mereka mungkin telah mengatakan pendapat yang salah di dalam pikiran mereka sendiri, namun Kristus mencegah mereka melalui Roh Kudus dalam Kasih Maha KuasaNya, dari mulai duduk di Kursi Petrus hingga mengajar hal yang salah sebagai orang beriman Katolik.

Pada akhirnya infalibilitas Kristus lah yang menjadi fondasi apapun yang kita nyatakan kepada para Paus. Seseorang bisa berkata, “tidak bisa salah ? Mengajarkan hanya kebenaran ? Melakukan kesalahan adalah manusiawi, namun memaafkan adalah ilahi. Kalian tahu kita tidak butuh infalibilitas. Kita tidak dapat memilikinya. Hal ini tidak manusiawi”. Yah, aku akan menjawab dua hal. Pertama, Apabila aku duduk dan menulis sebuah buku teks Aljabar dan kita mendapatkan bukti dari para pembaca di seluruh dunia dan mereka memeriksa buku tersebut secara teliti dan cermat dan setelah bertahun-tahun mereka tidak menemukan satu pun kesalahan, akankah kalian harus menyimpulkan bahwa buku ini tidak ditulis oleh manusia namun oleh Allah ? Buku tersebut tidak mengandung kesalahan. Tidak khan, jelas tidak. Aku maksudkan bahwa melakukan kesalahan adalah manusiawi, namun untuk menjadi manusia kita tidak semata-mata berbuat kesalahan dan selalu dan seterusnya berbuat salah. Memang kita dapat membuat kesalahan, namun kita tidak perlu membuat kesalahan, bukan ! Dan Allah dapat mencegah kita berbuat kesalahan demikian.

Kalian dengar orang-orang Protestan kadang-kadang bilang, seperti yang dulu selalu aku katakan, “Kalian tahu khan ide tentang infalibilitas ini bukan milik manusia. Tetapi kalian berpikir tentangnya di waktu yang lain. Orang-orang Kristen Non Katolik jarang mengakui bahwa Alkitab tidak bisa salah sebab para pengarang alkitabiah diberikan karunia infalibilitas : Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Petrus, Paulus, Jakobus, Yudas – semuanya menulis kebenaran yang tidak bisa salah. Kenyataannya, orang-orang Kristen alkitabiah bersikeras bahwa Alkitab sendiri adalah otoritas kita sebab Alkitab tidak bisa salah.

Yah, tanyakan saja kepada mereka. Apabila Allah dapat menggunakan ribuan pendosa untuk melakukan komunikasi secara benar tentang kebenaran yang tidak bisa salah, sehingga Gereja dapat memahami komunikasi tersebut sebagai kebenaran, yang adalah Roti Kehidupan, yang juga adalah Kristus sendiri dan seluruh ajaran Gereja, lalu apabila Allah dapat melakukan hal itu dengan para pendosa yang bersalah, seperti Petrus, Paulus, Yohanes dan Matius, tidakkah Allah tetap dapat melakukan hal itu ? Dengan kata lain, sudah pasti Allah itu mampu, dan apabila kalian melihat sekeliling bagaimana Gereja menyebar ke penjuru dunia dan bagaimana Gereja berjumpa dengan semua orang-orang gila sepanjang abad, apakah kalian beranggapan bahwa Yesus akan berkata, ”Yah, sekali aku berikan Alkitab yang tidak bisa salah ini kepada Gereja, maka tidak dibutuhkan lagi interpretasi yang tidak bisa salah dari alkitab. Gereja dapat memegang teguh keduanya bersama-sama dengan Alkitab yang tidak bisa salah”.

Oh yach ? Dalam kurun waktu 500 tahun, terdapat ribuan dan ribuan denominasi gereja yang menjadi terus-menerus berkembang sebab mereka hanya menekankan Alkitab. Ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan sebuah interpretasi yang tidak bisa salah dari Alkitab itu, bukan. Maksudku, dapatkah kalin membayangkan para pendiri Negara kita yang bersama-sama meletakkan Konstitusi A.S dan mengirimkan ke setiap warga Negara dan berkata, “jagalah dirimu sendiri. Bacalahlah sendiri; dan dengan semangat Washington kamu akan dibimbing kepada interpretasi yang tepat”. Kamu sebut apa hal ini ? Anarki. Maka kita tidak akan bertahan sebagai negara dalam waktu sebulan. Konstitusi menghasilkan struktur pemerintahan dengan adanya pengadilan banding akhir, yakni Mahkamah Agung, yang menjadi tempat terakhir dalam semua masalah interpretasi konstitusional.

Sekarang, hal tersebut berada dalam aspek manusianya. Apabila para pendiri Negara kita memiliki kebijaksanaan yang memadai untuk melihat kebutuhan Negara kecil ini dalam waktu 200 tahun ke depan untuk mendapatkan sebuah pengadilan banding akhir, berapa banyak lagi Kristus melihat kebutuhan untuk mendirikan dan menyatakan dalam Geerja dan meletakkan konstitusiNya bukan hanya kebenaran namun juga organ-organ resmi untuk menginterpretasikan dan menegakkan serta menjelaskan, mengajarkan dan memproklamasikan kebenaran itu. Hal ini sangat masuk akal. Ini bukanlah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Seseorang bisa berkata, “Yah, ide tentang Petrus yang berbicara ex-cathedra, ide ini sok tahu. Ide ini baru, belum pernah didengar sebelumnya”. Aku akan bilang, “Tidak. Ini bukannya ide baru”. Ketika Gereja mengajarkan tentang bagaimana Paus ketika dia berbicara dari Kursi Petrus, Ex Cathedra, “dari kursi atau dari katedra” [kita mendapatkan sebuah kata katedra dari tempat kediaman uskup yakni katedral] bahwa Gereja tidak menemukan sesuatu yang baru. Ajaran ini lebih bersifat membangun terutama pada ajaran-ajaran Yesus.

Tengoklah Matius 23, Ayat 1 dan 2, “Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Apa yang dimaksudkan Yesus ? Yesus berkata, “Ahli Taurat dan Orang Farisi”. Sekarang apa yang Yesus pikirkan tentang ahli Taurat dan orang-orang Farisi ? Yah, baca kelanjutan dari Matius 23 dan kalian akan menemukannya. Yesus lalu di bab ini akan menyebut ahli Taurat dan kaum Farisi itu “bodoh, munafik, pembimbing yang buta, jahat, dan kuburan dilabur putih”. Dia tidak berpikir terlalu jauh tentang ahli taurat dan kaum farisi, bukan ?

Tapi apa yang Dia katakan di sini ? “Ahli Taurat dan kaum Farisi duduk di kursi Musa”. Dengan demikain “kamu harus”, kalimat ini dalam bentuk imperatif, “Kamu harus melakukan dan menuruti apa yang mereka ajarkan kepadamu”. “Apapun yang mereka ajarkan”, kamu harus menuruti dan melaksanakannya. Mengapa ? Karena mereka duduk di katedral Musa. Kata Yunani adalah “cathedra”. Gereja ketika berbicara tentang otoritas Petrus dan para Paus berbicara secara ex-cathedra adalah hanya meminjam dari ajaran Yesus.

Sekarang, aku menantang siapa pun untuk kembali kepada Perjanjian Lama dan menemukan teks yang eksplisit di Perjanjian Lama ketika kita menjumpai Musa mendirikan sebuah kursi, beberapa orang memberkati kursi, yang selalu akan memiliki penggantinya. Kalian tidak harus menemukan sebuah teks yang eksplisit berkata hal yang demikian. Lalu mengapa Yesus mengacu kepada teks tersebut ? Sebab terdapat tradisi lisan, bahkan dalam Perjanjian Lama, yang dipakai oleh Allah untuk mentransmisikan terma esensial tertentu dimana perjanjian keluarga Allah membutuhkan dan bergantung pada kehidupannya. Yesus tidak mengutip sebuah teks. Dia hanya mengajukan sebuah tradisi lisan yang sudah dikenal yang Dia asumsikan kaum Farisi dan ahli Taurat ketahui begitu juga dengan para pendengarNya. Dia tidak berasumsi bahwa mereka mengetahui hal ini, Yesus berasumsi bahwa mereka akan tunduk pada tradisi tersebut dan mereka telah tunduk pada hal tersebut. Ini semata-mata mereka telah mengalami problematika karena imam dan uskup di Perjanjian Lama kadang-kadang bermasalah sebagaimana imam dan uskup di Perjanjian Baru. Tapi mengapa kita mengikuti ketentuan ini ? Karena imam dan uskup tersebut memiliki pesona [charm] dan karisma [charism] ? Tidak, karena Yesus Kristus telah menetapkan dalam Perjanjian Lama kursi Musa yang digantikan dalam Perjanjian Baru dengan kursi Petrus.

Dalam Perjanjian Lama kita tidak mendapatkan pengungkapan secara penuh dari semua wahyu namun dalam Perjanjian Baru Yesus menceritakan kepada kita bahwa Dia akan menuntun kita dalam seluruh kebenaran. Kita tidak mengatakan bahwa Musa dan penerusnya tidak bisa salah karena kepenuhan kebenaran tidak diberikan. Namun sekali kepenuhan itu berikan kepada para Rasul dan penerusnya, kita dapat melihat mengapa Yesus menjamin bahwa alam Maut tidak akan mampu mengatasi Gereja. Mengapa ? Sebab apa yang Yesus percayakan kepada katedral ini, yakni kursi Petrus, kursi Petrus di Roma.

Ini merupakan suatu jaminan bagi kita apakah Yohanes XI dan Yohanes XII, dua dari Paus yang paling berdosa dalam sejarah kepausan atau katakanlah Alexander VI; maksudku katakanlah orang-orang ini brengsek. Kita telah mempunyai beberapa Paus yang brengsek. Di luar ratusan Paus, adalah hal menakjubkan untuk berpikir bahwa ternyata hanya ada tiga atau empat paus yang brengsek yang menimbulkan kegelisahan kalian. Namun apakah hal ini menyebabkan kalian menjadi tidak yakin dalam mendengarkan pengganti Petrus, Wakil Kristus, yakni Paus ? Jelas tidak sama sekali. Untuk satu hal, kalian dapat bersyukur bahwa paus-paus yang brengsek ini terlalu sibuk untuk berdosa bahkan ketika berusaha untuk mengajar dari kursi Petrus. Mereka tidak demikian halnya, mereka membawa kebingungan yang besar atas Gereja yang dengan begitu ada dalam kondisi tercela.

Tapi mari kita pertimbangkan fakta berikut. Yesus memilih duabelas Rasul, bukan ? Dan bagaimana dengan mereka ? Salah satu dari mereka adalah Yudas. Apakah Yesus tidak tahu sebelumnya tentang Yudas? Aku yakin, Dia pasti tahu. Lalu kenapa Yesus tetap memilih Yudas ? Mungkin agar kita siap kalau ada imam-imam seperti Yudas di generasi-generasi mendatang.

Kedudukan Petrus dalam Gereja perdana

Tapi apa yang Gereja lakukan setelah Yesus naik ke Surga, setelah Yudas bunuh diri ? Tengoklah Kisah Para Rasul 1 untuk melihat apa yang Gereja lakukan sebagai respon terhadap kematian Yudas dan kepergian Yesus. Hal ini sangat menarik dan penting sebab Petrus berdiri dengan sebelas orang dalam Ruang Atas, ayat 15, dan Petrus berbicara tentang kematian Yudas dan dia berkata, “sudah diketahui sebelumnya dan telah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama dan lalu apa yang seharusnya kita lakukan sekarang ?

Perhatikan bahwa Petruslah yang berdiri. Dia bukan hanya memberikan kontribusi pendapatnya. Ketika Petrus menyatakan sebuah pendapat maka itu mengikat dan segera ditindaklanjuti, persis apa yang ia nasihatkan. Dan apa yag dia nasehatkan ? Dia mengutip Mazmur, “Biarlah perkemahannya menjadi sunyi, dan biarlah tidak ada penghuni di dalamnya”. Tapi dia tidak berkata, “hei teman-teman, jumlah kita sudah berkurang nih dari duabelas menjadi sebelas orang”. Lebih baik kita berkumpul bersama-sama sekarang atau kita saling berpisah. Tidak, kita tinggal sebelas orang dan hanya kitalah mulai saat ini. Dia tidak berkata demikian, bukan.

Dia berkata, “jabatannya, biarlah diambil orang lain”. Atau seperti dalam versi Alkitab King James dikatakan, “Biarlah jabatan uskupnya [bishopric] diambil orang lain”. Ada kata episkopat di sana, dimana kita mendapatkan kata episkopasi [keuskupan] atau episkopal. Ini adalah kata untuk seorang uskup. Dengan kata lain, terdapat jabatan episkopal yang sekarang kosong dan lowong. Petrus berdiri dan berkata, ”Yah nampaknya secara otomatis sesuai dengan garis dalam tradisi Perjanjian Lama, sejalan dengan praktek suksesi patriarkal dalam Perjanjian Lama di setiap level dalam keluarga Allah, bukan hanya berhenti pada saat Musa saja dan benihnya serta para penggantinya namun juga ketujuhpuluh tua-tua ketika mereka meninggal mereka meninggalkan jabatan kosong yang harus diisi,” Petrus yang baru saja mengajukan permohonan terhadap keteladan Perjanjian Lama kemudian berkata, ”biarlah orang lain mengambil jabatan uskupnya [bishopric], kedudukannya.

Mereka membuang undi dengan mereka memilih Matias. Tidak ada perdebatan, tidak ada sesuatu yang baru. Kesepuluh orang lain tidak berkata, “Huh, apa yang sedang kamu bicarakan Simon ? Kejadian ini aneh”. Tidak, mereka memahaminya namun lebih-lebih mereka tunduk. Tidak ada perdebatan, tidak ada diskusi.

Perhatikan juga Kejadian 2, tanggungjawab Petrus, bukan hanya mencakup kesepuluh orang Rasul namun juga seluruh Yerusalem. Dialah satu-satunya yang menyampaikan kotbah pertama, yakni pada saat Pentakosta, ayat 14. Petrus adalah jurubicara bagi Gereja kepada dunia di peristiwa Pentakosta.

Lalu kalian tengok dalam bab 3, kita melihat kotbah kedua Petrus. Kita juga melihat bahwa Petrus menjadi instrumen dimana mujizat kesembuhan pertama kali telah terjadi, pada orang yang lumpuh kakinya, yakni di bait Allah Yerusalem di portico yang disebut Bait Salomo.

Lalu dalam bab 4, kita lihat Keutamaan Petrus muncul bahkan lebih jauh lagi ketika dia menyampaikan otoritas pengajarannya kepada majelis Yahudi, kaum Saduki. Dia sedang diadili ketika itu, jadi dengan begitu kalian pikir Petrus akan bersikap defensif. Dia rupanya ingin mempertahankan pendapatnya dan berkata,”wah saudara-saudara, kalian tahu khan, jangan membahas hal ini dong”. Tapi Petrus tidak berkata begitu. Dia malah menuduh kaum Saduki yang telah menyalibkan Tuhan Yesus. Petrus menjalankan otoritas tertingginya atas majelis Yahudi tersebut. Sidang tersebut malah terkejut ! Memang si nelayan ini pikir siapa dirinya itu ? Wakil Kristus atas seluruh keluarga Allah. Dan mereka dibebaskan. Mereka terheran-heran atas keberanian Petrus.

Lalu dalam Kejadian 5, Ananias dan Safira, dua anggota Gereja yang makmur, menjual sebagian tanah dan kemudian berbohong tentang berapa banyak uang yang mereka berikan kepada Gereja. Petrus berkata kepada Ananias, “Apa yang kamu lakukan ?”, jawab Ananias, “yah, aku telah memberikan seluruh uang itu”. Lalu Petrus berkata, “Kamu telah mendustai Roh Kudus”. Ananias menjawab, “Tidak, kami hanya berdusta kepadamu Petrus”. Tapi tidak begitu caranya. Dalam berdusta kepada Petrus, Ananias juga berdusta kepada Roh Kudus dan kepada Gereja. Lalu rebahlah Ananias dan matilah dia ! Beberapa saat kemudian istrinya Safira datang menyusul. Petrus berkata, “Apa yang telah terjadi ?”Oh, kami telah menjual tanah dengan harga sekian dan kami telah memberikan seluruh uangnya”. Dan kata Petrus, “Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di depan pintu dan mereka akan mengusung engkau juga ke luar”. Lalu rebahlah Safira dan mati ! Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu.

Tidak heranlah kita. Janji Petrus nampaknya nyata dalam peristiwa ini. Maksudku adalah keutamaan Petrus ditampakkan bagi seluruh Gereja dan seluruh dunia serta seluruh orang Yahudi untuk dilihat dan diperhatikan. Dan begitulah seterusnya. Kita lihat Petrus, sebagai contoh dalam Kisah Para Rasul 11 dan 12 bahkan sebelumnya yakni Kisah 8, pertama kalinya orang setengah keturunan Yahudi, yakni orang Samaria yang dibawa masuk ke dalam Gereja. Mereka dibaptis. Sang Firman menggapai Yerusalem dan bahwa orang-orang setengah keturunan Yahudi ini, kaum Samaria sedang masuk ke dalam Gereja. Kemudian, apa yang mereka lakukan ? Mengutus Petrus dan Yohanes. Mereka pergi ke sana dan apa yang mereka lakukan ? Yah, melakukan semacam tindakan Krisma, di sini. “Mereka menumpangkan tangan”, ayat 14. “Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah Samaria telah menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke situ. Setibanya di situ kedua rasul itu berdoa, supaya orang-orang Samaria itu beroleh Roh Kudus”. Mereka dibaptis namun mereka tidak menyadari rahmat tambahan yang sering kita asosiasikan sebagai sakramen Krisma. Kemudian terjadi penumpangan tangan. Mereka menerima Roh Kudus dan Simon Magus mencoba membeli rahmat itu dan Petrus memarahinya.

"Binasalah uangmu,” ayat 20. “Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang. Tidak ada bagian atau hakmu dalam perkara ini, sebab hatimu tidak lurus di hadapan Allah. Jadi bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini. Pada titik ini, Simon Magus mungkin telah mendengar kejadian yang menimpa Ananias dan Safira. “Hendaklah kamu berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah kamu katakan itu”. Maksudku bahkan kalau sebagian orang tidak melihat janji Petrus, setidaknya Simon Magus, orang sesat pertama dalam Gereja yang seperti itu. “Hendaklah doakan aku supaya aku tidak menjadi seperti Ananias dan Safira berikutnya”.

Kisah 11, sekarang kita tidak berbicara mengenai keturunan orang Yahudi, sekarang kita berbicara tentang bangsa-bangsa lain, orang-orang kafir, bahkan orang-orang Yahudi sering menganggap mereka mirip seperti binatang. Kornelius, orang Kafir pertama yang menjadi pengikut Yesus akan diterima dalam Gereja ? Hal ini tentunya akan menjadi skandal. Apa yang akan dilakukan oleh Roh Kudus ? Menyuruh pertama-tama Petrus untuk mengesahkan Kornelius dan mengakui orang kafir pertama tersebut menjadi orang Kristen.

Lalu Petrus memperoleh penglihatan ini dan dalam Kisah 10 dan 11, aku katakan demikian, bahwa Petrus mendapatkan penglihatan ini : dia diperintahkan oleh Allah dalam penglihatan untuk menyembelih dan makan binatang najis yang menjadi simbol orang kafir. Dia berkata, “Aku tidak pernah melakukan hal itu”. Setelah tiga kali berkata demikian akhirnya ia menjawab, “Ok, ok, aku akan lakukan itu”. Dan orang-orang kafir itu datang dan berkata, “Kita diutus oleh Kornelius, orang kafir Centurion [Yope]”. Dalam sebuah mimpi, dan penglihatan, Tuhan berkata kepada Kornelius, “Kirimlah orang yang bernama Petrus”. Lalu Petrus pergi ke sana dan apa yang terjadi ? Yah, Petrus pergi ke rumah ini dan dai merasakan, di ayat 34, dia berkata setelah dia membaptis Kornelius,” “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.

Lalu Petrus pergi duluan, menyampaikan khabar baik, membaptis orang-orang kafir dan mengakui orang non Yahudi pertama ke dalam pangkuan Gereja. Dan maksudku, peristiwa ini mungkin telah menjadi sebuah krisis besar tapi bukan sebuah kegagalan praktisnya. Tapi lihatlah bab 11 ayat 2, “Ketika Petrus tiba di Yerusalem, orang-orang dari golongan yang bersunat berselisih pendapat dengan dia. Kata mereka: “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka”. Tetapi Petrus menjelaskan segala sesuatunya dan katanya, “Hei, Allah yang menyuruhku berbuat demikian”. Itulah Petrus dan mereka berhenti berdebat.

Tetapi krisis muncul dalam masalah yang lebih besar lagi dalam ayat 15. Kita tahu bahwa ada Konsili Yerusalem yang termasyur itu dimana ada perdebatan hebat yang sempat memecah belah Gereja. Kepada bangsa-bangsa kafir, apakah kita perlu menyunatkan mereka atau tidak ? Yah, mungkin kalian bisa bilang, “Apa pentingnya hal itu ?”. Yah, bapak-bapak, kalau kalian pada saat itu berumur 20-an tahun, 30-an tahun, 40-an tahun dan kalian mempertimbangkan untuk bertobat dan masuk Kristen dan bersamaan dengan pertobatan kalian itu, kalian harus disunat, maka kalian mungkin berhenti berpikir lebih lama tentang sunat tersebut daripada kalian lebih baik dibaptis, bukan ? Ada semacam tujuan tragis dibalik semua ini. Tetapi perhatikanlah, ketika perdebatan itu panas, tiba-tiba sekali perdebatan itu berhenti. Dimana ? Ayat 6 dan 7, “Para Rasul dan penatua-penatua bertemu bersama. Setelah berdebat panjang Petrus berdiri dan berkata kepada mereka,“ dan pada dasarnya Petrus berkata bahwa Roh Kudus memurnikan hati mereka lewat baptisan, sunat tidak dibutuhkan maka semua perdebatan berakhir ! Satu hal yang diikuti adalah bahwa Yakobus, Uskup Yerusalem menambahkan persyaratan bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi orang-orang Yahudi akibat adanya bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah. Perdebatan berakhir. Petrus telah berbicara.

Sekarang kalian mungkin berkata, “Yah, ini khan hanya Petrus”. Tidak, kunci mensimbolkan suksesi, dimana sebuah jabatan yang ditinggalkan lowong harus diisi. Ini adalah sesuatu yang dipahami oleh Gereja. Ini adalah sesuatu yang dikenali oleh Gereja perdana. Aku hampir tidak memiliki waktu untuk membahas hal ini, tetapi aku punya semua kartu-kartu catatan mengenai Gereja perdana, setelah kematian Rasul terakhir, bahwa ada pengakuan bahwa Uskup Roma lah yang memiliki otoritas Petrus dan bersifat final dan mutlak.

Bapa-bapa Gereja Perdana mengakui Primasi [Primat] dan Suksesi Paus

Clement dari Roma, sekitar tahun 96, menulis kepada umat di Korintus mengenai perpecahan, “Tetapi kalau ada seseorang yang melanggar kata-kata yang diucapkan olehnya, yakni Petrus melalui kami”. Ingatlah Linus, Cletus, Clement, Sixtus ? Mereka adalah paus-paus pertama.

Ireneus, tulisannya dalam abad ke-2 berkata, “Setiap orang yang berkeingian baik membedakan kebenaran akan melihat bahwa dalam setiap Gereja di seluruh dunia, suksesi Apostolik adalah jelas dan nyata”. Kita lihat dalam Kisah 1. Maksudku, apabila jabatan Yudas ketika lowong diisi oleh seorang pengganti, lalu kenapa kita harus menjadi malu dan kehilangan iman apabila kita tahu seorang Paus itu brengsek ? Kalian tahu, kalian bisa bilang, “Paus seharusnya tidak boleh brengsek”. Aku berkata, “Yah, dan amin”. Tapi Yesus tahu bahwa ini tidak akan menjadi porsi kekuatan dan otoritas manusia bahwa keduanya membuat Gereja. Itulah sebabnya kenapa Yesus memilih seorang Yudas pada kesempatan pertama, untuk menjamin hati kita bahwa siapa pun yang menduduki kursi apostolikNya, apakah itu Petrus atau Rasul lainnya, yakni para UskupNya, bahwa hanya dengan Kasih KuasaNya yang diperuntukkan demi KeluargaNya yang menuntun kita pada kebenaran, apa pun yang akan terjadi.

Lanjut Ireneus, “Kita dapat menghitung satu per satu mereka yang ditunjuk menjadi Uskup dalam Gereja-gerja oleh Para Rasul dan para penggantinya sampai hari ini namun ini akan memakan waktu lama bahkan dalam bentuk sebuah buku kalau kita menghitung para pengganti tersebut di seluruh gereja di sepanjang sejarah, maka Aku hanya akan menunjukkan tradisi Apostolik dalam iman yang diberitahukan seluruh umat manusia”. Lanjutnya lagi, berbicara mengenai dua orang Rasul agung, Petrus dan Paulus di Roma – Aku tidak akan membaca seluruh kutipan, lanjutnya. Tetapi kita lihat juga Ireneus dalam abad ke-2 menekankan para Uskup sebagai pengganti-pengganti para Rasul dan Uskup Roma, secara khusus sebagai pengganti Petrus.

Tertulianus dalam akhir tahun 100 dan awal tahun 200 Masehi berkata, “Adakah sesuatu yang disembunyikan dari Petrus yang disebut Batu Karang dimana Gereja akan dibangun di atasnya, yang juga memperoleh kunci kerajaan surga bersama-sama dengan kuasa untuk mengikat dan melepaskan di surga dan bumi ?

Origen, di akhir tahun 100 berbicara tentang Petrus sebagai yang pertama sebab, “Dia lebih dihormati dari yang lainnya”.

St. Cyprianus berbicara tentang Gereja Roma yang dididirikan di atas Petrus yang menetapkan kursinya di Roma. Dia berbicara tentang Gereja di Roma sebagai Gereja Ibu/Induk [Mother Church] yakni, “akar universalitas dan Katolisitas”.

Hilarius di tahun 300-an berbicara tentang fondasi Gereja di atas Batu Karang yang daripadanya Gereja dibangun. Dengan kata lain, Bapa-bapa Gereja perdana mengakui hal ini. Seorang sejarawan Protestan, Goodspeed, dalam buku sejarahnya berkata, “Klaim primat diantara uskup-uskup sebagai kepalanya telah dimulai pada zaman Paus Victor di abad ke-2 dan berkembang di bawah Paus Kalistus yang mengklaim kuasa kunci dan mencapai puncaknya di bawah Paus Stephen pada abad ke-3, yang mengakui bahwa ia mengisi kursi St. Petrus”. Bakan kini Cyprianus, ketika dia bertentangan dengan Stephen sebagai Paus, tidak menentang otoritasnya namun hanya berbeda pendapat saja. Dan akhirnya, Karena Cyprianus adalah St. Cyprianus, maka dia tunduk pada Paus yang karenanya dia menjadi seorang Kudus. St Cyprianus berkata, “Sebuah primasi diberikan kepada Petrus dan dengan demikian menjadi jelas bahwa tidak gereja lain selain Satu Gereja itu dan Satu Kursi.

Aku memiliki sekitar 30 kutipan dari para orang kudus Siriah dan Bapa Gereja, St. Ephraim. Dia satu-satunya yang mencapai awan-awan untuk menggambarkan otoritas Petrus dan para penggantinya di dalam Tahta Roma. Aku tidak memiliki waktu untuk membahas ini semua, namu aku bisa merekomendasikan 3 karya buku yang ditulis oleh Prof. Jurgens, yakni Iman Bapa-bapa Gereja [The Faith of the Early Fathers] dan ini terus berlangsung sepanjang sejarah Bapa Gereja dan banyak, banyak hal yang mereka tunjukkan bahwa mereka mengakui otoritas ini dalam diri seorang Paus. Agustinus, contohnya, “Bahkan beberapa penghianat merangkak ke dalam golongan Uskup-uskup yang ditarik dari Petrus, dirinya sendiri sampai kepada Anastasius yang sekarang menduduki Tahta yang sama ini, maka dia tidak merugikan Gereja”. Dia berbicara tentang kursi Petrus [cathedre Petri].

Ketika orang melihat Santo Agustinus, seorang bapa Gereja yang besar dan Bapa yang dijadikan acuan oleh orang-orang Protestan, Agustinus punya banyak hal yang dikatakan tentang Paus sebagai pengganti Petrus dengan segenap kuasa paripurnanya lebih dari siapa saja dalam tujuh abad pertama Gereja. Ini mengagumkan. Agustinus berkata, “Siapa yang tidak peduli bahwa kepala para rasul lebih disenangi dari setiap episkopat [keuskupan] ?” Tentang martabat Petrus dia berkata, “kepadanya primasi para Rasul bersinar dengan rahmat yang mumpuni”.

Keberatan lainnya : Kenapa Infalibilitas Paus Tidak Didefinisikan Sampai dengan tahu 1800-an ? Alkitab Tidak Pernah Menyebut Infalibilitas Paus.

Kini, kita bisa melanjutkan. Orang bisa bilang, “Tunggu dulu sebentar”. Kenapa infalibilitas paus tidak didefinisikan sampai dengan tahun 1800-an ? Alkitab tidak pernah menyebut infalibilitas paus”. Memang tidak. Tapi Alkitab tidak pernah menyebut Trinitas juga khan. Dan semua orang Kristen non Katolik menegaskan Trinitas. Kenapa kata “Trinitas” tidak dipakai ? Yah, sebab kata Trinitas tidak perlu sampai adanya ajaran sesat muncil dan memaksa Gereja untuk memformulasikan dan mempertahankan doktrin Allah, satu Allah dalam Tiga Pribadi yang cukup dan memadai. Pada poin ini, mereka sepakat pada satu terma yang membantu, “Tri-unitas” atau Trinitas begitu.

Begitu juga, di Matius 16 dan jaminan tanpa syarat bahwa Yesus memberikan kepada Petrus, sang penerima kunci, alam maut pun tidak akan mengatasi Gereja yang dibangun di atas Batu Karang. Alam maut tidak akan mengatasi Petrus dan para penggantinya. Yah, alam maut memiliki kuasa yang berasal dari kesalahan [error], dari kesesatan, sampai kepada kepalsuan, yakni bapa segala dusta. Apabila orang yang berdusta diijinkan masuk ke dalam ajaran Gereja yang murni dan kudus, maka ini seperti halnya mengambil kaca jendela dan meletakkan kaca yang rusak itu ke dalamnya. Aku beritahu apa yang terjadi. Ketika aku sedang mengendari mobil di jalan tol Milwaukee, ada batu kerikil loncat dan menyentuh pelindung angin lalu timbullah retakan kecil. Apa yang terjadi ? Dalam beberpa bulan kemudian, istriku akan bercerita, bahwa retakan itu semakin besar dan kita harus menggantinya sebab kemungkinan seluruh bagian kaca mobilku sudah pecah.

Kesimpulan

Apabila ada orang yang melakukan satu kepalsuan, yang didefinisikan sebagai kebenaran, maka alam maut telah mengatasinya. Kristus telah memberikan kita jaminan tanpa syarat bahwa alam maut pun tidak akan mengatasinya karena Dia akan mendirikan GerejaNya di atas Petrus dan para penggantinya, Batu Karang, batu fondasi. Ini memberikan kita keyakinan karena keluarga Allah di bumi ini tidak pernah ditinggal tanpa seorang figure ayah yang mengajar dan membantu kita.

Kini, apabila ada orang yang bertipikal seperti Yudas menduduki kursi Petrus, sebaiknya kalian percaya bahwa Allah akan mencurahkan berlimpah-limpah Roh Kudus untuk melindungi anak-anakNya dan melihat bahwa si brengsek tersebut keluar, cepat-cepat. Dan kenyataannya memang demikian. Dan bahwa orang-orang ini disingkapkan. Setiap sejarawan Katolik akan mengakui bahwa Paus tertentu, sangat sedikit sekali yang merupakan orang-orang brengsek yang bertindak keterlaluan bahkan mengacuhkan ajaran Gereja. Bersyukurlah kepada Allah. Tapi hal ini memberikan kita semacam keyakinan bahwa kita memerlukan putra-putri Allah untuk mendengarkan Bapa Suci, Yohanes Paulus II [atau sekarang Benediktus XVI – red], dan menyimak suara Kristus sebab rahmat mengagumkan yang diberikan kepada Paus adalah salah satu dari banyak rahmat yang diberikan Kristus kepada kita atas pengurbananNya.

Mari kita simpan hal ini. Mari kita berharap terus dan hidup dengan rahmat dan kuasa Allah. Dalam nama Sang Bapa, Sang Putra, dan Sang Roh Kudus, kita berdoa, Bapa Kami. Dst.

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...