Rabu, 09 September 2009

Tentang Sayap-sayap Yang Melebar

*) Khotbah Paus Benediktus XVI di Bagnoreggio

ROME, SEPT. 7, 2009 (Zenit.org).- Kadang-kadang kita berpikir bahwa problem fisik, materi adalah problem-problem yang utama.

Hal ini disebabkan problem-problem itu menjadi bukti kita, tepat di depan mata kita. Sebagai contoh: Hujan turun, oleh karenanya kita butuh atap; musim dingin tiba, kita perlu menyimpan persediaan makanan; seorang bayi mengalami demam maka kita butuh obat-obatan atau apapun untuk menghilangkan demamnya.

Tetapi kalau kita mengamati Injil, dan apabila kita menimbang hidup kita sendiri, kita mulai mengenali bahwa problem utama terbesar adalah masalah spiritual.

Dan hal ini yang menyebabkan mengapa kita melihat Yesus sering sekali melakukan penyembuhan penyakit fisik, menyembuhkan orang buta dan tuli – hal-hal ini kita dengar dalam bacaan Injil di hari minggu (Markus 7:34) ketika Dia berbicara dalam bahasa Aramaic ”Ephphatha” (”Terbukalah”) dan telinga orang tuli itu akhirnya bisa mendengar. (Ada juga tiga kejadian dimana Markus mencatat Yesus berbicara dalam bahasa Aramaic; seperti “Talitha cum” – hai anak kecil, bangunlah! – dalam Markus 5:41; dan pada saat penyaliban (Markus 15:34) ketika Yesus berteriak keras “Eloi, Eloi, lama sabachtani!” – Allahku, ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan daku?”.

Inilah sebabnya mengapa Yesus mengampuni dosa manusia

Sebab jatuh dalam dosa menghantarkan kita kepada rasa putus asa dan bahkan ke kematian. Dosa adalah beban berat yang ingin dihapuskan oleh Yesus dari bahu manusia, dihapuskan dari hati manusia.

Dan tindakanNya mengampuni dosa manusia, di atas segala-galanya, yang membuat geram para pemimpin agama Yahudi pada jamanNya sebab Allah sendiri dapat mengampuni dosa-dosa kita.

Yesus membawa harapan. Dia membawa harapan bagi orang-orang buta, tuli dan sekarat bahkan Dia membangkitkan orang mati. Dia juga membawa harapan kepada orang-orang berdosa, kepada orang-orang yang secara spiritual mati. Dia juga membawa harapan adanya hidup baru bagi orang-orang yang jatuh seketika, bahkan gagal dan putus asa.

Benediktus XVI adalah Wakil Kristus, Pengganti Petrus

Demikian halnya, misi Paus Benediktus XVI dalam pengertian terdalam sederhananya adalah membawakan harapan kepada domba-dombanya. Benediktus XVI menghasilkan misinya sendiri dengan cara seperti ini, suatu misi membawakan harapan kepada dunia yang meski nampak kaya dan penuh kekuatan, namun secara spiritual miskin.

Misi Paus Benediktus XVI adalah misi yang membawa arti bagi mereka yang mulai percaya bahwa hidup itu tidak memiliki arti.

Dan ini adalah serangan besar yang dilakukan Benediktus untuk memerangi pertempuran antara “budaya hidup (culture of life) dengan “budaya mati (culture of death)”. Dia melakukan serangan atas nama makna hidup, atas nama “Logos” sejati yang artinya makna hidup itu sendiri. Dan dalam menjalankan misi ini, Benediktus membawa harapan bagi mereka yang tak punya harapan.

Pada hari minggu sore, Paus Benediktus berada di kota kecil berbukit yang bernama Bagnoreggio, tempat kelahiran St.Bonaventura untuk melanjutkan misinya saat ini.

Dan di homilinya itu, Paus menyampaikan khotbah tentang harapan yang begitu indahnya dan patut untuk diingat terus-menerus.

Bonaventura hidup dalam tahun 1.200, waktu jaman Pertengahan ketika Eropa sedang membangun katedral-katedral yang megah dan mendirikan universitas yang masih menakjubkan dan menguntungkan kita saat ini.

Bonaventura lahir tahun 1221 dan hidup sampai tahun 1274 namun dalam setengah abad hidupnya yang singkat itu dia menjadi salah satu teolog hebat Katolik sepanjang masa.

Hari minggu lalu, Benediktus XVI merayakan Bonaventura sebagai pembawa pesan harapan.

Bapa Suci berbicara bagaimana Giovanni Fidanza – nama Baptis Bonaventura – menjadi “Fra Bonaventura,” seorang rahib fransiskan dan pada akhirnya sebagai minister jenderal dari Ordo Fransiskan yang pada saat itu berusaha memperbaharui iman Kristen dengan berkomitmen pada kemiskinan total.

“Bukan hal yang mudah untuk merangkum doktrin filosofis, teologis dan mistika yang sangat kaya yang diturunkan kepada kita semua oleh St.Bonaventura, “ ujar Paus. Namun, Paus menambahkan, apabila dia harus memilih sebuah frase, maka Bonaventura lah yang menemukan “kebijaksanaan yang berakar dalam Kristus”.

Bonaventura, lanjutnya mengadakan orientasi terhadap setiap langkah dari pemikirannya menuju “sebuah kebijaksanaan yang berkembang ke dalam kesucian”.

Bonaventura, ditegaskan Paus, adalah “orang yang tiada lelahnya mencari Allah” dari masa dia menjadi Pelajar di Paris sampai saat-saat akhir hidupnya dan tulisan-tulisannya memberikan indikasi jalan mana yang harus dilalui.

“Sebab Allah ada di atas,” ujar Bonaventura dalam karyanya “De reductione artium ad theologiam” (Tentang Reduksi Seni ke Teologi), maka “perlulah bahwa pikiran manusia itu dinaikkan sendiri menuju kepada Allah dengan segenap kekuatan pikiran itu”. Tetapi bagaimana caranya pikiran manusia melakukan hal ini? Dapatkah pikiran kita, melalui studi and refleksi benar-benar bergerak ke arah Allah?

Bonaventura, lanjut Paus, percaya bahwa studi dan refleksi sendiri tidak lah cukup. Menurut pengajaran Bonaventura bahwa studi harus dibarengi dengan rahmat, sains oleh cinta, intelegensia oleh kerendahan hati (Itinerarium mentis in Deum, pro.4).

“Perjalanan purifikasi melibatkan seluruh pribadi manusia sehingga pribadi itu dapat melalui Kristus, meraih transformasi cinta Trinitas,” ujar Paus lebih lanjut. “Dengan demikian Iman adalah kesempurnaan dari kecakapan kognitif manusia. Harapan adalah persiapan akan adanya pertemuan dengan Tuhan. Dan Cinta memperkenalkan kita kepada hidup yang ilahi dengan membawa pemahaman kepada kita agar memandang semua manusia itu bersaudara.”

Paus berbicara spesifik tentang harapan

“St. Bonaventura adalah pembawa pesan harapan, “ ujar Paus. “Kami menemukan gambaran hebat tentang harapan dalam salah satu homilinya tentang Advent, dimana St.Bonaventura membandingkan pergerakan harapan dengan perjalanan suatu burung di udara, yang melebarkan kepak sayapnya selebar mungkin, dan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menggerakkan sayap itu. Manusia dalam seluruh keberadaannya, dalam aspek tertentu, menjadi suatu gerakan agar dapat bangkit dan terbang.

“Berharap adalah seperti terbang, lanjut St. Bonaventura, kata Paus. “Tetapi harapan menuntut kita agar semua bagian dari keberadaan kita menjadi gerakan dan menuju ke kedalaman diri kita, yakni menuju kepada janji Allah. Orang yang berharap, tegas Bonaventura, “harus mengangkat kepalanya, mengubah pikirannya menuju apa yang tertinggi, yakni menuju kepada Allah”. (Sermo XVI, Dominica I Adv., Opera omnia, IX, 40a).”

Paus mengakhiri khotbahnya seperti ini: “Setiap hati manusia haus akan harapan. Dalam surat ensiklik ku “Spe Salvi”, saya mencatat bahwa beberapa tipe harapan tidak lah cukup untuk dihadapi dan beberapa tipe harapan itu juga tidak lah cukup untuk mengatasi kesulitan hidup saat ini. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah “harapan tertentu” yang karenanya harapan itu memberikan kita kepastian dimana kita akan meraih tujuan “besar”, yakni membenarkan usaha-usaha dalam perjalanan hidup kita.

“Hanya dengan harapan tertentu dan besar ini yang meyakinkan diri kita, meskipun adanya kegagalan dalam kehidupan pribadi kita dan adanya kontradiksi sejarah secara keseluruhan, maka ”kuasa Cinta yang tak dapat rusak” akan selalu melindungi kita.

“Ketika harapan semacam itu mendukung kita, kita tidak pernah berisiko untuk kehilangan keberanian untuk memberikan kontribusi, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang suci, mereka memberikan kontribusi terhadap kemanusiaan, membukakan diri mereka dan dunia ini kepada masuknya Allah – masuknya kebenaran, kasih dan cahaya ilahi (cf. “Spe salvi,” No.35).

“Semoga St.Bonaventura menolong kita untuk “melebarkan kepak sayap” dari harapan itu yang memampukan kita untuk menjadi seperti dirinya, pencari Tuhan yang tiada hentinya, seorang penyanyi tentang indahnya ciptaan Tuhan dan seorang saksi Cinta dan Keindahan yang “menggerakkan segala sesuatu”.

Apabila kita mengikuti ajaran Benediktus XVI dan juga Bonaventura, lantas kita fokuskan pada pencarian akan “harapan tertentu” yang ditawarkan oleh Yesus Kristus, maka kita juga dapat memberikan jiwa kita sayap-sayap untuk terbang, meskipun segala cobaan dunia ini menyakiti kita, dan kemudian kita dapat membumbung tinggi seperti burung di udara, dengan memutuskan keberadaan diri kita ke dalam suatau gerakan, dan menjadi suatu harapan yang kita tunggu-tunggu dalam waktu yang lama.

Penulis: Robert Moynihan is adalah pendiri dan editor majalah bulanan “Inside The Vatican”. Dia juga penulis buku "Let God's Light Shine Forth: the Spiritual Vision of Pope Benedict XVI" (2005, Doubleday).

*) Diterjemahkan oleh Leonard T. Panjaitan

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Halo Leo,
senang bisa baca blog anda, saya mau kasi masukan yg membangun,
sedikit masukan buat anda Kisah para rasul 4:12 Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam DIa, sebab di kolong langit ini tidak ada nama lain yang di berikan kepada manusia yang olenya kita dapat diselamatkan, dari ayat ini saya hanya mau menanyakan apakah paus itu wakil Allah ya? penerus petrus? hmm di bumi ini tidak ada orang yg di declare kan sebagai wakil Allah oleh siapa manusi?atau Allah sendiri saya dan leo dan org2 yg percaya adalah wakil Allah utk pelebaran kerajaan Allah dan mempercepat kedatangan Tuhan yg kedua kali, apakah Firman Tuhan menyatakan Kristus membangun gereja katolik? bisa saja protestan mengatakan Kristus membangun gereja protestan? Tuhan Yesus itu utk semua yg terpanggil dan mau mengikuti Yesus.Tuhan Yesus ingin membangun gerejaNya di akhir jaman yg sehati sepikiran dengan Tuhan tidak masalah gereja mana pun asal berdiri diatas nama Kristus.Saya lupa tahunnya mkn tahun kemarin paus benedik menyerukan agar gereja2 yg terlepas dari ibu gereja katolik utk kembali pada ibu gereja yaitu gereja katolik,kenapa?
GBU

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...