Selasa, 16 September 2008

Apakah Kebenaran tentang Yesus Benar-benar Valid

Apakah Kebenaran tentang Yesus Benar-benar Valid ?


Menyingkap Tujuan dan Klaim-Nya


Dalam bab sepuluh, kita telah memeriksa beberapa contoh terbu­ruk sejarah bohong-bohongan dan riset gadungan. Contoh-­contoh tersebut bukan cara yang tepat untuk mengakhiri buku tentang Yesus dari Nazaret, bahkan jika tujuan utamanya adalah untuk menyingkap kesalahan dan kekurangan pengetahuan semu dan radikal itu. Sesuatu yang lebih positif dan membangun perlu dikatakan. Dalam bab ini, saya ingin menyimpulkan diskusi ini dengan meninjau beberapa aspek terpenting dari Yesus dan gerakan yang didirikan­ Nya, dengan tekanan pada latar belakang dan konteks yang sesuai.

Dalam bab terakhir ini saya membahas tujuh topik penting: (1) hubungan Yesus dengan Yudaisme [ajaran Yahudi] pada zaman­Nya, (2) pernyataan Yesus. (3) tujuan Yes us. (4) faktor-faktor yang menyebabkan kematian Yesus, (5) kebangkitan Yesus dan munculnya gereja Kristen, (6) sifat Injil Perjanjian Baru, dan (7) iman Kristen sebagai bagian dari kisah Yahudi. Semua topik ini berkaitan dengan isu yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Namun beberapa dari ide itu tidak dipahami dengan baik bahkan oleh orang yang mengaku dirinya Kristen. Jika tidak dipahami dengan baik. penulis sejarah bohong-bohangan dan teologi yang buruk akan terus menjadikan orang yang naif dan mudah percaya sebagai mangsa.


HUBUNGAN YESUS DENGAN YUDAISME PADA ZAMANNYA


Sepanjang abad, orang-orang biasa memandang Yesus bertentangan dengan Yudaisme dalam berbagai hal. Teolog Kristen berpendapat bah­wa Yesus mengkritik agama umat-Nya yang terlalu legalistik (atau "Farisi") karena terlalu menekankan hal-hal lahiriah, dan kurang atau tidak memberikan tempat untuk kasih karunia, kemurahan, dan kasih. Tndakan Yesus di bait suci, yang seeara tradisional dirujuk sebagai "penyucian bait suci" (Mrk. 11:15-18 dan perikop yang paralel dalam Injil lainnya) dipandang menentang sistem kurban. Agama dianggap masalah hati, bukan ritual. Yesus memahami ini, tetapi orang-orang Yahudi sezaman-Nya tidak memahami hal itu. Demikianlah pema­haman kita.

Beberapa ahli, baik Yahudi maupun Kristen, mengeluh atas kari­katur ini. Mungkin tantangan yang paling berpengaruh tahun-tahun terakhir berasal dari E.P. Sanders. Ia berpendapat bahwa tak ada bukti yang menyiratkan bahwa Yesus menentang Yudaisme atau mengkri­tiknya sebagai agama yang menekankan hal-hal lahiriah dan ritual. Sebaliknya, ada bukti penting yang bertentangan dengan hal itu.

Yesus menerima semua ajaran utama iman Yahudi. Ajaran tersebut mencakup keesaan dan kedaulatan Allah, nilai dan kekudusan bait suci di Yerusalem, otoritas Alkitab Yahudi, pemilihan umat Israel, dan pengharapan akan penebusan Israel.

Selain itu, Yesus menjalankan banyak praktik yang berkaitan dengan kesalehan Yahudi pada zamannya: sedekah, doa, dan puasa (Mrk. 6: 1-18). Yesus berpuasa di padang gurun selama masa pencobaan-Nya (Mrk. 1:12-13). Ia berdoa dan mengajar murid-murid­Nya untuk berdoa (Mat. 6:7-15; Luk. 11:1-13; 22:39-46). Ia dan murid-murid-Nya memberi sedekah, dan la mengajar orang lain untuk melakukan hal yang sama (Luk. 11:41; 12:33; Yoh. 13:29). Yesus mengakui validitas bait suci, kurban, dan hari-hari suci Israel (Mat. 5:23-24; Mrk. 14: 14). la membaca dan mengutip Alkitab Yahudi dan dengan jelas memandang Alkitab itu bersifat autoritatif (Mrk. 10: 19; 12:24-34; Luk. 4:16-22; 10:25-28). Tampak jelas Ia mengikuti kebaktian di bait suci secara teratur (Luk. 4: 16); gaya dan penafsiran­Nya tentang Alkitab dalam banyak hal mencerminkan gaya dan penafsiran yang muncul di bait suci.

Ketika meramalkan bahwa Yerusalem akan mengalami bencana, Yesus menangis atas kota kuno Israel itu (Luk. 19:41-44). Yesus menga­sihi murid-murid-Nya dan rindu mereka diselamatkan. Murid-murid pertama-Nya-semuanya orang Yahudi - berpegang pada pengharapan yang sama.

Yesus menerima otoritas Torah (yaitu, hukum Taurat). Ia tidak menolak Torah, seperti pendapat banyak orang. Yang ditentang Yesus adalah penafsiran dan penerapan hukum Taurat. Dalam apa yang disebut antitesis Khotbah di Bukit (yaitu, "Kamu telah mendengar yang difirmankan, tetapi Aku berkata kepadamu..." lihat Mat. 5:21­48), Yesus tidak menentang perintah Musa; Ia menentang penafsiran dan penerapan konvensional hukum Taurat. Antitesis "tetapi Aku berkata kepadamu" tidak menentang perintah itu sendiri. Misalnya, Yesus setuju bahwa membunuh itu salah, tetapi menambahkan bahwa kebencian itu juga salah. Ia setuju bahwa perzinahan itu salah, tetapi menambahkan bahwa hawa nafsu pra-perceraian (yang sering menun­tun pada perceraian dan pernikahan ulang) itu juga dosa. Ia setuju bahwa bersumpah palsu itu salah, tetapi berbieara menentang praktik mengambil sumpah pada zaman-Nya. Yesus tidak menentang pemba­lasan ("mata ganti mata"), tetapi Ia menentang penggunaan perintah ini sebagai dalih untuk membalas dendam. Ia setuju bahwa orang-orang harus mengasihi bangsanya sendiri, tetapi menambahkan bahwa mereka harus mengasihi bangsa lain juga, bahkan juga musuh mereka.

Yesus mungkin percaya bahwa otoritas-Nya sendiri, yang berasal dari Roh Allah dan oleh-Nya Ia telah diurapi (Mrk. 1:10; Luk. 4:18), setara dengan otoritas Torah. Namun otoritas-Nya tidak merongrong otoritas Torah; tetapi menjelaskan dan menerapkannya dengan cara baru yang disesuaikan dengan kesan-Nya yang kuat atas kemunculan kerajaan (pemerintahan) Allah dan perubahan yang akan dihasilkannya.

Penafsiran Yesus yang inovatif sesuai dengan inovasi sejenis yang diungkapkan nabi-nabi klasik Israel. Seperti nabi-nabi itu, penafsiran Yesus menentang penafsiran dan penerapan tradisi Israel konvensional yang sakral. Misalnya, dalam Yesaya 28 nabi Yesaya menyatakan bahwa "TUHAN akan bangkit seperti di gunung Perasim, Ia akan mengamuk seperti di lembah dekat Gibeon" (Yes. 28:21). Di sini, Yesaya menyinggung cerita tentang kemenangan Daud atas Filistin (lihat 2 Sam. 5:17-21; 5:22-25 = 1 Taw. 14:13-16), cerita yang ditafsirkan lawan Yesaya pada zamannya sebagai jaminan kemenangan Israel di hadapan ancaman asing. Namun dalam cerita yang sakral ini, Yesaya tidak memberikan jaminan atas kemenangan Israel pada zamannya. Sebaliknya, Tuhan akan melakukan "perbuatan aneh" dan "pekerjaan asing" (Yes. 28:21). Maksud nabi itu adalah Allah akan memberikan kemenangan kepada musuh-musuh Israel. Yesaya mengatakan hal ini karena ia dengan benar menangkap bahwa Allah adalah Allah semua orang. Allah bukanlah Allah Israel secara pribadi.

Yesus juga menafsirkan cerita sakral Israel. Dalam khotbah.Nya di Nazaret (Luk. 4:16-30), Yesus membaca Yesaya 61:1-2, satu perikop yang dipahami menjanjikan berkat bagi Israel dan penghukuman atas musuh-musuh Israel. Kemudian ia menyinggung contoh-contoh tentang Elia dan Elisa (Luk. 4:25-27). Dari contoh-contoh ini, di mana tokoh terkenal pada masa lalu melayani bangsa lain (1 Raj. 17:1-16; 2 Raj. 5: 1-14), Yesus menyatakan bahwa tugas-Nya yang "diurapi"adalah untuk memberkati orang yang terpinggirkan dan orang yang dicurigai, bukan hanya orang Israel yang merasa benar. Jenis penafsiran ini mungkin terlalu berani - dan tentu saja akan ditentang banyak guru-tetapi menyiratkan otoritas Alkitab Israel; dan tidak meriyerang otoritasnya. Penghargaan Yesus terhadap Alkitab Yahudi menempatkan Dia tepat di dalam Yudaisme abad pertama.


PENEGASAN YESUS


Mungkin tidak ada hal yang lebih menimbulkan perpecahan daripada pertanyaan tentang pernyataan Yesus tentang diri-Nya sendiri. Topik ini biasanya dirujuk sebagai pertanyaan tentang pemahaman diri Yesus. Alasan utama bidang riset ini menjadi begitu kontroversial karena Yesus hanya berbicara sedikit tentang diri-Nya sendiri, paling tidak secara langsung. Namun ada banyak indikator bahwa Ia memahami diri-Nya sendiri sebagai agen khusus dalam pelayanan Allah.

Ia tampak jelas menyatakan diri sebagai seorang nabi. Yesus sendiri mengeluh: "Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya." (Mrk. 6:4). Tradisi ini cenderung autentik sebab sulit dipahami mengapa orang Kristen awal akan mengarang perkataan yang menyi­ratkan bahwa saudara dan kenalan Yesus tidak memperlakukan Dia dengan sikap hormat. Tampak jelas bahwa masyarakat juga meman­dang Dia sebagai nabi: "Ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi" (Mrk. 8:28) ; "Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita" (Luk. 7:16); "Jika orang ini adalah nabi..." (Luk. 7:39). Tradisi ini dalam segala kemungkinan bersifat historis, sebab orang Kristen mula-mula berbicara tentang Yesus sebagai Juruselamat, Tuhan dan Anak Allah. Mereka tidak akan menekankan identitas-Nya (sekadar) sebagai nabi. Tentu saja, Yesus melakukan ramalan (Mrk. 13:2) dan mengucapkan apa yang mungkin bisa dipandang sebagai nubuat profetis terhadap berbagai orang, institusi atau kelompok (Mrk. 12: 1-11; 14:58; Mat. 11:20-24; Luk. 10:13-15).

Yesus sering kali disapa sebagai "rabi" (Mrk. 9:5; 10:51; 11:21; 14:45), Ia mengajar sebagai rabi, meskipun para pengagum-Nya menegaskan bahwa Ia mengajar sebagai seorang yang memiliki otoritas yang jauh lebih besar daripada guru-guru lain pada zaman-Nya (Mrk. 1:22, 27). Orang yang berada di luar kelompok-Nya menyebut Dia se­bagai "rabi" (yang dipahami pada zaman itu sebagai guru [Mrk. 5:35; 10: 17; 12: 14]). Beberapa ahli menyatakan bahwa kemunculan rabi dalam Injil mencerminkan penggunaan anakronistik gelar ini, sebab hal itu belum menjadi gelar Yesus sebelum 70 M. Namun penggunaan rabi dalam Injil bersifat informal dan jelas mencerminkan penggunaan Yahudi pada abad pertama. Mengapa orang Kristen yang menulis setelah tahun 70 menerapkan gelar formal kepada Yesus, gelar yang biasa digunakan oleh guru-guru agama yang semakin lama semakin kritis terhadap kekristenan ? Jika bisa, gelar itu akan dihindari. Gelar itu digunakan begitu sering, menurut pernilaian saya, karena tradisi Injil bersifat primitif dan autentik. Yesus disebut "rabi" dalam lnjil karena, senang atau tidak, Dia disapa demikian selama pelayanan-Nya.

Meskipun tidak ada petunjuk bahwa Yesus merujuk diri-Nya sendiri sebagai imam atau salah satu pengikut-Nya memandang Dia sedemikian, Yesus melakukan beberapa tindakan yang biasanya dipa­hami sebagai fungsi imam. Ia menyatakan seseorang "tahir" (Mrk. 1:41; Mat. 11:5; Luk. 7:22) dan "diampuni" (Mrk. 2:5; Luk. 7:47-48). Ia juga berani menantang kebijakan bait suci dan praktik para imam kepala. Tantangan paling provokatif adalah penyucian bait Allah. Hanya dalam teologi gereja belakangan, kematian Yesus dan peran­Nya sebagai Juru syafaat di surga baru dipahami dari sudut korban dan imamat, seperti terlihat, misalnya, dalam Kitab lbrani.

Yesus secara regular merujuk diri-Nya sendiri sebagai "Anak Manusia", julukan yang telah diperdebatkan dengan seru selama bertahun-tahun. Buku ini bukan tempat umuk membahas pertanyaan rumit tersebut secara detail, tetapi saya akan memberikan beberapa komentar singkat yang mungkin mengandung fisiko. Menurut saya, sebutan untuk diri sendiri ini, yang jelas merupakan favorit Yesus, menyinggung "anak manusia" dalam Daniel 7. Yesus memandang diri­Nya sendiri sebagai tokoh yang akan menerima kerajaan, kuasa, dan otoritas ini. Rujukan pada diri sendiri ini menyiratkan bahwa Yesus memandang diri-Nya sendiri sebagai wakil Allah. Dalam perkataan yang memiliki autentisitas tinggi, Yesus menjamin murid-murid-Nya: "Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel" (Luk. 22:29-30). Permintaan murid-murid yang mementingkan diri sendiri untuk mendapat kursi kehormatan ketika Yesus datang dalam "kemuliaan"-Nya (Mrk. 10:35-45), yang karena rasa malu yang tampak jelas menjamin autentisitasnya, dalam segala kemungkinan muncul dari asumsi bahwa Yesus sungguh-sungguh adalah "Anak Manusia" yang akan memulihkan Israel dan meneguhkan kerajaan Allah.

Apakah Yesus memandang diri-Nya sendiri sebagai Mesias ? Buktinya ambigu, tetapi secara keseluruhan, bukti mendukung pen­dapat bahwa memang benar demikian. Ia disebut sebagai Mesias oleh murid-murid-Nya (Mrk..8:29-30). Ketika Yohanes Pembaptis bertanya kepada Yesus apakah Ia "orang yang akan datang," jawaban Yesus menyinggung kutipan dari Yesaya 35:5-6 dan Yesaya 61:1-2 (Mat. 11:2-6; Luk. 7: 18-23). Tampak jelas bahwa melalui jawaban ini, Yesus meneguhkan Yohanes. Namun apakah Yohanes bertanya kepada Yesus apakah Ia adalah Mesias ? Mungkin ya, berdasarkan gulungan dari Qumran yang baru saja diterbitkan (yaitu, 4Q521). Gulungan ini me­muat kutipan yang mirip dengan perikop dari Yesaya dan memahami kutipan itu sebagai pekerjaan Mesias. Dengan kata lain, dalam Jawaban-Nya kepada Yohanes, Yesus menyiratkan bahwa Ia adalah Dia yang akan datang (yaitu, Mesias), seperti terbukti berdasarkan fakta bahwa Ia sibuk melakukan pekerjaan Mesias.

Anak Timeus yang buta mengelu-elukan Yesus sebagai “Anak Daud”, yang mungkin merupakan sebutan mesianik (Mrk. 10:47-48). Ketika Yesus masuk Yerusalem, orang banyak berseru atas datangnya Kerajaan Daud (Mrk. 11:9-10). Ia menunggang keledai (Mrk. 11:1­7), seperti halnya Salomo, anak Daud (1 Raj. 1:38-40; lihat Zak. 9:9). Yesus juga memandang bahwa diriNya memiliki otoritas dalam bait Allah. Hal ini hanya bisa Ia lakukan jika Ia adalah imam kepala atau raja Israel. Kecil kemungkinannya Yesus dipandang sebagai imam kepala. Beberapa komentator berpendapat bahwa Yesus mengutip dan membahas Mazmur 110:1 sedemikian rupa sehingga bisa menjauhkan diriNya sendiri dari tradisi anak Daud (Mrk. 12:35-37). Namun Yesus tampaknya mengatakan bahwa Mesias akan lebih besar daripada Daud. Yesus diurapi (Mrk. 14:3-9), yang mungkin merupakan pengurapan mesianik oleh pengikut yang setia. Ketika ditanya imam besar apakah Ia adalah Mesias, Yesus berkata bahwa Ia memang Mesias (Mrk. 14:61­62). Dan, yang lebih penting, Yesus disalibkan oleh tentara Romawi sebagai "raja orang Yahudi" (Mrk. 15:26, 32).

Kepercayaan awal yang tersebar luas di antara orang Kristen bahwa Yesus adalah Mesias Israel menyiratkan bahwa Yesus dipahami seperti itu sejak masa pelayananNya dan bukan sekadar sejak pem­beritaan Paskah. Sangat kecil kemungkinannya bahwa kebangkitan itu sendiri membuat murid-murid Yesus mengaku Yesus sebagai Mesias jika Ia tidak pernah menyatakan atau menerima sebutan itu dalam pelayanan-Nya. Apakah pengikut Rabi Aqiba yang terkenal pada abad kedua memberitakan guru yang mereka kasihi sebagai Mesias, jika ia bangkit setelah kemartirannya (sekitar 135 M) ? Saya meragukan hal itu. Pemberitaan Yesus sebagai Mesias setelah Paskah dengan kuat menyiratkan bahwa Yesus dipahami sedemikian sebelum Paskah.

Apakah Yesus memandang diriNya sendiri sebagai Anak Allah ? Buktinya juga ambigu, dan hal itu dikaitkan dengan pertanyaan tentang pemahaman diri Yesus sendiri sebagai Mesias. Daud disebut "anak" dalam hubungannya dengan Allah (lihat 2 Sam. 7:14; Mzm. 2:7). Sebab itu, Mesias dalam satu pengertian adalah "anak Allah." Dalam 1 Tawarikh 29:23, Salomo dikatakan telah "menduduki takhta yang ditetapkan TUHAN," jadi dalam pengertian tertentu, anak Daud diharapkan untuk duduk di takhta yang ditetapkan Allah. Konsep ini akan menambah keyakinan bahwa Mesias akan melayani sebagai wakil Allah.

Ucapan paling dramatis, dan yang mengaitkan gambaran tentang identitas Anak Manusia dengan Anak Allah, ditemukan dalam jawaban Yesus kepada Kayafas. Dalam usaha untuk menemukan bukti memberatkan yang menentang Yesus, imam besar bertanya: "Apa­kah Engkau Mesias, anak Yang Terpuji [yaitu, Allah]?" Yesus menja­wab: "Akulah Dia, dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa [yaitu, Allah] dan datang di tengah­-tengah awan-awan di langit" (Mrk. 14:61-62). Karena dalam percakapan ini Yesus mengaku apa yang dipercaya penulis Injil Markus Sebagai identitas diri-Nya (lihat Mrk. 1: 1), beberapa ahli meragukan autentisitasnya. Maksudnya, mereka memandang Markus sebagai sumber pengakuan ini, bukan Yesus. Mereka juga heran bagaimana murid-murid mengetahui hal itu, sebab mereka tidak ada di sana karena sudah melarikan diri (lihat Mrk. 14:50). Ahli lain menunjukkan ketidakkonsistenan yang tampak dalam ungkapan bahwa Yesus "telah duduk di sebelah kanan Allah," yang menunjukkan "keadaan tidak bergerak, tetapi "datang di tengah-tengah awan-awan di langit" yang menunjukkan gerak. Sebab itu, kita mungkin memiliki tradisi berbeda yang telah disejajarkan secara janggal (dan tidak autentik). Demikianlah argumen mereka.

Namun keberatan ini kurang berbobot. Menyimpulkan bahwa dalam satu pengertian Yesus tidak memandang diriNya sendiri seba­gai Anak Allah membuat ahli sejarah heran mengapa orang lain mela­kukannya. Sejak awal, Yesus dipandang orang-orang Kristen sebagai Anak Allah. Mengapa tidak memandang Dia sebagai nabi besar jika itu semua adalah apa yang Ia atau orang lain nyatakan? Mengapa tidak memandang Dia sebagai Guru besar, jika itu semua pura-pura Ia lakukan? Kekristenan paling awal memandang Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah, saya kira, karena demikianlah murid-murid-Nya memahami Dia dan Yesus mengizinkan mereka untuk memahami Dia dengan cara demikian.

Keberatan yang mengatakan bahwa murid-murid tidak hadir saat mendengar percakapan antara Yesus dan Kayafas dan dengan demikian tidak tahu apa yang telah terjadi adalah naif. Apakah kita harus sungguh-sungguh membayangkan bahwa murid-murid, yang belakangan menjadi pemberita yang penuh semangat tentang Guru dan ajaran-Nya, tidak pernah belajar dari apa yang terjadi ? Apakah mereka tidak mengerti mengapa penguasa Yahudi menghukum Dia. Hal itu melukai akal sehat. Bahkan jika peraturan Mishnah (sekitar 220 M) belum berlaku pada awal abad pertama, ada kemungkinan keputusan hukuman mati akan diumumkan, seperti dituntut oleh Mishnah. Pernyataan Yesus sebagai Mesias Israel tidak akan mengaki­batkan Dia disalibkan oleh tentara Romawi dan pada salib-Nya ditem­pelkan plakat (atau pemberian gelar) yang berbunyi, "raja orang Yahudi". Sebab klaim sebagai Mesias berarti klaim sebagai raja Yahudi, Hampir sulit dipercaya bahwa murid-murid tidak mengetahui hal ini sama sekali. Namun, fakta bahwa murid-murid tidak hadir mungkin menjelaskan mengapa catatan tentang percakapan antara Yesus dan para penuduh-Nya (Mrk. 14:55-65) begitu singkat dan di beberapa tempat agak kabur.

Akhirnya, keberatan yang didasarkan pada penjajaran yang aneh antara duduk dan bergerak di antara awan-awan kurang berbobot jika kita mengingat bahwa takhta tempat Allah duduk adalah kereta berapi. Sesungguhnya, takhta yang dijelaskan dalam Daniel 7:9, di mana Yang Lanjut Usianya (Allah) bertakhta dan yang didekati tokoh anak manusia, dikatakan memiliki roda yang "adalah api yang menyala," Yang membuat Kayafas sangat terkejut bukan hanya keberanian Yesus menegaskan identitas mesianik-Nya, melainkan juga keberanian-Nya menyatakan bahwa Ia akan duduk di alas takhta Allah. Jawaban Yesus bukan hanya merupakan pengkhianatan di mata Romawi, melainkan juga merupakan penghujatan di mata orang Yahudi yang saleh yang tidak berpegang pada ide mesianik semacam itu, pada masa itu hanya sedikit imam besar Saduki yang berpegang pada keyakinan mesianik. Yesus tdah menyatakan bahwa saatnya akan tiba di mana Kayafas dan pengikutnya akan melihat Yesus, "Anak Manusia", duduk di sebelah kanan Allah, di takhta kereta berapi Allah, mengguntur dari surga dan datang untuk menghakimi. Sungguh-sungguh merupakan penghujatan melihat seseorang berani mengatakan hal semacam itu.


Sumber : Merekayasa Yesus – Membongkar Pemutarbalikan Injil oleh Ilmuwan Modern, Terjemahan Indonesia oleh Penerbit Andi tahun 2007, Judul asli : Fabricating Jesus, 2005 By Craig Evans

Tidak ada komentar:

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...