Sabtu, 12 September 2009

Sinagoga Di Jaman Yesus Telah Ditemukan

Synagogue From Jesus' Time Discovered
Uncovered at Site of Future Christian Pilgrimage Center in Magdala

JERUSALEM, SEPT. 11, 2009 (Zenit.org).- The ruins of a synagogue from Jesus' time were discovered during excavations of a site in Magdala where a pilgrimage center is being built on the shores of the Sea of Galilee.

The Israel Antiquities Authority, which has been overseeing the excavations, announced this unique archeological find in a press release today.

The Magdala Center excavation began shortly after Benedict XVI's visit to the Holy Land in May, where he blessed the cornerstone of the future building that is being developed under the direction of the priestly congregation, the Legionaries of Christ.

The archeological excavation, directed by Dina Avshalom-Gorni and Arfan Najar of the antiquities authority, began July 27, and approximately one month later the first vestiges of an important find were uncovered.

As the excavation continued and significant findings were added, the conclusion was reached that these ruins are of a synagogue from the first century, possibly destroyed in the years of the Jewish revolt against the Romans, between A.D. 66 and A.D. 70.

In the center of the 1292-square-foot building, the team discovered a stone engraved with a seven-branched menorah [candelabrum].

Avshalom-Gorni explained: "We are dealing with an exciting and unique find. This is the first time that a menorah decoration has been discovered from the days when the Second Temple was still standing. […]

"We can assume that the engraving that appears on the stone […] was done by an artist who saw the seven-branched menorah with his own eyes in the temple in Jerusalem."

Thus far, only six other synagogues have been discovered from the period of Jerusalem's Second Temple.

Extraordinary

This finding is of great interest for the Jewish world, affirmed Shuka Dorfmann, director of the antiquities authority, who visited the site twice and spoke of the extraordinary nature of the discovery and the need to study it deeper.

The Israelite authorities have requested the continued excavation of the area, and that the findings be preserved in that site and be included in the Magdala Center project.

Numerous Israelite and Christian archeologists have already made appointments to visit the ruins in the past days.

Magdala is located just over four miles from the ancient town of Capernaum, where Jesus spent much of his time during his public ministry. It is assumed that he came to this site, now being excavated, at least once to preach.

Magdala is also thought to be the place frequented by many eyewitnesses to the life and works of Jesus, including Mary Magdalene, who was native to this town.

In Galilean towns such as Magdala, Christian communities were born, and until the destruction of the temple in Jerusalem, these believers many times shared the synagogues with Jews.

Only after the temple was destroyed in the year 70 was there a more clear separation between Jews and Christians, and at that time the latter created their own places of meeting and worship.

A special place

The initiative to build a center here began when the Legionaries of Christ arrived to Jerusalem in 2004 by the invitation of Pope John Paul II, to take care of the Pontifical Institute Notre Dame of Jerusalem Center.

The Magdala Center, also in northern Israel like the Notre Dame Center, aims to complement the services offered to pilgrims who visit Jerusalem.

The land where the building is being erected is on the shore of the Sea of Tiberias, also known as the Sea of Galilee.

The Magdala Center, aside from preserving and exhibiting the ruins of this holy place, will offer a hotel for pilgrims to the Holy Land, and a multimedia center that will display the message and life of Jesus and the history of the land.

Another part of the project includes a center that will promote the vocation and dignity of women, inspired by the figure of Mary Magdalene.

Legionary Father Juan MarĂ­a Solana, director of the Notre Dame Center and initiator of the Magdala project, stated, "I knew that Magdala was a holy place and I always had a hunch that it would be a special place for pilgrims of various religions; but the finding that we have made certainly exceeds our expectations."

He continued: "In a moment of prayer at the site, I thought of the last time the faithful gathered here, around the year 70, and how most had been witnesses of the life of Our Lord. I dream of the day that this place will be opened to visiting pilgrims, and I hope it will serve to create bridges and bonds of true love and dialogue between believers of different religions that come together in the Holy Land."

The opening of the Magdala Center is planned for Dec. 12, 2011, though the schedule may have to be adjusted due to the recent discoveries.

--- --- ---

On the Net:

Magdala Center: www.magdalacenter.com

Pontifical Institute Notre Dame of Jerusalem Center: www.notredamecenter.org

Rabu, 09 September 2009

Tentang Sayap-sayap Yang Melebar

*) Khotbah Paus Benediktus XVI di Bagnoreggio

ROME, SEPT. 7, 2009 (Zenit.org).- Kadang-kadang kita berpikir bahwa problem fisik, materi adalah problem-problem yang utama.

Hal ini disebabkan problem-problem itu menjadi bukti kita, tepat di depan mata kita. Sebagai contoh: Hujan turun, oleh karenanya kita butuh atap; musim dingin tiba, kita perlu menyimpan persediaan makanan; seorang bayi mengalami demam maka kita butuh obat-obatan atau apapun untuk menghilangkan demamnya.

Tetapi kalau kita mengamati Injil, dan apabila kita menimbang hidup kita sendiri, kita mulai mengenali bahwa problem utama terbesar adalah masalah spiritual.

Dan hal ini yang menyebabkan mengapa kita melihat Yesus sering sekali melakukan penyembuhan penyakit fisik, menyembuhkan orang buta dan tuli – hal-hal ini kita dengar dalam bacaan Injil di hari minggu (Markus 7:34) ketika Dia berbicara dalam bahasa Aramaic ”Ephphatha” (”Terbukalah”) dan telinga orang tuli itu akhirnya bisa mendengar. (Ada juga tiga kejadian dimana Markus mencatat Yesus berbicara dalam bahasa Aramaic; seperti “Talitha cum” – hai anak kecil, bangunlah! – dalam Markus 5:41; dan pada saat penyaliban (Markus 15:34) ketika Yesus berteriak keras “Eloi, Eloi, lama sabachtani!” – Allahku, ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan daku?”.

Inilah sebabnya mengapa Yesus mengampuni dosa manusia

Sebab jatuh dalam dosa menghantarkan kita kepada rasa putus asa dan bahkan ke kematian. Dosa adalah beban berat yang ingin dihapuskan oleh Yesus dari bahu manusia, dihapuskan dari hati manusia.

Dan tindakanNya mengampuni dosa manusia, di atas segala-galanya, yang membuat geram para pemimpin agama Yahudi pada jamanNya sebab Allah sendiri dapat mengampuni dosa-dosa kita.

Yesus membawa harapan. Dia membawa harapan bagi orang-orang buta, tuli dan sekarat bahkan Dia membangkitkan orang mati. Dia juga membawa harapan kepada orang-orang berdosa, kepada orang-orang yang secara spiritual mati. Dia juga membawa harapan adanya hidup baru bagi orang-orang yang jatuh seketika, bahkan gagal dan putus asa.

Benediktus XVI adalah Wakil Kristus, Pengganti Petrus

Demikian halnya, misi Paus Benediktus XVI dalam pengertian terdalam sederhananya adalah membawakan harapan kepada domba-dombanya. Benediktus XVI menghasilkan misinya sendiri dengan cara seperti ini, suatu misi membawakan harapan kepada dunia yang meski nampak kaya dan penuh kekuatan, namun secara spiritual miskin.

Misi Paus Benediktus XVI adalah misi yang membawa arti bagi mereka yang mulai percaya bahwa hidup itu tidak memiliki arti.

Dan ini adalah serangan besar yang dilakukan Benediktus untuk memerangi pertempuran antara “budaya hidup (culture of life) dengan “budaya mati (culture of death)”. Dia melakukan serangan atas nama makna hidup, atas nama “Logos” sejati yang artinya makna hidup itu sendiri. Dan dalam menjalankan misi ini, Benediktus membawa harapan bagi mereka yang tak punya harapan.

Pada hari minggu sore, Paus Benediktus berada di kota kecil berbukit yang bernama Bagnoreggio, tempat kelahiran St.Bonaventura untuk melanjutkan misinya saat ini.

Dan di homilinya itu, Paus menyampaikan khotbah tentang harapan yang begitu indahnya dan patut untuk diingat terus-menerus.

Bonaventura hidup dalam tahun 1.200, waktu jaman Pertengahan ketika Eropa sedang membangun katedral-katedral yang megah dan mendirikan universitas yang masih menakjubkan dan menguntungkan kita saat ini.

Bonaventura lahir tahun 1221 dan hidup sampai tahun 1274 namun dalam setengah abad hidupnya yang singkat itu dia menjadi salah satu teolog hebat Katolik sepanjang masa.

Hari minggu lalu, Benediktus XVI merayakan Bonaventura sebagai pembawa pesan harapan.

Bapa Suci berbicara bagaimana Giovanni Fidanza – nama Baptis Bonaventura – menjadi “Fra Bonaventura,” seorang rahib fransiskan dan pada akhirnya sebagai minister jenderal dari Ordo Fransiskan yang pada saat itu berusaha memperbaharui iman Kristen dengan berkomitmen pada kemiskinan total.

“Bukan hal yang mudah untuk merangkum doktrin filosofis, teologis dan mistika yang sangat kaya yang diturunkan kepada kita semua oleh St.Bonaventura, “ ujar Paus. Namun, Paus menambahkan, apabila dia harus memilih sebuah frase, maka Bonaventura lah yang menemukan “kebijaksanaan yang berakar dalam Kristus”.

Bonaventura, lanjutnya mengadakan orientasi terhadap setiap langkah dari pemikirannya menuju “sebuah kebijaksanaan yang berkembang ke dalam kesucian”.

Bonaventura, ditegaskan Paus, adalah “orang yang tiada lelahnya mencari Allah” dari masa dia menjadi Pelajar di Paris sampai saat-saat akhir hidupnya dan tulisan-tulisannya memberikan indikasi jalan mana yang harus dilalui.

“Sebab Allah ada di atas,” ujar Bonaventura dalam karyanya “De reductione artium ad theologiam” (Tentang Reduksi Seni ke Teologi), maka “perlulah bahwa pikiran manusia itu dinaikkan sendiri menuju kepada Allah dengan segenap kekuatan pikiran itu”. Tetapi bagaimana caranya pikiran manusia melakukan hal ini? Dapatkah pikiran kita, melalui studi and refleksi benar-benar bergerak ke arah Allah?

Bonaventura, lanjut Paus, percaya bahwa studi dan refleksi sendiri tidak lah cukup. Menurut pengajaran Bonaventura bahwa studi harus dibarengi dengan rahmat, sains oleh cinta, intelegensia oleh kerendahan hati (Itinerarium mentis in Deum, pro.4).

“Perjalanan purifikasi melibatkan seluruh pribadi manusia sehingga pribadi itu dapat melalui Kristus, meraih transformasi cinta Trinitas,” ujar Paus lebih lanjut. “Dengan demikian Iman adalah kesempurnaan dari kecakapan kognitif manusia. Harapan adalah persiapan akan adanya pertemuan dengan Tuhan. Dan Cinta memperkenalkan kita kepada hidup yang ilahi dengan membawa pemahaman kepada kita agar memandang semua manusia itu bersaudara.”

Paus berbicara spesifik tentang harapan

“St. Bonaventura adalah pembawa pesan harapan, “ ujar Paus. “Kami menemukan gambaran hebat tentang harapan dalam salah satu homilinya tentang Advent, dimana St.Bonaventura membandingkan pergerakan harapan dengan perjalanan suatu burung di udara, yang melebarkan kepak sayapnya selebar mungkin, dan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menggerakkan sayap itu. Manusia dalam seluruh keberadaannya, dalam aspek tertentu, menjadi suatu gerakan agar dapat bangkit dan terbang.

“Berharap adalah seperti terbang, lanjut St. Bonaventura, kata Paus. “Tetapi harapan menuntut kita agar semua bagian dari keberadaan kita menjadi gerakan dan menuju ke kedalaman diri kita, yakni menuju kepada janji Allah. Orang yang berharap, tegas Bonaventura, “harus mengangkat kepalanya, mengubah pikirannya menuju apa yang tertinggi, yakni menuju kepada Allah”. (Sermo XVI, Dominica I Adv., Opera omnia, IX, 40a).”

Paus mengakhiri khotbahnya seperti ini: “Setiap hati manusia haus akan harapan. Dalam surat ensiklik ku “Spe Salvi”, saya mencatat bahwa beberapa tipe harapan tidak lah cukup untuk dihadapi dan beberapa tipe harapan itu juga tidak lah cukup untuk mengatasi kesulitan hidup saat ini. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah “harapan tertentu” yang karenanya harapan itu memberikan kita kepastian dimana kita akan meraih tujuan “besar”, yakni membenarkan usaha-usaha dalam perjalanan hidup kita.

“Hanya dengan harapan tertentu dan besar ini yang meyakinkan diri kita, meskipun adanya kegagalan dalam kehidupan pribadi kita dan adanya kontradiksi sejarah secara keseluruhan, maka ”kuasa Cinta yang tak dapat rusak” akan selalu melindungi kita.

“Ketika harapan semacam itu mendukung kita, kita tidak pernah berisiko untuk kehilangan keberanian untuk memberikan kontribusi, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang suci, mereka memberikan kontribusi terhadap kemanusiaan, membukakan diri mereka dan dunia ini kepada masuknya Allah – masuknya kebenaran, kasih dan cahaya ilahi (cf. “Spe salvi,” No.35).

“Semoga St.Bonaventura menolong kita untuk “melebarkan kepak sayap” dari harapan itu yang memampukan kita untuk menjadi seperti dirinya, pencari Tuhan yang tiada hentinya, seorang penyanyi tentang indahnya ciptaan Tuhan dan seorang saksi Cinta dan Keindahan yang “menggerakkan segala sesuatu”.

Apabila kita mengikuti ajaran Benediktus XVI dan juga Bonaventura, lantas kita fokuskan pada pencarian akan “harapan tertentu” yang ditawarkan oleh Yesus Kristus, maka kita juga dapat memberikan jiwa kita sayap-sayap untuk terbang, meskipun segala cobaan dunia ini menyakiti kita, dan kemudian kita dapat membumbung tinggi seperti burung di udara, dengan memutuskan keberadaan diri kita ke dalam suatau gerakan, dan menjadi suatu harapan yang kita tunggu-tunggu dalam waktu yang lama.

Penulis: Robert Moynihan is adalah pendiri dan editor majalah bulanan “Inside The Vatican”. Dia juga penulis buku "Let God's Light Shine Forth: the Spiritual Vision of Pope Benedict XVI" (2005, Doubleday).

*) Diterjemahkan oleh Leonard T. Panjaitan

Selasa, 08 September 2009

Bagian dari Alkitab Tertua Telah Ditemukan Secara Tidak Sengaja

*) Seorang Pelajar Menemukan Potongan Alkitab Dibawah Bundel

MOUNT SINAI, Egypt, SEPT. 7, 2009 (Zenit.org).- Fragmen atau potongan teks Alkitab yang diperkirakan salah satu dari dua alkitab tertua di dunia, yakni Codex Sinaiticus telah ditemukan secara tidak sengaja beberapa hari lalu di Monasteri (Biara) St.Catherine yang terletak di kaki Gunung Sinai Mesir.

Orang yang menemukan fragmen tersebut adalah Nikolas Sarris, berusia 30 tahun yang juga pelajar dari Yunani. Ia secara tak sengaja menemukannya pada saat dia sedang melakukan riset di monasteri tersebut untuk mengejar studi doktoralnya tentang manuskrip Alkitab abad ke-18.

Sarris adalah anggota tim yang bertanggungjawab pada edisi online Codex Sinaiticus, dimana Codex tersebut diluncurkan pada bulan Juli 2009 lalu melalui insiatif British Library, University Leipzig dan Perpustakaan Nasional Rusia, yang bekerjasama dengan Uskup Agung Orthodox Sinai, Damianos yang juga kepala biara dari Monasteri St.Catherine itu.

Keakraban Nikolas Sarris terhadap Codex Sinaiticus membuat dia begitu cepat mengenali adanya fragmen dengan ciri khas gaya huruf dan tingginya kolom pada Codex tersebut meksipun fragmen tersebut hanya sebagian saja terlihat yang mana posisinya tersembunyi pada bundelan Codex yang baru itu.

“Ini momen yang menyenangkan sekali,” ujar Sarris kepada Koran The Independent. “Meskipun bidang ini bukan keahlian saya, tetapi Saya telah membantu proyek online ini sehingga apapun terkait masalah Codex Sinaiticus telah terekam di pikiran saya. Saya mulai memeriksa huruf-huruf dan kolom-kolom dan segera saya sadar bahwa kami sedang mengamati bagian atau potongan yang tak kelihatan dari Codex itu”.

Lebih Banyak Lagi Potongan

Fragmen tersebut berkaitan dengan awal mula Kitab Yoshua. Penemuan ini telah dikonfirmasi oleh pustakawan monasteri yakni Rm. Justin.

Menurut apa yang dikatakan oleh Rm. Justin kepada koran The Art Newspaper, adalah hal yang mungkin bahwa ada beberapa bagian lagi dari potongan tersebut yang tersembunyi di bawah bundelan yang lain, meksipun saat ini monasteri ini tidak memiliki sarana teknologi untuk melaksanakan riset tanpa menimbulkan kerusakan.

Setidaknya terdapat 18 bundelan Kitab lain dalam perpustakaan monasteri ini yang dikompilasikan oleh dua orang rahib yang sama yang telah mempergunakan kembali Codex tersebut. “Kami tidak tahu apakah kami akan menemukan lebih banyak lagi Codex dalam Kitab-kitab itu namun hal ini pastinya merupakan proyek yang pantas dikerjakan, “ ujar pustakawan itu.

Codex Sinaiticus adalah manuskrip Alkitab yang ditulis antara tahun 330 dan 350 Masehi, dan menurut tradisi Gereja, Codex tersebut ditulis atas permintaan Kaisar Roma Konstantinus. Bersama dengan Codex Vaticanus, kedua Alkitab tertua ini dianggap sebagai teks purba tertua dari Kitab Suci yang ada di dunia ini.

Sarjana Jerman Constantin Von Tischendorf adalah orang yang pertama kali menemukan Codex Sinaiticus di dalam biara St.Catherine tahun 1844 dan ia memindahkan beberapa bagian kecil Codex tersebut satu dekade kemudian.

Saat ini bagian-bagian kecil Codex Sinaiticus dibagi-bagikan diantara British Library, Universitas Leipzig dan Perpustakaan Nasional Rusia.

*) Diterjemahkan oleh Leonard T. Panjaitan
--- --- ---

On the Net

Codex Sinaiticus: http://www.codexsinaiticus.org/en/

Minggu, 06 September 2009

Klan Kennedy dan Martabat Kehidupan


Bidding Farewell to a Dynasty
Boston, the Kennedys and the Dignity of Life

By Elizabeth Lev

ROME, SEPT. 3, 2009 (Zenit.org).- My August visit to the United States this year was bracketed by the deaths of Eunice Kennedy Shriver and Senator Edward Kennedy. For a Bostonian like myself, these two events, representing the end of the extraordinary Kennedy generation that propelled Boston into the political A-list, closed the curtain on an era.
 
The funerals of the two Kennedys inevitably thrust Catholic culture into the front and center of media interest. Richard Dawkins, crusader for the removal of religion from the public square, must have pulled his hair out watching Archbishop Sean O’Malley in full regalia incensing the casket of Senator Kennedy on every major TV station.
 
For Boston Catholics, these images had even greater meaning.
 
From Catholic ghetto to Washington center stage
 
Boston was established upon granite columns of anti-Catholicism. From the time of its Puritan founders, the city maintained a heavy majority population of Protestants for three centuries until the Irish arrived -- unwelcomed and unwanted -- in the mid 19th century.
 
Seventeenth-century Puritan statutes banished all priests from the territory, and proscribed the penalty of death should they return (in 1690 this was mitigated to life imprisonment). Catholics were barred from all public worship until 1780. Each November 5th, on Guy Fawkes Day, Bostonians celebrated "Pope Day" by burning the pope in effigy, holding processions featuring the Roman Pontiff and the devil walking hand in hand and launching pogrom-type vandalizing of Catholic homes and businesses.
 
In 1834, rioters burned down an Ursuline convent in North Boston and by 1840 a virulently anti-Catholic political party, the “Know Nothings,” was formed in reaction to Catholic immigration to the United States. The Know Nothing party swept Massachusetts elections in 1854, winning both governorship and legislature.
 
Puritan laws had forbidden Catholics from holding any kind of political office and Boston practice portrayed Catholics as mindless automata in the service of the foreign pope.
 
All of that changed in a big way in 1962. The election of John F. Kennedy, a Bostonian no less, as president of the United States offered Boston a catharsis similar to that of the election of Barack Obama. The stigma of anti-Catholic bigotry could at last be cleansed.
 
The Kennedy compromise
 
The price for this Catholic family seizing the brass ring was very high and American Catholics have been paying interest ever since. John F. Kennedy declared in a televised 1960 interview, "I do not speak for my Church on public matters -- and the Church does not speak for me. Whatever issue may come before me as president -- on birth control, divorce, censorship, gambling or any other subject -- I will make my decision in accordance with these views, in accordance with what my conscience tells me to be in the national interest, and without regard to outside religious pressures or dictates."
 
This infamous Catholic caveat allowed JFK to be elected president, but formed the precedent for every Catholic pro-abortion politician’s argument, "I'm personally opposed but …"
 
Edward Kennedy, JFK’s littlest brother, lived to see the disastrous road the Kennedy compromise brought about. In 1971, Senator Kennedy wrote the following words: "While the deep concern of a woman bearing an unwanted child merits consideration and sympathy, it is my personal feeling that the legalization of abortion on demand is not in accordance with the value which our civilization places on human life." 

He also said, "Wanted or unwanted, I believe that human life, even at its earliest stages, has certain rights which must be recognized -- the right to be born, the right to love, the right to grow old. When history looks back at this era it should recognize this generation as one which cared about human beings enough to halt the practice of war, to provide a decent living for every family, and to fulfill its responsibility to its children from the very moment of conception."

In a moral tragedy rivaling the horrendous assassination of his brothers, Ted Kennedy bowed to political pressure and became a strong supporter of abortion. In the past week, no Kennedy mourner has been louder than NARAL, the foremost abortion advocacy group in the United States, who gave him a coveted 100% approval rating.

Rescue and reconciliation

On the other hand, Eunice Shriver, the fifth Kennedy child, found a use for the magic name of Kennedy, which would not be rooted in cover-ups and compromise. Eunice set about rescuing the family name and restoring its luster of hope and promise.

As of the 1950s she directed her interest to the mentally disabled and ultimately founded the Special Olympics. She championed the right to life, constantly contesting pro-abortion groups for quoting her presidential brother out of context and making him seem favorable to abortion. As a member of the Democratic party, she maintained the unpopular position of a pro-life Democrat.

During a ceremony in her honor held at the JFK library in Boston on Nov. 16, 2007, Eunice attributed all that had been good in her brother's presidency, all that had truly helped the weak and voiceless, to her sister Rosemary, saying that "more than any one single individual, Rosemary made the difference."

Rosemary Kennedy, who died at the age of 86 on Jan. 7, 2005, was given a lobotomy at the age of 23 and was left mentally incapacitated. Eunice began her work with mentally disabled people because of the tragedy of her sister Rosemary and founded the Special Olympics in her honor. President Kennedy signed into law the National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) inspired by his sister.

The cascade of images from Boston and Hyannisport this August underscored the distinct personalities and legacies of the two Kennedy siblings.
 
Among hundreds of mourners who came to bid farewell to Eunice Shriver, many were Special Olympians paying tribute to Eunice with accounts of how her initiatives changed countless individual lives.

Even the touching image that made its way around the world of Carolina Shriver tenderly stroking the cheek of her bereaved grandfather, underscored the legacy of love and caring that Eunice left behind.
 
The far more televised event of Ted Kennedy’s funeral saw citizens of Massachusetts lining the streets mourning the end of the era when Boston was a political nerve center. Television coverage featured politicians jockeying for points on health care issues or Kennedy’s senatorial successor. Reminiscent of ancient Roman send-offs of the Julio-Claudian emperors, some pushed for deification of the departed while others clamored for "condamnatio memoriae."
 
Back in July, Ted Kennedy sent a letter to Pope Benedict XVI, delivered by none other than President Obama. It now appears that the Pope wrote back to the dying senator and that a priest was at his bedside as he died. In his true final act, Ted Kennedy didn’t promote health care reform, but reconciled with Christ and his Church, providing all onlookers with a reminder that the Church preaches mercy and forgiveness and waits with open arms for the return of all of her children.
 
Although in life Eunice often needed the powerful support of her famous brothers to carry out her many projects to protect life, now she and her beloved Rosemary are no doubt well placed to intercede for them in heaven.
 
This may be the most powerful -- and certainly the most important -- bond among these celebrated siblings.

* * *
 
Elizabeth Lev teaches Christian art and architecture at Duquesne University’s Italian campus and University of St. Thomas’ Catholic studies program. She can be reached at lizlev@zenit.org

10 Biarawati Gereja Episkopal AS Bergabung ke dalam Gereja Katolik

*) Menegaskan Apresiasi Mereka akan Orthodoksi dan Persatuan Gereja Katolik

BALTIMORE, Maryland, AUG. 31, 2009 (Zenit.org).- Hari Kamis, sebuah komunitas biarawati Episkopal dan pemimpin mereka akan diterima masuk ke dalam Gereja Katolik oleh Uskup Baltimore AS.

Sepuluh suster dari Serikat Saudari Dina dari Orang-orang Suci akan diterima ke dalam Gereja oleh Uskup Agung Edwin O’Brien bersama dengan Pastor Episkopal Rm.Warren Tange, berita ini dilaporkan oleh media keuskupan Baltimore kamis lalu.

Menghabiskan waktu selama tujuh tahun dalam doa dan kecermatan sikap, para suster tersebut akhirnya tertarik terhadap iman Katolik khususnya aspek orthodoksi dan persatuan.

Kepala biara dari komunitas yang berlokasi di Catonsville itu, Bunda Christina Christie, menegaskan bahwa setelah mempelajari ajaran Katolik selama dua tahun, para suster itu “sangat bergairah” karena penerimaan mereka menjadi Katolik.

Di kapel biara mereka, para biarawati tersebut akan menerima sakramen krisma dan akan memperbaharui janji mereka yakni kemiskinan, kesalehan dan ketaatan.

Pemimpin mereka, Rm.Warren Tange, juga akan masuk menjadi anggota Gereja pada saat bersamaan, meskipun dia masih bergumul apakah ada kemungkinan dia dapat menjadi imam Katolik.

Bunda Christina menegaskan, “Kami merasa Allah membimbing kami ke arah ini dalam waktu yang lama”.

Pernyataan yang disampaikan dari komunitas tersebut adalah bahwa banyak dari mereka merasa kesulitan akibat adanya perubahan kebijakan dalam gereja Episkopal, termasuk masalah legitimasi pentahbisan imam wanita, pentahbisan uskup homoseksual dan masalah-masalah lain yang secara moral sangat lemah.

Seorang biarawati yang lain, Suster Mary Joan Walker, mengatakan. “Kami tetap berpikir bahwa kami masih dapat membantu dengan menjadi saksi orthodoksi”.

Kepala biara tersebut menjelaskan, bahwa ternyata usaha mereka “tidak membantu sebesar harapan mereka itu akan terjadi dalam Gereja Episkopal.”

Kepala biara itu lantas berujar bahwa: “Orang-orang yang tidak mengenal kami lantas melihat kami seakan-akan kami sepakat dengan apa yang sedang terjadi dalam Gereja Episkopal; dengan tetap setia dan tidak melakukan apa-apa, lalu kami mengirimkan pesan yang menyatakan bahwa pandangan mereka tidak benar.

Para suster tersebut mengakui bahwa beberapa dari teman mereka di Gereja Episkopal merasa disakiti oleh keputusan mereka meninggalkan gereja episkopal, yang kemudian menuduh para suster tersebut meninggalkan perjuangan untuk mempertahankan orthodoksi dalam gereja mereka.

“Kami tidak begitu,” lanjut Suster Emily Ann Lindsey. “Kami melakukannya dalam aspek yang berbeda saat ini.”

Kepemimpinan Paus

Dalam ketidaknyamanan atas beberapa isu tertentu dalam gereja mereka, para suster tersebut menghabiskan banyak waktu untuk melakukan penelitian atas berbagai kelompok pecahan Espiskopal, begitu juga terhadap denominasi Kristen lainnya. Pada akhirnya, para suster tersebut menyadari bahwa mereka secara tanpa paksaan tertarik ke dalam Gereja Katolik.

“Ini adalah karya besar dari Roh Kudus,” ujar Bunda Christina.

Saat ini, bertahun-tahun setelah mempelajari Konsili Vatikan Ke-2 dan ajaran-ajaran Gereja lainnya, para suster tersebut menegaskan bahwa ajaran-ajaran tersebut bukan lagi halangan untuk diatasinya.

Pada awalnya konsep infalibilitas paus adalah isu yang sangat sulit bagi sebagian para suster tetapi sekarang para suster tersebut menegaskan bahwa Paus menjalani sebuah otoritas yang tidak ada dalam Gereja Episkopal.

“Persatuan yang Kristus maksudkan dapat dijumpai dalam Gereja Katolik di bawah kepemimpinan Paus, “ ujar mereka.

“Persatuan adalah isu yang tepat diantara semua isu ini, “ ujar Suster Catherine Grace Bowen. “Ini adalah daya dorong yang utama.”

Meskipun ada dua orang biarawati yang memutuskan untuk tidak menjadi Katolik, namun mereka akan tetap hidup bersama komunitas tersebut dan bekerja bersama-sama dengan para suster lainnya.

Para biarawati tersebut mendedikasikan hidup mereka untuk berdoa, memberikan layanan retret, mengunjungi orang-orang yang ada dalam perlindungan sosial serta membuat kartu-kartu bernuansa religius.

Komunitas yang tetap memelihara tradisi dengan memakai pakaian hitam panjang dan penutup kepala berwarna putih ini merupakan cabang komunitas yang berasal dari Inggris. Cabang AS inilah yang ada di Baltimore sejak 1872, melayani orang-orang miskin dalam area mereka sebagai bagian dari karisma panggilan mereka untuk membantu sesama.

Sumber: Permalink: http://www.zenit.org/article-26730?l=english

*) Diterjemahkan oleh Leonard T.Panjaitan

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...