Selasa, 16 September 2008

Tentang Tujuan Yesus, KematianNya, Gereja Mula-mula, Injil, Semuanya adalah Valid

TUJUAN YESUS


Erat berkaitan dengan pertanyaan tentang klaim Yesus adalah pertanyaan tentang tujuan Yesus. "Penyelidikan Kuno tentang Yesus sejarah" (yang kadang-kadang disebut "Penyelidikan Abad XIX") diluncurkan ketika para ahli mulai mempertanyakan maksud Yesus. Tulisan anumerta Hermann Samuel Reimaru (1774-1778) berpendapat bahwa Yesus berusaha menjadikan diri-Nya sendiri sebagai raja politis Israel di bumi. Tesis provokatif ini menuntun pada pembacaan Injil secara baru dan kritis. Seluk beluk Penyelidikan Kuno ini dibahas dengan fasih dan dinilai oleh Albert Schweitzer dalam karya klasiknya, Penyelidikan tentang Yesus Sejarah. Dengan munculnya kritisisme bentuk pada tahun 1920-an, di mana para pelaksana awal berpikir bahwa sebagian besar bahan Injil berasal dari gereja dan bukan dari Yesus, banyak orang meninggalkan Penyelidikan itu. Menurut beberapa teolog, hal itu dipandang mustahil secara historis dan tidak sah secara teologis. Namun penyelidikan baru yang berusaha untuk menemukan kaitan antara Yesus sejarah dan "Kristus iman," dimulai pada tahun 1950-an dan kemudian muncul fase lainnya, yang sekarang disebut "Penyelidikan Ketiga," yang muncul pada tahun 1980-an.
Apakah tujuan aktual Yesus ? Hal itu berkaitan erat dengan pertanyaan tentang makna pemberitaan-Nya tentang kerajaan (atau pemerintahan) Allah. Secara universal, hampir disetujui bahwa Yesus memberitakan Kerajaan Allah dan bahwa Ia merekomendasikan perubahan pemikiran dan tingkah laku berkaitan dengan kemunculan kerajaan itu.
Meskipun ditentang beberapa orang, ada kemungkinan Yesus melanjutkan himbauan Yohanes Pembaptis agar orang-orang bertobat dan bahwa panggilan pertobatan ini merupakan persiapan untuk munculnya kerajaan itu (lihat Mrk. 1: 15; 6: 12). Yesus percaya bahwa mukjizat-Nya merupakan bukti kemunculan kerajaan itu: "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu." (Luk. 11:20). Yesus mendesak para pengikut-Nya untuk memiliki iman kepada Allah dan saling mengampuni (Mrk. 11:22-25; Mat. 6: 14-15). Desakan ini pada dirinya sendiri, tentu saja, tidak menandai bahwa Yesus melepaskan diri dari Yudaisme. Namun hal itu mengambil nuansa yang sedikit berbeda dari sudut pemberitaan Yesus tentang kerajaan itu. Yesus mendorong para pengikut-Nya untuk saling melayani dan tidak bertindak seperti para penguasa dan pemerintah pada zaman mereka, yang memerintah atas orang lain dan senang dilayani (Mrk. 10:35-45).
Yesus berjanji kepada murid-murid-Nya bahwa mereka akan duduk di atas takhta dan menghakimi kedua belas suku Israel (Mat. 19:28; Luk. 22:28-30). Perkataan ini memberikan pandangan yang jelas kepada kita tentang tujuan Yesus. Ia dan murid-murid-Nya ingin mendirikan administrasi baru, tentu saja sesuai waktu Allah. Harapan ini berkaitan dengan perumpamaan tentang penyewa kebun anggur yang jahat (Mrk. 12:1-11), yang mengancam para penguasa Yahudi di Yerusalem untuk kehilangan posisi mereka. "Kebun anggur", yaitu , Israel, akan "diberikan kepada orang lain," yaitu, murid-murid Yesus. Berbeda dengan penafsiran beberapa orang Kristen dan Yahudi, penafsiran tersebut tidak berarti bahwa orang-orang dari bangsa lain atau orang Kristen dimaksudkan untuk menggantikan orang Yahudi. Penafsiran semacam itu bertentangan dengan zamannya dan tidak akurat. Yesus tampak jelas mengharapkan murid-murid-Nya sendiri, pada waktu yang hanya diketahui Allah, untuk mendirikan pemerintahan baru, untuk duduk di takhta dan menghakimi (dalam pengertian memerintah, bukan dalam pengertian menghukum). Referensi untuk "kedua belas suku" juga menyiratkan bahwa Yesus sepenuhnya mengharapkan pemulihan Israel, semua suku Israel. Hal ini berkaitan dengan panggilan untuk bertobat. Jika semua suku Israel mati bertobat, mereka semua akan dipulihkan.
Salah satu dari pelayanan Yesus yang mengejutkan dan ofensif adalah hubungan-Nya dengan "orang-orang berdosa," yaitu, dengan orang-orang yang bukan atau paling tidak, tidak tampak sebagai orang yang taat melakukan Torah (Mat. 9:10-13; Mrk. 2:15-17; Luk. 15:12). Tampaknya Yesus percaya bahwa pengampunan bisa dengan cepat dan siap sedia diberikan kepada orang yang melanggar atau mengabaikan hukum Musa. Namun pengampunan yang diberikan ini membutuhkan pertobatan dan iman (Mat. 11:20-24; 12:39-42; Luk.7:47-50; 11:29-32; 13:1-5; 15:7).
Penolakan terhadap Yesus menuntun pada unsur baru dalam khotbah dan pengajaran-Nya. Ia tidak disapa oleh imam besar ketika masuk Yerusalem (Mrk. 11:1-11). Ia mengkritik beberapa aspek kebijakan dan praktik di bait Allah (Mrk. 11:15-19). Imam-imam kepala menantang Dia dan ingin tahu dengan otoritas siapa Ia melakukan semua ini (Mrk. 12: 13-34). Yesus sekali lagi bersikap ofensif. Ia memberi peringatan kepada murid-murid-Nya untuk berhati-hati terhadap ahli Taurat yang menelan rumah janda-janda (Mrk. 12:38-40). Kemudian, sebagai ilustrasi yang hidup tentang peringatan ini, Ia meratap atas janda yang memberikan uang terakhirnya untuk pendirian bait Allah yang kaya dan, menurut pendapat beberapa orang sezaman-Nya, tamak (Mrk. 12:41-44).
Ketika mereka meninggalkan halaman bait Allah, Yesus memberi tahu murid-murid-Nya bahwa bangunan bait Allah di atas gunung itu akan diratakan dengan tanah, dan tidak ada satu batu pun yang akan dibiarkan ada di atas batu lainnya (Mrk. 13: 1-2). Tujuan-Nya atas pertobatan (dan pemulihan) nasional tertahan. Yesus mulai berbicara tentang penghukuman yang akan datang ke atas kota Yerusalem dan bait Allah di dalamnya yang terkenal di dunia (Luk. 19:41-44; 21:20-24). Dalam konteks inilah, Yesus mungkin mengucapkan kata-kata yang belakangan digunakan untuk menentang Dia selama pemeriksaan di depan Kayafas dan sidang yang berkuasa: "Kami sudah mendengar orang ini berkata: ‘Aku akan merubuhkan Bait Suci buatan tangan manusia ini dan dalam tiga hari akan Kudirikan yang lain, yang bukan buatan tangan manusia'.”(Mrk. 14:58).


KEMATIAN YESUS


Yesus kemungkinan besar dihukum mati karena membuat pernyataan yang dipahami musuh-musuh-Nya, pada satu segi, bersifat mesianik. Plakat yang ditaruh prajurit Romawi di atas salibnya, yang berbunyi "Raja orang Yahudi" (Mrk. 15:26) merupakan bukti utama atas pandangan ini. Ada bukti lain bahwa Yesus berpaut pada ide mesianik bahkan sekalipun Ia tidak menyatakan kemesiasan-Nya secara eksplisit (yang akan tidak sesuai, menurut harapan orang Yahudi). Bukti ini, seperti memasuki Yerusalem dengan naik seekor keledai dan diurapi, telah kita bahas.
Penyaliban Yesus oleh prajurit Romawi memberikan dukungan penting bahwa Yesus meneguhkan kemesiasan-Nya sebagai jawaban terhadap pertanyaan imam besar (Mrk. 14:61-64). Peneguhan kemesiasan-Nya itu sendiri mungkin bukan merupakan penghujatan, melainkan pernyataan duduk di atas takhta Allah, di sebelah Allah sendiri, sudah tentu dipandang sebagai penghujatan. Hal ini memperbesar keinginan untuk menyerahkan Yesus kepada prajurit Romawi.
Alasan lain mereka menghendaki kematian Yesus adalah karena ancaman-Nya terhadap kemapanan bait Allah. Ia bukan hanya menyiratkan dalam perumpamaan tentang penyewa kebun anggur yang jahat bahwa imam-imam kepala akan kehilangan posisinya, melainkan juga meramalkan bahwa karena mereka, bait Allah itu akan dihancurkan. Bahwa imam-imam kepala bisa tersinggung berat oleh retorik semacam itu digambarkan dengan jelas melalui pengalaman Yesus yang lain, anak Ananias, yang sekitar 30 tahun setelah kematian Yesus dari Nazaret berkeliling kota Yerusalem, kadang-kadang dekat dengan bait Allah, dan mengucapkan kutuk berdasarkan Yeremia 7. (Ingat bahwa kritikan Yesus terhadap kebijakan bait Allah juga didasarkan pada Yeremia 7.) Menurut Yosephus (Jewish Wars 6.300-309), orang ini ditangkap oleh imam-imam kepala. Ia kemudian diinterogasi, dipukuli dan kemudian diserahkan kepada gubernur Romawi dengan tuntutan agar ia dihukum mati. Gubernur menginterogasi dia lebih lanjut dan memutuskan untuk melepaskan dia karena dianggap sebagai orang gila yang tidak berbahaya.
Yesus dari Nazaret tidak mati karena Ia bertengkar dengan orang Farisi atas masalah penafsiran yang sah. Ia tidak mati karena mengajarkan tentang kasih, kemurahan, dan pengampunan. Yesus tidak mati karena berhubungan dengan "orang-orang berdosa". Ia tidak mati karena Ia seorang yang baik. Namun, Yesus mati karena mengancam kemapanan politis dengan prospek perubahan yang tidak diingini. Orang-orang sezaman-Nya melihat kemungkinan terjadinya kerusuhan besar atau bahkan mungkin pemberontakan besar. Para pemimpin Yahudi (yang terutama adalah imam besar dan imam-imam kepala) bertanggung jawab kepada gubernur Romawi untuk menjaga hukum dan ketertiban, dan gubernur pada gilirannya bertanggung jawab kepada Romawi. Yesus dipandang sebagai pembuat kekacauan oleh kedua kelompok penguasa ini, sebab itu Ia harus disingkirkan. Karena Yesus tidak disertai pasukan bersenjata, mereka tidak perlu menangkap salah satu pengikut-Nya. Sebab itu tidak ada pertempuran dan tidak ada darah tercurah selain penyaliban Yesus sendiri.



GEREJA MULA-MULA


Mengapa gereja mula-mula muncul ? Pertanyaan ini tidak memerlukan jawaban rumit atau panjang lebar. Gereja mula-mula muncul karena keyakinannya yang teguh bahwa Yesus telah dibangkitkan dan telah menampakkan diri kepada lusinan, bahkan ratusan, pengikut-Nya, Sejak kelahirannya, gereja mula-mula memberitakan kebangkitan Yesus. Terlepas dari kebangkitan, tidak ada alasan untuk mengembangkan dan memelihara identitas diri yang berbeda. Ajaran Yesus tidak mencela Yudaisme. Jadi, kecil kemungkinan bagi para pengikutNya yang semuanya Yahudi untuk meninggalkan atau memperbarui aspek-aspek Yudaisme, terutama sesuatu yang kontroversial seperti penginjilan kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, tanpa mengikuti norma yang melibatkan masuknya proselit.
Keyakinan yang tidak tergoncangkan bahwa Allah telah membangkitkan Yesus, yang pada gilirannya memberi perintah kepada para pengikut-Nya untuk meneruskan khotbah tentang visi kerajaanNya, inilah yang akhirnya menuntun munculnya gereja. Gereja memiliki "karakteristik yang diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan baru yang ia hadapi bertahun-tahun atau berpuluh-puluh rahun setelah kematian dan kebangkitan Yesus. Gereja percaya bahwa Tuhan dan Juruselamatnya akan kembali. Namun apa yang harus ia lakukan sebelum Ia kembali ? Bagaimana ia bisa bertahan hidup, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhannya, terlepas dari Yudaisme, induk imannya, dan berkaitan dengan meningkatnya penganiayaan di tangan negara kafir? Tulisan Perjanjian Baru dihasilkan, sebagian, untuk menjawab pertanyaan ini.


INJIL


Menurut saya, meskipun Injil ditulis dari sudut pandang iman kepada Yesus, hal itu dapat dipercaya. Iman dan sejarah yang bisa dipercaya tidak harus bertentangan. Kriteria autentisitas, yang tampak jelas ditekankan dalam penerapannya pada Injil, meneguhkan inti penting ajaran Yesus. Kita tidak perlu menyatakan bahwa Injil bebas dari kesalahan, meskipun demi alasan teologis, banyak orang Kristen menerima Injil sedemikian, dan bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang dianggap dilakukan Yesus sesuai dengan sejarah. Namun pernyataan bahwa Injil tidak dapat dipercaya, penuh mitos dan legenda dan dengan demikian penuh bias, sehingga pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya dikatakan dan diperbuat Yesus tidak bisa dipulihkan, terlalu berlebihan dan tidak beralasan. Bahkan Jesus Seminar, yang kesimpulannya ekstrem dan yang asumsi dan metodenya salah dan menyimpang, mengesahkan beberapa bagian esensial dari intinya. Jesus Seminar telah menyajikan pandangan tentang Yesus yang miring kepada masyarakat, secara pasti, tetapi anggota-anggotanya bagaimanapun juga menyimpulkan bahwa Yesus memberitakan tentang kerajaan Allah dan berhubungan dengan orang berdosa.
Memang benar bahwa Injil mungkin memberi tahu kita banyak hal tentang pergumulan masing-masing penulisnya (yang merupakan tugas kritisisme redaksi) dan bahkan mungkin memberi tahu kita sesuatu tentang orang-orang Kristen mula-mula mewariskan tradisi (yang merupakan tugas kritisisme bentuk), tetapi pergumulan utama para penulis adalah mengisahkan ajaran dan perbuatan Yesus. Kata-kata dan teladan-Nya dipandang normatif. Sejak awal, ada bukti bahwa perkataan Yesus dipandang setara dengan Alkitab, yang dalam konteks Yahudi merupakan hal yang luar biasa.
Melihat penghargaan yang begitu tinggi terhadap perkataan Yesus, kecil kemungkinannya orang-orang Kristen mula-mula dengan semau-maunya mengarang perkataan dan kemudian menganggapnya diucapkan Yesus. Sesungguhnya, pernyataan yang sering didengar bahwa banyak perkataan yang lahir sebagai jawaban atas pertanyaan atau isu yang dihadapi gereja mula-mula diragukan melalui pengamatan isu ini (seperti terlihat dalam surat-surat Perjanjian Baru) tidak dibahas di mana pun juga dalam perkataan Yesus. Ada ketidaksepakatan atas pertanyaan tentang sunat, makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, karunia rohani, hubungan antara orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain, dan kualifikasi untuk pejabat gereja, tetapi tidak ada perkataan Yesus yang membahas pertanyaan-pertanyaan ini. Hal ini menunjukkan bahwa para penulis Injil tidak punya kebiasaan untuk membuat-buat berita. Jadi kita punya alasan untuk menyimpulkan (sekali lagi, tanpa melibatkan dogma teologis) bahwa Injil melaporkan unsur-unsur utama ajaran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dengan akurat dan jujur.

IMAN KRISTEN DAN KISAH YAHUDI

Pengikut Yesus paling awal adalah orang-orang Yahudi. Awalnya, gereja terdiri dari orang Yahudi sampai setelah perang utama melawan Romawi (66-70 M), dan sebelum perang Bar Kokhba yang menimbulkan bencana besar (132-135 M) gereja Yahudi di Yerusalem sampai pada kesudahannya dan uskup dari bangsa lain menggantikan uskup Yahudi di sana. Diperlukan berabad-abad sebelum pengikut Ebionit (orang Kristen Yahudi) akhirnya berhenti menjadi denominasi yang berbeda dalam kekristenan dan tetap hidup. Dengan demikian, bagi ahli Yahudi dan Kristen saat ini, asal mula Yudaisme dan kekristenan membentuk kisah rumit yang menarik, di mana benang-benang kusutnya tidak perlu diurai.
Kisah Kristen berasal dari kisah Yahudi. Sesungguhnya, banyak orang Yahudi Mesianik saat ini percaya bahwa kekristenan masih tetap kisah Yahudi. Pemberitaan Injil mula-mula -"Yesus sudah bangkit" - merupakan bagian dari kisah Yahudi. Kekristenan adalah gerakan Yahudi yang berakar pada keyakinan bahwa Allah pada akhirnya menggenapi janji-Nya kepada Abraham dan Daud, bahwa Ia pada akhirnya telah menggenapi nubuat yang tidak terhitung jumlahnya, dan bahwa Ia akhirnya telah mendirikan Kerajaan Allah. Gerakan Yahudi yang baru dan enerjik ini menjangkau bangsa-bangsa lain dan membawa mereka untuk menundukkan diri pada ajaran Yesus, orang Yahudi, Mesias Israel. Israel sekarang sungguh-sungguh menjadi "terang bagi bangsa-bangsa" (Yes. 49:6) dan terlibat dalam tugas yang akan memunculkan kemuliaannya (Luk. 2:32).
Ironisnya, Kekaisaran Romawi yang menghancurkan negara Israel dalam serangkaian perang untuk menghukum Israel (dari 66-135 M) pada dirinya sendiri diserbu oleh iman mesianik yang berakar pada Alkitab suci Israel dan keyakinan kunonya pada Allah Abraham. Orang-orang dari bangsa-bangsa lain yang diundang untuk memainkan peranan dalam kisah yang menarik ini tidak boleh melupakan penulis kisah dan pemain Yahudinya.
Kisah sejati tentang Yesus sejarah sangat menarik dan memberi ilham. Kisah ini mungkin merupakan cerita lama, tetapi jauh lebih memukau daripada versi cerita Yesus yang lebih baru, radikal, minimalis, revisionis, sekaligus kabur dan pudar yang telah dikemukakan akhir-akhir ini. Arkeologi yang terus-menerus dilakukan, penemuan yang terus-menerus berlangsung dan riset tentang dokumen kuno akan terus memancarkan terangnya pada kisah tua ini. Penemuan tersebut mungkin memerlukan penyesuaian di sana sini. Namun sejauh ini, penemuan tersebut cenderung meneguhkan bahwa Injil dapat dipercaya dan menyangkal teori-teori baru. Saya curiga bahwa riset terus menerus yang jujur dan kompeten akan menghasilkan hal yang sama.


* Sumber : Merekayasa Yesus – Membongkar Pemutarbalikan Injil oleh Ilmuwan Modern, Terjemahan Indonesia oleh Penerbit Andi tahun 2007, Judul asli : Fabricating Jesus, 2005 By Craig Evans

Apakah Kebenaran tentang Yesus Benar-benar Valid

Apakah Kebenaran tentang Yesus Benar-benar Valid ?


Menyingkap Tujuan dan Klaim-Nya


Dalam bab sepuluh, kita telah memeriksa beberapa contoh terbu­ruk sejarah bohong-bohongan dan riset gadungan. Contoh-­contoh tersebut bukan cara yang tepat untuk mengakhiri buku tentang Yesus dari Nazaret, bahkan jika tujuan utamanya adalah untuk menyingkap kesalahan dan kekurangan pengetahuan semu dan radikal itu. Sesuatu yang lebih positif dan membangun perlu dikatakan. Dalam bab ini, saya ingin menyimpulkan diskusi ini dengan meninjau beberapa aspek terpenting dari Yesus dan gerakan yang didirikan­ Nya, dengan tekanan pada latar belakang dan konteks yang sesuai.

Dalam bab terakhir ini saya membahas tujuh topik penting: (1) hubungan Yesus dengan Yudaisme [ajaran Yahudi] pada zaman­Nya, (2) pernyataan Yesus. (3) tujuan Yes us. (4) faktor-faktor yang menyebabkan kematian Yesus, (5) kebangkitan Yesus dan munculnya gereja Kristen, (6) sifat Injil Perjanjian Baru, dan (7) iman Kristen sebagai bagian dari kisah Yahudi. Semua topik ini berkaitan dengan isu yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Namun beberapa dari ide itu tidak dipahami dengan baik bahkan oleh orang yang mengaku dirinya Kristen. Jika tidak dipahami dengan baik. penulis sejarah bohong-bohangan dan teologi yang buruk akan terus menjadikan orang yang naif dan mudah percaya sebagai mangsa.


HUBUNGAN YESUS DENGAN YUDAISME PADA ZAMANNYA


Sepanjang abad, orang-orang biasa memandang Yesus bertentangan dengan Yudaisme dalam berbagai hal. Teolog Kristen berpendapat bah­wa Yesus mengkritik agama umat-Nya yang terlalu legalistik (atau "Farisi") karena terlalu menekankan hal-hal lahiriah, dan kurang atau tidak memberikan tempat untuk kasih karunia, kemurahan, dan kasih. Tndakan Yesus di bait suci, yang seeara tradisional dirujuk sebagai "penyucian bait suci" (Mrk. 11:15-18 dan perikop yang paralel dalam Injil lainnya) dipandang menentang sistem kurban. Agama dianggap masalah hati, bukan ritual. Yesus memahami ini, tetapi orang-orang Yahudi sezaman-Nya tidak memahami hal itu. Demikianlah pema­haman kita.

Beberapa ahli, baik Yahudi maupun Kristen, mengeluh atas kari­katur ini. Mungkin tantangan yang paling berpengaruh tahun-tahun terakhir berasal dari E.P. Sanders. Ia berpendapat bahwa tak ada bukti yang menyiratkan bahwa Yesus menentang Yudaisme atau mengkri­tiknya sebagai agama yang menekankan hal-hal lahiriah dan ritual. Sebaliknya, ada bukti penting yang bertentangan dengan hal itu.

Yesus menerima semua ajaran utama iman Yahudi. Ajaran tersebut mencakup keesaan dan kedaulatan Allah, nilai dan kekudusan bait suci di Yerusalem, otoritas Alkitab Yahudi, pemilihan umat Israel, dan pengharapan akan penebusan Israel.

Selain itu, Yesus menjalankan banyak praktik yang berkaitan dengan kesalehan Yahudi pada zamannya: sedekah, doa, dan puasa (Mrk. 6: 1-18). Yesus berpuasa di padang gurun selama masa pencobaan-Nya (Mrk. 1:12-13). Ia berdoa dan mengajar murid-murid­Nya untuk berdoa (Mat. 6:7-15; Luk. 11:1-13; 22:39-46). Ia dan murid-murid-Nya memberi sedekah, dan la mengajar orang lain untuk melakukan hal yang sama (Luk. 11:41; 12:33; Yoh. 13:29). Yesus mengakui validitas bait suci, kurban, dan hari-hari suci Israel (Mat. 5:23-24; Mrk. 14: 14). la membaca dan mengutip Alkitab Yahudi dan dengan jelas memandang Alkitab itu bersifat autoritatif (Mrk. 10: 19; 12:24-34; Luk. 4:16-22; 10:25-28). Tampak jelas Ia mengikuti kebaktian di bait suci secara teratur (Luk. 4: 16); gaya dan penafsiran­Nya tentang Alkitab dalam banyak hal mencerminkan gaya dan penafsiran yang muncul di bait suci.

Ketika meramalkan bahwa Yerusalem akan mengalami bencana, Yesus menangis atas kota kuno Israel itu (Luk. 19:41-44). Yesus menga­sihi murid-murid-Nya dan rindu mereka diselamatkan. Murid-murid pertama-Nya-semuanya orang Yahudi - berpegang pada pengharapan yang sama.

Yesus menerima otoritas Torah (yaitu, hukum Taurat). Ia tidak menolak Torah, seperti pendapat banyak orang. Yang ditentang Yesus adalah penafsiran dan penerapan hukum Taurat. Dalam apa yang disebut antitesis Khotbah di Bukit (yaitu, "Kamu telah mendengar yang difirmankan, tetapi Aku berkata kepadamu..." lihat Mat. 5:21­48), Yesus tidak menentang perintah Musa; Ia menentang penafsiran dan penerapan konvensional hukum Taurat. Antitesis "tetapi Aku berkata kepadamu" tidak menentang perintah itu sendiri. Misalnya, Yesus setuju bahwa membunuh itu salah, tetapi menambahkan bahwa kebencian itu juga salah. Ia setuju bahwa perzinahan itu salah, tetapi menambahkan bahwa hawa nafsu pra-perceraian (yang sering menun­tun pada perceraian dan pernikahan ulang) itu juga dosa. Ia setuju bahwa bersumpah palsu itu salah, tetapi berbieara menentang praktik mengambil sumpah pada zaman-Nya. Yesus tidak menentang pemba­lasan ("mata ganti mata"), tetapi Ia menentang penggunaan perintah ini sebagai dalih untuk membalas dendam. Ia setuju bahwa orang-orang harus mengasihi bangsanya sendiri, tetapi menambahkan bahwa mereka harus mengasihi bangsa lain juga, bahkan juga musuh mereka.

Yesus mungkin percaya bahwa otoritas-Nya sendiri, yang berasal dari Roh Allah dan oleh-Nya Ia telah diurapi (Mrk. 1:10; Luk. 4:18), setara dengan otoritas Torah. Namun otoritas-Nya tidak merongrong otoritas Torah; tetapi menjelaskan dan menerapkannya dengan cara baru yang disesuaikan dengan kesan-Nya yang kuat atas kemunculan kerajaan (pemerintahan) Allah dan perubahan yang akan dihasilkannya.

Penafsiran Yesus yang inovatif sesuai dengan inovasi sejenis yang diungkapkan nabi-nabi klasik Israel. Seperti nabi-nabi itu, penafsiran Yesus menentang penafsiran dan penerapan tradisi Israel konvensional yang sakral. Misalnya, dalam Yesaya 28 nabi Yesaya menyatakan bahwa "TUHAN akan bangkit seperti di gunung Perasim, Ia akan mengamuk seperti di lembah dekat Gibeon" (Yes. 28:21). Di sini, Yesaya menyinggung cerita tentang kemenangan Daud atas Filistin (lihat 2 Sam. 5:17-21; 5:22-25 = 1 Taw. 14:13-16), cerita yang ditafsirkan lawan Yesaya pada zamannya sebagai jaminan kemenangan Israel di hadapan ancaman asing. Namun dalam cerita yang sakral ini, Yesaya tidak memberikan jaminan atas kemenangan Israel pada zamannya. Sebaliknya, Tuhan akan melakukan "perbuatan aneh" dan "pekerjaan asing" (Yes. 28:21). Maksud nabi itu adalah Allah akan memberikan kemenangan kepada musuh-musuh Israel. Yesaya mengatakan hal ini karena ia dengan benar menangkap bahwa Allah adalah Allah semua orang. Allah bukanlah Allah Israel secara pribadi.

Yesus juga menafsirkan cerita sakral Israel. Dalam khotbah.Nya di Nazaret (Luk. 4:16-30), Yesus membaca Yesaya 61:1-2, satu perikop yang dipahami menjanjikan berkat bagi Israel dan penghukuman atas musuh-musuh Israel. Kemudian ia menyinggung contoh-contoh tentang Elia dan Elisa (Luk. 4:25-27). Dari contoh-contoh ini, di mana tokoh terkenal pada masa lalu melayani bangsa lain (1 Raj. 17:1-16; 2 Raj. 5: 1-14), Yesus menyatakan bahwa tugas-Nya yang "diurapi"adalah untuk memberkati orang yang terpinggirkan dan orang yang dicurigai, bukan hanya orang Israel yang merasa benar. Jenis penafsiran ini mungkin terlalu berani - dan tentu saja akan ditentang banyak guru-tetapi menyiratkan otoritas Alkitab Israel; dan tidak meriyerang otoritasnya. Penghargaan Yesus terhadap Alkitab Yahudi menempatkan Dia tepat di dalam Yudaisme abad pertama.


PENEGASAN YESUS


Mungkin tidak ada hal yang lebih menimbulkan perpecahan daripada pertanyaan tentang pernyataan Yesus tentang diri-Nya sendiri. Topik ini biasanya dirujuk sebagai pertanyaan tentang pemahaman diri Yesus. Alasan utama bidang riset ini menjadi begitu kontroversial karena Yesus hanya berbicara sedikit tentang diri-Nya sendiri, paling tidak secara langsung. Namun ada banyak indikator bahwa Ia memahami diri-Nya sendiri sebagai agen khusus dalam pelayanan Allah.

Ia tampak jelas menyatakan diri sebagai seorang nabi. Yesus sendiri mengeluh: "Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya." (Mrk. 6:4). Tradisi ini cenderung autentik sebab sulit dipahami mengapa orang Kristen awal akan mengarang perkataan yang menyi­ratkan bahwa saudara dan kenalan Yesus tidak memperlakukan Dia dengan sikap hormat. Tampak jelas bahwa masyarakat juga meman­dang Dia sebagai nabi: "Ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi" (Mrk. 8:28) ; "Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita" (Luk. 7:16); "Jika orang ini adalah nabi..." (Luk. 7:39). Tradisi ini dalam segala kemungkinan bersifat historis, sebab orang Kristen mula-mula berbicara tentang Yesus sebagai Juruselamat, Tuhan dan Anak Allah. Mereka tidak akan menekankan identitas-Nya (sekadar) sebagai nabi. Tentu saja, Yesus melakukan ramalan (Mrk. 13:2) dan mengucapkan apa yang mungkin bisa dipandang sebagai nubuat profetis terhadap berbagai orang, institusi atau kelompok (Mrk. 12: 1-11; 14:58; Mat. 11:20-24; Luk. 10:13-15).

Yesus sering kali disapa sebagai "rabi" (Mrk. 9:5; 10:51; 11:21; 14:45), Ia mengajar sebagai rabi, meskipun para pengagum-Nya menegaskan bahwa Ia mengajar sebagai seorang yang memiliki otoritas yang jauh lebih besar daripada guru-guru lain pada zaman-Nya (Mrk. 1:22, 27). Orang yang berada di luar kelompok-Nya menyebut Dia se­bagai "rabi" (yang dipahami pada zaman itu sebagai guru [Mrk. 5:35; 10: 17; 12: 14]). Beberapa ahli menyatakan bahwa kemunculan rabi dalam Injil mencerminkan penggunaan anakronistik gelar ini, sebab hal itu belum menjadi gelar Yesus sebelum 70 M. Namun penggunaan rabi dalam Injil bersifat informal dan jelas mencerminkan penggunaan Yahudi pada abad pertama. Mengapa orang Kristen yang menulis setelah tahun 70 menerapkan gelar formal kepada Yesus, gelar yang biasa digunakan oleh guru-guru agama yang semakin lama semakin kritis terhadap kekristenan ? Jika bisa, gelar itu akan dihindari. Gelar itu digunakan begitu sering, menurut pernilaian saya, karena tradisi Injil bersifat primitif dan autentik. Yesus disebut "rabi" dalam lnjil karena, senang atau tidak, Dia disapa demikian selama pelayanan-Nya.

Meskipun tidak ada petunjuk bahwa Yesus merujuk diri-Nya sendiri sebagai imam atau salah satu pengikut-Nya memandang Dia sedemikian, Yesus melakukan beberapa tindakan yang biasanya dipa­hami sebagai fungsi imam. Ia menyatakan seseorang "tahir" (Mrk. 1:41; Mat. 11:5; Luk. 7:22) dan "diampuni" (Mrk. 2:5; Luk. 7:47-48). Ia juga berani menantang kebijakan bait suci dan praktik para imam kepala. Tantangan paling provokatif adalah penyucian bait Allah. Hanya dalam teologi gereja belakangan, kematian Yesus dan peran­Nya sebagai Juru syafaat di surga baru dipahami dari sudut korban dan imamat, seperti terlihat, misalnya, dalam Kitab lbrani.

Yesus secara regular merujuk diri-Nya sendiri sebagai "Anak Manusia", julukan yang telah diperdebatkan dengan seru selama bertahun-tahun. Buku ini bukan tempat umuk membahas pertanyaan rumit tersebut secara detail, tetapi saya akan memberikan beberapa komentar singkat yang mungkin mengandung fisiko. Menurut saya, sebutan untuk diri sendiri ini, yang jelas merupakan favorit Yesus, menyinggung "anak manusia" dalam Daniel 7. Yesus memandang diri­Nya sendiri sebagai tokoh yang akan menerima kerajaan, kuasa, dan otoritas ini. Rujukan pada diri sendiri ini menyiratkan bahwa Yesus memandang diri-Nya sendiri sebagai wakil Allah. Dalam perkataan yang memiliki autentisitas tinggi, Yesus menjamin murid-murid-Nya: "Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel" (Luk. 22:29-30). Permintaan murid-murid yang mementingkan diri sendiri untuk mendapat kursi kehormatan ketika Yesus datang dalam "kemuliaan"-Nya (Mrk. 10:35-45), yang karena rasa malu yang tampak jelas menjamin autentisitasnya, dalam segala kemungkinan muncul dari asumsi bahwa Yesus sungguh-sungguh adalah "Anak Manusia" yang akan memulihkan Israel dan meneguhkan kerajaan Allah.

Apakah Yesus memandang diri-Nya sendiri sebagai Mesias ? Buktinya ambigu, tetapi secara keseluruhan, bukti mendukung pen­dapat bahwa memang benar demikian. Ia disebut sebagai Mesias oleh murid-murid-Nya (Mrk..8:29-30). Ketika Yohanes Pembaptis bertanya kepada Yesus apakah Ia "orang yang akan datang," jawaban Yesus menyinggung kutipan dari Yesaya 35:5-6 dan Yesaya 61:1-2 (Mat. 11:2-6; Luk. 7: 18-23). Tampak jelas bahwa melalui jawaban ini, Yesus meneguhkan Yohanes. Namun apakah Yohanes bertanya kepada Yesus apakah Ia adalah Mesias ? Mungkin ya, berdasarkan gulungan dari Qumran yang baru saja diterbitkan (yaitu, 4Q521). Gulungan ini me­muat kutipan yang mirip dengan perikop dari Yesaya dan memahami kutipan itu sebagai pekerjaan Mesias. Dengan kata lain, dalam Jawaban-Nya kepada Yohanes, Yesus menyiratkan bahwa Ia adalah Dia yang akan datang (yaitu, Mesias), seperti terbukti berdasarkan fakta bahwa Ia sibuk melakukan pekerjaan Mesias.

Anak Timeus yang buta mengelu-elukan Yesus sebagai “Anak Daud”, yang mungkin merupakan sebutan mesianik (Mrk. 10:47-48). Ketika Yesus masuk Yerusalem, orang banyak berseru atas datangnya Kerajaan Daud (Mrk. 11:9-10). Ia menunggang keledai (Mrk. 11:1­7), seperti halnya Salomo, anak Daud (1 Raj. 1:38-40; lihat Zak. 9:9). Yesus juga memandang bahwa diriNya memiliki otoritas dalam bait Allah. Hal ini hanya bisa Ia lakukan jika Ia adalah imam kepala atau raja Israel. Kecil kemungkinannya Yesus dipandang sebagai imam kepala. Beberapa komentator berpendapat bahwa Yesus mengutip dan membahas Mazmur 110:1 sedemikian rupa sehingga bisa menjauhkan diriNya sendiri dari tradisi anak Daud (Mrk. 12:35-37). Namun Yesus tampaknya mengatakan bahwa Mesias akan lebih besar daripada Daud. Yesus diurapi (Mrk. 14:3-9), yang mungkin merupakan pengurapan mesianik oleh pengikut yang setia. Ketika ditanya imam besar apakah Ia adalah Mesias, Yesus berkata bahwa Ia memang Mesias (Mrk. 14:61­62). Dan, yang lebih penting, Yesus disalibkan oleh tentara Romawi sebagai "raja orang Yahudi" (Mrk. 15:26, 32).

Kepercayaan awal yang tersebar luas di antara orang Kristen bahwa Yesus adalah Mesias Israel menyiratkan bahwa Yesus dipahami seperti itu sejak masa pelayananNya dan bukan sekadar sejak pem­beritaan Paskah. Sangat kecil kemungkinannya bahwa kebangkitan itu sendiri membuat murid-murid Yesus mengaku Yesus sebagai Mesias jika Ia tidak pernah menyatakan atau menerima sebutan itu dalam pelayanan-Nya. Apakah pengikut Rabi Aqiba yang terkenal pada abad kedua memberitakan guru yang mereka kasihi sebagai Mesias, jika ia bangkit setelah kemartirannya (sekitar 135 M) ? Saya meragukan hal itu. Pemberitaan Yesus sebagai Mesias setelah Paskah dengan kuat menyiratkan bahwa Yesus dipahami sedemikian sebelum Paskah.

Apakah Yesus memandang diriNya sendiri sebagai Anak Allah ? Buktinya juga ambigu, dan hal itu dikaitkan dengan pertanyaan tentang pemahaman diri Yesus sendiri sebagai Mesias. Daud disebut "anak" dalam hubungannya dengan Allah (lihat 2 Sam. 7:14; Mzm. 2:7). Sebab itu, Mesias dalam satu pengertian adalah "anak Allah." Dalam 1 Tawarikh 29:23, Salomo dikatakan telah "menduduki takhta yang ditetapkan TUHAN," jadi dalam pengertian tertentu, anak Daud diharapkan untuk duduk di takhta yang ditetapkan Allah. Konsep ini akan menambah keyakinan bahwa Mesias akan melayani sebagai wakil Allah.

Ucapan paling dramatis, dan yang mengaitkan gambaran tentang identitas Anak Manusia dengan Anak Allah, ditemukan dalam jawaban Yesus kepada Kayafas. Dalam usaha untuk menemukan bukti memberatkan yang menentang Yesus, imam besar bertanya: "Apa­kah Engkau Mesias, anak Yang Terpuji [yaitu, Allah]?" Yesus menja­wab: "Akulah Dia, dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa [yaitu, Allah] dan datang di tengah­-tengah awan-awan di langit" (Mrk. 14:61-62). Karena dalam percakapan ini Yesus mengaku apa yang dipercaya penulis Injil Markus Sebagai identitas diri-Nya (lihat Mrk. 1: 1), beberapa ahli meragukan autentisitasnya. Maksudnya, mereka memandang Markus sebagai sumber pengakuan ini, bukan Yesus. Mereka juga heran bagaimana murid-murid mengetahui hal itu, sebab mereka tidak ada di sana karena sudah melarikan diri (lihat Mrk. 14:50). Ahli lain menunjukkan ketidakkonsistenan yang tampak dalam ungkapan bahwa Yesus "telah duduk di sebelah kanan Allah," yang menunjukkan "keadaan tidak bergerak, tetapi "datang di tengah-tengah awan-awan di langit" yang menunjukkan gerak. Sebab itu, kita mungkin memiliki tradisi berbeda yang telah disejajarkan secara janggal (dan tidak autentik). Demikianlah argumen mereka.

Namun keberatan ini kurang berbobot. Menyimpulkan bahwa dalam satu pengertian Yesus tidak memandang diriNya sendiri seba­gai Anak Allah membuat ahli sejarah heran mengapa orang lain mela­kukannya. Sejak awal, Yesus dipandang orang-orang Kristen sebagai Anak Allah. Mengapa tidak memandang Dia sebagai nabi besar jika itu semua adalah apa yang Ia atau orang lain nyatakan? Mengapa tidak memandang Dia sebagai Guru besar, jika itu semua pura-pura Ia lakukan? Kekristenan paling awal memandang Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah, saya kira, karena demikianlah murid-murid-Nya memahami Dia dan Yesus mengizinkan mereka untuk memahami Dia dengan cara demikian.

Keberatan yang mengatakan bahwa murid-murid tidak hadir saat mendengar percakapan antara Yesus dan Kayafas dan dengan demikian tidak tahu apa yang telah terjadi adalah naif. Apakah kita harus sungguh-sungguh membayangkan bahwa murid-murid, yang belakangan menjadi pemberita yang penuh semangat tentang Guru dan ajaran-Nya, tidak pernah belajar dari apa yang terjadi ? Apakah mereka tidak mengerti mengapa penguasa Yahudi menghukum Dia. Hal itu melukai akal sehat. Bahkan jika peraturan Mishnah (sekitar 220 M) belum berlaku pada awal abad pertama, ada kemungkinan keputusan hukuman mati akan diumumkan, seperti dituntut oleh Mishnah. Pernyataan Yesus sebagai Mesias Israel tidak akan mengaki­batkan Dia disalibkan oleh tentara Romawi dan pada salib-Nya ditem­pelkan plakat (atau pemberian gelar) yang berbunyi, "raja orang Yahudi". Sebab klaim sebagai Mesias berarti klaim sebagai raja Yahudi, Hampir sulit dipercaya bahwa murid-murid tidak mengetahui hal ini sama sekali. Namun, fakta bahwa murid-murid tidak hadir mungkin menjelaskan mengapa catatan tentang percakapan antara Yesus dan para penuduh-Nya (Mrk. 14:55-65) begitu singkat dan di beberapa tempat agak kabur.

Akhirnya, keberatan yang didasarkan pada penjajaran yang aneh antara duduk dan bergerak di antara awan-awan kurang berbobot jika kita mengingat bahwa takhta tempat Allah duduk adalah kereta berapi. Sesungguhnya, takhta yang dijelaskan dalam Daniel 7:9, di mana Yang Lanjut Usianya (Allah) bertakhta dan yang didekati tokoh anak manusia, dikatakan memiliki roda yang "adalah api yang menyala," Yang membuat Kayafas sangat terkejut bukan hanya keberanian Yesus menegaskan identitas mesianik-Nya, melainkan juga keberanian-Nya menyatakan bahwa Ia akan duduk di alas takhta Allah. Jawaban Yesus bukan hanya merupakan pengkhianatan di mata Romawi, melainkan juga merupakan penghujatan di mata orang Yahudi yang saleh yang tidak berpegang pada ide mesianik semacam itu, pada masa itu hanya sedikit imam besar Saduki yang berpegang pada keyakinan mesianik. Yesus tdah menyatakan bahwa saatnya akan tiba di mana Kayafas dan pengikutnya akan melihat Yesus, "Anak Manusia", duduk di sebelah kanan Allah, di takhta kereta berapi Allah, mengguntur dari surga dan datang untuk menghakimi. Sungguh-sungguh merupakan penghujatan melihat seseorang berani mengatakan hal semacam itu.


Sumber : Merekayasa Yesus – Membongkar Pemutarbalikan Injil oleh Ilmuwan Modern, Terjemahan Indonesia oleh Penerbit Andi tahun 2007, Judul asli : Fabricating Jesus, 2005 By Craig Evans

Senin, 08 September 2008

KITAB WAHYU - MISA KUDUS DI BUMI ADALAH SAMA SEPERTI DI SURGA

DI BUMI SEPERTI DISURGA

Kita tidak usah pergi jauh-jauh untuk mengidentifikasi para pemegang peran dalam Kitab Wahyu. Sebenarnya, arti yang Tuhan inginkan agar dapat kita mengerti, sering kali sudah tertera jelas dalam tulisan, atau tidak ada di dalam hati kita. Ketika saya menoleh kembali ke belakang pada tahun-tahun saat saya mempelajari Kitab Wahyu sebagai orang Protestan, saya kagum bahwa saudara-saudara seiman dan saya sendiri kadang-kadang dapat melihat, bahkan sangat jelas, helikopter Rusia digambarkan sebagai wabah belalang pindahan - tetapi kita bersikeras dalam menolak bahwa Maria bisa jadi adalah perempuan yang berbaju matahari itu, yang melahirkan anak laki yang menyelamatkan dunia. Membaca Kitab Wahyu, kita harus berjuang melawan keinginan untuk menekankan hal-hal yang berlebihan sementara menolak hal-hal yang jelas.

Saya ulangi lagi: Sering kali makna terdalam di dalam Kitab Suci sungguh dekat dengan hati kita, dan penerapannya yang luas sangat kita kenal. Sekarang, di manakah di dunia ini dapat kita temukan Gereja universal yang cara penyembahannya benar menurut penglihat­an Yohanes? Di manakah dapat kita temukan imam-imam yang memakai pakaian kebesaran berdiri di depan altar? Di manakah kita temukan laki-laki yang dikuduskan untuk selibat? Di manakah kita mendengar para malaikat berdoa? Di manakah kita dapat menemukan Gereja yang menyimpan relikui para suci di altarnya? Di manakah terdapat seni yang menyanjung-nyanjung perempuan yang bermahkota bintang-bintang, dengan bulan di kakinya, yang menghancurkan kepala si ular ? Di manakah terdapat orang-orang beriman berdoa untuk memohon per­lindungan St. Mikhael malaikat tertinggi?

Di mana lagi kalau bukan di dalam Gereja Katolik, dan terutama dalam Misa Kudus ?

Sumber : The Lamb’s Supper - The Mass as Heaven On Earth, Oleh Scott Walker Hahn, 1999, Terj. Indonesia : Perjamuan Anak Domba - Perayaan Ekaristi, Surga Di Atas Bumi, Penerbit Dioma, 2007.


KITAB WAHYU - SIAPAKAH PARA MARTIR, PERAWAN DAN YANG LAIN ?

PARA MARTIR, PARA PERAWAN, DAN YANG LAIN-LAIN

Tetapi ada masih banyak lagi pemeran-pemeran di dalam Wahyu selain binatang-binatang dan para malaikat yang mengagumkan. Dalam kenyataannya, kebanyakan pemeran itu adalah manusia-manusia biasa - ratusan, ribuan bahkan jutaan umat Kristen biasa. Mulanya kita lihat 144.000 dari kedua belas suku Israel (12.000 dari setiap suku), sisa yang menerima perlindungan Allah ("Tanda-Nya"), melarikan diri ke pe­gungungan waktu penghancuran Yerusalem. Lalu Yohanes menggambarkan suatu kumpulan besar yang tak terbilang banyaknya "dari setiap bangsa" (Why 7:9). Setelah dua milenium menganut kepercayaan yang inklusif, dewasa ini kita tidak dapat menerima hal yang mengejutkan dari penglihatan tentang bangsa Israel yang menyembah Allah bersama-sama kaum kafir, dan manusia bersama-sama para malaikat. Dalam pikiran para pembaca perdana tulisan Yohanes, ini merupakan kategori yang jelas tidak termasuk. Di samping itu, di dalam surga, semua penyembah yang tak terbilang banyaknya ini beribadat di tempat "Yang Kudus di antara para Kudus", di mana sebelumnya tak seorang pun selain Imam Agung yang diizinkan masuk. Umat Perjanjian Baru boleh menyembah Allah bertatap muka dengan muka.

Selain itu siapa lagi yang ada di sana? Di bab 6, kita me­nemukan para martir, yang dibunuh karena kesaksian mereka atas iman mereka. “Aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki“ (Why 6:9). Mengapa mereka berada di bawah altar? Apa yang biasanya terdapat di bawah altar Bait Allah duniawi ? Saat para imam dalam Perjanjian Lama mempersembahkan kurban persembahan, darah kurban dikumpulkan di bawah altar. Sebagai kaum imami, mereka (dan kita) mempersembahkan hidup kita di dunia ini, altar yang benar, sebagai persembahan kepada Tuhan. Maka saat itu, persembahan yang sejati bukanlah hewan; melainkan setiap orang kudus yang memberi kesaksian (dalam bahasa Yunani, martyria) akan kesetiaan Allah. Persembahan kita - darah para martir ­berteriak memanggil Allah untuk dibenarkan. Betapa jelas dari Kenyataan bahwa, sejak dahulu kala, Gereja telah menempatkan relikui para martir, tulang-tulang dan abunya, di dalam altarnya. Sebelumnya, kita telah menyebutkan bahwa para tua-tua (presbyteroi) memuji-muji di istana Allah. Benar, di surganya Kitab Wahyu, orang-orang ini berpakaian persis seperti imam­-imam bangsa Israel saat ibadah di Bait Allah Yerusalem.

Dalam Kitab Wahyu (14:4), kita juga menemukan banyak lelaki dikuduskan bagi hidup selibat. Ini adalah penyimpangan lain di dunia kuno, yang hampir tidak pernah diketemukan dalam kebudayaan bangsa Israel atau kebudayaan bangsa kafir, seperti juga tidak biasa dalam Kekristenan Barat sejak Reformasi Protestan. Tetapi Yohanes menyebutkan para selibat ini sebagai tentara yang memiliki kebenaran, yang kemungkinan besar adalah yang dikehendaki Allah (lihat 1 Kor 6-7).

Sumber : The Lamb’s Supper - The Mass as Heaven On Earth, Oleh Scott Walker Hahn, 1999, Terj. Indonesia : Perjamuan Anak Domba - Perayaan Ekaristi, Surga Di Atas Bumi, Penerbit Dioma, 2007.


KITAB WAHYU - SIAPAKAH PARA MALAIKAT ITU ?

PARA MALAIKAT

Di dalam peperangan, kita tidak berperang seorang diri. Dalam Kitab Wahyu 12, kita baca tentang "Mikhael dan malaikat­-malaikatnya berperang melawan naga" (12:7).

Pada waktu Allah menciptakan para malaikat, Ia membuat mereka bebas, dan mereka harus melewati semacam tes - seperti kehidupan kita di dunia adalah sebuah tes. Tidak seorang pun yang tahu tes macam apa ini, tetapi beberapa teolog berspekulasi bahwa para malaikat diberikan penglihatan tentang Inkarnasi, dan mereka diberi tahu bahwa mereka harus melayani keilahian inkarnasi, Yesus, dan ibu-Nya. Kesombongan iblis memberontak, ia berkata, "saya tidak maumelayani !" Menurut Bapa-bapa Gereja, ia menyeret sepertiga dari malaikat-malaikat di dalam pemberontakan ini (lihat Why 12:4). Mikhael dan malaikat­-malaikatnya mengusir mereka keluar dari surga (lihat ayat 8).

Dalam seluruh Kitab Wahyu, kita lihat bahwa di surga terdapat populasi malaikat-malaikat yang begitu padat. Mereka menyembah Allah tanpa henti (Why 4:8). Dan mereka menjagai kita. Bab 2 dan 3 menjelaskan bahwa setiap gereja tertentu mempunyai malaikat pelindungnya. Hal ini harus meyakinkan kita, yang menjadi bagian gereja tertentu, dan yang dapat meminta pertolongan pada malaikat pelindung gereja kita.

“Empat makhluk hidup” yang disebut dalam bab 4 biasanya diartikan sebagai malaikat-malaikat, meskipun mereka tampil di hadapan mata manusia dalam bentuk hewan. Makhluk­-makhluk ini menyerupai seperti makhluk yang disulam di tabir di depan Yang Kudus dari Yang Terkudus di dalam Bait Allah Yerusalem.

Meskipun para malaikat surga tampil di hadapan mata manusia dalam bentuk fisik, para malaikat sebenarnya tidak mempunyai tubuh. Nama mereka berarti "utusan", dan atribut fisiknya biasanya melambangkan beberapa aspek dari sifat misi mereka. Sayap-sayap menandakan kelincahan mereka dalam bergerak antara surga dan bumi. Matanya yang banyak menandakan pengetahuan dan kewaspadaan mereka. Malaikat bermata banyak, bersayap enam, kedengarannya menyeramkan mula-mula, tetapi bila kita lihat mereka dari sudut kelincahan dan kewaspadaan, keyakinan kita akan pulih kembali. Ada makhluk-makhluk yang dapat kita percayai, saat naga menyerang kedamaian kita.

Dalam Kitab wahyu, para malaikat juga tampil sebagai penunggang kuda (bab 6) yang menghampiri penghakiman Allah atas orang-orang yang tidak setia (lihat juga Za 1: 7 -17). Banyak dari kejadian-kejadian di bab-bab ini dapat dihubungkan dengan kejadian sekitar kejatuhan Yerusalem pada tahun 70 M. Tetapi kalimat-kalimat itu dapat diterapkan jauh melebihi abad pertama, sepanjang bumi masih membutuhkan penghakiman.

Para malaikat dalam Kitab Wahyu memegang kendali elemen-­elemen, angin dan lautan, dalam menjalankan kehendak Allah (bab 7). Bab 7-9 membuatnya jadi jelas bahwa para malaikat adalah tentara-tentara yang tangguh, dan bahwa mereka berperang terus-menerus di sisi Allah - di mana, bila kita setia, ada di sisi kita juga.

Sumber : The Lamb’s Supper - The Mass as Heaven On Earth, Oleh Scott Walker Hahn, 1999, Terj. Indonesia : Perjamuan Anak Domba - Perayaan Ekaristi, Surga Di Atas Bumi, Penerbit Dioma, 2007.


♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...