Senin, 27 Juli 2009

PERLUASAN GEREJA MARIA ASSUMPTA BABARSARI PAROKI KRISTUS RAJA BACHIRO, YOGYAKARTA

PROPOSAL PENCARIAN DANA

Ketika Roh Kudus, Roh Allah menyapa siapakah yang bisa berdiam diri? Ia selalu terdorong untuk bertindak menuruti kehendak Roh itu. Karena dorongan Roh Kuduslah, para Rasul berkata-kata dan berani mewartakan kabar suka cita tentang Kerajaan Allah yang diajarkan Kristus. Kira-kira demikianlah suasana kerinduan hari para jemaat Babarsari, untuk mengembangkan Kerajaan Allah. Roh Allah itu pulalah yang mendorong mereka untuk mendirikan rumah ibadat, tempat berkumpulnya umat Allah di Babarsari.


Februari 1991 Dewan Stasi Santo Florentinus Babarsari mengeluarkan SK No 04 FBRS/X/90 serta memberi mandat kepada Panitia Pembangunan Gereja. Pada tanggal 15 Agustus 1994 dimulai peletakan batu pertama oleh Bapak drs, Arifin Ilyas, Bupati Kepala Daerah Tk. II Sleman disaksikan oleh Vikjen Keuskupan Agung Semarang mewakili Uskup Keuskupan Agung Semarang. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari berdirinya Gereja Maria Assumpta, Stasi Florentinus Babarsari, Paroki Kristus Raja Baciro, Yogyakarta.


Rupanya, umat percaya bahwa Allah yang telah memulai karyaNya akan menuntun dan menyelesaikannya. Paling tidak dalam perjalanan Gereja setempat, nampak dan terasa kerjasama Allah dan GerejaNya. Semangat kerjasama, saling membantu, dan melalui perjuangan dan pengorbanan akhirnya pada tanggal 16 Februari 2003 Gereja Maria Assumpta diresmikan dan dipakai umat Babarsari sarnpai sekarang.


Gereja tersebut dibangun lengkap dengan pastoran dan ruangan untuk aktivitas umat termasuk mahasiswa Katolik yang berdomisili di sekitarya. Seiring dengan perkembangan wilayah dan tumbuhnya kampus-kampus perguruan tinggi dengan mahasiswanya yang datang dan berbagai daerah di Indonesia, Gereja Maria Assumpta Babarsari dengan reksa pastoralnya menjadi penyanggga kegiatan umat dan mahasiswa dan mempertajam visi latihan dan pengembangan dalam pembentukan karakter kader-kader Katolik, kaum muda, mahasiswa di masa depan. Dengan dernikian fungsi gereja menjadi nyata menjamin kebutuhan umat dimana tidak menutup diri terhadap masyarakat luas.


Gereja Maria Assumpta sangat menaruh perhatian khususnya kepedulian terhadap generasi muda dan mahasiswa terkait dengan iman dan kehidupan moralnya yang perlu mendapatkan pendampingan terus menerus agar menjadi kader-kader Katolik yang bertanggung jawab di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang.


Maka gereja sebagai pusat pelayanan dalam lingkungannya tentu memerlukan fasilitas pendukung gereja. Demi terlaksananya kegiatan tersebut, Panitia Perluasan atas persetujuan dan ijin Mgr. Ign. Suharyo Uskup Agung Semarang, pada tgl 15 Desember 2008 telah melaksanakan pembelian tanah seluas 2082 m2 yang letaknya bersebelahan dengan lahan Gereja Maria Assumpta sebelah Tirnur, dengan harga Rp. 1.250.000/m2.


Pembayaran kepada Pemerintah Daerah telah diselesaikan secara kontan pada tanggal yang sama sejumlah 2082 x Rp. 1.250.000 = Rp. 2.801.650 000.


Jumlah tersebut dihimpun dan beberapa sumber dana dengan rincian sbb:

Harga tanah Rp. 2.801.650.000

Biaya sertifikasi Rp. 3.000.000

____________

Rp. 2.804.650.000

Surnbangan dari donatur Rp. 1.376.650.000

Pinjaman jangka pendek (3 bulan) Rp. 1.428.000.000


Pinjaman jangka pendek tersebut harus diangsur selama 3 (tiga) bulan, sampai dengan tanggal jatuh tempo 15 Maret 2009.


Waktu 3 bulan untuk mengumpulkan sejumlah itu tidak gampang bahkan mustahil. Tetapi kita harus percaya bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Tuhan akan menggunakan caranya sendiri untuk melaksanakan kehendak Nya. Benar, cara Tuhan sangat misterius, kita tidak tahu apa-apa karena begitu kerdilnya kita dibandingkan dengan Tuhan. Yang diperlukan kerjasama kita.


Jumlah yang kelihatan besar itu, akan menjadi kecil dan ringan apabila kita tanggung bersama.


Han ini, kembali Roh Allah yang Kudus akan menerangi dan membuka hati Bapak/Ibu dan siapa saja untuk ikut serta memikul kebutuhan dana bersama, dan bersedia menjadi donatur. Partisipasi Bapak/lbu/Saudara sangat diharapkan.


Sumbangan dapat diberikan secara tunai melalui Panitia atau ditransfer rnelalui Rekening Bank:

  1. Tabungan BANK NIAGA

Jl. Jendral Sudirman, Yogyakarta

No-Rek : 018-01-00156-17-9

An, PGPM GEREJA ST. PETRUS RASUL

BACIRO, YOGYAKARTA

Pan Bang Gereja Babarsari

Romo Gregorius Suprayitno Pr atau Odilia Sumarini


2. Tabungan BANK BCA

KCP Urip Sumohardjo, Yogyakarta

No-Rek : 4560759229

An. PGPM GEREJA ST. PETRUS RASUL

BACIRO, YOGYAKARTA

Pan Bang Gereja Babarsari

Romo Gregorius Suprayitno Pr atau Odilia Sumarini


PANITIA


Ketua : EV Budiadi, Hp. 081578507884

Sekretaris : Br. Bambang Sumanto, Hp. 081802678426

Bendahara : Odifia Sumarini, Hp. 08164268559

Pastor Paroki Kristus Raja Baciro, Yogyakarta

Rm. G. Suprayitno Pr

Rim G. Kriswanta Pr

Sekretariat:

Gereja Maria Assumpta

Jl..Inspeksi, Babarsari, telp. 0274 - 487202

Yogyakarta

Selasa, 21 Juli 2009

150 TAHUN SERIKAT JESUS

Harus Banyak Mencetak Ahli Nonhumaniora

Serikat Jesus di Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang pelik, yakni ”mencetak” para ahli di bidang kehidupan masyarakat, terutama nonhumaniora, berikut riset-risetnya. Ini untuk menjawab tantangan pada era global, yakni segala bentuk kemiskinan.

Hal itu disampaikan Robertus Bellarminus Riyo Mursanto SJ, Provinsial SJ Indonesia dalam perayaan Jubileum 150 Tahun Serikat Jesus (SJ) di Indonesia (9 Juli 1859-9 Juli 2009) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Minggu (19/7).

”Yang banyak dicetak SJ adalah ahli di bidang humaniora. Melihat tantangan global saat ini, SJ perlu banyak ahli selain bidang humaniora, misalnya ahli lingkungan hidup, politik, hingga ekonomi. Ini sangat penting,” ujarnya.

Tantangan SJ pada era global, menurut Romo Riyo, adalah segala bentuk kemiskinan, tak hanya dalam ekonomi. Kemiskinan tersebut mencakup kemiskinan dalam memahami nilai manusiawi, pendidikan, kedalaman spiritual, dan relasi antarmanusia.

”Sejak masuk ke Indonesia, Jesuit bisa menjaga fokus perhatian untuk hal-hal itu. Yang Jesuit lakukan adalah yang menjadi berkat bagi sesama. Namun, zaman terus berkembang dan Jesuit harus merespons. Juga menjadi contoh,” paparnya.

Salah satu penyebab kurangnya ahli nonhumaniora adalah minimnya jumlah Jesuit. Saat ini ada 356 Jesuit di Indonesia, meliputi imam, bruder, dan frater. Jumlah Jesuit di seluruh dunia saat ini hanya 18.500 orang.

”Jika direntangkan, dari 100 calon Jesuit, yang akhirnya jadi hanya 60 persen. Dengan masa pendidikan 12 tahun dan dari sisi manusiawi yang berat, memang hanya sedikit yang jadi. Memang sulit karena menjadi Jesuit adalah panggilan,” ucap dia.

Jangan puas

Jenderal Jesuit Adolfo Nicolas yang hadir pada acara itu mengatakan, para Jesuit jangan merasa puas dengan apa yang sudah dikerjakan.

”Ada tantangan ke depan yang selalu berubah,” ujar Nicolas yang dulu merupakan misionaris di Jepang ini.

Apa yang dilakukan Jesuit, menurut Nicolas, juga tak lepas dari bantuan mereka yang peduli dan menaruh perhatian yang sama dengan Jesuit. ”Para Jesuit di seluruh dunia harus terus berkreasi dengan apa yang sudah dibangun dan dikerjakan,” katanya.

Sejarah Gereja Katolik di Indonesia bermula tahun 1560 ketika misionaris Santo Franciscus Xaverius datang. Tahun 1682, upaya para Jesuit terhenti karena diusir oleh penjajah Belanda. Momen terpenting bagi Gereja Katolik akhirnya datang juga ketika dengan persetujuan Raja Louis Napoleon, Paus Pius VII mendirikan Prefaktur Apostolik bagi Hindia Belanda (Indonesia) pada 8 Mei 1807.

Sebagai utusan Apostolik pertama ditunjuk seorang imam diosesan Jacobus Nelissen (1808-1817). Ditemani seorang imam lain, yakni Lambertus Prinsen, mereka sampai ke Jakarta pada 4 April 1808. (PRA)

Yogyakarta, Kompas - Selasa, 21 Juli 2009 | 03:38 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/21/03382132/harus.banyak.mencetak.ahli.nonhumaniora


Senin, 13 Juli 2009

Pandangan Orthodox Tentang Vassula

Some readers may not understand the distributed nature of the organization of the Orthodox Churches. Whereas The Patriarch of Constantinople has recognized seniority, over the other Patriarchs, this seniority does not in any way imply overseeing responsibilities. Each of the other Patriarchs is independent and has the right to administer his domain as he is inspired, according to the canons and traditions of the Orthodox Church. Because there is no centralized authority, the Orthodox require a synod in order to reach decisions on significant matters of faith. Individual Bishops report to one of the Patriarchs and those bodies are administered as distinct Sees.

Thus, the Orthodox Churches (they are Catholic, also) do not have a unified ecclesiastical hierarchy. With respect to TLIG most of the Bishops prefer to maintain a “wait & see” attitude.

The Editor of one of the journals of the Orthodox Church of Greece states that Vassula has by her own accord “fallen away” from the Church in form, if not in substance”. Nothing could be farther from the truth. Vassula has not “fallen away” by herself. In fact, Vassula maintains her standing in the Orthodox Church by having an Orthodox Priest as her confessor, and she continues to receive the Orthodox Sacrament of Holy Communion in the Orthodox Church, on a very regular basis.

Again, misinformation that circulates against TLIG includes a statement that because Vassula has received Holy Communion from the Roman Catholic Church, that event would render an Orthodox in violation of the Orthodox Canon. Indeed, the Orthodox Canon prohibits Orthodox from receiving the Eucharist from a Church that the Orthodox have excommunicated (“anathema”). This had been historically the case between the Churches of Rome and Constantinople, with the mutual excommunication over FILOQUE, which was put in effect by Pope Leo IX and Michael, the Patriarch of Constantinople, in 1054 AD.

However, at this present time, these two churches are NO LONGER EXCOMMUNICATED FROM ONE ANOTHER! On December 7th, 1965 both the Pope Paul VI and the Patriarch of Constantinople, Athenagoras HAVE LIFTED the excommunication toward one another, and as a consequence, the Roman Catholic Church now permits the Orthodox to receive the Eucharist (Canon 844 §3).

Sadly, it is the practice of most of the Orthodox Bishops to not reciprocate, by refusing to grant Holy Communion to Roman Catholics that are in good standing with their Church.

Orthodox Clergy think of themselves as the “guardians of the true faith” and therefore they probably believe that to share their Holy Eucharist with those of the Roman Church may in fact be perceived as betraying the true faith, in that dogmatic differences exist between those two sister Churches (the “Eastern vs. the Western Church”). Mutual discussions continue between the two, at an extremely slow pace, the most “sticky” point of disagreement being whether the Pope has authority to oversee the affairs of the Orthodox Patriarchates.

Nevertheless, it is a fact that the mutual excommunication between the Eastern and the Western Churches has been lifted, by both Churches!

Some may question whether Paul VI and Athenagoras had the authority to lift the excommunication on their own individual ecclesiastical authority… in fact they did: Patriarch Athenagoras was the legitimate successor to Patriarch Michael and Pope Paul VI was the legitimate successor of Pope Leo IX. Therefore, according to the Apostolic Canon both Patriarch Athenagoras and Pope Paul VI had the legitimate authority to lift the mutual excommunication. And this is exactly what they did on that December 7th of 1965!

The decision of Patriarch Athenagoras to lift the Excommunication of the Roman Church was reaffirmed by his successor, Patriarch Dimitrios who directed that “an Orthodox could receive Holy Communion from a Roman Catholic Priest”.

Yet, it appears that Church politics interfere with God’s desires that we may all be one[1]. The Orthodox Bishops continue being too slow to accept the lifting of the excommunication, and they have been pressuring[2] Bartholomew I, the current Orthodox Patriarch of Constantinople, to distance his Church from the Roman Church.

Nevertheless, the former excommunication remains officially lifted, in compliance with the Canon of the Church! The Orthodox do not subscribe to the infallibility of any Patriarch or Bishop. They must all follow the Canons and the tradition of the Church. Therefore, if certain Orthodox Bishops forbid their flock to receive Roman Catholic Eucharist, on what canon do they base their judgment? Why would it be wrong for any Orthodox to receive Holy Communion from a Roman Catholic Priest?

The previous notwithstanding, for the Orthodox Churches to approve TLIG as one body, it probably requires a world-wide synod… something that last happened in the eighth century AD. The author believes that only a divine intervention would cause the Orthodox to convene in a Panorthodox Synod in order to approve TLIG!

By Jim Peters, December 2, 2008

Source:http://www.defending-vassula.org/orthodox-churches

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...