Sabtu, 13 Juni 2009

Konstelasi Agama di Rusia: Politisi Manfaatkan SARA

Ancaman terbesar multikulturalisme Rusia bukan datang dari konflik bernuansa agama, tetapi justru dari serangan dan gelombang fasisme ultranasionalis yang marak sejak runtuhnya Soviet akhir 1980-an.

Banyak pengamat menduga, kelompok ekstremis yang jumlahnya puluhan dan anggotanya diperkirakan tak kurang dari 70.000 di seluruh Rusia sengaja dibiarkan dan dimanfaatkan oleh segelintir politisi Kremlin, termasuk Boris Yeltsin dan Vladimir Putin, untuk mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan pengaruhnya di Rusia. Dalam laporan Mei lalu, Komisi Amerika Serikat mengenai Kebebasan Beragama Internasional yang didukung Kongres kembali menempatkan Rusia dalam daftar watch list , bersama 10 negara lain. Termasuk, antara lain, sejumlah negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah, seperti Turkmenistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Belarusia, selain juga China, Korut, dan Arab Saudi.

Salah satu argumen dimasukkannya Rusia dalam watch list adalah Pembentukan Dewan Pakar Studi Religi (Expert Religious Studies Council) oleh Kementerian Kehakiman Rusia belum lama lalu. Dewan ini dinilai memiliki wewenang berlebihan untuk menginvestigasi organisasi agama, termasuk aktivitas dan literatur- yang mereka terbitkan, karena dugaan ekstremisme.

Ketua Dewan ini, Alexander Dvorkin, dikenal sangat antisekste. Wakilnya, Roman Silantyev, pernah menulis artikel yang sangat tendensius menyerang Islam radikal, dan di antara anggotanya ada lima anggota gereja ortodoks yang sangat vokal menyerang agama Protestan. Laporan ini juga mendesak Pemerintah AS agar menekan Rusia untuk membubarkan Dewan tersebut.

”Konstitusi memang menjamin kebebasan beragama dan pemerintah secara umum menghormati ini dalam praktiknya, tetapi dalam beberapa kasus, restriksi diberlakukan pada kelompok-kelompok agama tertentu. Konstitusi juga mengatur kesetaraan semua agama di depan hukum dan pemisahan gereja dengan negara, tetapi pemerintah sendiri sering tak menjalankan ini,” demikian laporan yang diedarkan di Kedubes AS Moskwa.

Mereka juga mengkritik diskriminasi berupa larangan bagi warga Muslim untuk bergabung dalam militer, tak memberi mereka kesempatan menjalankan ibadah salat lima waktu atau pilihan menu makanan halal di lokasi kerja. Juga disoroti sentimen antisemistis dan kebencian terhadap Katolik Roma dan agama Kristen non-ortodoks.

Isi laporan memunculkan reaksi kemarahan di pihak pemerintah dan gereja ortodoks Rusia. Mereka menyebut tudingan tersebut tak berdasar. Indonesia sendiri pernah dimasukkan daftar ini bersama Azerbaijan, Belarus, Israel, Turki, Brunei, Malaysia, dan Pakistan tahun 2005.

Dimanfaatkan

Sejumlah kalangan aktivis menuduh Pemerintahan Rusia di bawah Putin dan presiden yang sekarang, Dmitry Melvedev, berada di belakang langkah para penegak hukum, terutama di wilayah selatan Rusia, yang menjadikan Muslim sebagai target tudingan sebagai pelaku aksi terorisme dan ekstremisme. Sekitar 25 juta dari 142 juta penduduk Rusia adalah Muslim. Mereka terkonsentrasi di provinsi-provinsi bagian selatan Kaukasus, termasuk Chechnya, Ingushetia, dan Dagestan; di samping juga Tatarstan dan Bashkortostan, yang berada tak jauh dari Sungai Volga.

Penempatan Muslim sebagai target penyelidikan dimulai sejak peristiwa pengepungan teater Dubrovka di Moskwa (2002) dan penyanderaan sekolah di Beslan (2004). Serangan teroris yang melibatkan Islam militan itu menewaskan sekitar 500 orang.

Aleksei Malashenko dari Program on Religion, Society and Security Carnegie Moscow Center mengungkapkan, isu perang melawan ektremisme agama dipakai sebagai alat efektif bagi pejabat untuk memperkokoh posisinya, termasuk Yeltsin dan Putin. Yeltsin memperoleh popularitas dengan meredam pemberontakan di Chechnya pertengahan 1990-an. Perang di wilayah sama 1999 mengantar Putin ke tampuk kekuasaan melalui operasi kontrateroris terhadap pemberontak Chechnya.

Sebagian jurnalis dan aktivis oposisi sudah lama mencurigai sentimen rasisme ini dipicu pihak tertentu yang diuntungkan oleh bangkitnya sentimen nasionalisme di Rusia.

Menurut Aleksei, pecahnya dua kali perang di Chechnya (1994-1996 dan 1999) dan serangkaian serangan teroris di sejumlah wilayah Rusia semakin memunculkan kebencian terhadap kaum Chechens dan etnis Kaukasus lainnya. Opini publik berkembang ke arah kebencian pada etnis Ukraina, Georgia, Polandia, dan Moldova yang dianggap ikut berperan dalam revolusi di sejumlah negara tetangga Rusia. Sikap bermusuhan juga diarahkan kepada pendatang dari Estonia, Latvia, dan Lituania sebagai balasan sikap prejudice dan diskriminasi terhadap minoritas Rusia di negara-negara Baltik tersebut. Aleksei membagi wilayah Rusia dalam kaitan dengan Islam menjadi tiga, yakni wilayah di mana Muslim merupakan mayoritas, wilayah di mana Muslim merupakan minoritas tetapi bersatu dan solid, serta wilayah di mana Muslim relatif jarang. Wilayah di mana Muslim adalah mayoritas terutama ada di Kaukasus Utara.

Untuk wilayah yang berbeda, ditempuh pendekatan berbeda pula, sesuai kepentingan pemerintahan federal. Pada era pasca-Soveit, pemerintahan Rusia di bawah Putin menuntut adanya loyalitas para pemimpin Muslim pada negara, dengan menyubordinatkan kepemimpinan Muslim di bawah kepemimpinan negara. Secara umum, di bawah sistem politik yang ada sekarang, negara bisa dikatakan berhasil dalam mempertahankan kontrol terhadap sebagian besar komunitas Muslim.

Kendati demikian, kelompok oposisi politik berbasis agama bisa dikatakan tetap tak tersentuh dan mereka terutama terkonsentrasi di Kaukasus Utara.

Tuntutan pemisahan diri juga tak pernah surut di wilayah-wilayah Kaukasus Utara ini, sejalan dengan kian meningkatnya derajat otoriterisme dalam sistem politik Rusia, kurang seriusnya reformasi ekonomi, dan kian melebarnya kesenjangan kaya-miskin. ”Sampai sekarang ini kita masih belum tahu bagaimana mengatasi masalah di Kaukasus Utara dan kawasan Muslim lain yang penduduknya kelewat padat bergantung pada pertanian dan menghadapi kemiskinan ekstrem,” ujar analis, Maksim Sokolov. (TAT)

Jumat, 12 Juni 2009 | 06:09 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/06091949/politisi.manfaatkan.sara

Konstelasi Agama di Rusia

Di atas permukaan, hubungan antaragama-agama yang disebut sebagai agama tradisional di Rusia memang berlangsung cukup harmonis. Antara agama satu dan yang lain, bisa hidup berdampingan secara rukun dan saling menghormati (peaceful coexistence).

Dalam dialog antaragama yang diprakarsai Departemen Luar Negeri RI dan Kedutaan Besar RI di Moskwa di Wisma Duta KBRI yang dihadiri perwakilan dari semua agama di Rusia dan dari paparan pihak Dewan Mufti (semacam majelis ulama di sini) dan pimpinan gereja ortodoks Rusia, juga tertangkap keinginan kuat dari masing-masing pihak untuk bisa hidup berdampingan dan saling menghormati kebebasan beragama.

Seperti dikatakan Grand Mufti Ravil Gainutdin, masyarakat Rusia yang pluralis dan multietnis disatukan dalam satu negara Rusia dan mereka memiliki pengalaman panjang dalam mengatasi masalah-masalah bersama, yang juga membutuhkan dukungan kelompok-kelompok minoritas.

”Dalam sejarah Rusia belum pernah ada konflik yang berlangsung lama. Dari dulu sudah seperti ini, tak ada konflik agama dan kami berusaha menjaga keseimbangan,” ujarnya ketika menerima delegasi Indonesia di kantornya di Moskwa, yang kinclong bak istana dan tengah dalam proses finishing pembangunan.

Dukungan dari pemerintah bagi agama-agama yang ada pun sangat kuat, terutama untuk mendirikan masjid dan tempat beribadah. Grand Mufti yang jadi imam dari 20 juta lebih Muslim di Rusia—dua juta di antaranya di Moskwa—mengungkapkan, di Moskwa sendiri, pihaknya mendapat wakaf tiga bidang tanah untuk pembangunan tempat ibadah dan kegiatan keagamaan.

Salah satunya, lahan seluas 2,5 hektar yang di atasnya kini dibangun kantor dan masjid dengan dukungan dana dari pengusaha minyak kaya, Sulaiman Kerimov. Selain itu, pemerintah juga memfasilitasi kegiatan pengiriman calon jemaah haji, terutama urusan pabean, transportasi, dan asuransi. Dukungan serupa juga dinikmati agama-agama tradisional lainnya.

Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan beragama mungkin tidak seindah itu. Setidaknya demikian yang dirasakan penganut agama Kristen non-ortodoks yang mengalami diskriminasi dari kelompok ortodoks. Demikian pula bagi kelompok Muslim yang oleh pemerintah sering dicap sebagai kelompok ekstremis, terutama di daerah selatan.

Laporan lembaga aktivis keagamaan dan HAM beberapa tahun terakhir mengungkapkan banyaknya kasus kekerasan dengan target kelompok Muslim yang dianggap ikut terlibat dalam gerakan separatis dan serangan terorisme di berbagai wilayah Rusia.

Mungkin ini yang ditangkap oleh Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional, yang dalam laporan Mei 2009 kemarin kembali menempatkan Rusia dalam daftar negara yang tak menghargai kebebasan beragama (watch list). Berdasarkan data resmi terakhir, 71,8 persen dari sekitar 142 juta penduduk Rusia adalah penganut Kristen Ortodoks; 5,5 persen Islam; 1,8 persen Katolik; 0,7 persen Protestan; 0,6 persen Buddha; 0,3 persen Yahudi; 0,9 persen lain- lain/sekte; dan 18,9 persen tak beragama.

Undang-undang dan konstitusi tentang keagamaan Federasi Rusia sendiri, menurut seorang pengamat agama di Moskwa yang tak mau disebut namanya, hanya mengakui empat agama tradisional, yaitu Kristen Ortodoks, Islam, Buddha, dan Yahudi.

”Untuk Kristen, UU dan konstitusi hanya mengakui ortodoks. Ini yang menjadi persoalan karena seperti kita tahu, Kristen sendiri ada dua. Paling tidak dalam sejarah kita kenal dua agama besar, yakni Kristen Timur atau yang dikenal dengan Kristen Ortodoks dan Kristen Barat yang awalnya dipimpin oleh Vatikan,” ujar narasumber tersebut.

Setelah kejatuhan Konstantinopel jadi wilayah domain Islam di Turki (sekarang Istambul), gereja ortodoks Rusia merasa terpanggil menjadi pemimpin gereja-gereja ortodoks di seluruh dunia dan menganggap Rusia sebagai domainnya.

Sebagai agama dominan, Kristen Ortodoks sangat diuntungkan dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan pemerintahan. Keterlibatan berlebihan gereja pada urusan politik dan militer banyak dikritik berbagai pihak.

Namun, keterkaitan erat gereja ortodoks dengan negara sendiri sebenarnya memiliki sejarah panjang, bukan hanya di Rusia, tetapi juga di dunia. Pada era Kekaisaran Byzantine, Kristen Ortodoks atau lebih dikenal sebagai Kristen Ortodoks Timur adalah agama resmi negara, sementara agama lain dilarang atau nyaris tak diberi ruang untuk berkembang.

Tradisi ini juga berlangsung turun-temurun dalam sejarah Rusia dan baru pada 1905 diskriminasi terhadap agama lain dihapuskan.

Sejak runtuhnya Uni Soviet, gereja ortodoks Rusia, menurut Thomas Bremer dari Eastern Churches Studies and Ecumenical Theology, Fakultas Theologi Katholik University of Munster, menghadapi situasi baru yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.

Setelah mengalami penindasan selama lebih dari empat dekade, kehidupan agama kembali berkembang pesat (flourished) pada era pascaperestroika. Antara agama satu dan lain saling berlomba mengembangkan ajaran dan kegiatan keagamaannya.

Tak terkecuali Kristen Ortodoks. Pada era komunis yang ateis, banyak gereja dihancurkan, ditutup atau diubah fungsi menjadi gudang pangan atau persenjataan. Setelah Uni Soviet ambruk, gereja itu dipulihkan atau dibangun kembali.

Tak sampai dua dekade setelah runtuhnya Soviet, jumlah gereja bertambah empat kali lipat dan jumlah keuskupan meningkat dua kali lipat. Jumlah kongregasi (persekutuan umat) meningkat pesat dari 6.742 tahun 1986 menjadi 27.942 pada akhir 2007 dan jumlah biara bertambah dari 32 menjadi lebih dari 700. Mereka juga merekrut puluhan ribuan pendeta baru dan sekitar 15.000 anak muda belajar teologi.

Di Moskwa, kota yang mendapat julukan kota sejuta gereja, hampir pada setiap jarak 10 meter ada satu gereja karena pada era Tsar dan setelahnya gereja menjadi penanda untuk setiap kemenangan dalam peperangan. Hal serupa juga dialami agama lain, termasuk Islam yang pada era komunis puluhan ribu masjid dihancurkan dan tinggal tersisa sekitar 30 masjid di seluruh Rusia.

Saling menguntungkan

Pada saat yang sama, gereja Kristen ortodoks juga berusaha membangun posisi kuat dalam struktur baru masyarakat Rusia pascaperestroika. Gereja ortodoks Rusia, menurut Bremer, menempatkan dirinya sebagai pengawal kepentingan publik. Posisi ini tak lantas menempatkannya sebagai oposisi pemerintah karena para pemimpin gereja meyakini pemimpin, seperti Vladimir Putin dan Dmitry Medvedev, sebagai penggantinya, juga loyal pada kepentingan ini

Sebaliknya, negara memanfaatkan gereja sebagai jaminan perekat masyarakat karena kendati dikenal bukan sebagai masyarakat religius, sebagian besar masyarakat masih percaya kepada gereja dan menganggap gereja sebagai saluran efektif komunikasi nilai-nilai moral dan kekuatan penyatu kebersamaan intrinsik bagi bangsa Rusia.

Di sini terjadi hubungan saling menguntungkan antara gereja ortodoks dan negara. Bagai para politisi sendiri, kedekatan dengan gereja dibutuhkan untuk kepentingan pencitraan moral (moral force) dan menggaet simpati publik laiknya motif para politisi di sini yang merasa perlu sowan untuk mendapatkan restu dari para ulama.

Namun, sebagaimana halnya pada agama lain, di kalangan pengurus gereja ortodoks sendiri, ada unsur garis keras atau radikal dan ada yang cenderung liberal. Dari kelompok radikal inilah terutama muncul keinginan kuat untuk mengembalikan status Kristen Ortodoks ke kejayaan masa lalu sebagai agama resmi negara dan mengembalikan negara pada dasar-dasar ajaran ortodoks.

Bagi sebagian besar pengikutnya, terutama garis keras, Kristen Ortodoks bukan sekadar agama, tetapi juga identitas bangsa. Mereka meyakini munculnya agama baru, terutama Kristen di luar ortodoks, sebagai bentuk ekspansi agama lain dan konspirasi negara-negara Barat yang menggunakan agama- agama tersebut untuk menghancurkan dan merongrong Rusia serta melemahkan posisi gereja ortodoks Rusia.

UU tentang Keagamaan tahun 1997 yang menggantikan UU tahun 1990 yang lebih liberal jelas-jelas dimaksudkan melindungi posisi agama-agama tradisional ini.

Dalam UU ini, agama di luar empat agama tradisional tidak dilarang, tetapi juga tak dibiarkan berkembang karena dianggap sebagai bentuk ekspansi pengaruh dan infiltrasi Barat atas Rusia. Hal ini yang menyebabkan mengapa agama Kristen Non-ortodoks, Katolik, atau Protestan relatif tak berkembang pascaperestroika.

Selain karena menganggap Rusia sebagai domain Kristen Ortodoks, sikap defensif dan agresif gereja ortodoks terhadap agama Kristen Non-ortodoks ini, menurut pengamat agama yang tak mau disebut namanya, juga dilatari pengalaman sejarah.

”Ada semacam luka sejarah yang terjadi dalam tubuh gereja ortodoks terkait gereja ortodoks Ukraina yang setelah Glasnot dan Perestroika berubah menjadi gereja katolik Ukraina. Insiden ini sangat sulit diterima oleh gereja ortodoks sehingga para patriach Moskwa sampai dengan saat ini belum bersedia bertemu dengan Paus dari Roma,” ujarnya.

Sikap berbeda ditunjukkan pada agama-agama tradisional lain yang sudah eksis ratusan tahun di Rusia, termasuk Islam. Gereja Ortodoks menerima baik keberadaan Islam, Buddha, dan Yahudi yang sudah berakar kuat dalam kehidupan beragama di Rusia. Keberadaan agama-agama itu sendiri bagian dari konsekuensi wilayah Rusia yang sangat luas dan berbatasan dengan banyak negara sehingga sulit dilepaskan dari pengaruh kuat dari luar, seperti Turki atau Irak untuk Islam dan China untuk Buddha.

Gainutdin mengatakan, sejarah Islam bukan baru dimulai sejak reformasi. Di Moskwa sendiri, masjid sudah ada sejak tahun 1816. Perkembangan Islam di Rusia sendiri sangat beragam karena selain kelompok Sunni, kelompok Syiah juga berkembang di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Irak.

Soal adanya diskriminasi dan represi pemerintahan federal dan lokal terhadap kelompok-kelompok Muslim tertentu, pengamat tersebut mengatakan, memang ada beberapa kantong wilayah di Rusia yang punya potensi radikalisme, seperti Chechnya dan Dagestan.

”Tetapi, kalau kita lihat, masalah wilayah-wilayah itu lebih banyak bukan pada ajaran agama, tetapi lebih pada keinginan untuk memerdekakan diri. Jadi, mungkin mereka menggunakan itu untuk menarik dukungan publik,” ujarnya.

(Sri Hartati Samhadi)

Jumat, 12 Juni 2009 | 06:10 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/06104288/konstelasi.agama.di.rusia

Minggu, 07 Juni 2009

50 Fakta Tentang Petrus Dalam Perjanjian Baru

Nama Petrus paling banyak disebutkan dibandingkan dengan total semua para Rasul bila nama mereka digabungkan. Petrus disebut sebanyak 191 kali dalam seluruh Kitab Perjanjian Baru. Nama Rasul Yohanes hanya disebut 48 kali. Bahkan nama Petrus mengcover 50% setiap kali nama Yohanes ditemukan dalam Perjanjian Baru. Petrus juga bahkan mengcover 60% dari seluruh nama para Rasul yang dirujuk oleh Perjanjian Baru. Dengan demikian, ringkasnya Petrus adalah AKTOR UTAMA dalam Perjanjian Baru. Dan Beliau adalah Paus Pertama Gereja Semesta, yakni Gereja Katolik.

Saya hanya mau menambahkan lagi dari sumber berikut ini : (catt: nanti saya terjemahkan kalau anda masih bingung juga)

1. Peter alone is the Rock upon which Jesus builds his Church (Mt 16:18).
2. Peter alone is given the keys to the kingdom of Heaven (Mt 16:19).
3. Peter is individually given the power to bind and loose (Mt 16:19).
4. Peter’s name appears first in all lists of the Apostles (Mt 10:2; Mk 3:16; Lk 6:14; Acts 1:13). Matthew even calls him the “first” (Mt 10:2).
5. Peter is almost always named first whenever he appears with anyone else. In the one exception (Gal 2:9), the context clearly shows him to be pre-eminent (1:18-19, 2:7-8).
6. Peter alone receives a new name solemnly conferred (John1:42; Mt 16:18).
7. Peter is regarded by Jesus as the Chief Shepherd after himself (John 21:15-17), singularly by name, and over the universal church, even though others have a similar but subordinate role (Acts 20:28; 1 Pet 5:2).
8. Peter alone among the Apostles is mentioned by name as having been prayed for by Jesus Christ in order that his faith may not fail (Lk 22:32).
9. Peter alone among the Apostles is exhorted by Jesus to “strengthen your brethren” (Lk 22:32).
10. Peter is the first to confess Christ’s Messiahship and divinity (Mt 16:16).
11. Peter alone is told that he has received divine knowledge by a special revelation (Mt 16:17).
12. Peter is regarded by the Jews (Acts 4:1-13) as the leader and spokesman of Christianity.
13. Peter is regarded by the common people in the same way (Acts 2:37-41; 5:15).
14. Jesus uniquely associates himself and Peter in the miracle of the tribute-money (Mt 17:24-27).
15. Christ teaches from Peter’s boat, and the miraculous catch of fish follows (Lk 5:1-11): perhaps a metaphor for the Pope as a “fisher of men” (cf. Mt 4:19).
16. Peter was the first Apostle to set out for and enter the empty tomb (Lk 24:12; Jn 20:6). John arrives first but waits for Peter out of deference.
17. Peter is specified by an angel as the leader and representative of the Apostles (Mk 16:7).
18. Peter leads the Apostles in fishing (Jn 21:2-3, 11). The “bark” (boat) of Peter has been regarded by Catholics as a figure of the Church, with Peter at the helm.
19. Peter alone casts himself into the sea to come to Jesus (Jn 21:7).
20. Peter’s words are the first recorded and most important in the upper room before Pentecost (Acts 1:15-22).
21. Peter takes the lead in calling for a replacement for Judas (Acts 1:22).
22. Peter is the first person to speak (and the only one recorded) after Pentecost, so he was the first Christian to “preach the gospel” in the Church era (Acts 2:14-36).
23. Peter works the first miracle of the Church Age, healing a lame man (Acts 3:6-12).
24. Peter utters the first anathema (on Ananias and Sapphira), which is emphatically affirmed by God (Acts 5:2-11).
25. Peter’s shadow works miracles (Acts 5:15).
26. Peter is the first after Christ to raise the dead (Acts 9:40).
27. Cornelius is told by an angel to seek out Peter for instruction in Christianity (Acts 10:1-6).
28. Peter is the first to receive the Gentiles, after a revelation from God (Acts 10:9-48).
29. Peter instructs the other Apostles on the catholicity (universality) of the Church (Acts 11:5-17).
30. Peter is the object of the first divine interposition on behalf of an individual in the Church Age (an angel delivers him from prison, Acts 12:1-17).
31. The whole Church (strongly implied) offers earnest prayer for Peter when he is imprisoned (Acts 12:5).
32. Peter opens and presides over the first council of Christianity and lays down principles afterward accepted by it (Acts 15:7-11).
33. Paul distinguishes the Lord’s post-Resurrection appearances to Peter from those to the other apostles (1 Cor 15:4-8 ). The disciples on the road to Emmaus make the same distinction (Lk 24:34), in this instance mentioning only Peter (Simon), even though they themselves had just seen the risen Jesus within the previous hour (Lk 24:33).
34. Peter is often spoken of as distinct among Apostles (Mk 1:36; Lk 9:28, 32; Acts 2:37, 5:29; 1 Cor 9:5).
35. Peter is often spokesman for the other Apostles, especially at climactic moments (Mk 8:29; Mt 18:21; Lk 9:5, 12:14; Jn 6:67-…).
36. Peter name is always the first listed of the “inner circle” of the disciples (Peter, James, John− Mt 17:1, 26:37, 40; Mk 5:37, 14:37).
37. Peter is often the central figure relating to Jesus in dramatic Gospel scenes, such as walking on water (Mt 14:28-32; Lk 5:1-…; Mk 10:28; Mt 17:24-…)
38. Peter is the first to recognize and refute heresy, in Simon Magus (Acts 8:14-24).
39. Peter’s name is mentioned more often than all the other disciples put together: 191 times. John is next in frequency with only 48, and Peter is found 50% of the time we find John in the Bible. Peter is named a remarkable 60% of the time any disciple is referred to.
40. Peter’s proclamation at Pentecost (Acts 2:14-41) contains a fully authoritative interpretation of Scripture, a doctrinal decision, and a disciplinary decree concern the House of Israel (2:36)−an example of binding and loosing.
41. Peter was the first “charismatic,” having judged authoritatively the first instance of the gift of tongues as genuine (Acts 2:14-21).
42. Peter is the first to preach Christian repentance and Baptism (Acts 2:38).
43. Peter (presumably) leads the first recorded mass Baptism (Acts 2:41).
44. Peter commanded the first Gentile Christians to be baptized (Acts 10:44-48).
45. Peter was the first traveling missionary and first exercised what would now be called “visitation of the churches” (Acts 9:32-38, 43). Paul’s missionary journey begins in Acts 13:2).
46. Paul went to Jerusalem to specifically see Peter for 15 days in the beginning of his ministry (Gal 1:18 ) and was commission by Peter, James, and John (Gal 2:9) to preach to the Gentiles.
47. Peter acts, by strong implication, as the chief bishop/shepherd of the Church (1 Pet 5:1), since he exhorts all the other bishops, or elders.
48. Peter interprets prophecy (1 Pet 1:16-21).
49. Peter corrects those who misuse Paul’s writings (2 Pet. 3:15-16).
50. Peter wrote his first epistle from Rome, according to most scholars, as its bishop, and as the universal bishop (or Pope) of the early Church. “Babylon” (1 Pet 5:13) is regarded by many commentators as a code name for Rome.

Sumber: Dave Armstrong’s A Biblical Defense of Catholicism

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...