Tampilkan postingan dengan label Unity. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Unity. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 April 2007

The Passion of the Christ

The Passion of the Christ : Evangelisasi Baru dan Persatuan Umat Kristen

By Leonard T. Panjaitan

Selama lebih dari bulan terakhir semenjak pemutaran perdananya pada Rabu Abu di AS, film The Passion melahirkan kesuksesan ganda baik dalam segi pendapatan dengan meraih box office maupun kontroversi mengenai kisah penderitaan Kristus. Film yang berdurasi +/- 2 setengah jam ini menjadi polemik diantara para petinggi Gereja maupun kaum awam selama beberapa pekan terakhir. Inilah pertama kalinya dalam sejarah, sebuah film bertema kerohanian begitu menyedot perhatian penonton dengan menimbulkan deraian air mata dan rasa pilu yang menyayat. Adakah sesuatu dalam film ini yang begitu mempengaruhi para penonton sehingga mereka rela berjam-jam antri untuk menonton di bioskop-bioskop terutama di AS dan Eropa ?

Inilah film yang menggambarkan tragedi yang memilukan hati melalui adegan-adegan kekerasan dan banjir darah yang diambil dari kisah Injil dan buku Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ yang di dalamnya berisi penglihatan St Anne Emerich (1774-1824), seorang mistikus, stigmatis dari Jerman yang selama 16 tahun terakhir hidupnya tidak pernah makan dan hanya minum air yang diberkati. Buku inilah yang menjadi inspirasi Mel Gibson, seorang Katolik yang taat walaupun skismatik sebab dia menolak konsili Vatikan II dan lebih senang disebut seorang Katolik Tradisional pra konsili Vatikan I pada masa Paus Pius IX, yang juga terkenal dengan misa tridentinenya.

Sekiranya kita semua dapat merasakan dan memahami apa yang menjadi pesan dari film ini di tengah-tengah masa pra Paskah sekarang ini ? Apalagi film dengan nuasana kental religius seperti ini sangat jarang muncul ke layar lebar dan ikut bersaing dengan film-film sekuler yang berbau porno, brutal dan konsumeristis. Untuk itu saya ingin mengajak para pembaca melihat sisi lain atau pesan yang mungkin bisa kita tarik dari The Passion ini ke arah tema evangelisasi baru dan persatuan umat Kristen.

Evangelisasi Baru

Di tengah-tengah dominasi budaya permisif dalam peradaban medioker ini, film ini ternyata bisa menata kembali mind set umat Kristen untuk merefleksikan kekristenannya secara holistik. Pertama, Kristus mengajarkan kita untuk melakukan penyerahan diri secara total kepada Bapa sama seperti yang Dia lakukan di Getsemani. Menurut Sister Josefa Menendez (1890 - 1923) dalam bukunya The Holy Passion of Our Lord and Savior Jesus Christ, yang juga seorang mistikus dan stigmatis, mengatakan bahwa kita hanya bisa mendapatkan kekuatan dari doa dan pencarian akan Allah selayaknya berlangsung dalam suasana hening, jauh dari kebisingan dan kebingungan. Selanjutnya agar bisa menemukan Dia, suatu jiwa harus menciptakan suasana sunyi yang jauh dari berbagai macam gangguan yang sifatnya melawan rahmat dan mendorong jiwa itu dipengaruhi oleh cinta pada diri sendiri atau sensualitas belaka. Kedua, Kristus yang menderita dengan rela, sabar, tanpa melawan dan tanpa mencoba membela diri ternyata disiksa, dianiaya secara keji untuk menaklukan dosa dan kesombongan manusia. Lambang salib memiliki arti signifikan bagi kita untuk lebih dimaknai secara mendalam bahwa penderitaan yang dialami oleh umat manusia bukan sesuatu yang harus dihindari dan perlu mendapat celaan namun harus dipahami untuk meneguhkan harapan yang merupakan bagian dari penderitaan dan harapan Kristus. Tom Jacobs, SJ mengatakan bahwa pengalaman akan kasih adalah Allah dan ini sangat berhasil direkonstruksikan dalam hasrat Kristus yang mau berkorban secara menyakitkan demi keselamatan kita semua. Inilah Allah yang mentransformasikan diriNya secara utuh menjadi korban kasih kekal tanpa cacat untuk mengajak kita agar mau mengikuti jejakNya yang berdarah menuju bukit Golgota. Penderitaan Kristus melahirkan Luka-luka yang menurut penglihatan St.Brigitta dari Swedia berjumlah 6600 yang olehnya malah kita disembuhkan. Dari Luka-lukaNya kita disatukan kembali oleh Kristus akibat dosa-dosa manusia sehingga kita bisa berdamai dengan Bapa Sang Pencipta. Inilah suatu relasi darah daging antara Bapa dengan anak-anakNya yang diikat dengan Tubuh dan Darah Sang Putera.

Dari sisi inilah evangelisasi baru menjadi bermakna bahwa kemenangan dan kemuliaan Kristus diawali dari pengorbanan. Sama seperti Yesus berkorban dengan menderita serta mengalami luka-luka di sepanjang via dolorosa, begitu pula kita sepatutnya berkorban di jalan salib kehidupan ini. Inilah sebuah penyadaran spiritual yang akan membawa kita kepada penyatuan penderitaan kita kepada Kristus. Menurut Uskup Agung F.X Nguyen Van Thuan dalam bukunya The Road of Hope, Allah sering mengirim salib-salib kepada mereka yang Ia kasihi, tetapi orang-orang semacam itu yang dikasihi Allah secara istimewa sedikit jumlahnya, karena tidak banyak orang akan menerima pengorbanan (No 163). Di samping itu, penderitaan yang dijalani akan berujung pada kebangkitan. Seperti yang dikatakan oleh Uskup Agung Vietnam yang juga mantan Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian dan pernah dipenjara selama 13 tahun oleh rezim komunis ketika itu, bahwa engkau gemetar ketakutan, engkau tersandung dan jatuh, engkau menemui kesukaran-kesukaran, kesalahpahaman-kesalahpahaman, kritikan-kritikan, cemoohan-cemoohan, bahkan hukuman mati. Mengapa Engkau melupakan Injil ? Tuhan kita Yesus Kristus menderita segala-galanya. Tetapi jika engkau terus mengikuti Dia, engkau akan memiliki Paskahmu juga (47). Salah satu buah dari kesadaran ini adalah seorang pemuda asal Texas bernama, Dan Leach mengakui kejahatannya di depan polisi. Ia mengatakan kalau dirinya telah melakukan pembunuhan terhadap seorang remaja wanita yang tengah hamil bernama Ashley Nicole Wilson. Keinginannya untuk mengakui dosanya itu, setelah Leach menonton film Yesus tersebut. Rupanya film ini menggugah perasaan bersalahnya. Ia pun berharap untuk diberikan pengampunan. Fakta ini didapat dari www.astaga.com.

Melalui film ini pula nama Yesus setidak-tidaknya kembali menemukan arti dimana selama bertahun-tahun di Eropa, AS dan negara-negara sekuler lainnya, nama ini semaking asing dan cenderung disingkirkan. Oleh sebab itu evangelisasi baru yang merujuk pada kisah film ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua bahwa penderitaan Kristus tidak sia-sia. Bahwa kematiannya membawa berkah bagi umat manusia. Namun yang perlu diperhatikan bahwa penderitaan Kristus itu bukan hanya pada saat 2000 tahun yang lalu namun secara mistik Dia masih menderita sampai saat ini. Apa sebab ? Karena Dia menyatu dengan umat manusia, Dia berbagi penderitaan dengan mereka yang miskin, sakit, terpenjara, teraniaya dan mereka yang merasa kehilangan harapan. Dia bukan Allah yang lupa akan mereka yang menderita dan tertindas meski sudah mulia di Surga namun Dia adalah Allah yang tinggal di hati umat manusia, Dia ikut memanggul salib bersama kita bahkan bila perlu Kristus sanggup menjalani keduakalinya sengsara di Kalvari.

Oleh sebab itu marilah kita saatnya berkontemplasi, merenungkan sengsara Kristus bahwa tanpa penderitaan, kita tidak bisa menjadi dewasa dalam iman dan juga kita tidak bisa merasakan luka-luka Kristus yang adalah luka-luka keselamatan. Dilain pihak adalah sangat lucu dan aneh bagi beberapa sekte Kristen kontemporer yang dalam beberapa liturginya berusaha untuk menghindari tema penderitaan Kristus dengan alasan kebangkitanNya-lah yang penting. Hal ini dibuktikan dengan tidak dirayakannya jum'at agung dalam ibadah mereka. Melihat Kristus dari satu aspek adalah hal yang naif. Seluruh perjalananan hidup Kristus adalah kesatuan rangkaian yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menghilangkan satu bagian dari perjalanan hidup Kristus adalah menghilangkan sebagian iman kepercayaan kita sehingga kita akan kehilangan keseluruhan konteks penyelamatan.

Persatuan Umat Kristen

Animo umat Kristen yang sangat besar untuk menonton film ini ternyata membawa dampak besar bagi terciptanya iklim baru untuk persatuan umat beriman walaupun belum pada tahap persatuan Gereja secara penuh. Mengapa ? Karena film ini secara signifikan membawa gambaran baru yang bukan hanya bersumber pada Kitab Suci melainkan juga pada Tradisi Luhur Gereja. Hal-hal ini tentunya menjadi sesuatu yang baru bagi saudara-saudara kita dari kalangan Protestan. Singkatnya dapat kita katakan bahwa film ini sangat bersifat Roma Katolik.

Oleh sebab itu kalau film ini sangat Katolik sentris, lalu dimana letak persatuannya ? Jawabannya ialah pada figur Bunda Maria. Semua orang Kristen pasti sepakat bahwa Yesus dilahirkan oleh satu wanita yang bernama Maria binti Yoakhim. Allah telah memilih wanita suci dan perawan abadi ini bukan secara acak namun terpilih jauh sebelum dunia ini diciptakan. Maria bukanlah wanita yang tiba-tiba muncul menjadi ibu historis Sang Juru Selamat. Oleh sebab itu Maria adalah wanita sangat istimewa dimana Allah yang luasnya tak terbatas dan tak terjangkau ruang dan waktu mau bersemayam dalam rahim seorang wanita yang merupakan ciptaanNya selama 9 bulan. Bukankah ini suatu Rahmat Allah yang luar biasa bagi wanita keturunan Daud ini ? Untuk memperdalam relasi Yesus-Maria hendaknya kita sejenak merenungkan pada masa-masa Bunda menyusui Yesus ketika Sang Logos masih balita, mengajariNya berjalan, menyuapiNya makan, memandikanNya bahkan menegurNya manakala bandel.

Bunda Maria selayaknya menjadi perekat dan bukan pemecah umat Kristen. Bersama Bunda kita belajar memahami serta menyerap Yesus karena hanya seorang ibulah yang benar-benar mengetahui karakter dan seluk-beluk anaknya. Walaupun tidak bisa berdekatan langsung karena status hukuman dan terpisah jarak akibat kerumunan massa, antara Yesus dan Bunda Maria terjalin komunikasi bathin yang memungkinkan keduanya saling berinteraksi. Dari dialog hati ini keduanya saling berbagi penderitaan. Yesus memang menanggung secara fisik gelombang deraan, di sisi lain Bunda Maria ikut menderita secara bathiniah karena perasaan yang tak terperikan melihat PutraNya dianiaya secara biadab. Karena Yesus adalah manusia dan sekaligus Allah yang lahir dari peranakan Maria tanpa melalui persetubuhan dengan pria manapun, yang dibuahi hanya oleh Roh Kudus sehingga secara genetis memiliki darah daging semata-mata bersumber dari Maria maka adalah sangat tepat dan perlu bahwa seluruh umat Kristen harus belajar menghormati dan memuliakan Maria sebagai Theotokos alias Mother of God alias Bunda Allah .

Selain itu, dengan adanya film ini cakrawala saudara-saudara kita yang anti Tradisi Suci akan terbuka sehingga mereka akan semakin jernih melihat segenap peristiwa kesengsaraan Kristus. Sebagai contoh, sebanyak 7 kali Yesus jatuh ke tanah ketika memanggul salib. Hal ini bisa menjadi bentuk persatuan bila kita memaknainya dari perspektif kemanusiaan Yesus yang sangat lemah, dengan badan yang sudah remuk yang tak mungkin kuat memanggul Salib sendirian ke puncak Kalvari. Peristiwa seperti ini membawa kita pada perenungan akan beratnya beban hidup kita sewaktu-waktu yang memungkinkan kita sekali-kali jatuh dan tak lupa segera bangkit karena gairah Sang Mesias. Begitu pula Veronica, sosok wanita yang berani menawarkan secarik kain untuk membasuh wajah Kristus dan memberiNya minum dengan taruhan nyawa. Gambaran-gambaran tradisional ala Roma Katolik seperti ini cukup membuat umat Kristen lainnya menyadari pentingnya Tradisi -yang ironisnya selama ini menjadi atrophy- untuk menguatkan iman umat sehingga tidak berkembang secara statis pada penafiran harafiah teks injili namun meluas mengikuti jejak-jejak kehidupan Putera Manusia yang tidak tertulis pada Alkitab.

Dengan berbagai tanggapan positif dan antusiasme seluruh denominasi Gereja, film ini sepertinya memiliki Roh yang mengilhami umat Kristen untuk mencoba memahami ajaran-ajaran dan Tradisi dalam Gereja Roma Katolik. Ini sungguh luar biasa bahwa Allah dapat memakai segala cara untuk membangkitkan kembali kelesuan iman dan mengubah kesombongan sebagian besar umatNya melalui cara sinematik. Kita juga sepatutnya berterima kasih atas peranan besar Mel Gibson sebab tafsir kameranya membuat jutaan orang merasakan siraman rohani di tengah-tengah kekeringan jiwa generasi ini. Suatu oase di gurun pasir yang membuat mereka yang haus minum dari kisah The Passion of the Christ.

Dialog Teologis Balamand [Orthodox dan Katolik]

Balamand Statement :

Dialog Teologis antara Gereja Timur dan Barat
By Leonard T.P – diolah dari berbagai sumber

A. Pendahuluan

Komisi teologi gabungan internasional antara Gereja Roma Katolik dan Orthodok mengadakan dialog teologis paripurna yang ketujuh pada tanggal 17 – 24 Juni 1993 di Sekolah Teologi Balamand Lebanon. Dialog ini bertema “Persatuan (Uniatism), suatu metode persatuan gereja di masa lalu dan proses pencarian di masa sekarang untuk mencapai komuni bersama (full communion)”. Dialog teologis ini memiliki latar belakang sbb :

1. Dialog yang terjadi di Lebanon ini sebenarnya merupakan permintaan Gereja Orthodox dalam memahami perkembangan teologi Gereja Katolik yang selama ini telah menjadi perhatian serta munculnya pertanyaan tentang apa yang sebenarnya disebut “Persatuan” itu (Uniatism).

2. Karena menyangkut suatu metode yang disebut “Uniatism” seperti yang dikatakan oleh Freising (Juni 1990) bahwasanya metode persatuan sebenarnya bertentangan dengan tradisi kedua gereja maka perlu dibentuk suatu dialaog teologis yang lebih komprehensif antara kedua gereja.

3. Gereja Katolik Timur yang semakin berkembang dan yang merupakan bagian dari Komuni bersama dengan Katolik Roma memiliki hak untuk hidup sesuai dengan kebutuhan rohani dan keimanan mereka.

4. Dokumen yang disiapkan di Ariccia oleh komite kordinasi gabungan dan telah selesai pada Juni 1993 di Balaman menyatakan apa sebenarnya metode yang dipakai dalam proses pencarian dalam mencapai komuni bersama (full communion). Sehingga dialog ini diharapkan dapat menghindari “eksklusivitas” metode persatuan yang dimaksud itu.

5. Dokumen Dialog Balamand ini terdiri dari 2 (dua) bagian utama yakni :

a) Prinsip-prinsip Eklesiatologis (Ecclesiological principles)

b) Pedoman praktek

B. Prinsip-prinsip Eklesiatologis

Ada beberapa prinsip dasar yang diperhatikan dalam masalah ini yakni :

1. Perpecahan gereja antara Timur dan Barat tidak mengecilkan semangat akan persatuan gereja seperti yang diinginkan oleh Kristus. Padahal kenyataan yang terjadi sepertinya bertolak belakang dengan keadaan gereja yang sering dipersoalkan mengenai kesadaran akan pentingnya persatuan gereja sehingga kesetiaan kita kepada Sabda Allah tetap terjaga.

2. Dalam beberapa abad yang lampau, usaha-usaha menuju persatuan gereja telah banyak dilakukan. Para pemimpin gereja telah berupaya melakukan cara untuk mengakhiri perpecahan gereja melalui bermacam-macam konsili yang kadang-kadang diadakan atas dasar politis, historis dan teologis. Namun sampai saat ini usaha-usaha untuk mencapai komuni bersama pun antara Gereja Timur dan Barat belum berhasil bahkan cenderung menimbulkan masalah baru yang memperparah keadaan.

3. Dalam empat abad terakhir dan di beberapa tempat di Timur, inisiatif justru sering dikemukakan oleh beberapa bagian gereja Timur untuk memulihkan persaudaraan antara Gereja Timur dan Barat. Inisiatif ini malahan menghasilkan persatuan beberapa komunitas gereja Timur dengan Tahta Roma dan akibatnya komunitas tersebut terpisah dari induk gereja mereka yakni gereja Timur. Atas dasar hal-hal ini Gereja Katolik Timur lahir. Namun situasi seperti itu malah menimbulkan sumber konfik baru dan juga penderitaan bukan hanya dialami oleh Gereja Orthodox juga Gereja Katolik Roma.

4. Apapun perhatian, semangat dan maksud untuk tetap setia kepada Sabda Yesus agar “semoga mereka bersatu” seperti yang diinginkan oleh beberapa komunitas gereja timur tadi untuk bersatu dengan Tahta Roma namun harus diakui bahwa sebenarnya pendirian kembali persatuan gereja antara Timur dan Barat tidak tercapai dan perpecahan tetap ada bahkan diperburuk oleh usaha-usaha tadi.

5. Situasi yang digambarkan di atas tadi menimbulkan ketegangan dan perlawanan. Dalam beberapa dekade , para misionaris yang mengikuti semangat persatuan secara progesif baik individual maupun kelompok cenderung melakukan kegiatan yang meng-convert (mengubah) iman seseorang untuk “kembali” ke gereja asal mereka. Dalam rangka meligitimasi usaha-usaha ini, sebagai sebuah sumber “proselytism”, Gereja Katolik mengembangkan visi teologis yang menurut mereka Gereja Katolik-lah sebagai satu-satunya sumber Keselamatan. Sebagai reaksi balik, Gereja Orthodox melakukan hal yang sama. Bahkan sering terjadi seorang Kristen harus melakukan baptis ulang (re-baptized). Sehingga prinsip-prinsip kebebasan beragama menjadi hilang. Perspektif seperti inilah yang sering dilupakan oleh pihak-pihak tersebut.

6. Dilain pihak beberapa otoritas sipil di luar gereja berusaha membawa kembali Katolik Timur kepada Gereja asal mereka. Untuk mencapai hasil ini, pihak otoritas itu tidak segan-segan mempergunakan cara yang tidak patut dipakai.

7. Karena cara-cara seperti tadi yang mana Gereja Katolik dan Orthodox mulai mempertimbangkan pentingnya hubungan diantara mereka sebagai gereja yang bersaudara (sister church), maka cara “kerasulan misionaris (missionary apostolate)” seperti tadi tidak lagi dapat diterima baik sebagai metode yang harus dipakai maupun sebagai model persatuan gereja.

8. Sejak konferensi Pan Orthodox dan Konsili Vatikan II yang pada kenyataanya telah memberikan nilai-nilai baru bagi Gereja sebagai suatu komuni, telah merubah secara radikal perspektif dan sikap-sikap mereka. Setiap pihak disadarkan bahwa Kristus telah mempercayakan GerejaNya – seperti yang tertuang dalam pengakuan iman rasuli, partisipasi dalam sakramen yang sama, satu kepemimpinan dalam mempersembahkan Kristus, suksesi rasuli – yang mana hal-hal itu tidak dapat lagi dipandang sebagai bentuk eksklusivitas dari kedua gereja tersebut. Dalam konteks ini jelaslah bahwa baptis ulang (Re-baptism) harus dihindari.

9. Dalam perspektif inilah seharusnya Gereja Timur dan Barat mengenal satu sama lain sebagai Gereja kakak-beradik/bersaudara (Sister Church) dan sama-sama bertanggungjawab untuk memelihara Gereja Allah dalam kesetiaan kepada tujuan yang suci dan bermuara pada persatuan. Menurut Paus Johanes Paulus II, usaha dan semangat ekumenis dari Gereja bersaudara yang berlandaskan pada dialog dan doa merupakan pencapaian terhadap komuni total secara sempurna sehingga persatuan bukan merupakan bentuk “absorpsi (penyerapan) dan fusi (penggabungan)” melainkan lebih pada sebuah perjumpaan dalam kebenaran dan kasih. (cf.Slavorum Apostoli n.27)

10. Kebebasan seseorang untuk mengikuti hati nuraninya tetap terjaga aman, dan diharapkan tidak ada lagi persoalan mengenai “conversion” dari orang-orang agar masuk ke dalam gereja tertentu yang dijamin keselamatannya.

11. Gereja Katolik Timur yang telah bergairah dalam mendirikan kembali komuni bersama dengan Tahta Roma dan setia sampai saat ini tetap memiliki hak dan kewajiban yang berkaitan dengan komuni bersama itu. Prinsip-prinsip yang menentukan sikap dari Gereja Katolik Timur terhadap Gereja Orthodox merupakan prinsip-prinsip yang telah dinyatakan dalam Konsili Vatikan II dan telah dilaksanakan oleh Paus sekaligus Paus itu sendiri mengklarifikasikan beberapa konsekuensi praktis yang dipublikasikan sejak saat itu. Gereja Katolik Timur pun perlu dimasukkan dalam gereja Timur dan Barat baik di tingkat lokal maupun universal, diikutsertakan dalam dialog kasih yang berlandaskan saling menghormati dan adanya rasa kepercayaan diri yang sama serta terlibat dalam dialog teologis berserta segala implikasi praktisnya.

12. Dalam atmospir seperti ini, pertimbangan-pertimbangan yang muncul dan pedoman praktek yang diikuti akan lebih efektif diterima dan diakui bila mengarah kepada solusi yang adil dan definitf dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh Gereja Katolik Timur terhadap Gereja Orthodox.

13. Untuk mengakhiri situasi demikian, Paus Paulus VI dalam amanatnya di Phanar bulan Juli 1967 mengatakan : “Dalam kepemimpinan dan bimbingan gereja serta hirarki merekalah, segenap kewajiban akan mengarah dan tinggal dalam Gereja sehingga dalam berbagai cara akan menuju kepada suatu komuni bersama lagi. Mereka harus melihat dan melaksanakan hal ini dengan cara mengenal dan menghargai satu sama lain seperti gembala dalam memimpin kawanan dombanya seperti yang dipercayakan Kristus kepada kita, kemudian mereka harus saling peduli terhadap perkembangan dan kesatuan dari jemaat-jemaat Allah dan mencegah segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan atau menimbulkan kebingungan dalam setiap jenjang kehidupan gereja mereka” (Tomos Agapis, n.172). Dalam semangat ini Paus Johanes Paulus II serta Patriak Ekumenis Dimitrios I bersama-sama menyatakan secara jelas : “Kami menolak segala bentuk proselytism (mempengaruhi orang lain untuk masuk agama tertentu) dan sikap-sikap yang dapat dirasakan sebagai berkurangnya rasa penghormatan terhadap satu sama lain” (7 Desember 1987).

C. Pedoman Praktek

Pedoman-pedoman ini praktek memuat hal-hal sbb :

1. Saling menghormati antara kedua Gereja akan mempermudah suasana dalam rangka menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan penerapan pedoman praktek.

2. Pedoman-pedoman atau peraturan-peraturan ini tidak akan mengatasi masalah-masalah yang menimbulkan kekhawatiran kita kecuali setiap kelompok memiliki niat untuk saling memaafkan yang diilhami Kitab Suci dan dalam konteks usaha-usaha yang konstan sehingga pembaruan dan semangat yang dikembangkan dapat mencapai komuni bersama (full communion). Oleh sebab itu dialog kasih harus berlangsung secara intensif dan ketekunan akan kasih itu sendiri dapat mengatasi kekurangan pengertian kedua belah pihak. Dengan demikian kondisi itu dapat memperdalam dialog teologis yang mengantar kita menuju komuni bersama.

3. Langkah pertama yang dapat diambil adalah menghindari sesuatu yang dapat mempercepat perpecahan, kutukan, dan kebencian diantara kedua Gereja. Dalam hal ini Otoritas Gereja Katolik akan membantu Gereja Katolik Timur dan juga komunitasnya agar mereka dapat mempersiapkan diri menuju komuni bersama antara Gereja Katolik Roma dan Orthodox. Sebaliknya Otoritas Gereja Orthodox akan melakukan hal yang sama. Dalam cara ini, akan lebih mungkin bagi kita semua untuk menjaga situasi yang sangat kompleks yang telah tercipta di Eropa Timur yang mana pada saat bersamaan, kasih dan keadilan bagi kedua Gereja sangat diperhatikan.

4. Kegiatan pastoral Gereja Katolik yang berbentuk Latin dan juga Katolik Timur tidak boleh memiliki umat yang berasal dari satu gereja yang dapat dipindahkan ke gereja lainnya. Maksudnya adalah Gereja Katolik mengindari sejauh mungkin bentuk “proseltysm” kepada Orthodox. Hal ini bertujuan untuk menjawab kebutuhan spiritual dari setiap umat dan dimaksudkan bukan untuk melakukan ekspansi dengan mengorbankan Gereja Orthodox. Sehingga dalam perspektif ini diharapkan tidak ada lagi ruang-ruang ketidakpercayaan dan kecurigaan. Dan perlu juga diadakan suatu bentuk pertukaran informasi terhadap berbagai proyek pastoral sehingga kerjasama antara kedua pemimpin gereja yang ada dalam daerah tersebut (misal uskup) dapat berkembang aktif.

5. Sejarah hubungan antara Gereja Orthodox dan Gereja-gereja Katolik Timur ditandai oleh siksaan dan penderitaan. Apapun yang mengakibatkan penderitaan dan penyebab dari itu, mereka tidak boleh menjustifikasikan “triumphalism” (kesombongan karena berhasil menaklukan wilayah). Tidak ada seorang pun yang dapat mengagungkan kemenangan di dalam diri mereka maupun membuat pernyataan yang dapat menimbulkan tuduhan dan perbedaan kepada Gereja yang lain. Biarkan Allah sendiri yang mengetahui siapa MilikNya. Apa pun masa lalu yang telah terjadi harus diserahkan kepada Kemurahan Hati Allah dan semua energi Gereja-gereja harus diarahkan kepada Kehendak Kristus bagi umatNya baik sekarang dan masa yang akan datang.

6. Perlu juga diperhatikan oleh kedua Gereja bahwa para uskup dan mereka yang memiliki tanggungjawab pastoral untuk secara cermat menghargai kebebasan beragama dari umat tersebut. Sebaliknya, umat harus bisa menyatakan hasrat mereka terhadap tujuan kebebasan beragama itu. Secara khusus dalam situasi konflik, kebebasan beragama mensyaratkan seorang umat seharusnya dapat menyampaikan dan memutuskan gagasan mereka tanpa tekanan dari luar apabila mereka ingin berada dalam komuni apakah itu bersama Gereja Orthodox atau Gereja Katolik. Kebebasan beragama akan rusak ketika seorang umat dipengaruhi oleh bantuan keuangan dari Gereja lain sehingga ia akan tertarik kepada gereja itu. Atau melalui janji akan sesuatu, pendidikan dan keuntungan material yang mungkin di gereja asalnya dia tidak mendapatkan. Dalam konteks ini seyogyanya bantuan sosial dan juga kegiatan filantropis lainnya dikoordinasikan melalui kesepakatan bersama untuk menghindari timbulnya kecurigaan baru.

7. Lebih jauh lagi, perlunya penghormatan terhadap kebebasan krisitani, yang merupakan salah satu dari banyak pemberian Kristus yang paling berharga, untuk tidak menjadi sebuah proyek pastoral yang melibatkan umat dari gereja lain tanpa berkonsulasi dahulu dengan pastor dari gereja tersebut. Tidak hanya segala bentuk tekanan, atau apa pun jenisnya yang harus dikesampingkan tetapi juga perlunya rasa menghargai hati nurani yang dimotivasikan oleh keadaan darurat yang otentik dari iman seseorang hal ini pun merupakan salah satu prinsip yang mengarahkan kepedulian pastoral bagi mereka yang bertanggungjawab di kedua gereja itu. Dan seharusnya pun hal ini dapat menjadi bahan refleksi yang sama.(Galatia 5 : 13).

8. Oleh sebab itu perlu terus mengadakan dialog terbuka yang dalam tempat pertama adalah dialog antara mereka yang memiliki tanggungjawab gereja di tingkat lokal. Mereka yang bertanggungjawab dalam komuitas tersebut seharusnya membuat komisi lokal bersama atau mengefektifkan komisi itu bila sudah ada agar masalah-masalah yang ada dapat dicarikan solusinya atas dasar kebenaran, kasih, keadilan dan damai. Apabila kesepakatan itu tidak dapat dicapai di tingkat lokal maka sebaiknya hal itu diteruskan ke komisi gabungan yang lebih tinggi yang dibentuk oleh otoritas yang lebih tinggi pula.

9. Kecurigaan akan hilang lebih mudah apabila kedua kelompok mengutuk kekerasan yang mungkin dipakai salah satu pihak terhadap Gereja yang bersaudara ini (Sister Church). Seperti yang dihimbau Paus Johanes Paulus II dalam suratnya tanggal 31 Mei 1991, adalah perlu disadari bahwa kekerasan dan setiap bentuk tekanan atau paksaan dihindari dalam rangka menghormati kebebasan nurani. Ini merupakan tugas dari mereka yang bertanggungjawab dalam komunitas tersebut untuk membantu para umat untuk lebih memperkuat kesetiaan mereka terhadap gereja mereka masing-masing dan juga terhadap tradisi. Para klerus pun diharapkan dapat mengajarkan kepada umatnya untuk menghindari bukan hanya kekerasan namun juga yang secara fisik, verbal dan moral dapat menimbulkan penghinaan terhadap umat kristen lainnya. Karena kalau hal-hal ini terjadi maka umat akan merendahkan karya keselamatan yang terwujud melalui rekonsiliasi dalam Kristus.

10. Iman dalam kehidupan sakramental mengajarkan penghormatan kepada perayaan liturgis yang dilakukan gereja lain. Penggunaan kekerasan dalam menduduki tempat perayaan sangat bertolak belakang dengan keyakinan akan iman kita. Sebaliknya, keyakinan ini kadang-kadang mensyaratkan bahwa perayaan dari gereja lain seharusnya dibuat lebih fleksibel dengan mengutamakan kesepakatan bersama. Sebagai contoh apabila suatu gedung secara bersama-sama maka salah satu gereja dapat memakai bergantian dengan waktu yang berbeda. Sekali lagi manifestasi kekerasan harus segera dihindari.

11. Uskup dan imam mempunyai kewajiban dihadapan Allah untuk menghormati otoritas dimana Roh Kudus telah memberikan kepada Uskup dan Imam dari gereja yang lain itu. Oleh sebab itu perlu dihindarkan campur tangan dalam kehidupan spiritual dari umat gereja itu. Kerjasama menjadi sangat dibutuhkan demi kebaikan para umat. Bahkan antara para pemimpin gereja itu perlu membuat kesepakatan yang saling selaras dan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran serta diberitahukan kepada gereja yang lain secara terbuka, tulus dan dengan penghargaan kepada kehidupan sakramental. Dalam konteks ini untuk menghindari kesalahpahaman dan mengembangkan kepercayaan antara dua gereja maka uskup Katolik dan Orthodox yang berada dalam wilayah yang sama dapat saling berkonsultasi sebelum mendirikan proyek pastoral Katolik yang dapat berimplikasi pada pendirian struktur baru dalam wilayah yang secara tradisional merupakan bagian jurisdiksi dari Gereja Orthodox. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari risiko degeneratif akibat persaingan atau bahkan konflik.

12. Perlu bagi kedua Gereja untuk datang bersama-sama dan menyatakan rasa terima kasih dan penghargaan kepada mereka baik yang dikenal maupun tidak dikenal, para uskup, imam atau umat baik Orthodok maupun Katolik apakah Timur atau Latin yang menderita dan mengakui iman mereka serta menjadi saksi setia bagi Gereja dan orang kristen secara umum yang tanpa melakukan diskriminasi mengalami siksaan dan penderitaan. Penderitaan mereka memanggil kita untuk bersatu dan memberi respon terhadap doa Kristus “semoga mereka menjadi satu sehingga dunia percaya…..(Yoh 17 : 21)”.

13. Komisi gabungan internasional untuk dialog teologis antara Gereja Katolik dan Orthodox di Balamand secara tegas merekomendasikan agar pedoman praktek ini dilaksanakan oleh kedua Gereja termasuk Gereja Katolik Timur yang memang dipanggil untuk ambil bagian dalam dialog teologis ini sehingga proses menuju pendirian kembali komuni bersama dapat terwujud dan berkembang.

14. Dengan mengeluarkan “proselytism” di masa datang serta keinginan-keinginan Gereja Katolik untuk berekspansi dengan mengorbankan Gereja Orthodox, komisi ini berharap telah dapat mengatasi halangan yang mendorong beberapa gereja “autocephalous” (menjadi independent) untuk menghindar dalam partisipasi pada dialog teologis ini. Dan juga Gereja Orthodox akan dapat menemukan dirinya bersama-sama lagi untuk melanjutkan karya teologis yang secara mesra sebenarnya sudah dimulai.

Balamand (Lebanon – 23 Juni 1993)

PESERTA BALAMAND

Berikut ini adalah delegasi-delegasi yang menghadiri Pertemuan Paripurna Ketujuh untuk Komisi Gabungan Internasional untuk Dialog Teologis antara Gereja Roma Katolik dan Orthodox yang diselenggarakan di Sekoloh Teologi Balamand , Lebanon 17 – 24 Juni 1993

From the Eastern Orthodox Churches:

Ecumenical Patriarchate of Constantinople

His Eminence Archbishop Stylianos of Australia Orthodox Co-President of the Joint International Commission

Patriarchate of Alexandria

His Eminence Metropolitan Dionysios of Nubia

Professor Constantine Patelos

Patriarchate of Antioch

His Eminence Metropolitan George of Byblos and Botrys

Father Archimandrite Youhanna (Yazigi)

Church of Russia

Father Hegumen Nestor (Zhilyaev)

Church of Romania

His Eminence Metropolitan Antonie of Transylvania

Father Archpriest Dumitru Radu

Church of Cyprus

His Eminence Metropolitan Chrysanthos of Morphou

Professor Macarius Papachristophorou

Church of Poland

Father Hieromonk Barsanuphius (Doroszkiewicz)

Church of Albania

Professor Theodoros Papapavli

Church of Finland

His Grace Bishop Ambrosius of Joensocu

Executive Secretary:

His Eminence Metropolitan Spyridon of Italy

[The Patriarchate of Jerusalem, and the Churches of Georgia, Serbia, Bulgaria, Greece, and Czechoslovakia were not represented.]

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...