Jumat, 13 Juli 2007

Pendapat Scott Hahn tentang Kepausan

Sumber : http://www.catholic-pages.com/pope/hahn.asp

Diterjemahkan oleh Leonard T. Panjaitan

Pemikiran Scott Hahn tentang Kepausan

Pendahuluan

Banyak orang berpikir bahwa visi utama Vatican mengenai Gereja sebagai komuni [persekutuan] telah disimpulkan dalam sebuah ungkapan, “Umat Allah” dimana dalam Perjanjian Lama ungkapan “Umat Allah” ini memiliki akar kata “am’ Yahweh” yang memiliki pengertian dasar sebagai “Keluarga Allah”. Istilah “umat”, ‘am’ secara literal menunjukkan pertalian keluarga, jadi istilah ini dapat diterjemahkan menjadi “keluarga laki-laki” atau “keluarga Allah” dan inilah gambaran bagaimana para sarjana Perjanjian Lama menerjemahkannya. Dengan demikian kita memandang Paus, sebagaimana pagi ini, kita akan memandangnya bukan sebagai tiran, bukan juga sebagai penguasa yang “serba tahu segalanya” dan bukan juga seorang pesulap yang dapat menciptakan wahyu baru untuk memuaskan semua pihak atau sesuatu seperti itu. Kita akan melihat Paus sebagai sosok seorang Bapak yang kepadanya Kristus telah mendirikan sebuah keluarga yang telah Dia beli dengan DarahNya sendiri.

Sekarang ini banyak sekali terjadi salah pengertian di masyarakat. Mereka kadang-kadang berpikir bahwa ajaran Gereja adalah bahwa Paus tidak dapat salah; dengan demikian paus tidak bisa berdosa. Pandangan ini tidak masuk akal, meskipun seorang Paus mengaku dosa [aku mengerti setidaknya seminggu sekali]. Seorang paus harus pergi mengaku dosa karena hal ini adalah sakramen yang sah yang dapat diperolehnya. Sebagian lagi berpikir bahwa Paus selalu berkata-kata benar pada saat yang tepat. Tidak, Gereja tidak pernah memaksakan suatu fakta bahwa Paus akan selalu berkata-kata benar di saat yang tepat. Malahan, akibat suatu kekhawatiran, ajaran Gereja bisa memperbolehkan Paus untuk mungkin menunda suatu keputusan yang benar. Atau ketika Paus berbicara tentang suatu kebenaran atau ketika dia mengajarkan kebenaran, dia mungkin dapat melaksanakannya dengan cara yang mengandung sikap ambiguitas.

Jadi kita harus bertanggungjawab sebagai orang-orang Katolik untuk memahami bukan hanya apa yang Gereja ajarkan namun juga apa yang tidak diajarkan Gereja untuk meluruskan kesalah-pengertian ini. Gereja mengajarkan dalam suatu ringkasan yang sederhana bahwa Bapa Suci, Paus, Uskup Roma adalah sebagai pengganti Petrus dan Wakil Kristus, yakni ketika Paus berbicara sebagai pengajar universal dari Kursi Petrus dalam mendefinisikan iman dan moral dengan karisma yang tidak bisa salah atau melalui karunia Roh Kudus yang tak bisa salah sehingga kita dapat memberikan persetujuan penuh dari intelektualitas dan keinginan kita dan kita dapat mendengar suara Kristus yang berseru kepada kita melalui suara Paus ketika dia berbicara dalam kapasitas ini.

Sekarang mari kita menyegarkan makna ajaran ini sebagaimana waktu berjalan namun terdapat tiga masalah mendasar saat ini. Pertama-tama, dapatkah kita membuktikan Primat [Keutamaan] Paus, yakni bahwa Paus itu bukan hanya yang pertama dari yang terutama namun juga beliau memiliki primat tertentu, suatu supremasi unik dalam relasi dengan seluruh Uskup. Kita harus mulai dengan menunjukkan bahwa Yesus menyematkan [memberikan] karunia ini kepada Petrus. Yang kedua adalah kita harus membuat doktrin suksesi kepausan. Apabila kita dapat membuktikan hal ini dari sumber Alkitab bahwa Petrus lah yang diberikan hak oleh Yesus, maka hal ini tidak melenceng terlalu jauh. Kemudian kita harus menetapkan suksesi kepausan; bahwa Petrus mempunyai pengganti yang kepadanya lah dipercayakan karunia atau karisma yang sama. Yang ketiga, kita harus menetapkan bukti terhadap infalibilitas paus [kebal salah/tidak bisa salah], yakni bahwa Allah memberikan kepada para pengganti Petrus sebuah karunia bukan memberikan mereka wahyu-wahyu baru. Gereja bersikeras bahwa tidak ada Paus yang pernah memberikan wahyu baru. Wahyu telah, dan sekali untuk selamanya disediakan oleh Kristus melalui Para RasulNya dan dengan kematian Rasul terakhir maka ditutuplah sudah semua wahyu publik [umum]. Dalam pengertian ini Para Paus diberikan tugas untuk menjaga, menyebarkan, menjelaskan dan menyelenggarakan wahyu tersebut namun tidak memberikan wahyu baru. Sehingga doktrin ketiga yakni doktrin infalibilitas kepausan berlaku adalah ketika paus menerangkan, menjelaskan, menjalankan wahyu Allah maka mereka diberikan sebuah karisma atau karunia spiritual khusus untuk menjaga wahyu tersebut dari terjadinya eror.

Dalam pengertiannya, Infalibilitas adalah karunia yang bersifat negatif. Ini tidak berarti bahwa paus selalu berkata hal-hal yang benar namun infalibilitas adalah ketika Paus berbicara dalam waktu yang tepat; namun itu hanya terjadi ketika dia berbicara dengan menggunakan otoritas bahwa Kristus lah memberikan otoritas itu kepadanya, sehingga kita memiliki jaminan ilahi, sebab Kristus menjanjikan bahwa “Aku akan mendirikan GerejaKu”. Karena sangat pentingnya, Gereja Kristus bukanlah institusi manusia. Yesus mengidentifikasikan Gereja sebagai KepunyaanNya sendiri. “GerejaKu” dan institusi serta edifikasi [perbaikan] dan pembangunan Gereja hanya dapat diklaim oleh Yesus sendiri. Jadi instrumen apa pun yang Yesus pilih untuk digunakan, pada akhirnya tetap berada di bawah kontrolNya dan Dia akan memanfaatkan instrumen ini dengan tujuan akhir yang dalam pikiranNya, dari mulai membanguan GerejaNya, memerintah KeluargaNya dan sedemikan rupa hingga mengadakan jaminan bahwa Dia melimpahkan dalam Matius 16, seperti yang akan kita lihat, bahwa alam maut pun tak akan mampu mengatasi Gereja dan tidak akan mampu mengatasi si Batu Karang yang adalah Petrus dan para Paus yang berada dalam jalur suksesi kepausan bersama dengan Petrus.

Sampai bagian ini, saya telah memberikan kepada kalian cara yang cepat, dari apa yang harus kita lakukan. Saatnya aku berterus terang dari hati ku yang paling dalam dan dengan penuh kerendahan hati bahwa kita tidak akan sanggup untuk melakukan tugas memadai ini di pagi hari ini. Ini terlalu banyak ! Apabila aku berbicara secepat mungkin dan mencoba untuk mendapatkan seluruh bagian lainnya, aku pun tidak akan mampu mencapai 20% dari keseluruhannya. Jadi, aku tidak akan berbicara sampai telinga kalian tuli. Aku tidak akan mencoba untuk mengeruk seluruh topik ini hingga memakan waktu tiga atau empat jam. Sebaliknya aku akan fokus pada hal-hal utama atau pokok saja, sehingga kalian dapat melihatnya dari Alkitab dan dari sejarah serta dari Gereja, yakni ide-ide kunci yang kita butuhkan untuk dipakai dan berbagi sebagai bukti dan dukungan bagi kepercayaan kita dan praktek iman Katolik.

Pertama-tama kita harus memandang Alkitab. Kita juga harus melihat perkembangan historis dari pemahaman Gereja dan kemudian kita akan fokus pada beberapa hal mengenai ajaran Gereja yang berhubungan dengan Paus dan otoritasnya. Sebelum aku mulai, memberikan kualifikasi ini, aku jadi berpikir bahwa aku perlu untuk merekomendasikan beberapa sumber untuk studi kalian di luar pembahasan pagi hari ini.

Pertama-tama, Aku merekomendasikan kepada kalian sebuah buku yang berjudul ”Catholicism and Fundamentalism and the Attack on Romanism by Bible Christians[Katolisisme dan Fundamentalisme dan Serangan terhadap Romanisme oleh Orang-orang Kristen Alkitabiah]. Buku ini ditulis oleh Karl Keating, pendiri dan direktur dari “Catholic Answer” di San Diego. Kalian juga bisa mendapatkan darinya sebuah catalog dari materi-materi lainnya yang diterbitkan oleh Catholic Answers, namun buku ini cukup untuk menjadi obat yang memadai terhadap beberapa keberatan yang dilayangkan kepada iman Katolik, namun banyak materi dari buku ini tidak dapat kita bahas pada minggu ini namun buku tersebut cukup memberikan gambaran dari sisi Alkitab dan juga sejarah Gereja, kita dapat memberikan jawaban dengan cara yang persuasif dan meyakinkan.

Buku kedua yang kurekomendasikan adalah buku yang ditulis oleh Dr. Alan Schreck dengan judul “Catholic and Christian, an Explanation of Commonly Misunderstood Catholic Beliefs[Katolik dan Kristen, sebuah penjelasan tentang Iman Katolik yang umumnya disalahartikan]. Buku ini sangat positif dan konstruktif, Aku katakan, buku ini bak sebuah presentasi pastoral yang berisi bukti-bukti biblis dan alasan secara historis bagi kepercayaan Katolik. Buku ini tidak diarahkan terhadap sebanyak mungkin orang-orang Fundamentalis atau Protentant Evangelikal dan ini membantu mereka sangat besar.

Ada dua buah buku lain yang ditulis oleh salah satu filsuf terbesar di zaman kita yakni Stanley Jaki. Buku pertama ada di sebelah kanan ku, dan Di Batu Karang ini, Kesaksian Satu Tanah dan Dua Perjanjian. Si penulis memperlihatkan latar belakang secara geografis, historis dan biblis terhadap apa yang Yesus maksudkan ketika Dia menamai kembali Simon, “Batu Karang” atau Petrus. Buku yang sangat menarik tentunya. Kemudian buku lainnya dari Stanley Jaki adalah “Kunci Kerajaan”, Sebuah alat Kesaksian terhadap Kebenaran, yang tdiak banyak berfokus pada si Batu Karang namun pada kunci-kunci Kerajaaan yang Yesus percayakan kepada Petrus dan para penggantinya. Kedua buku tersebut sangat kaya akan informasi berharga, data-data yang menarik yang nantinya bakal banyak kalian jumpai.

Primasi [Primat] dan Suksesi Paus

Saatnya ini menjadi titik awal kita dan saya akan mengambil kebebasan di sini, apabila kalian ijinkan saya, untuk menyimpulkan apa yang telah saya katakan pada kaset ini – bukan karena Saya berasumsi bahwa kalian telah mendengarkan kaset saya atau karena kalian ingin mendengarkannya, namun karena kalian dapat, apabila kalian benar-benar tertarik. Dan saya tidak akan menghabiskan satu jam untuk membahas rincian pada satu bagian padahal ada beberapa bagian lainnya yang penting untuk dibahas pula. Tetapi tiga ide tersebut begitu dekat hubungannya dengan bagian penting lainnya yang kita temukan pada injil pertama, Injil Matius, Bab 16 ayat 17 sampai 19.

Mari kita baca bagian tersebut dan aku akan mem-back up dan mempertimbangkan tiga aspek tersebut. Mari kita loncat ke ayat 13, “Sekarang ketika Yesus menuju distrik Kaisarea Filipi, Dia bertanya kepada para RasulNya, “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu ?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Kesaksian mereka ini agak impresif karena mereka mengangkat Perjanjian Lama tentang sebuah kumpulan orang-orang suci di sini.

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” dan sebagaimana digambarkan dalam Injil Matius, Petrus maju ke depan, atau menurutku dia mau berbicara. Petrus adalah satu-satunya orang yang berjalan di atas air. Petrus adalah satu-satunya yang sering berbicara mewakili duabelas para rasul. Ayat 16, “Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias,” – Cristos [Sang Kristus], Yang Diurapi dalam bahasa Yunani atau Messiah [Sang Mesias] dalam bahasa Ibrani, yang semuanya berarti “Anak Allah yang hidup”. Engkau adalah Kristus, Putera Allah yang hidup. Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu : “Engkau adalah Petrus [Petra] dan di atas batu karang ini [Petros] Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”. Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun bahwa Ia Mesias.

Sekarang ijinkan aku berbicara sedikit secara pribadi. Enam atau tujuh lalu, beberapa tahun sebelum saya menjadi seorang Katolik, saya banyak belajar mengenai Doktrin Perjanjian. Aku mulai paham mengenai Perjanjian sebagai sebuah keluarga dan melalui cara pandang seperti ini aku mulai menemukan semua kebenaran yang memukau, inovasi yang baru, penemuan baru yang kukira selama ini benar-benar tidak dapat ditemukan. Ketika aku semakin menggali lebih dalam literature-literatur tersebut, aku mulai menyadari bahwa dari waktu ke waktu para sarjana Katolik – yang kumaksud bukan hanya yang hidup pada abad pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, abad pertengahan,- orang-orang Kudus dan Doktor Gereja ternyata konsisten dengan penemuan terbaruku dan ajaran mereka mirip dengan sikap seperti “ho-hum” [kurang minat] : “Tahukan kalau kau tahu ini dan itu”.

Sungguh, awalnya hal tersebut membuatku terprovokasi. Kemudian temuan tersebut membuatku takut dan akhirnya aku menggali semakin dalam dan dalam ke sumber-sumber Katolik untuk melihat seberapa banyak penemuanku tersebut pada prakteknya mungkin dapat ditemukan dalam karya bapa-bapa Gereja tersebut. Kecuali beberapa karya yang palsu. Paus, meski ini adalah isu yang berbeda. Bagiku, ide bahwa Paus itu mengklaim primat dan suksesi serta infalibilitas adalah hanya anggapan belaka, yang merupakan anggapan yang sombong bahwa tidak ada seorang pun yang berani mengklaimnya.

Tapi suatu ketika, ketika aku sedang mempelajari keseluruhan Injil Matius yang mana injil tersebut lebih menekankan pada Perjanjian Lama lebih dari pada yang lainnya dan khususnya topik mengenai kerajaan Daud. Injil tersebut kelihatannya benar-benar menjadi titik sentral bahwa Yesus adalah Anak Daud dan Dia sedang mendirikan Kerajaan Daud. Dan di injil inilah bagaimana Matius memperkenalkan Yesus. Dia lah satu-satunya dari keempat penulis injil yang melacak keturunan Yesus hingga kepada Daud dan Matius menempatkan frase “Yesus, Anak Daud” di permulaan injilnya. Inilah topic yang umum dan menonjol sepanjang injil tersebut.

Dengan begitu, aku ingin menggali lebih dalam dan melihat apa yang kutemukan dalam bagian khusus tersebut dan atas dasar penemuan itu, dengan kata lain aku bisa bilang bahwa atas dasar studi itulah, aku membuat sebuah penemuan. Pertama-tama, aku menemukan bahwa ketika kalian membaca ayat 17, “Yesus menjawab, ‘Dan Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya’. Aku temukan bahwa semua bukti ini menunjuk kepada fakta bahwa Petrus adalah “batu karang”.

Sekarang kalian mungkin berkata, “Itu khan seperti layaknya hidung yang ada di muka orang”. Kejutan apa yang ada di penemuan ini ? Yah, orang-orang non Katolik sering mengklaim bahwa pernyataan ayat 17 menunjuk pada iman Petrus yang Yesus katakan itu, atau suatu pengakuan iman Petrus ketika Yesus bermaksud mengatakan “batu karang” ini. Atau orang-orang Protestan keberatan dan berkata, “Tidak, Yesus berkata, Dan Engkau adalah Petros”. “Engkaulah Petros, engkaulah batu karang, dan di atas petra, yang dalam bahasa Yunani artinya batu karang besar, “Aku akan mendirikan GerejaKu”. Jadi beberapa umat Protestan keberatan dengan pandangan Katolik ini dan berkata, ”Apa yang Yesus sungguh katakan adalah ‘Engkau Petrus si batu kerikil kecil dan di atas batu karang ini, yakni Kristus (1 Korintus 10:4 dan seterusnya) Aku akan mendirikan GerejaKu.

Sekarang semakin dekat Aku pelajari semakin banyak Aku sadari bahwa posisi tersebut tak dapat dipertahankan, benar-benar tidak bisa dipertahankan. Aku akan berbagi kepada kalian fakta bahwa kini para sarjana Protestan konservatif yang sangat anti Katolik pun akan mengakui kebenaran fakta tersebut secara terus terang. Semakin dalam aku gali semakin sering aku temukan fakta yang mengacu kepada saat bahwa Yesus berbicara tentang sosok Petrus. Petrus adalah Batu Karang. Petrus berkata, “Engkaulah Kristus”, jadi Yesus menjawab “Engkau adalah Batu Karang. Ada semacam pararelisme di sini, “Engkaulah Anak Allah Yang Hidup” dan “Engkau adalah anak Yunus, Simon bin Yunus, Engkaulah Petros”.

Sekarang orang-orang bisa berkata, “Tunggu dulu sebentar. Ada perbedaan dalam bahasa Yunani antara Petros, yakni nama si Petrus, dengan Petra. Petros dapat berarti “batu”, padahal Petra sering kali berarti “batu karang besar”. Masalahnya adalah pada dua padanan. Pertama-tama, Yesus mungkin tidak berbicara dengan bahasa Yunani ketika Dia bersama-sama dengan para Rasul. Aku maksudkan bahwa hal ini dipegang oleh 99,9% para sarjana. Hal ini jelas-jelas tidak mungkin bahwa Yesus dalam percakapan normalnya berbicara dengan bahasa Yunani. Yang pasti justru bahwa Yesus berbicara dengan bahasa Aramaic dan dalam bahasa Aramaic hanya terdapat satu kata yang mungkin digunakan dan Kouman serta para sarjana lainnya telah menunjuk pada fakta bahwa bila Yesus berbicara Aramaic, Dia hanya dapat mengatakan, “Engkau adalah Cephus [Kefas], dan di atas Cephus [Kefas] ini Aku akan mendirikan GerejaKu”. Jadi dengan pemahaman kita tentang bahasa Aramaic, maka tidak mungkin bagi Yesus untuk membuat perbedaan antara “batu kecil” dengan “batu besar”. Bahasa Aramaic tidak mengijinkan hal itu.

Yah, seseorang mungkin berkata, “Roh Kudus mengilhami Matius untuk menggunakan dua kata yang berbeda. Yah, itu memang benar, sebab “Petra” adalah suatu kata dalam bahasa Yunani yang secara normal digunakan untuk “batu besar” namun Aku juga bisa katakan bahwa “Petra” adalah kata Yunani yang berarti “batu besar” tetapi dalam bentuk feminim. Dengan kata lain, perbedaan jender dari kata Yunani tersebut, yakni “petra”, “batu besar”, adalah bentuk feminim. Anda tidak bisa menerapkan sebuah bentuk kata feminim untuk menamai seorang laki-laki. Anda harus mengadopsinya dengan memberikan bentuk maskulin. Dengan kata lain apa yang Matius lakukan, dibimbing oleh Roh Kudus, adalah sesuatu yang lebih jelas dan perlu dipraktekkan. Yakni bahwa Matius mengambil bentuk Yunani dari kata-kata Yesus dan mulai menggunakakan kata “Aku akan mendirikan GerejaKu pada batu besar ini, “petra” ini dalam bentuk feminim namun kemudian memperlihatkan bahwa Petrus memperoleh sebuah nama, yakni “Batu Karang [Rock]” dalam bentuk maskulin yang lebih tepat.

Sebagai contoh, Anda tidak akan menamakan seorang laki-laki Yosephin atau Rockina dan seterusnya. Anda akan memberikan seorang laki-laki dalam bentuk kata yang maskulin. Aku juga tambahkan bahwa tidak ada bukti arkeologis satu pun dari jaman purbakala bahwa pernah ditemukan ada orang yang dinamakan Petrus sebelum si Simon Bin Yunus. Dengan kata lain, Yesus mengambil sebuah nama yang tidak pernah dipakai sebelumnya sepanjang catatan sejarah kepada seseorang individu dan Yesus-lah yang memberikan nama itu, dan Dia memberikannya kepada Simon.

Sekali lagi aku sarankan bahwa fakta yang ada mengatakan bahwa Simon adalah si Batu Karang. Aku juga sampaikan beberapa hal sejalan dengan masalah ini karena aku memiliki beberapa kutipan Protestan. Aku memiliki kartu catatan yang aku rangkai menjadi satu ketika aku sedang menyiapkan paper untuk seminar S-1 pada subyek tersebut. Aku masih menjadi pelayan Protestan saat itu dan aku mengambil seminar dengan topic Injil Matius dan sang profesor di seminar tersebut adalah seorang Protestan. Dia seorang Lutheran dan dia mengetahui apa yang aku ingin kerjakan untuk proyek seminar tersebut dan aku mempresentasikan paper yang berjudul ”Petrus dan Kunci itu” [Peter and the Keys] dan aku mengerjakan paper tersebut sebab aku tahu bahwa dia mungkin tidak terbuka terhadap kesimpulanku, bahwa aku tahu kesimpulanku akan menjadi sebuah penutup dari penelitianku selama ini. Kesimpulanku tersebut lebih cenderung Katolik dan bukan Presbyterian maupun Lutheran.

Jadi demikianlah Aku terus bekerja dan bekerja dan aku meletakkan bersama-sama kartu-kartu catatan tersebut dan ketika aku membuat presentasi – Aku mau tambahkan di sini bahwa kenyataan ini merupakan pengalaman yang menarik sebab ketika semua mahasiswa mempresentasi paper mereka, sang profesor mendorong mahasiswa yang lainnya untuk berinteraksi dengan sang presenter.

Di akhir presentasi yang berat ini dia berkata, “Aku pikir paper mu mulus. Hanya satu kesalahan saja yang aku temukan yakni di salah satu catatan kakimu, kamu mencatat nama pertama orang secara salah !” Lalu dia berkata, “Aku pikir argumen mu persuasif juga. Aku bersyukur bahwa Aku tidak berpikir bahwa Matius itu secara historis itu bisa dipercaya, sehingga dengan demikian aku tidak harus mengikuti kesimpulan tersebut”. Aku senang bahwa engkau berkata itu, kau tahu bukan aku yang bilang loh.

Orang protestan bahkan sering kali siap mengakui fakta bahwa Petrus itu adalah Batu Karang dan kunci suksesi diberikan kepadanya untuk menyatakan sebuah jabatan [office] yang akan diisi oleh para penggantinya. Sebagai contoh, salah satu sarjana Perjanjian Baru dari Gereja Evangelical, R.T France mengatakan bahwa komentarnya mengenai Matius, “Ayat 17 sampai 19 ditujukan kepada Petrus dan telah dianggap oleh beberapa sarjana sebagai tambahan terakhir untuk mendukung klaim awal terhadap primat Uskup Roma. Apakah ayat-ayat ini memberikan dukungan demikian atau tidaknya, tidak ada bukti tekstual untuk tambahan lainnya terhadap injil tersebut setelah komposisi aslinya dan karakter bahasa yang kuat dari yahudi dan semitik sepanjang ayat-ayat tersebut mengacu pada sebuah asal usul yang relatif awal dalam lingkungan Palestina. Apa maksud si France ini ? Yah, para sarjana telah menganjurkan bahwa Yesus mungkin tidak akan memberikan karunia ini kepada Petrus. Yesus mungkin tidak akan menyampaikan perkataan asli ini. Mengapa ? Sebab banyak sarjana tidak percaya bahwa Yesus meramalkan pembangunan Gereja. Mereka berpikir bahwa perkataan Yesus yang berkaitan dengan Gereja telah ditambahkan kemudian oleh Gereja untuk mendukung apapun yang telah terjadi kepada Gereja.

Dr.France berkata, “Hal ini tidak dapat dipertahankan”. Ketika kalian mempelajari hal ini maka kalian akan menyadari bahwa semua bukti dalam teks tersebut memperlihatkan bahwa ayat tersebut adalah salah satu dari perkataan Yesus yang orisinil. Dia kemudian berkata lagi, “Ucapan bahagia Yesus ini tentang Petrus atau BerkatNya diberikan kepada Petrus sendiri. Murid-murid Yesus lainnya mungkin berbagi pengetahuan yang sama namun secara karakteristik Petrus mengekspresikan hal ini. Matius bahkan mengilustrasikan tempat Petrus di kepala kelompok para murid. Dia adalah juru bicara para murid, sang pionir dan pemimpin secara alamiah”.

Lalu Dr.France melanjutkan bicaranya bahwa bagaimana si Petrus itu dijadikan acuan kepada Batu Karang. Dia berkata, “Pengertian si Batu Karang itu adalah karakter Petrus tidaklah memberikan gambaran yang luas”. Dr. France tidak membuktikan bahwa pengertian seperti batu karang itu ada dalam terminologi stabilitas dan reliabilitas namun agaknya nama si Batu Karang atau Petrus menunjuk kepada fungsi Petrus sebagai batu fondasi dari Gereja Yesus”.

Ini adalah pernyataan dari seorang non Katolik. Ini adalah pernyataan dari seorang protestan evangelical yang tidak memiliki kepentigan apa pun dalam mendukung klaim Gereja namun Dr. France berkata, “Istilah Petrus, si Batu Karang, menunjuk kepada Simon dan bukan kepada karakternya karena bisa saja Petrus itu menjadi sangat tidak stabil, namun istilah si Batu Karang lebih kepada fungsi jabatannya sebagai batu fondasi dari Gereja Yesus. Permainan kata-kata ini sudah jelas. Lalu dia berkata, “Permainan kata-kata tersebut merupakan reaksi berlebihan Protestan terhadap klaim Gereja Katolik, yang sudah tentu permainan tersebut tidak mempunyai pijakan dalam teks alkitab, yakni bahwa ayat yang berbicara tentang Petrus selanjutnya diterapkan pula kepada Uskup Roma “. Dengan kata lain Dr. France berkata, “Kita tidak bisa menerapkan kata-kata dalam ayat tersebut kepada Para Paus, kemudian Uskup Roma. Aku akan membuang pendapat tersebut dalam beberapa menit, namun Dr. France sangat tulus berterus terang dalam kata-katanya, “Lihat, hanya karena kita orang-orang Protestan telah bertindak berlebihan kepada Gereja Katolik bahwa kita tidak jujur dan tulus dalam mengakui fakta bahwa Petrus adalah si Batu Karang. Petrus adalah batu fondasi yang di atasnya Yesus akan mendirikan GerejaNya.

Salah satu sarjana alkitabiah Protestan yang terbesar di abad ini mendukung gagasan di atas – W.F Albright dalam komentar alkitab jangkarnya tentang Matius mengatakan, Aku membuka injil tersebut. Aku terkejut melihat, “Petrus sebagai Batu Karang akan menjadi fondasi komunitas masa depan, yakni Gereja. Yesus di sini menggunakan bahasa Aramic dan dengan begitu bahasa Aramaic tersebut akan menjalankan tujuanNya. Dalam pandangan tentang latar belakang ayat 19, orang harus membuang usaha apapun yang bersifat interpretasi konfesional untuk melihat batu karang sebagai iman atau pengakuan Petrus”. Dengan kata lain, Prof.Albright kini mengakui sebagai seorang Protestan bahwa terdapat sikap bias dalam Protestan yang anti Katolik untuk menginterpretasikan siapa yang mencoba membuat referensi Yesus terhadap batu karang dengan hanya menunjuk kepada iman atau pengakuan. Albright mengatakan bahwa untuk menolak posisi Petrus yang ulung ini, maka diantara para murid atau dalam komunitas Kristen perdana hal ini berarti penolakan terhadap bukti yang ada. Titik tolak dalam hal kegagalan dan kebimbangan Petrus tidak mengurangi dari keunggulannya namun lebih pada untuk menekankan posisi tersebut”. Apabila Petrus merupakan figur yang kurang diandalkan maka perilakunya jelas akan menjadi sebuah konsekuensi yang kurang baik. Justru karena Petrus adalah yang utama dan batu fondasi Gereja yang sudah tentu kesalahannya berpengaruh penting, namun kesalahan-kesalahannya tersebut tidak berkaitan dengan ajaran-ajarannya sebagai Pangeran para Rasul. Kita akan lihat ini nanti.

Albright melanjutkan komentarnya untuk membahas tentang kunci Kerajaan Surga yang Yesus percayakan kepadanya. Di sini ia berkata, “Yesaya 22, ayat 15, niscaya terletak diantara perkataan Yesus. Kunci-kunci tersebut adalah simbol otoritas dan Pastor Roland DeVoe dengan tepat melihat otoritas yang sama yang ditetapkan dalam wakilNya, seorang master dari rumahNya, seorang pengurus rumah tangga kerajaaan dalam Israel kuno. Dalam Yesaya 22, Eliakim digambarkan memiliki otoritas yang sama dengan posisi Petrus.

Mari kita berhenti di sini dan berkata, “Apa yang dia [Albright] maksudkan ?”. Aku pikir itu sederhana koq. Albright sedang berkata bahwa Yesus dalam menyematkan ke Petrus bukan hanya sebuah nama baru namun juga mempercayakan kepadanya kunci Kerajaan Surga, Yesus meminjam frase dari Yesaya 22. Dia mengutip sebuah ayat dalam Perjanjian Lama yang sudah sangat dikenal. Hal ini bagiku adalah suatu terobosan. Penemuan ini adalah penemuan yang sangat penting bagi semuanya. Mari kita kembali ke Yesaya 22 dan melihat apa yang Yesus lakukan ketika Dia mempercayakan kepada Petrus kunci kerajaan Surga.

Omong-omong, Akhir-akhir ini aku tidak sukar menemukan setiap pembela iman Katolik yang memiliki kesadaran akan topik khusus tersebut. Ini adalah sebuah poin di atas semua poin bagiku. Ini adalah poin bahwa para pembela iman Katolik di abad 16 dan 17 juga sadar akan hal tersebut, namun untuk beberapa alasan nampaknya penyakit lupa ingatan menghinggapi sebagaian pembela iman tersebut dan mereka tidak sadar bahwa betapa krusialnya masalah ini. Dalam Yesaya 22 dalam awal ayat 19 dan 20, kita mendapatkan latar belakang yang menarik. Ayat ini menunjukkan dimana Yesus melakukan kutipan pada ayat tersebut.

Apa yang terjadi di sana ? Yah, dalam ayat 19 dikatakan, “Aku akan melemparkan engkau dari jabatanmu, dan dari pangkatmu engkau akan dijatuhkan. Maka pada waktu itu Aku akan memanggil hamba-Ku, Elyakim bin Hilkia. Aku akan mengenakan jubahmu kepadanya dan ikat pinggangmu akan Kuikatkan kepadanya, dan kekuasaanmu akan Kuberikan ke tangannya; maka ia akan menjadi bapa bagi penduduk Yerusalem dan bagi kaum Yehuda. Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya.

Lalu Rumah Daud seperti, yang kamu kenal, adalah Rumah Bourbon. Ini adalah sebuah referensi dinamis. Rumah Daud adalah sebuah kerajaan Daudis [Davidic Kingdom], sebuah dinasti Daudis [Davidic Dynasty]. Kita mengetahui bahwa Daud telah mati ratusan tahun ketika ayat ini terjadi dalam Yesaya 22, “Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka. Maka ia akan menjadi kursi kemuliaan bagi kaum keluarganya”. Lihatlah seluruh simbol otoritas dinasti yang diberikan kepada orang ini. Pertama-tama, sebuah jabatan. Kedua adalah jubah. Ketiga adalah sebuah kursi dan keempat adalah kunci rumah Daud, yakni kunci-kunci kerajaan ini.

Sekarang, apa yang sedang terjadi di sini ? Aku akan menyimpulkannya dalam terma yang sederhana. Ezekiah pada saat itu adalah Raja seluruh Israel. Di adalah anak Daud, ratusan tahun setelah Daud meninggal. Dia ada dalam garis keturunan Daud dan dia juga dalah penguasa atas Rumah Daud. Sekarang semua raja-raja dalam dunia kuno memiliki jabatan sebagai raja dan ratu seperti halnya pada zaman ini yakni pejabat kabinet, sebuah kabinet dari menteri-menteri kerajaan. Sama halnya dengan Margaret Thatcher adalah seorang Perdana Menteri, begitu juga dengan menteri-menteri lainnya di bawah Ratu di negara Inggris Raya. Ezekiah, sebagai Raja mempunyai seorang Perdana Menteri sebelum Shebna yang terbukti tidak layak. Jadi Shebna dibuang namun ketika di dibuang, dia meninggalkan jabatan kosong. Bukan hanya kamu memiliki suksesi yang dinamis bagi seorang raja namun kamu juga memiliki jabatan untuk seorang Perdana Menteri. Ketika Shebna dibuang, ada sebuah jabatan kosong yang perlu diisi dan itulah sebabya Eliakim dipanggil untuk mengisi kursi tersebut.

Sekarang, Eliakim adalah seorang menteri dalam kabinet namun dia sedang diberikan jabatan sebagai posisi Perdana Menteri. Bagaimana kita bisa tahu hal ini ? Karena dia diberikan posisi dimana menteri lainnya tidak mendapatkannya, yakni kunci kerajaan, yakni kunci Rumah Daud. Hal ini mensimbolkan suatu otoritas dinastik yang mempercayakannya kepada Perdana Menteri dan ini ternyata sebuah suksesi dinastik. Mengapa ? Karena hal tersebut menyangkut kunci daud; ini adalah Rumah Daud.

Sekarang kita kembali dan mencoba menyederhanakan hal ini lebih jauh lagi. Aku akan bacakan sebuah kutipan. Albright mengatakan, “Dalam mengomentari Matius 16 dan hal Yesus memberikan kepada Petrus kunci kerajaan, Yesaya 22:15 dan seterusnya terbentang di balik perkataan ini”. Albright, seorang Protestan, seorang Non Katolik, bersikeras bahwa sudah pasti bahwa Yesus sedang mengutip Yesaya 22, “kunci adalah simbol otoritas dan DeVoe dengan tepat melihat otoritas yang sama seperti yang ditetapkan dalam seorang wakil [vicar], penguasa [master] rumah, pengurus rumah tangga kerajaan dari Israel kuno”. Dengan kata lain adalah jabatan Perdana Menteri.

Para sarjana Protestan lainnya mengakui hal ini juga, bahwa ketika Yesus memberikan kepada Petrus kunci kerajaan Surga, Petrus sedang menerima jabatan Perdana Menteri, yang berarti otoritas dinastik dari Anak Daud, yakni Yesus, Raja Israel namun juga sebuah jabatan dimana terdapat suksesi dinastik. Ketika aku temukan hal itu, ini seperti kain penutup mata yang jatuh. Dalam beberapa minggu kemudian aku telah dapatkan bersama-sama dengan seorang teolog Protestan, yakni seorang anti Katolik dan menghabiskan sepuluh jam bersamanya dan kemudian dalam sebuah mobil Mersedes kami berkeliling selama dua jam dan mempresentasikan kepadanya kasus ini, dan komentarnya hanya, “Itu pintar.” Tapi dia berkata, “Kamu tidak harus mengikuti seorang Paus karena hal tersebut khan ?”. Aku bilang, “Kenapa tidak ?” dan dia bilang, “Yah, aku juga harus juga berpikir demikian”. Dia bilang, “Aku tidak pernah mendengar argumentasi ini sebelumnya”. Dan Aku berkata, “Ini salah satu dari argumentasi dasar yang Cajeton gunakan melawan orang-orang Protestan di abad 16 dan Cajeton adalah salah satu pembela iman Katolik yang terkenal dan kamu tidak pernah dengar dia sebelumnya ?” Aku bilang, “Aku tidak pernah dengar hal itu sebelumnya sampai aku temukan itu sendiri dan aku menemukannya dalam orang-orang ini. Dan dia bilang, “Ini pintar”. Pintar mungkin. Benar-benar mencerahkan, mengiluminasikan dan sangat menarik.

Lalu dia berkata beberapa hal lainnya. ”Hal ini adalah sangat penting,” Albright berkata, ”Dalam konteks yang lain, ketika hubungan displiner komunitas didiskusikan, maka simbol kunci tersebut itu menjadi hilang, karena perkataan Yesus tersebut diterapkan dalam contoh-contoh yang memiliki lingkup yang lebih luas”. Peranan Petrus sebagai pengurus kerajaan dijelaskan secara lebih jauh seperti halnya orang yang sedang menjalankan otoritas adminstratif seperti yang terjadi pada kasus sang pengurus rumah tangga di Perjanjian Lama yang memegang kunci.

Sekarang, apa yang dia dimaksudkan bahwa tidak ada di tempat lain ketika para Rasul lainnya menjalankan otoritas Gereja adalah kunci yang pernah disebutkan itu. Dalam Matius 18, para Rasul mendapatkan kuasa untuk mengikat dan melepaskan seperti Petrus dalam Matius 16, namun secara jelas tidak disebutkan adanya kunci. Hal ini cocok sekali bila diterapkan dalam model ini karena dalam kabinet seorang raja, semua menteri dapat mengikat dan melepaskan namun hanya Perdana Menteri yang memegang kunci yang dapat mengikat apa yang mereka lepaskan atau melepaskan apa yang telah mereka ikat. Secara akal sehat, Petrus mengeluarkan keputusan akhir. Dia sendiri memiliki otoritas final dari pengadilan banding dan bahkan orang-orang Protestan dapat melihatnya.

Kenyataanya, aku menemukan kutipan ini dalam Martin Luther dari tahun 1530, bertahun-tahun setelah dia meninggalkan Gereja, “Mengapa kalian menunjuk surga ketika mencari kunci ? Tidakkah kalian pahami, Yesus berkata, “Aku memberikan kunci tersebut kepada Petrus. Kunci tersebut adalah kunci surga, tetapi kunci tersebut tidak ditemukan di dalam Surga karena telah Aku tinggalkan di bumi ini”. Inilah yang Yesus bicarakan, “Mulut Petrus adalah mulutKu, Lidahnya adalah perkara utamaKu, kuncinya adalah kunciKu”. Kunci tersebut adalah sebuah jabatan. Luther bahkan mengerti hal itu,”Kunci tersebut adalah suatu kekuasaan, perintah yang diberikan oleh Allah melalui Kristus kepada semua orang Kristen untuk mengkontrol dan mengampuni dosa manusia”. Satu hal yang tidak diakui oleh Luther adalah adanya suksesi setelah Petrus meninggal, yang justru ditunjukkan oleh kunci tersebut, latarbelakangnya adalah Perjanjian Lama.

Salah satu sarjana Alkitabiah dari Gereja Reformasi di abad ini, Herman Liderboss, seorang sarjana Eropa, dalam komentarnya tentang Matius berkata [ini seharusnya kukatakan beberapa menit yang lalu], “Perbedaan kecil antara dua kata ini, yakni petra dan petros, tidak memiliki arti penting yang khusus. Penjelasan yang paling mungkin diberikan untuk perubahan dari petros, Petrus, bersifat maskulin kepada petra adalah bahwa petra ialah kata yang lazim digunakan untuk batu karang, karena akhiran feminim dari kata benda ini tidak cocok sebagai nama seorang laki-laki; tetapi Simon tidak dipanggil Petra melainkan Petros. Tidak ada alasan baik apa pun bahwa Yesus mengubah nama dari petros menjadi petra hanya untuk menunjukkan bahwa Dia tidak berbicara tentang seorang laki-laki bernama Petrus namun Yesus berbicara tentang pengakuan iman Petrus sebagai fondasi Gereja. Kata “di atas batu karang ini”, petra, jelas-jelas mengacu kepada Petrus. Sebab wayhu yang dia terima dan pengakuan yang memotivasi di dalam diri Petrus, maka Petrus lah yang ditunjuk oleh Yesus untuk meletakkan fondasi bagi Gereja masa depan.

Salah satu sarjana Evangelical yang hebat, seorang Non Katolik di Amerika, Prof. Donald Carson dari Sekolah Evangelical Trinity dalam bukunya yang berjudul “God With Us [Allah bersama Kita], tentang tema di Matius, sang Prof. tersebut berkata, “Yesus hanya memakai permainan kata-kata untuk mengatakan bahwa Petrus adalah batu karang yang diatasnya Yesus akan mendirikan GerejaNya”. Sekarang Dr.Carson bukanlah seorang apologist Katolik. Dia mencoba untuk membuat argumentasi melawan iman Katolik, aku yakin itu, tetapi dia orangnya jujur dan aku pikir dia juga perlu dihormati sebagai salah seorang sarjana dalam menetapkan bukti yang nyata dalam kesimpulannya.

Hal ini membawa seorang Evangelical Protestan dari Jerman, Gerhardt Meier, yang menulis sebuah buku terkenal dimana banyak orang Protestan konservatif mengacu kepadanya, “The End of Historical Critical Method” [Akhir dari Metode Kristis Historis]”. Dalam artikelnya, “Gereja dan Injil Matius”, Gerhardt Meier berkata di halaman 58 sampai 60, “Saat ini, konsensus yang luas telah muncul dimana ada hubungannya dengan kata-kata di teks Injil sebagai penerapan janji kepada Petrus sebagai seorang Pribadi”. Ini adalah gaya orang Protestant bicara. “Pada poin ini para teolog konservatif dan liberal sepakat”, dan Meier menyebutkan beberapa teolog Protestan dari sisi liberal sampai dengan konservatif. “Matius 16:18 seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai gereja lokal. Gereja dalam Matius 16:18 adalah entitas universal, yakni umat Allah. Terdapat banyak konsensus yang berkembang saat ini bahwa ayat yang berkaitan dengan kekuasaan kunci ini berbicara tentang otoritas untuk mengajar dan mendisiplinkan bahkan termasuk untuk membebaskan dari dosa”. Prof. Gerhardt Meier adalah seorang Protestan yang tidak memiliki kepentingan dengan mendukung klaim Gereja Katolik namun sebagai seorang sarjana yang jujur, dia mengakui bahwa Petrus lah satu-satunya orang yang Yesus berikan Kuasa.kepadanya. “Petrus adalah si batu karang dan kunci tersebut menandakannya, bukan hanya kuasa displiner untuk mengajar namun bahkan untuk menghapus dosa. Dengan segala hormat kepada para Bapak Reformasi Protestan, kita harus mengakui bahwa janji pada Matius 16-18 itu ditujukan kepada Petrus dan bukan kapada iman seperti Petrus. Sebagai seorang teolog Evangelical khususnya, kita seharusnya melihat diri kita sendiri secara tidak memihak dan mengakui bahwa kita cenderung bertindak tanpa alasan terhadap konsepsi individualistik dari iman. Untuk mengakui otentisitas Matius 16:17 dan mengikuti permintaan yang kita kembangkan dari injil berdasarkan eklesiologi atau doktrin Gereja.

Gerhardt Meier sedang menunjukkan, sebagai seorang sarjana yang jujur bahwa Gereja yang Yesus bicarakan adalah sebuah gereja universal, bukan hanya konggregasi [umat] lokal, ini juga adalah pandangan favorit dari apologist yang anti Katolik. Dia berkata, “Tidak, Gereja yang dibicarakan Yesus adalah gereja yang satu, kudus, yakni Gereja Katolik, sebuah gereja universal dan si batu karang yang kepadanya akan dibangun Gereja adalah Petrus, bukan pengakuan iman Petrus dan kunci yang Yesus berikan kepada Petrus adalah kunci yang bukan hanya mengajar namun juga menghapuskan dosa”. Dia tidak berkata, “Yah, kita semua seharusnya menjadi orang Katolik, namun kita harus jujur untuk memberikan kepada orang-orang Katolik sebuah poin. Karena apabila kita jujur dalam menginterpretasikan Alkitab, kita harus mengakui adanya kesimpulan seperti ini.

Seorang professor Lutheran lainnya, seorang professor alkitab dan teologi di Seminari Concordia di Hong Kong, Torg Forberg menulis dalam sebuah artikel yang berjudul “Peter, High Priest of the New Covenant” [“Petrus, Imam Besar dalam Perjanjian Baru”]. Forberg bersikeras bahwa Yesus adalah Imam Besar terakhir dalam Perjanjian Baru, namun dia bilang, “Petrus dipresentasikan seperti suksesor [pengganti] Imam Besar dalam tradisi yang digunakan oleh redaktur akhir, Matius 16:13-19. Petrus berdiri seperti seorang kepala Rabbi yang mengikat dan melepaskan dalam pengertian menyatakan bahwa sesuatu itu dilarang atau diijinkan. Petrus dilihat sebagai rekan Imam Besar. Dia adalah wakil tertinggi bagi umat Allah”. Ini adalah kesaksian seorang Protestan.

Di tempat lain aku temukan dalam “The Interpreter’s Bible” [Injil Penafsir], “Kunci kerajaan akan diberikan kepada kepala pelayan dalam rumah tangga kerajaan dan kunci itu secara paripurna menunjukkan otoritas, kekuasaan tanpa batas, suatu totalitas. Kekristenan pasca apostolic sekarang sedang dimulai untuk memberikan atribut kepada para Rasul sebuah hak prerogatif Yesus”. Seseorang yang menulis pada bagian ini dalam Injil Penafsir tersebut berkata, “Aku tidak berpikir secara pribadi bahwa Yesus pernah mengucapkan kata-kata tersebut”. Bagaimana Yesus dapat memberikan hak prerogratif kepada para Rasul yang adalah hak Dia “? Yah, Gereja selalu berkata bahwa Yesus mengucapkan hal ini dan apa yang Yesus berikan adalah karuniaNya sendiri, kuasaNya sendiri dan OtoritasNya sendiri kepada para Rasul.

Sekarang Bultmann, salah satu sarjana Alkitab Protestan yang terkenal dan controversial di abad ini berargumentasi bahwa hal yang tidak mungkin untuk menganggap Matius 16 sebagai suatu perkataan yang otentik dari Yesus. Dia berkata, “Bagaimana Dia telah memimpikan perkembangan masa depan dari konggreasi yang terorganisir dari para pengikutnya dan menunjuk bagi mereka Petrus sebagai pemilik kuasa untuk mengajar dan mendisiplinkan ? “Aku memiliki beberapa kutipan di sini. Aku tidak akan membahas semuanya, namun ijinkan aku menyimpulkan dengan sebuah kutipan dari seorang sarjana Protestan Inggris, J.N.D Kelly dalam bukunya, “Oxford Dictionary of the Popes” [“Kamus Oxford dari para Paus”]. Dia mengatakan, “Kepausan adalah smua institusi Barat yang paling tua dengan eksistensi yang tidak pernah putus selama 2000 tahun”.

Kita sekarang mencapai sebuah poin dalam dialog intelektual yang mengasyikan dimana beberapa poin esensial yang paling penting ialah sekarang sedang diakui dan diperkenalkan melalui kedua sisi. Namun aku harus katakan, sebagaimana Aku dengar pada tape yang berisi perdebatan yang diadakan di sepanjang negeri ini selama beberapa tahun terakhir, masih banyak orang-orang Protestan, atau aku maksud orang-orang Non Katolik yang begitu gigih menentang Gereja Katolik, maka mereka masih akan kembali kepada reaksi berlebihan dari orang-orang Protestan, kesalahpahaman orang-orang anti Katolik dan mereka menggunakan paham tersebut.

Seorang teman baikku dalam sebuah debat baru-baru ini dengan seorang Protestan yang memakai teknik debat kanan dan kiri, bahkan setelah perdebatan tersebut. Kawanku menghampiri dia dan berkata, “Apakah kamu pikir, meskipun kamu berpendapat bahwa Petrus bukanlah si Batu Karang karena kau mengutip hal ini dan itu dan hal-hal lainnya, apakah kau berpikir bahwa Petrus adalah si Batu Karang ? dan si pendebat Anti Katolik itu menjawab, “Ya tentu Aku pikir demikian !” Meskipun dia telah berpendapat melawan posisinya tersebut, dia memegangnya untuk diri sendiri. Dia hanya ingin meruntuhkan ajaran Katolik. Ada konsensus yang luas muncul, dan ini adalah fondasi yang kuat dan menyakinkan bahwa kita dapat membangun di atas diskusi dan dialog. Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang berlebihan, tetapi Aku pikir ini adalah poin yang sangat sangat penting.

Keberatan yang lazim terhadap Infalibilitas Paus

Sekarang, aku akan bergerak menjelaskan di luar Matius 16 dan mempertimbangkan beberapa faktor lain yang juga ikut memainkan peranannya. Pertama, ijinkan aku untuk membuang beberapa keberatan yang mungkin ada dalam pikiran kalian. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa tidak salah [kebal salah] ? Bukankah infalibilitas adalah hak prerogatif Allah sendiri ? Lalu sebagai orang Katolik Aku pikir kita seharusnya mengakui Maria yang tidak pernah berdosa, meskipun kita tidak pernah mengatakan bahwa Paus yang kebal salah tersebut tidak pernah berdosa. Mereka memang berdosa. Mereka bukannya tanpa cela; mereka tidak bersalah namun sebagai pribadi mereka berdosa. Sebagai pribadi manusia, mereka dapat berbuat kesalahan. Sebagai pribadi, mereka mungkin telah mengatakan pendapat yang salah di dalam pikiran mereka sendiri, namun Kristus mencegah mereka melalui Roh Kudus dalam Kasih Maha KuasaNya, dari mulai duduk di Kursi Petrus hingga mengajar hal yang salah sebagai orang beriman Katolik.

Pada akhirnya infalibilitas Kristus lah yang menjadi fondasi apapun yang kita nyatakan kepada para Paus. Seseorang bisa berkata, “tidak bisa salah ? Mengajarkan hanya kebenaran ? Melakukan kesalahan adalah manusiawi, namun memaafkan adalah ilahi. Kalian tahu kita tidak butuh infalibilitas. Kita tidak dapat memilikinya. Hal ini tidak manusiawi”. Yah, aku akan menjawab dua hal. Pertama, Apabila aku duduk dan menulis sebuah buku teks Aljabar dan kita mendapatkan bukti dari para pembaca di seluruh dunia dan mereka memeriksa buku tersebut secara teliti dan cermat dan setelah bertahun-tahun mereka tidak menemukan satu pun kesalahan, akankah kalian harus menyimpulkan bahwa buku ini tidak ditulis oleh manusia namun oleh Allah ? Buku tersebut tidak mengandung kesalahan. Tidak khan, jelas tidak. Aku maksudkan bahwa melakukan kesalahan adalah manusiawi, namun untuk menjadi manusia kita tidak semata-mata berbuat kesalahan dan selalu dan seterusnya berbuat salah. Memang kita dapat membuat kesalahan, namun kita tidak perlu membuat kesalahan, bukan ! Dan Allah dapat mencegah kita berbuat kesalahan demikian.

Kalian dengar orang-orang Protestan kadang-kadang bilang, seperti yang dulu selalu aku katakan, “Kalian tahu khan ide tentang infalibilitas ini bukan milik manusia. Tetapi kalian berpikir tentangnya di waktu yang lain. Orang-orang Kristen Non Katolik jarang mengakui bahwa Alkitab tidak bisa salah sebab para pengarang alkitabiah diberikan karunia infalibilitas : Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Petrus, Paulus, Jakobus, Yudas – semuanya menulis kebenaran yang tidak bisa salah. Kenyataannya, orang-orang Kristen alkitabiah bersikeras bahwa Alkitab sendiri adalah otoritas kita sebab Alkitab tidak bisa salah.

Yah, tanyakan saja kepada mereka. Apabila Allah dapat menggunakan ribuan pendosa untuk melakukan komunikasi secara benar tentang kebenaran yang tidak bisa salah, sehingga Gereja dapat memahami komunikasi tersebut sebagai kebenaran, yang adalah Roti Kehidupan, yang juga adalah Kristus sendiri dan seluruh ajaran Gereja, lalu apabila Allah dapat melakukan hal itu dengan para pendosa yang bersalah, seperti Petrus, Paulus, Yohanes dan Matius, tidakkah Allah tetap dapat melakukan hal itu ? Dengan kata lain, sudah pasti Allah itu mampu, dan apabila kalian melihat sekeliling bagaimana Gereja menyebar ke penjuru dunia dan bagaimana Gereja berjumpa dengan semua orang-orang gila sepanjang abad, apakah kalian beranggapan bahwa Yesus akan berkata, ”Yah, sekali aku berikan Alkitab yang tidak bisa salah ini kepada Gereja, maka tidak dibutuhkan lagi interpretasi yang tidak bisa salah dari alkitab. Gereja dapat memegang teguh keduanya bersama-sama dengan Alkitab yang tidak bisa salah”.

Oh yach ? Dalam kurun waktu 500 tahun, terdapat ribuan dan ribuan denominasi gereja yang menjadi terus-menerus berkembang sebab mereka hanya menekankan Alkitab. Ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan sebuah interpretasi yang tidak bisa salah dari Alkitab itu, bukan. Maksudku, dapatkah kalin membayangkan para pendiri Negara kita yang bersama-sama meletakkan Konstitusi A.S dan mengirimkan ke setiap warga Negara dan berkata, “jagalah dirimu sendiri. Bacalahlah sendiri; dan dengan semangat Washington kamu akan dibimbing kepada interpretasi yang tepat”. Kamu sebut apa hal ini ? Anarki. Maka kita tidak akan bertahan sebagai negara dalam waktu sebulan. Konstitusi menghasilkan struktur pemerintahan dengan adanya pengadilan banding akhir, yakni Mahkamah Agung, yang menjadi tempat terakhir dalam semua masalah interpretasi konstitusional.

Sekarang, hal tersebut berada dalam aspek manusianya. Apabila para pendiri Negara kita memiliki kebijaksanaan yang memadai untuk melihat kebutuhan Negara kecil ini dalam waktu 200 tahun ke depan untuk mendapatkan sebuah pengadilan banding akhir, berapa banyak lagi Kristus melihat kebutuhan untuk mendirikan dan menyatakan dalam Geerja dan meletakkan konstitusiNya bukan hanya kebenaran namun juga organ-organ resmi untuk menginterpretasikan dan menegakkan serta menjelaskan, mengajarkan dan memproklamasikan kebenaran itu. Hal ini sangat masuk akal. Ini bukanlah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Seseorang bisa berkata, “Yah, ide tentang Petrus yang berbicara ex-cathedra, ide ini sok tahu. Ide ini baru, belum pernah didengar sebelumnya”. Aku akan bilang, “Tidak. Ini bukannya ide baru”. Ketika Gereja mengajarkan tentang bagaimana Paus ketika dia berbicara dari Kursi Petrus, Ex Cathedra, “dari kursi atau dari katedra” [kita mendapatkan sebuah kata katedra dari tempat kediaman uskup yakni katedral] bahwa Gereja tidak menemukan sesuatu yang baru. Ajaran ini lebih bersifat membangun terutama pada ajaran-ajaran Yesus.

Tengoklah Matius 23, Ayat 1 dan 2, “Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Apa yang dimaksudkan Yesus ? Yesus berkata, “Ahli Taurat dan Orang Farisi”. Sekarang apa yang Yesus pikirkan tentang ahli Taurat dan orang-orang Farisi ? Yah, baca kelanjutan dari Matius 23 dan kalian akan menemukannya. Yesus lalu di bab ini akan menyebut ahli Taurat dan kaum Farisi itu “bodoh, munafik, pembimbing yang buta, jahat, dan kuburan dilabur putih”. Dia tidak berpikir terlalu jauh tentang ahli taurat dan kaum farisi, bukan ?

Tapi apa yang Dia katakan di sini ? “Ahli Taurat dan kaum Farisi duduk di kursi Musa”. Dengan demikain “kamu harus”, kalimat ini dalam bentuk imperatif, “Kamu harus melakukan dan menuruti apa yang mereka ajarkan kepadamu”. “Apapun yang mereka ajarkan”, kamu harus menuruti dan melaksanakannya. Mengapa ? Karena mereka duduk di katedral Musa. Kata Yunani adalah “cathedra”. Gereja ketika berbicara tentang otoritas Petrus dan para Paus berbicara secara ex-cathedra adalah hanya meminjam dari ajaran Yesus.

Sekarang, aku menantang siapa pun untuk kembali kepada Perjanjian Lama dan menemukan teks yang eksplisit di Perjanjian Lama ketika kita menjumpai Musa mendirikan sebuah kursi, beberapa orang memberkati kursi, yang selalu akan memiliki penggantinya. Kalian tidak harus menemukan sebuah teks yang eksplisit berkata hal yang demikian. Lalu mengapa Yesus mengacu kepada teks tersebut ? Sebab terdapat tradisi lisan, bahkan dalam Perjanjian Lama, yang dipakai oleh Allah untuk mentransmisikan terma esensial tertentu dimana perjanjian keluarga Allah membutuhkan dan bergantung pada kehidupannya. Yesus tidak mengutip sebuah teks. Dia hanya mengajukan sebuah tradisi lisan yang sudah dikenal yang Dia asumsikan kaum Farisi dan ahli Taurat ketahui begitu juga dengan para pendengarNya. Dia tidak berasumsi bahwa mereka mengetahui hal ini, Yesus berasumsi bahwa mereka akan tunduk pada tradisi tersebut dan mereka telah tunduk pada hal tersebut. Ini semata-mata mereka telah mengalami problematika karena imam dan uskup di Perjanjian Lama kadang-kadang bermasalah sebagaimana imam dan uskup di Perjanjian Baru. Tapi mengapa kita mengikuti ketentuan ini ? Karena imam dan uskup tersebut memiliki pesona [charm] dan karisma [charism] ? Tidak, karena Yesus Kristus telah menetapkan dalam Perjanjian Lama kursi Musa yang digantikan dalam Perjanjian Baru dengan kursi Petrus.

Dalam Perjanjian Lama kita tidak mendapatkan pengungkapan secara penuh dari semua wahyu namun dalam Perjanjian Baru Yesus menceritakan kepada kita bahwa Dia akan menuntun kita dalam seluruh kebenaran. Kita tidak mengatakan bahwa Musa dan penerusnya tidak bisa salah karena kepenuhan kebenaran tidak diberikan. Namun sekali kepenuhan itu berikan kepada para Rasul dan penerusnya, kita dapat melihat mengapa Yesus menjamin bahwa alam Maut tidak akan mampu mengatasi Gereja. Mengapa ? Sebab apa yang Yesus percayakan kepada katedral ini, yakni kursi Petrus, kursi Petrus di Roma.

Ini merupakan suatu jaminan bagi kita apakah Yohanes XI dan Yohanes XII, dua dari Paus yang paling berdosa dalam sejarah kepausan atau katakanlah Alexander VI; maksudku katakanlah orang-orang ini brengsek. Kita telah mempunyai beberapa Paus yang brengsek. Di luar ratusan Paus, adalah hal menakjubkan untuk berpikir bahwa ternyata hanya ada tiga atau empat paus yang brengsek yang menimbulkan kegelisahan kalian. Namun apakah hal ini menyebabkan kalian menjadi tidak yakin dalam mendengarkan pengganti Petrus, Wakil Kristus, yakni Paus ? Jelas tidak sama sekali. Untuk satu hal, kalian dapat bersyukur bahwa paus-paus yang brengsek ini terlalu sibuk untuk berdosa bahkan ketika berusaha untuk mengajar dari kursi Petrus. Mereka tidak demikian halnya, mereka membawa kebingungan yang besar atas Gereja yang dengan begitu ada dalam kondisi tercela.

Tapi mari kita pertimbangkan fakta berikut. Yesus memilih duabelas Rasul, bukan ? Dan bagaimana dengan mereka ? Salah satu dari mereka adalah Yudas. Apakah Yesus tidak tahu sebelumnya tentang Yudas? Aku yakin, Dia pasti tahu. Lalu kenapa Yesus tetap memilih Yudas ? Mungkin agar kita siap kalau ada imam-imam seperti Yudas di generasi-generasi mendatang.

Kedudukan Petrus dalam Gereja perdana

Tapi apa yang Gereja lakukan setelah Yesus naik ke Surga, setelah Yudas bunuh diri ? Tengoklah Kisah Para Rasul 1 untuk melihat apa yang Gereja lakukan sebagai respon terhadap kematian Yudas dan kepergian Yesus. Hal ini sangat menarik dan penting sebab Petrus berdiri dengan sebelas orang dalam Ruang Atas, ayat 15, dan Petrus berbicara tentang kematian Yudas dan dia berkata, “sudah diketahui sebelumnya dan telah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama dan lalu apa yang seharusnya kita lakukan sekarang ?

Perhatikan bahwa Petruslah yang berdiri. Dia bukan hanya memberikan kontribusi pendapatnya. Ketika Petrus menyatakan sebuah pendapat maka itu mengikat dan segera ditindaklanjuti, persis apa yang ia nasihatkan. Dan apa yag dia nasehatkan ? Dia mengutip Mazmur, “Biarlah perkemahannya menjadi sunyi, dan biarlah tidak ada penghuni di dalamnya”. Tapi dia tidak berkata, “hei teman-teman, jumlah kita sudah berkurang nih dari duabelas menjadi sebelas orang”. Lebih baik kita berkumpul bersama-sama sekarang atau kita saling berpisah. Tidak, kita tinggal sebelas orang dan hanya kitalah mulai saat ini. Dia tidak berkata demikian, bukan.

Dia berkata, “jabatannya, biarlah diambil orang lain”. Atau seperti dalam versi Alkitab King James dikatakan, “Biarlah jabatan uskupnya [bishopric] diambil orang lain”. Ada kata episkopat di sana, dimana kita mendapatkan kata episkopasi [keuskupan] atau episkopal. Ini adalah kata untuk seorang uskup. Dengan kata lain, terdapat jabatan episkopal yang sekarang kosong dan lowong. Petrus berdiri dan berkata, ”Yah nampaknya secara otomatis sesuai dengan garis dalam tradisi Perjanjian Lama, sejalan dengan praktek suksesi patriarkal dalam Perjanjian Lama di setiap level dalam keluarga Allah, bukan hanya berhenti pada saat Musa saja dan benihnya serta para penggantinya namun juga ketujuhpuluh tua-tua ketika mereka meninggal mereka meninggalkan jabatan kosong yang harus diisi,” Petrus yang baru saja mengajukan permohonan terhadap keteladan Perjanjian Lama kemudian berkata, ”biarlah orang lain mengambil jabatan uskupnya [bishopric], kedudukannya.

Mereka membuang undi dengan mereka memilih Matias. Tidak ada perdebatan, tidak ada sesuatu yang baru. Kesepuluh orang lain tidak berkata, “Huh, apa yang sedang kamu bicarakan Simon ? Kejadian ini aneh”. Tidak, mereka memahaminya namun lebih-lebih mereka tunduk. Tidak ada perdebatan, tidak ada diskusi.

Perhatikan juga Kejadian 2, tanggungjawab Petrus, bukan hanya mencakup kesepuluh orang Rasul namun juga seluruh Yerusalem. Dialah satu-satunya yang menyampaikan kotbah pertama, yakni pada saat Pentakosta, ayat 14. Petrus adalah jurubicara bagi Gereja kepada dunia di peristiwa Pentakosta.

Lalu kalian tengok dalam bab 3, kita melihat kotbah kedua Petrus. Kita juga melihat bahwa Petrus menjadi instrumen dimana mujizat kesembuhan pertama kali telah terjadi, pada orang yang lumpuh kakinya, yakni di bait Allah Yerusalem di portico yang disebut Bait Salomo.

Lalu dalam bab 4, kita lihat Keutamaan Petrus muncul bahkan lebih jauh lagi ketika dia menyampaikan otoritas pengajarannya kepada majelis Yahudi, kaum Saduki. Dia sedang diadili ketika itu, jadi dengan begitu kalian pikir Petrus akan bersikap defensif. Dia rupanya ingin mempertahankan pendapatnya dan berkata,”wah saudara-saudara, kalian tahu khan, jangan membahas hal ini dong”. Tapi Petrus tidak berkata begitu. Dia malah menuduh kaum Saduki yang telah menyalibkan Tuhan Yesus. Petrus menjalankan otoritas tertingginya atas majelis Yahudi tersebut. Sidang tersebut malah terkejut ! Memang si nelayan ini pikir siapa dirinya itu ? Wakil Kristus atas seluruh keluarga Allah. Dan mereka dibebaskan. Mereka terheran-heran atas keberanian Petrus.

Lalu dalam Kejadian 5, Ananias dan Safira, dua anggota Gereja yang makmur, menjual sebagian tanah dan kemudian berbohong tentang berapa banyak uang yang mereka berikan kepada Gereja. Petrus berkata kepada Ananias, “Apa yang kamu lakukan ?”, jawab Ananias, “yah, aku telah memberikan seluruh uang itu”. Lalu Petrus berkata, “Kamu telah mendustai Roh Kudus”. Ananias menjawab, “Tidak, kami hanya berdusta kepadamu Petrus”. Tapi tidak begitu caranya. Dalam berdusta kepada Petrus, Ananias juga berdusta kepada Roh Kudus dan kepada Gereja. Lalu rebahlah Ananias dan matilah dia ! Beberapa saat kemudian istrinya Safira datang menyusul. Petrus berkata, “Apa yang telah terjadi ?”Oh, kami telah menjual tanah dengan harga sekian dan kami telah memberikan seluruh uangnya”. Dan kata Petrus, “Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di depan pintu dan mereka akan mengusung engkau juga ke luar”. Lalu rebahlah Safira dan mati ! Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu.

Tidak heranlah kita. Janji Petrus nampaknya nyata dalam peristiwa ini. Maksudku adalah keutamaan Petrus ditampakkan bagi seluruh Gereja dan seluruh dunia serta seluruh orang Yahudi untuk dilihat dan diperhatikan. Dan begitulah seterusnya. Kita lihat Petrus, sebagai contoh dalam Kisah Para Rasul 11 dan 12 bahkan sebelumnya yakni Kisah 8, pertama kalinya orang setengah keturunan Yahudi, yakni orang Samaria yang dibawa masuk ke dalam Gereja. Mereka dibaptis. Sang Firman menggapai Yerusalem dan bahwa orang-orang setengah keturunan Yahudi ini, kaum Samaria sedang masuk ke dalam Gereja. Kemudian, apa yang mereka lakukan ? Mengutus Petrus dan Yohanes. Mereka pergi ke sana dan apa yang mereka lakukan ? Yah, melakukan semacam tindakan Krisma, di sini. “Mereka menumpangkan tangan”, ayat 14. “Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah Samaria telah menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke situ. Setibanya di situ kedua rasul itu berdoa, supaya orang-orang Samaria itu beroleh Roh Kudus”. Mereka dibaptis namun mereka tidak menyadari rahmat tambahan yang sering kita asosiasikan sebagai sakramen Krisma. Kemudian terjadi penumpangan tangan. Mereka menerima Roh Kudus dan Simon Magus mencoba membeli rahmat itu dan Petrus memarahinya.

"Binasalah uangmu,” ayat 20. “Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang. Tidak ada bagian atau hakmu dalam perkara ini, sebab hatimu tidak lurus di hadapan Allah. Jadi bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini. Pada titik ini, Simon Magus mungkin telah mendengar kejadian yang menimpa Ananias dan Safira. “Hendaklah kamu berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah kamu katakan itu”. Maksudku bahkan kalau sebagian orang tidak melihat janji Petrus, setidaknya Simon Magus, orang sesat pertama dalam Gereja yang seperti itu. “Hendaklah doakan aku supaya aku tidak menjadi seperti Ananias dan Safira berikutnya”.

Kisah 11, sekarang kita tidak berbicara mengenai keturunan orang Yahudi, sekarang kita berbicara tentang bangsa-bangsa lain, orang-orang kafir, bahkan orang-orang Yahudi sering menganggap mereka mirip seperti binatang. Kornelius, orang Kafir pertama yang menjadi pengikut Yesus akan diterima dalam Gereja ? Hal ini tentunya akan menjadi skandal. Apa yang akan dilakukan oleh Roh Kudus ? Menyuruh pertama-tama Petrus untuk mengesahkan Kornelius dan mengakui orang kafir pertama tersebut menjadi orang Kristen.

Lalu Petrus memperoleh penglihatan ini dan dalam Kisah 10 dan 11, aku katakan demikian, bahwa Petrus mendapatkan penglihatan ini : dia diperintahkan oleh Allah dalam penglihatan untuk menyembelih dan makan binatang najis yang menjadi simbol orang kafir. Dia berkata, “Aku tidak pernah melakukan hal itu”. Setelah tiga kali berkata demikian akhirnya ia menjawab, “Ok, ok, aku akan lakukan itu”. Dan orang-orang kafir itu datang dan berkata, “Kita diutus oleh Kornelius, orang kafir Centurion [Yope]”. Dalam sebuah mimpi, dan penglihatan, Tuhan berkata kepada Kornelius, “Kirimlah orang yang bernama Petrus”. Lalu Petrus pergi ke sana dan apa yang terjadi ? Yah, Petrus pergi ke rumah ini dan dai merasakan, di ayat 34, dia berkata setelah dia membaptis Kornelius,” “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.

Lalu Petrus pergi duluan, menyampaikan khabar baik, membaptis orang-orang kafir dan mengakui orang non Yahudi pertama ke dalam pangkuan Gereja. Dan maksudku, peristiwa ini mungkin telah menjadi sebuah krisis besar tapi bukan sebuah kegagalan praktisnya. Tapi lihatlah bab 11 ayat 2, “Ketika Petrus tiba di Yerusalem, orang-orang dari golongan yang bersunat berselisih pendapat dengan dia. Kata mereka: “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka”. Tetapi Petrus menjelaskan segala sesuatunya dan katanya, “Hei, Allah yang menyuruhku berbuat demikian”. Itulah Petrus dan mereka berhenti berdebat.

Tetapi krisis muncul dalam masalah yang lebih besar lagi dalam ayat 15. Kita tahu bahwa ada Konsili Yerusalem yang termasyur itu dimana ada perdebatan hebat yang sempat memecah belah Gereja. Kepada bangsa-bangsa kafir, apakah kita perlu menyunatkan mereka atau tidak ? Yah, mungkin kalian bisa bilang, “Apa pentingnya hal itu ?”. Yah, bapak-bapak, kalau kalian pada saat itu berumur 20-an tahun, 30-an tahun, 40-an tahun dan kalian mempertimbangkan untuk bertobat dan masuk Kristen dan bersamaan dengan pertobatan kalian itu, kalian harus disunat, maka kalian mungkin berhenti berpikir lebih lama tentang sunat tersebut daripada kalian lebih baik dibaptis, bukan ? Ada semacam tujuan tragis dibalik semua ini. Tetapi perhatikanlah, ketika perdebatan itu panas, tiba-tiba sekali perdebatan itu berhenti. Dimana ? Ayat 6 dan 7, “Para Rasul dan penatua-penatua bertemu bersama. Setelah berdebat panjang Petrus berdiri dan berkata kepada mereka,“ dan pada dasarnya Petrus berkata bahwa Roh Kudus memurnikan hati mereka lewat baptisan, sunat tidak dibutuhkan maka semua perdebatan berakhir ! Satu hal yang diikuti adalah bahwa Yakobus, Uskup Yerusalem menambahkan persyaratan bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi orang-orang Yahudi akibat adanya bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah. Perdebatan berakhir. Petrus telah berbicara.

Sekarang kalian mungkin berkata, “Yah, ini khan hanya Petrus”. Tidak, kunci mensimbolkan suksesi, dimana sebuah jabatan yang ditinggalkan lowong harus diisi. Ini adalah sesuatu yang dipahami oleh Gereja. Ini adalah sesuatu yang dikenali oleh Gereja perdana. Aku hampir tidak memiliki waktu untuk membahas hal ini, tetapi aku punya semua kartu-kartu catatan mengenai Gereja perdana, setelah kematian Rasul terakhir, bahwa ada pengakuan bahwa Uskup Roma lah yang memiliki otoritas Petrus dan bersifat final dan mutlak.

Bapa-bapa Gereja Perdana mengakui Primasi [Primat] dan Suksesi Paus

Clement dari Roma, sekitar tahun 96, menulis kepada umat di Korintus mengenai perpecahan, “Tetapi kalau ada seseorang yang melanggar kata-kata yang diucapkan olehnya, yakni Petrus melalui kami”. Ingatlah Linus, Cletus, Clement, Sixtus ? Mereka adalah paus-paus pertama.

Ireneus, tulisannya dalam abad ke-2 berkata, “Setiap orang yang berkeingian baik membedakan kebenaran akan melihat bahwa dalam setiap Gereja di seluruh dunia, suksesi Apostolik adalah jelas dan nyata”. Kita lihat dalam Kisah 1. Maksudku, apabila jabatan Yudas ketika lowong diisi oleh seorang pengganti, lalu kenapa kita harus menjadi malu dan kehilangan iman apabila kita tahu seorang Paus itu brengsek ? Kalian tahu, kalian bisa bilang, “Paus seharusnya tidak boleh brengsek”. Aku berkata, “Yah, dan amin”. Tapi Yesus tahu bahwa ini tidak akan menjadi porsi kekuatan dan otoritas manusia bahwa keduanya membuat Gereja. Itulah sebabnya kenapa Yesus memilih seorang Yudas pada kesempatan pertama, untuk menjamin hati kita bahwa siapa pun yang menduduki kursi apostolikNya, apakah itu Petrus atau Rasul lainnya, yakni para UskupNya, bahwa hanya dengan Kasih KuasaNya yang diperuntukkan demi KeluargaNya yang menuntun kita pada kebenaran, apa pun yang akan terjadi.

Lanjut Ireneus, “Kita dapat menghitung satu per satu mereka yang ditunjuk menjadi Uskup dalam Gereja-gerja oleh Para Rasul dan para penggantinya sampai hari ini namun ini akan memakan waktu lama bahkan dalam bentuk sebuah buku kalau kita menghitung para pengganti tersebut di seluruh gereja di sepanjang sejarah, maka Aku hanya akan menunjukkan tradisi Apostolik dalam iman yang diberitahukan seluruh umat manusia”. Lanjutnya lagi, berbicara mengenai dua orang Rasul agung, Petrus dan Paulus di Roma – Aku tidak akan membaca seluruh kutipan, lanjutnya. Tetapi kita lihat juga Ireneus dalam abad ke-2 menekankan para Uskup sebagai pengganti-pengganti para Rasul dan Uskup Roma, secara khusus sebagai pengganti Petrus.

Tertulianus dalam akhir tahun 100 dan awal tahun 200 Masehi berkata, “Adakah sesuatu yang disembunyikan dari Petrus yang disebut Batu Karang dimana Gereja akan dibangun di atasnya, yang juga memperoleh kunci kerajaan surga bersama-sama dengan kuasa untuk mengikat dan melepaskan di surga dan bumi ?

Origen, di akhir tahun 100 berbicara tentang Petrus sebagai yang pertama sebab, “Dia lebih dihormati dari yang lainnya”.

St. Cyprianus berbicara tentang Gereja Roma yang dididirikan di atas Petrus yang menetapkan kursinya di Roma. Dia berbicara tentang Gereja di Roma sebagai Gereja Ibu/Induk [Mother Church] yakni, “akar universalitas dan Katolisitas”.

Hilarius di tahun 300-an berbicara tentang fondasi Gereja di atas Batu Karang yang daripadanya Gereja dibangun. Dengan kata lain, Bapa-bapa Gereja perdana mengakui hal ini. Seorang sejarawan Protestan, Goodspeed, dalam buku sejarahnya berkata, “Klaim primat diantara uskup-uskup sebagai kepalanya telah dimulai pada zaman Paus Victor di abad ke-2 dan berkembang di bawah Paus Kalistus yang mengklaim kuasa kunci dan mencapai puncaknya di bawah Paus Stephen pada abad ke-3, yang mengakui bahwa ia mengisi kursi St. Petrus”. Bakan kini Cyprianus, ketika dia bertentangan dengan Stephen sebagai Paus, tidak menentang otoritasnya namun hanya berbeda pendapat saja. Dan akhirnya, Karena Cyprianus adalah St. Cyprianus, maka dia tunduk pada Paus yang karenanya dia menjadi seorang Kudus. St Cyprianus berkata, “Sebuah primasi diberikan kepada Petrus dan dengan demikian menjadi jelas bahwa tidak gereja lain selain Satu Gereja itu dan Satu Kursi.

Aku memiliki sekitar 30 kutipan dari para orang kudus Siriah dan Bapa Gereja, St. Ephraim. Dia satu-satunya yang mencapai awan-awan untuk menggambarkan otoritas Petrus dan para penggantinya di dalam Tahta Roma. Aku tidak memiliki waktu untuk membahas ini semua, namu aku bisa merekomendasikan 3 karya buku yang ditulis oleh Prof. Jurgens, yakni Iman Bapa-bapa Gereja [The Faith of the Early Fathers] dan ini terus berlangsung sepanjang sejarah Bapa Gereja dan banyak, banyak hal yang mereka tunjukkan bahwa mereka mengakui otoritas ini dalam diri seorang Paus. Agustinus, contohnya, “Bahkan beberapa penghianat merangkak ke dalam golongan Uskup-uskup yang ditarik dari Petrus, dirinya sendiri sampai kepada Anastasius yang sekarang menduduki Tahta yang sama ini, maka dia tidak merugikan Gereja”. Dia berbicara tentang kursi Petrus [cathedre Petri].

Ketika orang melihat Santo Agustinus, seorang bapa Gereja yang besar dan Bapa yang dijadikan acuan oleh orang-orang Protestan, Agustinus punya banyak hal yang dikatakan tentang Paus sebagai pengganti Petrus dengan segenap kuasa paripurnanya lebih dari siapa saja dalam tujuh abad pertama Gereja. Ini mengagumkan. Agustinus berkata, “Siapa yang tidak peduli bahwa kepala para rasul lebih disenangi dari setiap episkopat [keuskupan] ?” Tentang martabat Petrus dia berkata, “kepadanya primasi para Rasul bersinar dengan rahmat yang mumpuni”.

Keberatan lainnya : Kenapa Infalibilitas Paus Tidak Didefinisikan Sampai dengan tahu 1800-an ? Alkitab Tidak Pernah Menyebut Infalibilitas Paus.

Kini, kita bisa melanjutkan. Orang bisa bilang, “Tunggu dulu sebentar”. Kenapa infalibilitas paus tidak didefinisikan sampai dengan tahun 1800-an ? Alkitab tidak pernah menyebut infalibilitas paus”. Memang tidak. Tapi Alkitab tidak pernah menyebut Trinitas juga khan. Dan semua orang Kristen non Katolik menegaskan Trinitas. Kenapa kata “Trinitas” tidak dipakai ? Yah, sebab kata Trinitas tidak perlu sampai adanya ajaran sesat muncil dan memaksa Gereja untuk memformulasikan dan mempertahankan doktrin Allah, satu Allah dalam Tiga Pribadi yang cukup dan memadai. Pada poin ini, mereka sepakat pada satu terma yang membantu, “Tri-unitas” atau Trinitas begitu.

Begitu juga, di Matius 16 dan jaminan tanpa syarat bahwa Yesus memberikan kepada Petrus, sang penerima kunci, alam maut pun tidak akan mengatasi Gereja yang dibangun di atas Batu Karang. Alam maut tidak akan mengatasi Petrus dan para penggantinya. Yah, alam maut memiliki kuasa yang berasal dari kesalahan [error], dari kesesatan, sampai kepada kepalsuan, yakni bapa segala dusta. Apabila orang yang berdusta diijinkan masuk ke dalam ajaran Gereja yang murni dan kudus, maka ini seperti halnya mengambil kaca jendela dan meletakkan kaca yang rusak itu ke dalamnya. Aku beritahu apa yang terjadi. Ketika aku sedang mengendari mobil di jalan tol Milwaukee, ada batu kerikil loncat dan menyentuh pelindung angin lalu timbullah retakan kecil. Apa yang terjadi ? Dalam beberpa bulan kemudian, istriku akan bercerita, bahwa retakan itu semakin besar dan kita harus menggantinya sebab kemungkinan seluruh bagian kaca mobilku sudah pecah.

Kesimpulan

Apabila ada orang yang melakukan satu kepalsuan, yang didefinisikan sebagai kebenaran, maka alam maut telah mengatasinya. Kristus telah memberikan kita jaminan tanpa syarat bahwa alam maut pun tidak akan mengatasinya karena Dia akan mendirikan GerejaNya di atas Petrus dan para penggantinya, Batu Karang, batu fondasi. Ini memberikan kita keyakinan karena keluarga Allah di bumi ini tidak pernah ditinggal tanpa seorang figure ayah yang mengajar dan membantu kita.

Kini, apabila ada orang yang bertipikal seperti Yudas menduduki kursi Petrus, sebaiknya kalian percaya bahwa Allah akan mencurahkan berlimpah-limpah Roh Kudus untuk melindungi anak-anakNya dan melihat bahwa si brengsek tersebut keluar, cepat-cepat. Dan kenyataannya memang demikian. Dan bahwa orang-orang ini disingkapkan. Setiap sejarawan Katolik akan mengakui bahwa Paus tertentu, sangat sedikit sekali yang merupakan orang-orang brengsek yang bertindak keterlaluan bahkan mengacuhkan ajaran Gereja. Bersyukurlah kepada Allah. Tapi hal ini memberikan kita semacam keyakinan bahwa kita memerlukan putra-putri Allah untuk mendengarkan Bapa Suci, Yohanes Paulus II [atau sekarang Benediktus XVI – red], dan menyimak suara Kristus sebab rahmat mengagumkan yang diberikan kepada Paus adalah salah satu dari banyak rahmat yang diberikan Kristus kepada kita atas pengurbananNya.

Mari kita simpan hal ini. Mari kita berharap terus dan hidup dengan rahmat dan kuasa Allah. Dalam nama Sang Bapa, Sang Putra, dan Sang Roh Kudus, kita berdoa, Bapa Kami. Dst.

1 komentar:

PIGURA mengatakan...

Trims bro dengan cuplikan tersebut. Selain pengetahuan saya tentang sejarah gereja Katolik bertambah, juga semakin meneguhkan iman saya.
Ditunggu artikel-artikel yang lainnya bro.
GBU

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...