Selasa, 30 Juni 2009

Gandum Vs Ilalang

Matius 13: 24 - 30 : Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi. Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak jugalah lalang itu. Maka datanglah hamba-hamba tuan ladang itu kepadanya dan berkata: Tuan, bukankah benih baik, yang tuan taburkan di ladang tuan? Dari manakah lalang itu? Jawab tuan itu: Seorang musuh yang melakukannya. Lalu berkatalah hamba-hamba itu kepadanya: Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu? Tetapi ia berkata: Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku."

Inilah prolog suci dari Tuhan kita tentang post-modernisme dunia. Saat ini dunia semakin diinvasi oleh pandangan-pandangan mulai dari relativisme ke ekstrimisme, dari spiritualisme ke agnotisme, dari kolektivisme hingga ke individualisme radikal. Pemikiran kontemporer ini semakin gencar menyerbu masyarakat seiiring kemajuan teknologi dan kebebasan demokrasi. Tak terkecuali umat Kristen, kita semakin terombang-ambing diantara berbagai pemikiran-pemikiran kontemporer yang membonceng nilai-nilai new age.

Seringkali keyakinan Kristen ditentukan oleh dominasi pemikiran kontemporer yang membuat kita tidak sadar untuk mulai meragukan iman kita. Yesus seakan-akan mulai dijauhkan dari berbagai sendi kehidupan. Ia kini mulai menjadi semacam bahan literatur dan sejarah masa lalu. Dampak-dampak seperti ini akibat semakin semaraknya produk-produk modern yang memenuhi hasrat sesaat kebutuhan manusia. Ini juga tak terlepas dari berbagai macam publisitas media melalui kreasi seni tinggi, penuh trik, anti kemapanan, dan bersifat self-sufficient.

Lalu apa yang mau disampaikan dalam tulisan ini? Saya ingin kembali mengajak pembaca menghadirkan kembali Yesus di hati kita secara berkesinambungan. Kesibukan aktivitas bekerja, bersosialite, mengejar karier, berbisnis, dan berbagai macam kegiatan mencari material hidup membuat kita tidak mempunyai ruang untuk Tuhan. Bagi sebagian orang di kota-kota besar mungkin kita tidak punya waktu lagi untuk bertemu secara akrab dengan Sang Pencipta. Yesus bahkan seringkali hanya dijumpai pada sisa waktu kita yang sedikit.

Gejala yang saya sampaikan di atas adalah pertempuran antara Gandum Vs Ilalang yang telah disampaikan oleh Yesus ketika Dia masih menjadi daging. Pertempuran ini bukan lagi pertempuran antara kaum kafir vs kaum agamawan seperti jaman dulu tapi dunia ini dihadapkan pada pertempuran non kasat mata, yakni pertempuran batin yang halus tapi menyesatkan. Ilalang dalam dunia modern adalah ajaran-ajaran dengan kekuatan idealis yang meminggirkan Allah dari kehidupan kita. Sebagai contoh : umat Kristen kini dihadapkan degnan banyaknya film, buku-buku yang menggangap remeh Yesus Kristus bahkan menghujatNya. Kita tahu bahwa film-film atau novel-novel karya Dan Brown adalah sebuah permulaan dari rencana si jahat untuk membingungkan umat Kristen akan imannya. Sebagian orang memandang itu hanya novel atau ”just a movie” yang tidak berpengaruh bagi iman si pembacanya. Tapi sebenarnya apa yang kelihatannya tidak berbahaya justru itulah yang patut diwaspadai. Apa yang diserang oleh novel-novel kontemporer seperti itu adalah ketidaktahuan kita tentang iman kita, tentang Siapa Juru Selamat kita itu. Dua ribu tahun umat Kristen saat ini berjarak dengan Yesus Daging akan mengakibatkan munculnya efek keterpisahan dan irelevansi dari Yesus Iman. Ini bisa semakin memuncak apabila banyak sekali himpitan dalam hidup kita baik berupa kesulitan ekonomi, pengangguran hingga tingginya budaya permisif korupsi di negeri ini. Kurangnya keteladanan dari pemimpin kita serta tidak adanya ”role model”, ”success story” akan kepemimpinan yang bersih dan jujur akan mengakibatkan umat Kristen akan semakin apatis dan cenderung bingung memilih jalan yang benar.

Industrialisasi Pemikiran

Potret kekinian masyarakat kita ini ditunjang oleh merasuknya pola industrialiasi tanpa batas. Industrialisasi sudah menyebar ke segenap ranah hidup manusia baik di Indonesia maupun di dunia. Industrialisasi inilah yang dipakai oleh kekuatan si jahat sebagai mesin penyebar ajaran yang aneh, membingungkan dan sesat. Kita bisa lihat dari jutaan kopi buku Harry Potter yang segera diserbu oleh anak-anak remaja sebagai bacaan ”wajib” dan menggairahkan. Industrialisasi nilai-nilai seperti ini berubah menjadi industrialisasi pemikiran yang berbahaya ketika iman tidak lagi penting. Pasar menjadi ukuran yang diikuti oleh masyarakat yang bisa mengarahkan mereka kepada pemenuhan hidup sehari-hari. Efeknya adalah munculnya eskapisme masyarakat dari kekeringan jiwa yang alih-alih seharusnya kembali ke Tuhan, malah sekarang masuk ke selera pasar yang sudah terindustrialisasi oleh nilai sekuler tertentu.

Belum lagi kita melihat pada perilaku masyarakat saat ini dimana masyarakat sudah mulai secara lambat-laun diperkenalkan pada gaya hidup homoseksual. Diimbangi dengan semakin menjamurnya perumahan dan apartemen yang modern yang menawarkan gaya hidup modis, individualis dan kosmopolitan yang mengarah pada konsumerisme. Begitu juga industri musik dan film yang saat ini semakin dikejar rating dan mendongkrak popularitas artis yang ujung-ujungnya mendapatkan keuntungan materi yang sangat besar sehingga seringkali terjebak dalam plagiarisme. Gejala-gejala budaya kontemporer ini semakin mengerucut pada hilangnya prinsip-prinsip nurani dan iman.

Daya Dukung Lingkungan Yang Hilang

Ketika kita bicara perilaku hidup yang terindustrialisasi yang berujung penguasaan kapital oleh kelompok pengusaha kelas berat berkolusi dengan oknum birokrat yang korup maka yang muncul saat ini adalah lingkungan hidup yang terdegradasi. Jutaan hektar hutan dan lahan hijau ”disulap” menjadi pemukiman, mal, bangunan dan bermacam-macam manufaktur tanpa melihat daya dukung yang ada. Sungguh mengerikan melihat kolaborasi paham kontemporer yang sekuler-materialistis dengan pasar sebagai mesin penggerak. Pada akhirnya bumi menghancurkan dirinya sendiri karena ulah kita. Banjir dimana-mana bahkan terjadi di daerah tak pernah banjir sebelumnya, air bersih sulit dikonsumsi di kota-kota metropolitan karena direbut oleh gedung-gedung pencakar langit, kemacetan jalanan yang semakin parah, polusi udara, hilangnya keanekaragaman hayati dan punahnya kawanan hewan di hutan semakin menambah runyam masalah lingkungan di negeri ini. Bahkan khusus Indonesia, menurut para ahli, pemanasan global bukanlah prioritas pertama yang harus diantisipasi melainkan perusakan lingkungan secara sistematis oleh stakeholder terkait lah yang menjadi isu utama negeri ini. Yach, masalah lingkungan adalah ujung (akibat) dari pangkal (sebab) iman yang lemah karena ”ilalang” yang menancap ke batin manusia di negeri ini. Sadar atau tidak sadar itulah yang terjadi.

Solusi: Ketika Yesus lahir kembali di hati kita

Bagaimana kita mencabut ilalang-ilalang hidup ini? Pertama, ilalang tidak pernah akan hilang, sesuai titah Yesus Yang Maha Tahu. Kedua, kuncinya adalah memperbanyak gandum hidup dalam masyarakat kita. Gandum ini pertama-tama harus tumbuh berakar di hati umat Kristen. Bagaimana caranya? Resepnya sbb:

  1. Umat Kristen harus sadar dan realistis bahwa Yesus itu benar-benar ada secara historis dan benar-benar Tuhan secara Iman maupun historis. Ini untuk melawan ajaran-ajaran sesat dari kalangan intelektual muda, yang karena pintar berorasi dan menemukan kunci idiosinkratik pada alkitab, akhirnya runtuh imannya. Takjub pada perbedaan idiomatik pada teks-teks di keempat Injil dalam Kitab Suci, mereka akhirnya menghujat Yesus bahkan menurunkan Yesus selevel dengan nabi-nabi lain. Jangan khawatir, terlalu banyak saksi mata pada saat Dia Hidup yang mengetahui dengan pasti bahwa Yesus adalah Allah. Apa yang dikerjakan Yesus selalu bersifat publik, banyak orang menyaksikan mujizat-mujizatNya, Dia tidak diam-diam (gerakan bawah tanah), dan Aksi-aksiNya juga sering dilihat oleh kaum farisi.
  2. Umat Kristen patut melatih doa-doa kontemplatif. Doa adalah obat paling ampuh dari segala kesulitan hidup. Ditambah unsur kontemplatif, yakni berdoa dengan hati, menyelaraskan kata-kata batin dengan wajah Yesus Yang Maha Kudus maka kita akan menemukan damai Tuhan dalam diri kita.
  3. Membaca alkitab dan tulisan-tulisan orang suci lainnya dapat membantu kita menjalani hidup ini dari kacamata Yesus yang penuh kasih, berbobot, berakar dan bernilai tinggi. Inilah pahala kita dalam hidup sehingga kita bisa menghasilkan buah-buah Roh.
  4. Jadilah garam, tidak perlu menjadi ”terang”. Maksudnya kita dapat menggarami orang lain secara halus tanpa kita harus terlihat peranannya. Tidak perlu menjadi ”terang” dalam pengertian untuk menghindari kita dari publisitas yang berlebihan yang bisa mengakibatkan kesombongan rohani karena efek ”over-joyous”-nya. Maksudnya karena kita pintar berkotbah, punya karunia menyembuhkan kita berisiko terlalu gembira dengan rahmat-rahmat tersebut sehingga tanpa pengendalian diri yang ketat kita akan jatuh dalam ”okultisme” diri.
  5. Kerajaan Allah ada dalam jangkauan kita. Kerajaan Allah semudah kita mengangkat jari ke arah langit. Dia malah lebih dekat daripada yang kita sangka. Kerajaan Allah adalah Gereja tempat kita mungkin pernah dibaptis, tempat kita mungkin pernah mengaku dosa, belajar sidi dan lain-lain. Kerajaan Allah adalah Gereja itu sendiri. Bukan gedung fisik semata-mata. Kerajaan Allah adalah Allah sendiri yang hadir di situ dan hadir pula di hati kita melalui Sabda-sabdaNya yang disampaikan oleh pendeta atau pastor. Dia menembus ke batin kita dan itulah yang kita bawa pulang sebagai ”oleh-oleh” buat keluarga kita, buat sekeliling kita, akhirnya buat masyarakat kita.
  6. Mencintai Yesus dan mencintai lingkungan karena Yesus. Kita tidak bisa hanya mencintai Yesus dan sesama tetapi kita lupa mencintai lingkungan hidup ini. Lingkungan hidup dengan kekayaan alam, vegetasi, hayati dan satwa adalah anugerah dari Yesus seperti Dia menganugerahkan keturunan bagi kita. Tentunya kita akan memberikan yang terbaik buat anak-anak kita bukan? Begitu juga dengan lingkungan yang adalah rumah kita bersama, ”keturunan” bersama, milik kepentingan umum. Oleh sebab itu kita wajib memeliharanya secara berkelanjutan. Tidak ada gunanya kita mengklaim mencintai Yesus tetapi lingkungan kita rusak melalui aktivitas kita sehari-hari. Mencintai Yesus bisa dilakukan dengan menjaga alam sekitar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Firman itu sendiri. Dia memberikan udara gratis, sinar matahari, sinar bulan, musim yang berganti secara gratis untuk kita ”kuasai” secara benar dan bertanggungjawab.

Inilah ”gandum” sejati umat Kristen untuk melawan pengaruh ilalang-ilalang kontemporer saat ini. Musuh kita adalah mereka yang mengaku bukan musuh melainkan kawan modernis yakni si setan lewat paham-paham kontemporernya. Bersatulah dengan Yesus meskipun kita harus terus menerus berlatih rohani. Tapi jangan takut, Dia menerima kita adanya. Datanglah kepadaNya tanpa kita harus menjadi orang sempurna/orang kudus dahulu. Dia akan mengajar kita dan merawat luka-luka kita. Dia adalah Kasih Yang Maha Luhur. Dia adalah Kesempurnaan Cinta itu sendiri.

Penulis : Leonard T. Panjaitan

Minggu, 28 Juni 2009

Antara Yesus, Hatiku dan Lingkunganku

Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia (Yoh 1: 1-5).

Pada kondisi yang lain di negeri kita tertulis fakta berikut ini: Antara periode tahun 1990 sampai dengan 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 % hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologis ini adalah yang kedua di bawah Brazil pada masa itu, dan sejak akhir 1990-an, penggusuran hutan primer makin meningkat hingga 26 %. Kini, hutan-hutan Indonesia adalah beberapa hutan yang paling terancam di muka bumi. Berdasarkan penafsiran citra landsat, pada tahun 2000–2005 tingkat kerusakan hutan mencapai 1,188 juta hektar/tahun, dengan total sebenarnya hutan yang terdegradasi seluas 59,6 juta hektar (Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Dephut). Mungkin sampai saat ini melalui adanya gerhan (gerakan rehabilitasi lahan) sejak tahun 2003 lalu maka diperkirakan degradasi hutan Indonesia sekarang tinggal menyisakan 56 juta hektar (3 juta hektar lebih hutan gundul telah mengalami perbaikan dan reforestasi).

Pertanyaan yang muncul dalam pikiranku adalah apa tujuan Allah menyelamatkan manusia tanpa Dia sendiri mengajarkan kita bagaimana mencintai alam dan lingkungan? Apakah Yesus pernah mengajarkan murid-muridNya cara memelihara alam dan lingkungan secara sustainable dalam Kitab Suci? Apakah dengan cara ini Yesus mengesampingkan alam ciptaanNya sendiri karena manusia sudah pasti tahu cara mengelolanya sejak dunia ini diciptakan? Lantas adakah pesan tersembunyi dari Injil bahwa ternyata Yesus pun seorang naturalis dan pro lingkungan hidup?

Yang membuat saya semakin heran adalah mengapa masih banyak orang Kristen yang meski bermurah hati, rajin beribadah serta memberikan donasinya ke gereja-gereja dan kaum papa namun masih tidak peduli dengan lingkungan hidup? Apakah kita hanya perlu mengasihi sesama manusia saja tapi di sisi lain cuek terhadap kondisi alam dan lingkungan kita?

Inilah pergumulan batin saya sebagai seorang Kristen ketika dua tahun lalu mulai menerjunkan diri menjadi penggiat lingkungan sampai akhirnya bersama kolega membentuk komunitas warga hijau. Ajaran Kristen cenderung antroposentris dimana karya penyelamatan Allah sangat dominan berbicara pada tataran hubungan antara DiriNya dengan manusia tanpa ada aspek keberlanjutan lingkungan secara eksplisit. Tetapi apakah memang demikian antroposentrisnya ajaran Sang Logos itu? Setelah bergumul dalam hati, berdoa dan terus berhikmat akan karunia Allah terhadap manusia dan bumi CiptaanNya ini, saya menjadi semakin yakin bahwa Allah melalui Sang FirmanNya Yesus Kristus ternyata juga seorang enviromentalist tulen? Mengapa bisa begitu? Jawabnya adalah sbb:

  1. Allah menciptakan alam semesta ciptaanNya adalah bersifat Cuma-Cuma untuk semua mahluk hidup. Ia tidak memberikan sinar matahari, bulan dan bintang hanya kepada orang benar. Ia tidak memberikan hujan hanya untuk orang beriman saja. Yang jahat, dan sesat sekali pun tetap menerima berkat hujan, angin, terang bulan yang sama besarnya dengan mereka yang benar di hadapan Allah. Inilah cinta kasih Allah tanpa batas dan tanpa syarat.
  2. Kadang-kadang Allah menghukum manusia lewat bencana alam seperti tsunami, badai dan sebagainya untuk diberlakukan ke setiap orang. Tidak lantas orang jahat menerima hukuman langsung dari Surga. Inilah yang disebut keadilan Allah kepada setiap orang secara non-diskriminatif. Keadilan ini penuh kebijaksanaanNya agar orang baik dan benar tidak melalukan kejahatan sebaliknya si jahat bertobat menjadi baik dan benar sehingga luput dari keadilanNya yang keras.

Kehadiran Yesus secara seimbang di hati manusia dan alam sekitar

Lalu apa hubungannya Inkarnasi Firman Allah dengan kondisi lingkungan di Indonesia? Justru inilah milestone yang harus menjadi titik balik kita dalam mencintai Yesus secara total. Mengapa demikian? Karena Yesus hadir di hati manusia bukan hanya mengajak kita untuk mencintai diriNya dan sesamanya tapi lebih jauh dari itu adalah supaya kita memelihara alam dan lingkungan hidup yang telah dikaruniakan secara gratis bagi umat manusia tanpa syarat.

Lalu apa hubungannya antara Yesus, diriku dan Alamku? Apakah Yesus perlu menyelamatkan alam ini bersama-sama manusia? Sebelum kita renungkan masalah ini maka menurut ada baiknya kita kutip tulisan Lynn White dalam bukunya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis. Menurut White bahwa demitologisasi terhadap alam ciptaan yang berakar dalam tradisi Yahudi-Kristen lah yang menjadi biang keladi terjadinya krisis lingkungan hidup yang menimpa bumi. Terlepas dari benar tidaknya kritik tersebut, tulisan Lynn White mendorong para teolog untuk merefleksikan sejumlah gagasan mendasar berkaitan dengan lingkungan hidup. Benarkah masalah lingkungan hidup akhirnya berakar pada misalnya pandangan kristiani tentang pembedaan yang tegas antara Allah pencipta yang transenden dengan alam ciptaan? Apakah kisah-kisah penciptaan dalam Kitab Suci memang mendorong atau membenarkan terjadinya perusakan dan eksploitasi alam?

"Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah tu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kejadian 1: 26-28). Melalui teks ini benarkah manusia diberikan kewenangan oleh Allah menguasai alam tanpa batas?

Penguasaan alam semesta oleh manusia dalam ayat tersebut di atas adalah harus secara berkesinambungan mengingat Yesus juga hadir pada segenap mahluk dan alam ciptaannya. Maksudnya adalah bahwa mahluk hidup dan ciptaanNya adalah instrumen atau sarana yang diberikan oleh Allah buat manusia secara sistematis demi keberlangsungan hidupnya. Menurut saya bahwa sama alam ciptaan termasuk lingkungan sekitar adalah diibaratkan tubuh manusia. Apabila tubuh itu rusak atau tercemar karena pola hidup yang tidak baik seperti memakai narkoba, mabuk-mabukan, merokok dan lain-lain maka orang tersebut akan semakin sulit hidupnya. Padahal Yesus mengajarkan kepada kita untuk tidak mencemari tubuh kita sendiri yang adalah bait Allah.

Begitu juga dengan relasi kita dengan alam sekitar, apakah pantas manusia mencemari dan merusak ekosistem, hutan, sungai dan lahan-lahan hijau yang telah dirancang oleh Allah buat kebutuhan dan keseimbangan hidup manusia? Keanekaragaman ciptaan Allah ini harus kita rawat dan kita jaga sebagai persembahan syukur bahwa kita adalah mahluk ciptaan yang fana. Bukankah suatu dosa berat apabila kita merampas dan menghancurkan alam lingkungan demi ujung-ujungnya adalah uang dan kekuasaan. Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Inilah sebenarnya pangkal mula kerusakan parah lingkungan hidup di Indonesia.

Maka dari itu saya mengajak para pembaca untuk segera bertindak dan peduli terhadap lingkungan kita karena hal-hal sbb:

  1. Memelihara dan menjaga lingkungan hidup adalah suatu panggilan dari Allah karena Dia telah memberikan segalanya untuk kita kelola secara benar dan bijaksana. Perbuatan menjaga lingkungan secara berkelanjutan adalah suatu pahala besar di mata Allah karena kita ikut menjaga suatu relasi unik antara mahluk hidup lain (tumbuh-tumbuhan dan binatang) dengan Allah sendiri. Relasi antar mereka tidak boleh dirusak oleh manusia karena akan melanggar sistem keseimbangan ciptaan itu sendiri. Dengan kata lain pribadi manusia perlu dipahami dalam kerangka komunitas ciptaan-ciptaan lain yang juga memiliki nilai sendiri dalam relasinya dengan Allah. Jadi kita perlu menolak antroposentrisme ketat yang dasar penilaian etisnya semata-mata martabat pribadi manusia belaka. Inilah perlunya manusia memegang erat etika lingkungan sebagai bagian dari moral kehidupan.
  2. Ketika Yesus lahir di hati saudara-saudari maka perlu kita yakinkan kembali hati ini bahwa perbuatan kita bukan hanya ditujukan untuk kebaikan terhadap sesama secara charity atau filantropis tetapi untuk kebaikan alam lingkungan sebagai rumah kita bersama. Yesus adalah untuk semua dan di dalam semua. ……….Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua. (1 Kor 15: 24 – 28).
  3. Apabila hati kita bersih dan dipenuhi oleh Roh Kudus maka kita juga secara langsung akan senantiasa menjaga kebersihan lingkungan dan alam sekitar. Kita tidak akan berani menebang hutan secara berlebih-lebihan, mengkonversi lahan-lahan hijau secara sembarangan, mencemari sungai, danau dan lautan demi kepuasan diri sendiri dan kehendak perut ini.
  4. Umat Kristiani yang telah membaca dan memahami isi Alkitab sudah barang tentu akan memahami bahwa manusia hidup bukan berhubungan dengan sesamanya saja. Tetapi lebih jauh dari itu manusia memiliki ketergantungan dan ikatan dengan alam sekitar yang kedua-duanya diciptakan oleh Allah. Sumber satu-satunya adalah Allah dan kembali kepada Allah.
  5. Dilain pihak para aktivis lingkungan harus memandang bahwa kegiatan mulia mereka sebagai untaian rasa syukur dan panggilan hidup yang bernilai di hadapan Allah. Sebab bisa saja bumi dan alam dipandang hanya sekedar kosmos tanpa Roh. Begitu juga bumi bukanlah ilah tetapi bagian kecil yang berharga dari ciptaan Allah yang perlu dijaga dan dirawat sesuai proporsinya. Bumi dan benda-benda angkasa lainnya tetap dipelihara oleh energi Allah sebagai cara Allah untuk membuat hukum alam semesta ini bekerja sesuai dengan rancanganNya.

Dari tulisan di atas maka hamba-hamba Allah akan menyadari bahwa Sang Firman lahir dalam hati kita untuk manusia dan lingkungannya. Sia-sialah kita mengklaim di hati kita ada Yesus tetapi tindakan kita justru melukai Yesus karena perilaku kita yang tidak ramah lingkungan. Kata dan perbuatan haruslah seimbang dan oleh karena itulah Sang Logos lahir untuk menyeimbangkan hidup manusia dengan alam sekitarnya. Dengan demikian tesis Lynn White di atas dapat kita patahkan.

Penulis: Leonard T. Panjaitan

Senin, 22 Juni 2009

Kebebasan Beragama di India Jauh Panggang dari Api

Cardinal: Gandhi Wanted More for India

Says Anti-Christian Persecution Is Part of Bigger Struggle


KKOTTONGNAE, South Korea, JUNE 16, 2009 (Zenit.org).- If Gandhi would have lived longer, India would not be facing some of the human rights abuses it still confronts, according to the president of the Indian episcopal conference.

Cardinal Telesphore Toppo, archbishop of Ranchi, spoke with ZENIT about India's Christian population and the challenges facing the nation, when he attended an international conference organized this month in Korea by the Catholic Charismatic Renewal.

India was the site of a wave of anti-Christian persecution last year, but the cardinal affirmed that Christians in India are still particularly committed to their faith.

India is a very religious nation, he said, where "Christianity is as old as Christianity itself." And, he added, the work of the Charismatic Renewal there has brought the "faithful to love the Word of God, which before had not been greatly appreciated by Catholics."

The cardinal explained that the faith in India dates back to the Apostle Thomas, but it is difficult to count the number of Catholics there today.

"In my state, when Belgian missionary Constant Lievens arrived in 1885, there were only 56 Catholics in all," the cardinal recounted. "Seven years later, however, when Lievens was forced to leave because of ill health, he left 80,000 baptized Catholics and over 20,000 catechumens. It was an incredible explosion of faith known as 'the miracle of Chotanagpur.'"

Fighting a cancer

Asked about May's elections, which brought a surprisingly marked majority to the Congress party, Cardinal Toppo told ZENIT that the vote was "a fantastic success because it marked the defeat of the fundamentalists."

"The new government is made up of people who follow the principles of Mahatma Gandhi, the best part of Hinduism," he contended. "If India today can boast the biggest democracy of the world, it is because of the religiosity of the people of India: a very diverse population whose different components have in common their faith in God and in their fellow humans."

But, the cardinal was less hopeful about an immediate halt to anti-Christian persecution.

"Persecution is difficult to contain," he said. "It is like a cancer."

In fact, the cardinal noted his fear that persecution might grow worse precisely because "fundamentalists are no longer in power and can no longer infiltrate the bureaucracy and put their people in key positions."

He recalled: "When I was appointed cardinal in 2003, the leader of one of these fundamentalist groups said, 'Why do we have to accept this foreign decree? Christians must leave India.' I come from a tribal country, Jharkhand, so I answered 'Let him leave first. I come from one of the first tribes of India, so I am more Indian than he is.'"

Struggle for freedom

Persecution is particularly aimed at Christians, the cardinal added, precisely because if tribal groups convert to Christianity, they could form an imposing middle class.

He explained: "In the eyes of the fundamentalists, the Muslims are also enemies of India, but Muslims retaliate so they are leaving them alone. The Christians they see as a threat they can eliminate.

"Their focus is particularly on tribe members, because the highest number of conversions takes place among them, as among the dalit, or 'untouchables.' Despite having undergone many persecutions throughout history, the tribal groups have maintained their own language and social system, so if they convert, they can form a middle class, which can be a catalyst between the dalit and the higher castes.

"Obviously, if the 100 million dalits and the 70 million tribals were to convert, this would amount to an immense political and social shift."

Cardinal Toppo said Hindu fundamentalists are a small number in India, making up only 11% of the population, and their ideas are far from the religion's traditional association with tolerance and peace.

"Can there be peace with the caste system," he asked. "Can there be peace when you do not recognize your brother as your equal? Mahatma Gandhi freed India from British imperialism, but that liberation has not been completed yet. Gandhi represented universality, an absolutely Christian idea. If he had lived longer he would have abolished the castes, child marriage, the dowry system, bride burning. … India must free itself of all these evils, as well as from fundamentalists.

"Fundamentalists are a very small part of the population […] but they have the same ideas as Hitler and Mussolini. Persecution must be viewed in this context. It comes within the sphere of the struggle for freedom: freedom of conscience. We still have a long way to go; the struggle for freedom, initiated by Gandhi, goes on."

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...