Pengadilan tinggi Malaysia mulai menggelar dengar pendapat secara resmi, Senin, mengenai penggunaan kata “Allah” oleh Kristiani sebagai terjemahan untuk Tuhan.
Sementara itu, Gereja Katolik di Malaysia tetap bersikeras bahwa kata “Allah” tidak eksklusif hanya untuk Islam dan telah dipakai oleh Kristiani dan Muslim di negara yang menggunakan bahasa Arab sejak berabad-abad lamanya, sebagai bantahan terhadap pendapat Senior Federal Counsel Datuk Kamaluddin yang mengatakan bahwa, kata tersebut eksklusif hanya digunakan untuk agama Islam dan kesuciannya harus dilindungi.
"Di negara kami, jika sesuatu merujuk pada Allah atau sebutan kalimat Allah, itu akan membuat orang berpikir tentang Tuhan bagi Muslim. Kalimat Allah adalah sakral bagi Muslim dan menempati posisi yang tinggi, dan kesuciannya harus dilindungi,” ujarnya pada Senin, menurut sumber lokal.
Lebih lanjut, Kamaluddin menambahkan, Gereja tidak dapat menentang keputusan menteri dalam negeri untuk memaksakan sebuh kondisi atas izin yang diminta oleh surat kabar mingguan Gereja, The Herald.
“Anda hanya bisa menentangnya jika menteri menolak untuk memberi surat izin,” tukasnya.
The Herald telah melayangkan gugatan terhadap pemerintah Malaysia pada Desember 2007 setelah pemerintah mengancam mencabut surat izin percetakan jika surat kabar tersebut tidak menghentikan pengunaan kata “Allah” dalam sesi koran berbahasa Melayu.
Menurut Printing Presses and Publication Act tahun 1984, menteri dalam negeri Malaysia berhak untuk memaksakan larangan dalam kondisi tertentu, dan dalam kasus The Herald, Menteri dalam negeri Datuk Seri Syed Hamid Albar menurut laporan telah melarang penggunaan kata "Allah" dengan alasan keamanan nasional dan untuk menghindari salah pengertian dan kebingungan di antara umat Muslim.
"Penggunaan kata ‘Allah’ oleh agama lain kemungkinan dapat mengusik sensistifitas dan membuat bingung diantara umat Muslim,” jelas Abdullah Zin, selaku menteri urusan agama Islam, kepada media lokal tahun lalu.
Meskipun begitu, The Herald, tetap mengklaim larangan tersebut inkonstitusional dan melanggar kebebasan beragama.
Pimpinan redaksi surat kabar, Porres Royan, mengatakan pada Senin, bahwa kata “Allah” memiliki peran penting untuk penyembahan dan sebutan iman dalam Komunitas Katolik di negara yang menggunakan Bahasa Melayu.
Royan juga bersikeras bahwa menteri juga telah melakukan tindakan di luar Printing Presses and Publications Act.
“The Act tidak dimaksudkan untuk mengatur kelompok taat beragama manapun dalam memperaktikkan kebiasaan dan mengenalkan kepercayaan mereka termasuk penggunaannya dalam mempublikasikan kepercayaannya,” ujarnya kepada Hakim Pengadilan Tinggi Lau Bee Lan, menurut The Malaysia Star.
"The Herald adalah sebuah surat kabar mingguan Katolik yang dimaksudkan untuk menyebarkan berita dan informasi tentang Gereja Katolik di Malaysia dan tidak diperuntukkan bagi publik, khususnya bagi orang yang beragama Islam,” tambahnya, menurut Sun Daily.
Royan juga menyatakan bahwa dalam penerbitannya tidak berisi materi yang dapat menyebabkan ketakutan atau mengusik sensitifitas bagi agama Islam.
Dengar pendapat dijadwalkan akan dimulai kembal pada Selasa hari ini, tiga bulan setelah pihak berwenang Malaysia menyita 10.000 Alkitab yang diimpor dari Indonesia yang di dalamnnya menggunakan kata “Allah” untuk merujuk pada Tuhan.
Bulan lalu, Federasi Kristiani Malaysia (CFM), sebuah badan perwakilan Kristiani di Malaysia, mendesak agar segera melepaskan Alkitab yang disita tersebut dan juga sebanyak 5.000 Alkitab yang telah disita pada Maret lalu.
Jaringan gereja dan organisasi tersebut juga mengeluarkan kembali sebuah pernyataan yang menguatkan komitmen mereka bahwa Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, yang mana mereka berhak dan akan terus menggunakan “sepenuhnya” dalam kehidupan dan dalam kesaksian di gereja dan organisasi mereka.
“Dan kami menyerukan kepada Gereja-Gereja untuk waspada dan terus berdoa tanpa henti memohon hikmat atas penyelesaian persoalan ini agar dapat selesai dengan damai demi menjaga persatuan dan kesatuan, keharmonisan serta kedamaian negara dan agar keadilan, Hak Asasi Manusia serta martabat manusia tetap ditegakkan terus,” ungkap pemimpin CFM dalam deklarasi tersebut, yang dikeluarkan pertama kali pada September 1989.
Menurut CIA World Factbook, 60,4 persen dari 25,7 juta penduduk Malaysia adalah Muslim. Sementara itu, sekitar 19,2 persen adalah Budha, dan 9,1 persen adalah Kristiani.
Secara umum, agama Islam memperoleh hak istimewa di Malaysia sebagai agama yang dominan.
Aaron J. Leichman
Koresponden Kristiani Pos
Posted: Dec. 16, 2009 17:44:49 WIB
Sumber: http://www.christianpost.co.id/missions/persecution/20091216/5084/pemerintah-malaysia-gereja-katolik-bertempur-di-pengadilan-terkait-kata-allah/index.html