Selasa, 22 Mei 2007

AJARAN ALKITAB MENGENAI HARI SABBATH

AJARAN ALKITAB MENGENAI HARI SABBAT

"oleh : Arkhim. Daniel Bambang Dwi Byantoro"

Pendahuluan

Sabbath adalah hari perhentian yang dipertintahkan oleh Allah kepada Bangsa Israel di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Dan sampai sekarang hari Sabbat ini menjadi pusat terpenting dalam sistim ibadah Agama Yahudi (Yudaisme). Hari Sabbat itu sendiri sebanding dengan hari ketujuh. Yaitu Hari Sabtu (Sabt) kata yang berakar sama dengan bahasa ibrani Sabbat tersebut.

Namun oleh pengaruh dari hukum Sepuluh yang memerintahkan agar ummat Israel merayakan Hari Sabbat sebagai hari kudus, dimana orang terutama dari kalangan tradisi Advent dan tradisi "World Wide Church of God" atau Armstrongisme yang menekankan bahwa orang Kriten yang sejati haruslah menguduskan Hari Sabtu ini untuk membuktikan ketaatan terhadap Allah. Sedangkan tradisi Kristen yang lain mengatakan bahwa Hari Sabbat itu sudah diganti oleh hari Minggu, yang tentu saja kaum Sabbatisme (Hari Ketujuhisme) akan cepat menunjuk bahwa kata Sabbat itu artinya Sabtu (Tujuh) atau Sabtu, bukan Minggu (Dominggos) atau Ahad. Sehingga terjadinya simpang siaur mengenai masalah ini. Ada lagi yang mengatakan hari tertentu itu tak perlu, semua hari itu sama saja, asal itu digunakan untuk menyembah Allah, semua hari adalah Sabbat. Mana yang benar dari semua pendapat ini. Dan kalau memang semua hari adalah sama saja, mengapa Allah memerintahkan hari Sabbat untuk dirayakan secara begitu jelas. Apakah betul merayakan Hari Minggu itu telah menggantikan Hari Sabtu dan Minggu itu sendirilah Sabbat, kalau bukan adakah hubungan Hari Sabbat (Hari Ketujuh) dengan Hari Minggu (Dominggos = Hari Tuhan, Hari Pertama) itu ? atau mungkin memang betul bahwa kedua-duanya tidak penting. Untuk membahas masalah inilah artikel ini ditulis.

Asal - Usul dan Makna Sabbat

Nehemia 9: 13-14 mengatakan : “Engkau telah turun ke atas gunung sinai dan berbicara dengan mereka dari langit dan memberikan mereka peraturan-peraturan yang adil, hukum-hukum yang benar serta ketetapan-ketetapan dan perintah-perintah yang baik. Juga Kau beritahukan kepada mereka SABATMU YANG KUDUS…..”. menurut ayat ini Sabbat Kudus itu diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel itu pada saat penyataan Allah di Gunung Sinal, yaitu bersamaan diberikannya Hukum Sepuluh atau Dasa Titah, seperti yang tertulis dalam Keluaran 20:8-11 : “ Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabbat, enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabbat TUHAN, Allahmu, mak Jangan melakukan sesuatu pekerjaan……. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabbat dan mengkuduskannya.”

Berdasarkan kenyataan Allah di Gunung Sinai ini, Musa ketika mulai menulis Kitab Taurat yang pertama, yaitu Kitab Kejadian, terutama di pasal yang kedua memberi komentarnya: “ Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatnya itu, berhentilah ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuatnya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh dan mengkuduskannya, karena pada hari itulah ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat Nya itu. “ (Kejasian 2;2-3). Ayat ini bukanlah perintah Allah secara langsung kepada Adam dan Hawa di Taman Eden, namun ini hanya komentar penulis (Musa) atas kisah penciptaan dengan dikaitkan langsung kepada pengalaman pembaca yang dimaksud penulis yaitu Bangsa Israel sendiri, yang telah menerima perintah di Gunung Sinai untuk merayakan Sabbat. Dan juga kata Sabbat itu belum muncul dalm Kejadian 2:2-3, yang muncul adalah “hari Ketujuh”. Jadi jelaslah Sabbat itu memang baru diberitahukan oleh Allah kepada bangsa Israel pada saat pemberian Hukum Sepuluh di Gunung Sinai seperti yang dikatakan oleh Nehemia 9:13-14. Sabbat itu belum dikenal di Taman Eden, dan tak dikenal oleh Nuh, Abraham, Iskak, Yakub, Yusuf dan bangsa Israel sebelum penyataan Allah di Gunung Sinai itu. Oleh karenanya tak pernah kita jumpai satu perintahpun dalam Kitab kejadian Keluaran 15 yang menyatakan bahwa manusia harus merayakan Hari Sabbat. Memang kata “Sabbat” itu pertama kali muncul di keluaran 16: 23-30, dan perintah untuk merayakannya itu juga diberikan dalam konteks “pekerjaan” Israel mengumpulkan manna yang turun dari langit, namun sebagai perintah yang tertulis serta alasan-alasan merayakan dan mengkuduskan itu beru diberikan pada Hukum sepuluh yang diberikan di atas Gunung Sinai kepada Musa.

Sebenarnya secara langsung perintah untuk merayakan dan mengkuduskan Hari Sabbat itu ada kaitannya dengan peristiwa “lahirnya Bangsa Israel” itu sendiri, yaitu lepas dari penindasan Mesir dimana disitu mereka di pekerjakan dengan berat dan keras sebagai budak, menuju menjadi bangsa yang bebas sendiri “berhenti” dari “kerja” keras dan paksa yang dilakukan Mesir atas mereka oleh karena tiulah perintah merayakan dan menguduskan Sabbat itu ada kaitannya dengan “pekerjaan” Kaitannya ini dijelaskan dalam Ulangan 5: 12-15 : “ tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabbat, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabbat Tuhan, Allahmu, maka janganlah melakakukan sesuatu pekerjaan…… sebab haruslah kau ingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya Tuhan, Allahmu memerintahkan engkau merayakan hari Sabbat.” Sebagaimana Israel dahulu adalah budak Mesir yang harus bekerja keras, namun sekarang berhenti bekerja sebagai budak, maka sekarang Sabbat itulah hari perhentian, sebagai tanda pelepasan mereka dari kerja keras tersebut. Dengan selalu merayakan Sabbat Israel selalu diingatkan terus-menerus kepada karena Allah yang telah membebaskan dan melepaskan mereka dari penindasan dan penganiayaan, sehingga itu menjadi sarana mereka bersyukur dan berbakti kepada Allah dan berbelas kasihan kepada para orang tertindas, budak dan binatang dengan tak mempekerjakan mereka tanpa batas dan istirahat. Jadi Sabbat ini akhrinya menjadi gaya hidup Israel, baik secara agamawi maupun secara sosial. Jika Sabbat ini dikaitkan dengan kisah penciptaan itu hnya menunjukkan prototipe “kerja” dan “berhenti kerja” yang ada pada cara Allah sendiri berkarya, namun bukan langsung menunjukan eksistensi Israel sebagai bangsa yang telah “disabatkan” oleh Allah yaitu dibebaskan dari Mesir. Lagi pula karena hari ketujuh itu tak terjumpai dalam perintah merayakan Sabbat dengan berhenti dari kerja dalam prototipe kisah pembebasan dari Mesir itu sendiri, maka pemilihan hari ketujuh sebagai hari perhentian itu diambil dari kisah penciptaan.

Namun dari kisah penciptaan itu sendiri ternyata hari ketujuh yang dimaksud ternyata berbeda dengan hari ketujuh dari realita hari yang dimiliki manusia pada jaman hidup di dunia sesudah Adam keluar dari Eden itu. Hal ini terbukti dari fakta bahwa hari kita yang tediri dari 24 jam ini tergantung dari berputarnya bumi di sekitar matahari atau dari gelap atau terangnya alam oleh sinar matahari. Padahal dalam kejadian 1 itu matahari, bulan, dan bintang-bitnang itu baru terjadi sesudah hari yang keempat (kejadian 1:14-19), yang berarti hari pertama (kejadian 1:5), yaitu hari minggu dan hari kedua (kejadian 1:8) yaitu hariu Senin, dan hari ketiga (kejadian 1:13) yaitu hari Selasa, itu berbeda dengan hari-hari yang ada sekarang yang terdiri dari 24 jam ini, meskipun disebutkan petang dan pagi. Kitapun tak tahu pagi dan petang yang bagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat itu, karena jelas itu tak tegantung pada terang dan gelapnya sinar matahari seperti hari yang kita kenal sekarang. Itulah sebabnya hari dalam kitab Kejadian 1 itu bukan hari yang sama seperi hari ktia sekarang, dengan demikian hari ketujuh itu bukan tepat hari Sabtu yang ktia kenal. Namun itu lebih bersifat hari yang bermakna periode atau jangka waktu yang terdiri dari tujuh tahap. Bahwa hari Sabtulah yang akhirnya dinyatakan sebagai hari ketujuh karena perhintungan satu minggu dalm kalender kita manusia, baik pada jaman itu maupun jaman sekarang, memang menyebutkan bahwa Sabtulah hari ketujuh. Tahapan proses penciptaan yang memakan 7 periode itulah yang akhirnya digunakan sebagai rujukan untuk menyebutkan hari Sabtu sebagai hari ketujuh.

Maka dengan demikian dari banyak bukti-bukti Alkitab kita dapat menumpulkan bahwa Sabbatitu lebih terikat erat dengan peristiwa penciptaan Israel sebagai bangsa, yaitu pembebasan dari Mesir, daripada dengan penciptaan duni ini sendiri. Karena penekanan Hari Sabbat itu bukan pada hari ketujuhnya, yang dalam proses penciptaan ternyata bukan tepat pada hari Sabtu seperti yang kita kenal sekarang, namun pada makna “berhenti kerja” nya, yaitu tanda peringatan “berhenti kerja” budak-budak Mesir itu.

Jadi behenti bekerja sebagai budak itu diperingati dengan larangan melakukan “sesuatu” pekerjaan atau pekerjaan apapun, namun karena peringatan berhenti kerja itu harus diperingati oleh suatu hari tetetnu, maka dicari hari maan yang ada kaitannnya dengan “berhenti kerja” tiu. Hal itu ditemukan dengan “berhenti Kerja” Nya Allah dalam penciptaan, yang terjadi pada “hari ketujuh” yang kebetulan dalam kalender Israel dan bangsa-bangsa lain di jaman itu atau jaman sekarang bertepatan dengan Hari Sabtu, meskipun “hari Ketujuh” yang dimaksud dalam proses penciptaan (kejadian 2: 2_3) itu tidak sama persis dengan Hari Sabtu yang kita kenal. Jadi yang digaris bawahi sebenarnya adalah soal “berhenti Kerja” atau “pembebasan” bukan hari Sabtunya, sebab hari ketujuh dai kejadian 2: 2-3 itu tak ktia ketahui hari yang bagaimana. Allah memerintahkan hari ketujuh karena kaitan maknanya dengan pembebasan Israel dari perbudakan, bukan karena harinya tiu sendiri.

Hari Sabbat dan Tanda Perjanjian

Alkitab secara keseluruhan dapat kita sebut sebagai kitab perjanjian, karena di dalamnya mengisahkan sejarah Perjanjian yang dilakukan Allah kepada manusia-manusia yang dipilihnya. Dan perjanjian itu sendiri dibagi dalam Perjanjian sebelum kedatangan Kristus yang disebut sebagai perjanjian lama, yang pada pokoknya dapat kita sebut perjanjian utama : perjanjian dengan Nuh dan alam semesta, perjanjian dengan Abraham (Iskak dan Yakub) serta perjanjian dengan Musa (dan banda Israel). Sedangkan puncak dari semua perjanjian tersebut adalah perjanjian di dalam Yesus Kristus yang disebut sebagai perjanjian Baru. Sebagaimana diakatakan : “Sebab Kristus adalah Ya bagi semua janji Allah” (II kor. 1:20).

Perjanjian-perjanjian ini Allah memberikan tanda fisik yang sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Dalam perjanjian dengan Nuh, dan segala makhluk, isi perjanjian adalah keputusan Allah untuk tak menghukum bumi lagi dengan air bah, karena perjanjian ini adlaah perjanjian dengan alam semesta agar sejarah manusia dapat belangsung demi pemenuhannya nanti dengan isi perjanjian, yaitu sesuatu yang ada di alam luas yaitu “Pelangi” (Bianglala, Busur) kejadian 9: 12-16. dengan melihat busur Allah ingat perjanjiannya untuk tak menghukum bumi dengan air bah lagi.

Demikian pula perjanjian Allah dengan Abraham (kejadian 17). Karena kepada Abraham ini Allah menjanjikan keturunan dan melalui keturunan ini bangsa di muka bumi akan diberkati (kejadian 12: 2-3, 13:14, 15: 12-16), maka “alat” yang melalui keturunan Abraham menjadi Bapa sejumlah besar bangsa (kejadian 17 : 1-8), maka Abraham diperintah Allah atas alat tadi “haruslah dikeratkan kulit khatanmu dan itulah menjadi Tanda perjanjian antara Aku dan Kamu ….. maka dalam dagingmulah perjanjianku itu menjadi perjanjian yang kekal. Dan orang yang tidak di sunat ….. maak orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya, ia telah mengingkari perjanjianku.” (kejadian 17:11-14). Untuk menanggapi dan mentaati tanda perjanjian inilah Abraham dan keturunannya yaitu seluruh bansa Israel disunatkan.

Kepada Musa dan Israel, Allah memberikan kebebasan dan pelepasan yaitu perhentian dari kerja paksa perbudkan di Mesir. Dan oleh karena itu Israel akhirnya menjadi ummat Allah. Untuk memelihara kasih karunia Allah atas perhentian ini tak terlupakan, sama seperti kepada Abraham mengenai janji tentang keturunan itu, maka Israelpun diberi tanda perjanjian atas pelepasan dan perhentian dari perbudakan itu dengan Sabbat, yaitu berhenti bekerja pada hari ketujuh. Sebagaimana yang dikatakan : “… hari-hari Sabbatku harus kau pelihar … Haruslah kamu peliahara hari Sabbat, sebab itulah hari kudus bagimu, siapa yang melanggar kekudusan hari Sabbat, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu orang itu harus dilenyapakan dari antara bangsanya … Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabbat, dengan merayakan hari Sabbat, turun-temurun, menjadi Perjanjian kekal. Antara aku dan orang Israel inilah suatu peringatan untuk selama-lamanya ….”Keluaran 31: 12-17). Beberapa hal patut kita catat atas ayat-ayat diatas: sama dengan janji sunat kepada Abraham, Sabbatpun dikatakan perjanjian kekal. Sama dengan janji sunat Sabbatpun dikatakan syarat hukum mati bagi pelanggannya. Sabbat ini adalah peringatan antara Allah dan orang Israel (bukan bagi orang Kristen atau segenap manusia), memilihara Sabbat artinnya merayakan Sabbat, dan cara merayakan itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab Taurat itu sendiri, jadi bukan dengan cara tradisi lainnya, misalnya tradisi Advent. Tidak mengikuti syarat merayakan ini berarti sama saja melanggar ketentuan Allah. Membuat cara merayakan sendiri yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan Allah dalam merayakan Sabat berarti tetap melanggar Sabat biarpun kalau hari Sabbatnya dipelihara. Untuk mengerti cara-cara merayakan ini akan kita bahas di bawah nanti.

Dengan demikian makin jelas bahwa sabat itu tanda perjanjian atau bahkan perjanjian itu sendiri, sama dengan Sunat dan Busur pelangi. Dan sabat itu menjadi perjanjian dan peringatan kekal antara “aku dan orang Israel”. Mengenai tanda perjanjian Baru akan kita bahas jika sampai pada waktunya.

Sabbat dan Ibadah Israel

Imamat 19:30: “Kamu harus memelihara hari-hari Sabatku dan menghormati tempat kudusku ; akulah tuhan “. Dalam ayat ini pemiliharaan sabat dan penghormatan akan tempat kudus (kemah suci, tabernakel, bait Allah) saling dikaitkan. Itu menunjukkan kepada kita bahwa perayaan sabat itu bukanlah sesuatu yang vakum tanpa isi. Asalkan hari Sabtunya saja yang dipelihara, lalu cara melakukannya kuta buat sendiri, itu sudah cukup. Jelas bukan demikian . sabat itu terkait erat dengan tempat kudus yaitu tata cara ibadah Israel di kemah suci. Untuk lebih jelasnya kita lihat konteks Kitab Keluaran 31 dan 34 : 18-26, serta Keluaran 35. Dalam keluaran 31 konteksnya adalah bercara tentang persipan pembangunan kemah suci demikian juga dengan keluaran 35 35 juga membicarakan tentang persipan pembangunan kemah suci demikian juga dengan keluran 35 jgua membicarakan tentang pembangunan kemah suci inilah Sabat dibicarakan. Bahkan dalam keluaran 34: 18-26 itu sabat dibahas dalam konteks membicarakan korban ibadah dan hari-hari raya Israel. Dengan demikian jelas bahwa bukannya kerangka harinya saja yang harus dipelihara, namun Allah juga telah memberikan hukum dan peraturan mengenai cara merayakan Sabbat itu yatiu dalam konteks ibadah kemah suci (Bait Allah) dan hari raya serta korban ibadah Israel, dengan peraturan serta cara-cara tertentu, bukan di dalam Gereja Advent atau dalam Gereja Kristen manapun. Sabtu dipeliahra hukum cara merayakan hari Sabtu ini dilanggar adalah tetap juga merupakan pelanggaran, dan menurut Taurat orang demikian wajib dihukum mati dan dilenyapkan. Jika hendak merayakan Sabbat sebagai hukum Allah yang kekal, haruslah konsisten dengan cara pelaksanaannya, bukan comot sini buang sana seperti yang dilakukan oleh sementara orang seperti itu. Artinya jika inggin secara utuh, konsisten dan lengkap serta Alkitabiah menjalankan sabat, orang harus jadi pengikut agama Yahudi (Yudaisme) bukan pengikut Iman Kristen.

Lalu bagaimana syarat hukum merayakan sabat yang sesuai dengan Alktab itu ? di Bawah ini kita bahas.

Syarat Hukum Memelihara dan Merayakan Sabbat

Keluaran 20:10 : “…. Maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-lak, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang ditempat kediamanmu”

Ulangan 5 : 14 : “ ….. maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau lembumu atau keledaimu, atau hewanmu yang manpun, atau orang asing yang di tempat kediamanmu, supaya hambamu laki-laki dan hambamu perempuan berhenti seperti engkau juga.”

Imamat 23 : 3: “ Enam hari lamanya boleh dilakikan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan (yau are not to do any work = kamu tak boleh melakukan pekerjaan apapun, NIX); itulah Sabat bagi TUHAN di segala tempat kediamanmu.”

Keluaran 35 : 3 : “ janganlah kamu memasang api di manapun dalam tempat kediamanmu pada hari sabat.”

Ayat diatas itu menjelaskan kepada kita bahwa inti hakekatnya merayakan Sabbat adalah “berhenti” penuh dari segala pekerjaan. Karena yang dilarang dilakukan bukan hanya “pekerjaan” atau “perbuatan” yang buruk saja, namun “any work” atau “pekerjaan apapun” tanpa peduli baik atau buruk, itu tak boleh dilakukan. Terbukti bahwa pekerjaan yang dilarang itu bukan hanya pekerjaan yang buruk saja, lalu yang baik boleh dilakukan, adalah bahwa hewan manapun, termasuk lembu dan keledai juga harus berhenti bekerja, padahal binatang itu tak mengenal pekerjaan baik dan buruk. Jadi yang dilarang memang tak mengenal sifat pekerjaan, namun asal itu pekerjaan harus berhenti penuh tak boleh dilakukan, bahkan yang paling kecilpun asal itu pekerjaan di larang dilakukan pada hari sabat ini, misalnya “ “memasang api”. Pokok kata tak berbuat sesuatulah pada hari Sabbat. Dengan demikian maka makin memperkuat penegasan kita bahwa bukan hari Sabtunya sebagai harilah yang ditekankan pada merayakan sabat ini, namun makna dan isi dari merayakan itu yang menjadi fokus, karena orang aisngpun dipertintahkan untuk tidak bekerja jika mereka tinggal ditengah-tengah orang Israel, demikian juga budak-budak, padahal Alkitab juga melarang Israel untuk memperbudak sesama Israel namun hanya orang-orang kafir diantara bangsa-bangsa non-Israel saja (Imamat 25 :39-45), yang berarti orang-orang kafir yang tak berada dibawah kuasa hukum Allah yaitu yang tak terikat pada ketentuan-ketentuan hukum sabat ini, berhenti dari pekerjaan bukan karena merayakan sabat, namun hanya berhenti demi berhenti dari pekerjaan. Sebab jika mereka merayakan sabat berarti mereka berhenti jadi kafir, dengan demikian tak boleh jadi budak lagi namun sama dengan Israel, artinya sebagai budak mereka itu bukan Israel, sehingga mereka tak melakukan ibadah sabat yang ditetapkan Allah. Jadi berhenti mereka dari melakukan pekerjaan bukanlah karena merayakan untuk beribadah, namun demi berhenti itu sendiri. Makin jelaslah bahwa hakikat sabat itu berkaitan erat dengan tak boleh melakukan pekerjaan apapun, sebagai tanda langsung atas “berhentinya” Israel dari “pekerjaan” sebagai budak di Mesir.

Karena inti dan hakikat sabat itu berkaitan erat dengan tanda “berhenti” nya Israel dari “pekerjaan” sebagai budak, maka pelanggaran atas ketentuan hakikat itu sam asaja menyerang inti makna sabat, karena itu akan mengingatkan kembali kepada “pekerjaan” sebagai budak, berarti melecehkan bahkan menghujat karya pembebasan dan “perhentian” yang dilakukan oleh Allah terhadap Israel.

Itulah sebabnya kacamata orang yahudi Yesus betul-betul menghujat makna sabat, karena penekanan Yesus justru pada melakukan atau berbuat sesuatu “lihatlah, murid-muridmu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari sabat” (Matius 12:12). “karena itu boleh berbuat baik pada hari sabat” (Matius 12:12), “manakah yang diperbolehkan pada hari sabat, berbuat baik atau berbuat jahat ….. “ (markus 3:4). Tindakan Yesus ini tak dapat didamaikan dengan ketentuan hukum sabat yang ada dalam Taurat diatas, karena jelas tak memberi syarat “hanya perbuatan / pekerjaan baik saja yang dilakukan” atau “hanya perbuatan / pekerjaan baik saja yang dilakukan” atau “hanya perbuatan / pekerjaan jahat saja yang dilarang”. Bahwa para murid Yesus “berbuat sesuatu” itu merupakan kontadiksi secara langsung dengan hukum “jangan melakukan sesuatu pekerjaan” (Keluaran 20 : 10; ulangan 5 : 14; Imamat 23 : 3). Justru yang dilarang dilakukan adalah “sesuatu” itu, namun malah “sesuatu” itu juga yang dilanggar murid-murid Yesus. Taurat tak memberi syarat “sesuatu” tadi baik atau jahat, namun Yesus mengubah dan memporak-porandakan ketentuan itu dengan memeberikan syarat yang tdak ada dalam Taurat, yatu “boleh berbuat baik”. Dalam kacamata perjanjian lama dan orang -orang Yahudi yang tahu hukum perjanjian lama jelas Yesus itu melanggar dan menurut hukum dia memang patut di hukum mati. Untuk itulah sebagai orang kristen jelas tak mungkin Sabbat itu diambil alih begitu saja langsung diterapkan pada kehidupan gereja, sikap ajaran, dan kehidupan erat pribadi Yesus Kristus itu harus diperhitungkan jika kita hendak mengerti bagaimana seharusnya sikap Kristen terhadap sabat. Betulkah manusia Kristen terikat pada perjanjian kekal sabat yang merupakan perjanjian Allah dengan Israel ? betulkah pengalaman sejarah Kristen itu didasari pada peristiwa pelasan dari perbudakan dari mesir yang sabat itu sendiri menjadi tanda perjanjian itu secara langsung ? kalau bukan peristiwa apa yang mendasari perjanjian Allah dengan komunitas Kristen : inilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya ini.

Masih berbicara masalah sikap Yesus. Thesis Taurat bahwa sabat itu dilakukan karena Allah berhetni bekerja pada hari ketujuh (kejadian 2: 2-3, keluaran 20:11) itu ditolak oleh Yesus dan dijungkir balikan, dengan pernyataanNya : “BapaKu bekerja sampai sekarang”(Yohanes 5:17) sebagai koreksi atas pernyataan “ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan” (Kejadian 2: 2-3). Pernyataan Kejadian 2: 2-3 itu hanya boleh dimengerti berdasarkan ajaran Yesus, bahwa bukanlah Allah yang berhenti bekerja namun alam semesta ini telah selesai diciptakan, Allah sendiri tak henti-hentinya bekerja sampai sekarang, melihara, menghidupi, menopang, membimbing, mencipta manusia baru yaitu bayi-bayi dan lain-lain. Jadi memang tak pernah ada saatnya Allah itu berhenti bekerja, dulupun tidak, sekarangpun tidak, pada hari ketujuhpun tidak. Maka sabat itu diperintahkan bukan karena memang belum ada perhentian pada pada Allah seolah oleh dia itu manusia yang perlu istirahat. Maha suci Allah tak pernah berhenti bekerja, yang berhenti adalah selesainya pekerjaan penciptaan.

Memang Sabbat itu sebagai hari peringatan karya Allah atas terciptanya bangsa Israel melalui pembebasan dari Mesir, haruslah merupakan “hari kenikmatan”, “hari yang mulia”, bagi Israel, dimana merek ayat dilarang “melakukan urusan” dengan tidak menjalankan segala acara”, “dengan tidak mengurus urusan” atau “berkata omong kosong “ (Yes. 58 : 13 -14), namun bagi Gereja? Permasalahannya jadi lain. Karena terciptanya atau lahirnya gereja bukanlah dari peristiwa pembebasan dari tanah Mesir, dan bukan dari “pekerjaan” secara jasmani yang dipaksakan oleh siapapun. Gereja lahir dan tercipta karena kematian dan kebangkitan Yesus kristus. Maka umat Kristen (yang bukan umat Israel secara fisik) harus mengingat peristiwa mendasar ini, bukan mencangkokkan sesuatu yang bukan merupakan pengalaman sejarah eksistensinya. Memang sungguh tak masuk akal jika kemerdekaan bangsa Indonesia harus dirayakan sesuai dengan tanggal perayaan kemerdekaan bangsa Jepang. Sama juga tidak masuk akal dan sesatnya memaksakan tanda perjanjian pembebasan Israel dari Mesir kepada Gereja yang bukan dibebaskan dari Mesir, bukan oleh peristiwa keluaran namun dibebaskan dari dosa dan maut oleh peritiwa penyaliban, kematian dan kebangkitan Sang Kristus.

Sabbat dan Sosial – Keagamaan Israel

Sesudah pembebasannya dari Mesir dan terciptanya status dan eksistensi kebangsaannya, Israel masuk ketanah Kanaan dan disana mereka hidup sebagai bansa yang bersifat agratis dengan hukum-hukum keagamaan sebagai pranata hidup sosial kemasyarakatan mereka. Sabbat adalah salah satu daripadanya, serta itu merupakan daur lingkaran gaya hidup Israel sebagai individu yang bermasyarakat dan juga sebagai komunitas bangsa yang terikat pada budaya yang berpusat pada agama.

Ikatan erat antara Sabbat dengan sistim hidup Israel secara keseluruhan ini sangat jelas sekali, sehingga memisahkan konteks - sosial – keagamaan Israel yang merupakan pranata illahi dari Sabbat, lalu menerapkannya pada Gereja Kristen modern yang tak membentuk seaut ikatan budaya kebangsaan dengan hidup sosial yang bersifat agamis adalah merupakan pemerkosaan atas fakta Alkitab, dan yang lebih penting adalah itu memperkosa kebenaran wahyu ilahi itu sendiri.

Bahwa Sabbat itu teikat erat dengan sistim hidup sosial – keagamaan Israel itu dapat kita lihat dalam keluaran 23 : 1-19. dalam perikop ini beberapa hukum sosial keagamaan Israel dijelaskan. Dijelaskan mengenai larangan menyebar kabar bohong, kerelaan menolong binatang milik musuh yang tersesat atau keberatan beban, keeadilan, suap dan akhirnya Sabbat dan hari-hari raya dan perayaan Israel. Ayat 10-11 berbicara tentang “tahun sabat” yaitu bekerja dan mengusahakan tanah selama enam tahun dan menghentikannya selama tahun ketujuh, ayat 12 berbicara tentang “Hari Sabbat” yaitu bekerja selama enam hari dan berhenti pada hari ketujuh, sedangkan dari ayat -14-19 dijelaskan mengenai keharusan merayakan tidak hari-raya Israel : Roti Tanpa ragi, Hari Raya Buang Bungaran, Hari Raya Pengumpulan Hasil, dan peraturan mempersembahkan korban binatang.

Perikop diatas merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dilepaskan, sehingga ketentuan tentang hari sabat jelas merupakan kesatuan dengan ketentauan Thaun Sabbat, Tiga Hari Raya dan korban-korban yang menyertainya. Merayakan Sabbat berarti bukan hanya “Hari” Sabbat, namun yang juga “Tahun” Sabbat, dan beserta itu merayakan perayaan-perayaan tiga lainnya yang disertai dengan pranata korban yang menyertainya.

Maka mengambil hari Sabbatnya saja, melupakan konteks kesatuan perikop sebagai yang sama-sama diberikan oleh Allah adalah merupakan pemerkosaaan kebenaran. Penjelasan lebih rinci bagaimana seharusnya Sabbat itu harus dirayakan dan dalam konteks apa Sabbat itu dirayakan dapat kita lihat dalam Immat 23.

Imamat 23:2: “…… Hari-hari Raya yang ditetapkan Tuhan yang harus kamu maklumkan …….. adalah yang beriktunya. Enam hari lamanya boleh di lakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat …. “ Selanjutnya perikop pasal ini memberikan rincian dari hari-hari raya dengan tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah apa yang sudah disebut dalam keluaran 23 diatas. Paskah, Hari Raya Roti tidak Beragi, dimana syarat pelaksanaannya sama dengan Sabbat, yaitu “ janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat” (Im 23:8), yang ini menunjukkan perluasan makna Sabbat dalam kehidupan sosial-keagamaan Israel. Demikian juga hari raya Pengumpulan Hasil, dan Hari Raya Buah Bungaran, dihitung dalam kaitannya dengan Sabbat (Imamat 23:11,15) dan juga dalam kaitannya untuk tidak melakukan pekerjaan berat (Im 23:25). Semuanya ini menunjukkan bahwa Sabbat menjadi dasar dari semua hari raya Israel dan sistem kehidupan bangsa itu. Serta Sabbat itu tidak dibatasi pada hari ketujuh secara terisolasi namun juga terkait dengan perayaan-perayaan Israel lainnya yang disertai syarat korban yang harus dipenuhi, dimana setiap perayaan hari Raya itu memiliki ciri Sabbat : Tahun Sabbat, 7 Sabat (Minggu Sabbat), serta ini Sabbat (tidak bekerja).

Demikianlah Alkitab telah memberikan peraturannya sendiri bagaimana Sabbat itu harus dilaksanakan dan dalam konteks yang bagaimana itu harus dilaksanakan. Jika dalam Hukum Sepuluh hanya disebut mengenai “Hari Sabbat” saja, itu disebabkan hukum sepuluh hanya menunjukkan garis pokok ketentuan hukumnya saja, sedangkan rinciannya disebut ditempat lain seperti yang telah kita bahas di atas, sama seperti menghormati bapa-ibu itu diperluas dengan menghormati semua otoritas yang ada di atas kita : pemimpin, guru, tua-tua, pemerintah dan sebagainya. Jadi sungguh tak masuk akal jika kita hanya mengambil hukum menghormati ayah-ibu, lalu menolak ketetapan mentaati pemerintah sebagai perluasan makna hukum dasar tadi. Demikian pula dengan Sabbat ini. Mengambil hari Sabtunya saja, lalu mengabaikan segenap rincian ketentuannya dengan segala konteks dan kaitannya seperti yang dijelaskan dalam Kitab Suci sendiri adalah merupakan tindak sewenang-wenang terhadap nats Kitab Suci. Jika Sabbat harus diikuti, maka semua ketentunnya harus tidak boleh diabaikan. Melakukan ini berarti kita harus menjalankan seluruh hukum Perjanjian Lama tanpa pilih-pilih, yang berarti kita harus jadi Yahudi. Itulan konsekuensinya jika kita mau taat terhadap ketentuan Sabbat yang utuh, konsekuan, dan sempurna.

Lingkup Makna Sabbat

Jika kita telah menyebutkan bahwa Kitab Suci bukan hanya mengajarkan mengenai “Hari Sabbat”, tetapi juga “Minggu Sabbat” ( Hari Raya Tujuh Minggu ), dan juga “Tahun Sabbat”, dan semuanya ini ditetapkan oleh Allah sendiri sebagai “suatu ketetapan untuk selama-lamanya” (Im 23:14), yang bermakna tak seorangpun boleh menghapuskan ketetapan-ketetapan yang menyangkut Sabbat dengan segala kaitan perluasan maknanya tadi.

Juga telah kita sebutkan bahwa perayaan hari Sabbat itu ditentukan bagi “Israel” dalam kaitannya langsung dengan sejarah suci Israel yang dilepaskan dari perbudakan Mesir menuju “perhentian” kemerdekaan, sehingga Sabbat itu merupakan “Perjanjian Kekal” buat Israel.

Oleh karena itu hakekat perayaan Sabbat itu adalah “berhenti kerja” bagi individu-individu umat Israel. Pelanggaran terhadap ketentuan “berhenti bekerja” ini dikritik dengan tegas oleh para Nabi, bahkan diancam hukuman Tuhan (Yeremia 17:19-27; Yesaya 58:13-14; dll). Hari Sabbat adalah ketentuan dasar yang menyangkut perorangan yang harus “berhenti bekerja”, artinya perhentian sebagai tanda pelepasan dari perbudakan ini bersangkutan dengan pelaku-pelakunya, yaitu manusianya yang harus berhenti bekerja. Namun ternyata kaitan Sabbat ini begitu luasnya sehingga bukan hanya manusianya saja yang dikenai ketetapan untuk berhenti bekerja, namun juga tempat kerja yaitu tanahpun harus punya hari perhentiannya atau lebih tepat lagi “tahun perhentiannya”nya yaitu tahun Sabbat (Immamat 25), karena bangsa Israel adalah bangsa petani dan peternak. Menurut ketetapan TUHAN ini maka bangsa Israel boleh mengerjakan tanah itu selama enam tahun, dan pada tahun ketujuh “tanah itu harus mendapat perhentian sebagai Sabbat bagi Tuhan” (Im 25:2), segala sesuatu yang tumbuh di tanah selama tahun Sabbat itu tak boleh diambil oleh orang Israel, haruslah itu dibiarkan untuk diambil oleh orang asing atau orang miskin. Melalui sistem tahun Sabbat ini Israel diajarkan untuk memikirkan kebutuhan hidup orang lain, disamping untuk menghormati lingkungan dengan tidak hanya mengeksploitasi lingkungan demi keuntungannya saja, namun juga lingkungan yaitu tanah diberi kesempatan untuk memulihkan kesuburannya kembali. Melalui tahun Sabbat ini Israel diajar menghargai kebutuhan orang lain dan juga diajar tanggung jawabnya pada pemeliharaan lingkungan dan bukan penghancuran, karena manusia itu diciptakan untuk menjaga kelestarian alam, yang dengan demikian akan menunjang lingkup hidupnya sendiri demi kebahagiaan manusia Israel itu sendiri. Karena demikian dalamnya jangkauan makna Sabbat dan karena lam itu diciptakan bagi manusia dan Allah menganggapnya sangat baik (Kej 1:31), maka pelanggaran atas ketentuan “Tahun Sabbat” ini diancam dengan hukuman oleh Allah, sama seperti pelanggaran atas Hari Sabbat itu sendiri, yaitu hukuman pembuangan dan perang sehingga kesucian tanah itu terjaga yaitu sabbatnya atau perhentiannya dapat terpelihara (Im 26:14-17;34-35). Jika ada “Hari Sabbat”, “Minggu Sabbat”, “Tahun Sabbat”, maka ada juga “Abad Sabbat” yang terjadi setiap setengah abad atau “7x tahun Sabbat” yang disebut sebagai “Tahun Yobel”. Pada saat ini ada pembebasan besar-besaran atas tanah yang digadaikan dan juga atas budak yang diperhamba. Saat ini orang harus mengembalikan secara cuma semua yang tergadai dan membebaskan secara tanpa syarat semua budak Israel yang dimiliki (Im 25:3-55). Jelas tahun Yobel atau “Abad Sabbat” yang terjadi setiap tahun kelima puluh ini merupakan penetrapan makana pembebasan Israel dari Mesir secara budaya dan secara komunitas dari umat Israel, untuk mengajar mereka bahwa segala sesuatu itu adalah pemberian dan milik Tuhan, bahwa bangsa Israel bukan pemilik mutlak atas tanah, atas harta milik di dunia, bahwa mereka menumpang pada Allah (Im 23:23-24) sehingga mereka dapat bersyukur kepada Allah. Demikian juga pembebasan atas budak tanpa syarat ini untuk mengajar Israel, bahwa pada akhirnya tuan manusia yang sebenarnya itu adalah Allah sendiri. Sesama manusia itu adalah sesama hamba Allah, oleh karena itu tak seorangpun berhak menjajah dan memperbudak manusia lain, karena Israel pun telah dilepaskan dari perbudakan manusia di Mesir :” Karena padaKulah orang Israel menjadi hamba; mereka adalah hamba-hambaKu yang kubawa keluar dari tanah Mesir, Akulah Tuhan Allahmu” (Im 25:55). Dengan demikian makin jelaslah bagi kita bahwa yang dipentingkan oleh Alkitab mengenai Hari Sabbat itu bagi Israel, bukanlah hanya sekedar masalah hari Sabtunya saja, namun lebih dari itu sebagai penetrapan secara langsung makna pembebasan mereka dari bangsa Mesir dalam kehidupan individu, masyarakat, sosial, ekonomi, agama dan bangsa mereka, yaitu hormat akan kebebasan dan kemerdekaan. Kebebasan dari perbudakan kerja dan waktu (Hari Sabbat), kebebasan dari keterikatan benda jasmani dan harta dengan mempersembahkan buah-buah hasil pertanian (Minggu Sabbat), kebebasan dari keserakahan dan eksploitasi atas alam dan lingkungan secara tak bertanggung jawab (Tahun Sabbat) serta kebebasan dari keserakahan dan kekekjaman manusia yang hanya ingin mengeksploitasi kaum lemah (perbudakan) dan mengakumulasi kekayaan tanpa memperdulikan pihak yang lain yang berada dalam posisi terjepit secara ekonomi (penggadaian atas hak milik runah dan tanah) yang dinyatakan dalam perayaan Tahun Yobel (Abad Sabbat).

Melihat keutuhan berita Alkitab mengenai makna Sabbat ini jelas suatu pemikiran yang amat kerdil dan sempit bila penekanan Hari Sabbat itu hanya pada penggunaan Hari Sabtu sebagai hari berbakti orang Kristen demikian saja. Karena Alkitab menyatakan bahwa Sabbat-Sabbat yang bersifat “Minggu”, “Tahun”, dan “Abad” jelaslah tidak menekankan pada Sabtunya. Lagipula merayakan Hari Sabbat, tetapi mengabaikan “Minggu Sabbat”, “Tahun Sabbat” dan “Abad Sabbat” adalah merupakan pelanggaran ajaran Kitab Suci karena segenap Sabbat-Sabbat tadi adalah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Juga melihat hari Sabbat hanya dengan penekanan hari Sabtunya saja bagi umat Kristen adalah pendangkalan yang amat sangat atas pesan moral Sabbat yang amat merangkum seperti yang telah kita bahas di atas.

Makin tak dapat diragukanlah bagi kita bahwa Sabbat itu adalah sistem ritual-mral-agamawi-sosial bagi bangsa Israel yang eksistensinya didasarkan pelepasan mereka dari perbudakan di tanah Mesir, sehingga semua jenis Sabbat yang mempunyai implikasi yang merangkum itu selalu mengingatkan dan menunjuk pada peristiwa penting dalam sejarah Israel itu. Maka Gereja Kristen sebagai yang bukan bagian dari “Bangsa” Israel yang dibebaskan dari Mesir tentulah mempunyai dasar eksistensi yang berbeda, juga dalam hal mengerti makna kebebasan yang merangkum, yang dalam Israel dinyatakan dalam Perayaan-Perayaan “Hari”, “Minggu”, “Tahun” dan “Abad” Sabbat. Inilah Sabbat yang utuh, bukan hanya hari Sabtu yang lepas dari konteks makna dan syarat pelaksanaannya yang hendak dipaksakan oleh beberapa Gereja yang bersifat Sabbatarian semacam Gereja Advent itu.

Bagi umat Yahudi menghayati makna pelepasan mereka dari Mesir yang dinyatakan dalam hukum praktis mengenai Sabbat-Sabbat ini adalah sesuatu yang dapat memperdalam iman mereka kepada Allah, serta makin memperdalam rasa syukur mereka paa nikmat dan karunia Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir itu. Sehingga melalui pelaksanaan akan ketentuan dan syarat-syarat pengamalan Sabbat-Sabbat seperti yang dinyatakan oleh Wahyu Illahi mereka baik secara individu atau secara komunitas akan makin disadarkan perlunya menyisihkan waktu bagi Tuhan, bukan hanya sibuk mementingkan diri mencari kebutuhan jasmaninya saja (Hari Sabbat), dengan demikian setiap Hari Sabbat mereka diperingatkan akan karya dahsyat Allah yang telah membebaskan mereka dari Mesir. Demikian juga agar mereka tidak menjadi terlalu materialistis dan menganggap segala sesuatu itu akibat dari usaha dan kepandaian sendiri, mereka diingatkan akan ketak-boleh-terikatan mereka pada harta benda namun mengembalikan semuanya kepada Allah dalam merayakan “Minggu Sabbat” dimana hasil kerja mereka dalam wujud panenan diserahkan kepada Tuhan. Dan bahwa hubungan manusia dengan Allah yang diingatkan dalam peristiwa Hari dan Minggu Sabbat itu bukanlah hanya bersifat individualistis saja, namun juga mempunyai implikasi terhadap alam dan lingkungan jasmani yang tercipta ini jelas diajarkan oleh Allah pada bangsa Yahudi ini melalui perayaan Tahun Sabbat, dan akhirnya kesadaran akan implikasi semestawi dari perayaan Sabbat dalam Tahun Sabbat itu harus juga berkaitan secara praktis dan langsung dengan sesamanya yaitu pembebasan budak dan harta-milik yang tergadai yang secara cuma-cuma harus dibebaskan pada “Abad-Sabbat” (Tahun Yobel) adalah mengajar bangsa Israel mengenai cinta-kasih kepada sesama seperti kepada diri sendiri dalam wujud praktis yang langsung diterapkan.

Ini semua memang mengandung moral yang dalam bagi bangsa Israel, yang tema eksistensi keberadaan dan agamanya adalah pembebasan dari perbudakan dari Mesir. Sehingga dengan melaksanakan semua ketentuan dan syarat hukum pengalaman Sabbat-sabbat itu mereka akan diajar menuju kepada kesucian hidup yang serba merangkum. Itulah sebabnya Sabbat itu disebut sarana pengudusan bagi Israel, sebagaimana yang dikatakan : “Akan tetapi hari-hari SabbatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku (Allah) dan Kamu (Israel), turun-temurun, sehingga kamu mengetahui bahwa Akulah Tuhan, yang menguduskan kamu”(Keluaran 31:13). Melalui pemeliharaan Sabbat inilah Israel tahu bahwa Allah menguduskan mereka, yaitu melalui ajaran-ajaran iman dan moral yang disampaikan oleh perayaan-perayaan Sabbat tadi yang disertai dengan segala ketentuan hukum dan syarat-syarat pelaksanaannya. Allahlah yang menguduskan Israel melalui pemeliharaan Sabbat itu. Dan Perjanjian Allah yang kekal dengan Israel, sebagai yang telah dilepaskan dari perbudakan di Mesir.

Sabbat dan Bangsa-Bangsa Bukan Yahudi

Kelompok aliran Sabbat itu berlaku juga bagi orang-orang bukan Yahudi , yaitu orang-orang Kristen, yang data Alkitab diatas justru membuktikan yang sebaliknya. Alasan mereka ini bukan tanpa dasar. Memang ada dasarnya tetapi ditafsirkan tanpa melihat konteks pewahyuan Perjanjian lama maupun sejarah Bangsa Israel apalagi tanpa memperhatikan makna terdalam dari Wahyu Perjanjian Baru yaitu makna Inkarnasi (Penjadian Daging), kematian dan kebangkitan Yesus Kristus yang adalah fondasir dasar dari eksistensi keberadaan dan sistim keagamaan Gereja Kristen.

Dasar yang diambil Allah nubuat Nabi Yesaya seperti yang tertulis dalam Yesaya 56:1-8. dalam periskop ini, Yeasaya membuatkan keselamatan Israel yang akan merangkum juga orang-orang yang secara tradisional terbuang dari persekutuan ibadah Israel, misalnya: orang-orang asing dan orang-orang kebiri. Namun dalam pasal membuat Yesaya diatas justru mereka itu dihibur untuk tidak merasakan khawatir dibedakan dan dipisahkan dari umatNya yaitu Israel (Yesaya 56:3). Mereka dijamin bahwa asal mereka hidup seperti “UmatNYa” Israel) yaitu dengan : memelihara hari-hari Sabbat, memilih apa yang kukehendaki dan yang berpegang kepada perjanjianKu (ayat 56:4), maka mereka inipun akan diberi “tanda peringatan dan nama” di “dalam rumahku dan di lingkungan tembok-tembok kediamanKU” (ayat 5) yaitu di Bait Allah di Yerusalem, dengan itu mereka ini juga akan “kubawa ke gunungKu yang kudus dan akan keberi kesukaan di rumah doaku” (ayat 7), yang juga adalah bait Allah di gunung kudus Sion di Yerusalem. Dengan demikian Allah akan berkenan kepada “korban-korban”bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan diatas mezbahku” (ayat 7). Periskop ini jelas tidak menunjukkan nubuat tentang Gereja Kristen yang akan memelihara Sabbat. Namun ini justru menunjukkan akan universilitas agama Yahudi itu sendiri, yang Sabbat, korban bakaran, korban sembelihan serta Bait Allah itulah simbol jasmani yang nampak dari sisim keagamaan mereka. Jika pada Taurat Musa untuk menjadi Yahudi hanya dibatasi oleh orang-orang Israel secara jasmani saja dan orang-orang yang memiliki alat vital yang lengkap, sekarang mereka tak dibatasi lagi. Mereka boleh juga menjadi uamta Tuhan dengan umat Israel lainnya, asal mereka hidup seperti umat Israel itu. Inilah yang dalam sejarah akhirnya disebutkan sebagai kaum proselit (penganut agama Yahudi , namun bukan Yahudi asli, Kisah 2:11). Jelaslah perikop ini sama sekali tak membuatkan tentang sabbat yang akan dipelihara orang-orang Kristen yang bukan Yahudi , namun membicarakan kaum proselit yaitu orang-orang bukan Yahudi yang memeluk agama Yahudi dengan ketentuan melaksanakan hukum keagamaan Yahudi , termasuk Sabbat. Dari sini pembahasan kita sebelumnya makin diteguhkan bahwa Sabbat itu terikat erat dengan Bait Allah, korban bakaran dan korban sembelihan, serta Perjanjian dengan Israel. Artinya Sabbat itu berkaitan dengan sistim ibadah dan kehiduapna Israel sebagai bangsa, dan bukan untuk yang lain. Jika orang Kristen hendak memelihara Sabbat atas dasar nubuat Yesaya ini karena merasa dirinya sebagai orang asing yang bukan Yahudi , harus diingat bahwa nubuat ini bukan hanya mmebivarkaan Sabbat saja, namun juga membicarakan tentang korban bakaran, korban sembelihan, mezbah dan Bait Allah, yang semuanya itu harus dijalankan seiring dengan pemeliharaan Hari Sabbat tadi. Mengambil dari hari Sabbatnya saja mengabaikan hal-hal lain yang disebutkan dalam perikop nubuat yang sama berarti melanggar kebenaran pernyataan nats Kitab Suci, yaitu melanggar firman Tuhan sendiri.

Dalam Yesaya 66:18-23 dinubuatkan tentang bertobatnya bangsa-bangsa bukan Yahudi yang akan melihat kemuliaan Allah diantara orang-orang Israel dan dikembalikannya semua kaum Israel yang dalam pembuangan ke Yerusalem (ayat 20), sehingga mereka akan mmepersembahkan korban dalam Bait Allah serta dipulihkannya imam-imam dan orang-orang Lewi dari antara mereka yang baru saja kembali itu. Dan bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi itu akan terus menerus datang sujud untuk menyembah Tuhan, yang dinyatakan dalam ayat 23:” Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh manusia akan datang untuk sujud menyembah dihadapanKu firman Tuhan”.

Ayat ini digunakan oleh kaum Sabbatarianisme untuk menunjang dan membuktikan bahwa Sabbat itu akan selalu diperlihara oleh bangsa-bangsa lain. Namun melihat konteks perikop ini, jelas kesimpulan yang demikian tak dapat dibenarkan. Ayat 23 ini tak membicarakan tentang perintah bahwa bangsa-bangsa non Yahudi harus memelihara Sabbat. Namun hanya membicarakan selama ada waktu di bumi ini yang menurut cara menghitung Yahudi disebut” bulan berganti bulan, dan Sabat berganti sabat” bangsa-bangsa yang bertobat kepada Allah itu akan datang sujud menyembah dia.

Selanjunya harus diingat bahwa bahasa yang digunakan Yesaya sangat ketat menggunakan simbol dan sistim keagamaan Yahudi : Bait Alalh, korban, Yerusalem, imam-imam dan orang-orang Lew. Jika demikian halnya sukerkah kita mengerti mengapa dia juga menggunakan Sabbat untuk menghitung waktu? Karena satuan waktu terkecil dalm sistim daur lingkaran hari peringatan keagamaan Yahudi adalah Sabbat dan itu merupakan simbol keagamaan yang penting bagi kaum Yahudi maka dengan menggunakan “sabat berganti Sabat” ini Yesaya hendak menjelaskan mengenai bergulirnya waktu yang harus menerus dan kelestarian penyembahan yang dilakukan oleh kaum proselit ini. Maka jelas ekspresi di atas tidak menunjukkan atau menubuatkan apapun tentang perintah memelihara sabbat bagi orang-orang bukan Yahudi yang bukan proselit, apalgi Gereja Kristen yang bukan bagian dari “bangsa Israel” secara fisik itu.

Memang dari kacamata Kristen, semua nubuat Yesaya ini sudah digenapi oleh Kristen dalam Gerejanya. Namun dalam fakta historisnya ternyata Gereja Krieten itu ternyata bukan hanya sekedar tiruan tambal-sulam dari sitim kehidapan keagamaan Israel. Sebalinya itu mempunyai sistim Perjanjian yang amat berbeda, yang pada saat dinubuatkan masih dilambangkan dengan simbol-simbol fisik keagamaan Yahudi . Untuk itu marilah kita lihat bagimanakah Gereja Kristen itu dinubuatkan oleh Kitab Suci bangsa Yahudi : Perjanjian Lama ini. Menurut kacamata iman Kristen, terutama dalam kaitannya dengan sabbat.

Nubuat Tentang Datanngya Perjanjian Baru

Yeremia 31+31-34 menyatakan tentang rencana Allah bagi “kaum Israel dan kaum Yehuda” untuk mengadakan “Perjanjian Baru” yang bersifat dan keberadaan Perjanjian Baruitu” bukan seperti Perjanjian yang telah kuadakan dengan nenek-moyang mereka pada waktu aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir.

Sabbat adalah meterai dan tanda kekal bagi Perjanjian Lama yaitu perjanjain “dengan nenek moyang … pada waktu aku….membawa mereka kelaura dair tanah Mesir” seperti yang telah kita bahas di depan.

Namun Perjanjian yang lama dengan nenek-moyang berdasarkan keluaran dari Mesir ini pada saat Yeremia diilhami Allah yang hendak mengadakan Perjanjian Baru itu” telah mereka ingkari” artinya telah ditolak oleh Israel. Berarti Perjanjian yang berlandaskan pada pengalaman keluaran Mesir dengan segala tata-cara dan materai kekalnya: Sabbat, itu tidak mampu untuk mengubah atau menuduskan Israel, meskipun tujuan Sabbat itu adalah untuk menguduskan Israel. Artinya Hukum ketetapan Allah yang berwujud Undang-undang tertulis: Taurat, itu harus diperbaharui bentuknya, ayaitu dengan jalan “ Aku akan menaruh Taurat_Ku dalam batin mereka, dan menuliskannya dalam hati mereka…”. Dalam Perjanjian Baruyang ersifat batin dan hati dan bukan bersifat hukum tertulis inilah” Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi ummatKu:. Terlaksanannya Perjanjian Baru dimana Taurat atau hukum-hukum Allah itu akan diam dalam batin dan hati manusia bukan lagi dalam lembaran-lembaran hukum legal yang tertulis itu diterangkan oleh Yehezkiel sebagai berikut: “Kamu akan kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu, … Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapanKu dan tetap berpegang pada peraturan-peraturanKu dan melakukannya", (Yehezkiel 37:26-27). Kebenaran inilah yang dikatakan oleh Paulus dalam II Korintus 3:6 "… Perjanjian Baru, yang tidak terdiri dari Hukum yang tertulis (yakni: Taurat), tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan".

Dengan demikian maka menurut nubuat kedua Nabi ini Perjanjian Baru yang akan diadakan oleh Allah itu bukanlah Taurat tertulis, namun Roh Kudus Allah yang berdiam dalam batin dan hati. Manusia tidak lagi dituntut oleh suatu hukum yang tertulis yang berada di luar dirinya tertera dalam sebuah buku, namun dari dalam dirinya timbul kemampuan bertindak oleh Roh Kudus yang buah tindakannya itu sesuai dengan tuntutan moral dari Hukum Taurat yang tertulis. Maka dalam Perjanjian Baruyang dinubuatkan semacam ini jelas tak ada tempat bagi legalisme dan pemaksaan ketentuan yang bersifat hukum yang sangat legalistik dalam hakekatnya, semacam pemaksaan pelaksanaan hari Sabbat. Pula Perjanjian Baruyang akan diadakan Allah itu adalah bukan seperti Perjanjian Keluaran dari Mesir yang Sabbat itulah materai dan tanda kekalnya. Perjanjian Baru itu bersifat batin dan hati oleh karya Roh Kudus. Roh Kudus itu akan diberikan oleh Allah ke dalam batin manusia. Padahal kita tahu bahwa datanngya Roh Kudus di dalam hati manusia itu adalah sebagai akibat karya Penjelmaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus (Kisah 2:32-33).

Karena Perjanjian Baru itu bersifat Roh bukan bersifat Taurat tertulis, dan juga datanngya Roh itu karena karya Penjelmaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus, bukan akibat keluaran dari Mesir yang melaluinya Taurat itu datang dan dinyatakan Allah, maka jelas tanda dan materai Perjanjian Baru itu pasti bukan Sabbat, karena Perjanjian Baru yang dijanjikan itu "bukan seperti Perjanjian … keluar dari tanah Mesir", yang dikatakan oleh Yeremia di atas tadi. Maka sungguh suatu kekeliruan besar dan kelak-fahaman yang mendalam akan makna Kitab Suci jika orang menyatakan diri sebagai anggota Gereja Kristus berdasarkan Perjanjian Baru lalu menekankan materai dan tanda Perjanjian Lama yaitu materai keberadaan dan kebangsaan dan keagamaan Israel sebagai sesuatu yang mengikat dan diharuskan bagi orang Kristen. Itulah faham yang kacau dan bingung.

DASAR SEJARAH PERJANJIAN BARU

Telah kita bahas bahwa keluaran dari Mesir itulah dasar sejarah dan peristiwa yang di dalamnya Perjanjian Lama itu dibuat oleh Allah dengan Israel, dengan Sabbat sebagai tanda dan materai Perjanjian tadi; Perjanjian Baru memiliki peristiwa Yesus (Penjelmaan, Penyaliban, kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus) sebagai dasar pemberitaan dan pengajarannya.

Yohanes dalam Injilnya mengatakan: "Firman itu telah menjadi manusia" (Yohanes 1:14), artinya bukan lagi menjadi roh batu yang ditulis atau huruf-huruf Ibrani dari Kitab Taurat. Sekarang Firman Allah itu bukan lagi berwujud hukum dan ketentuan-ketentuan legalistik Taurat, namun menjadi manusia Yesus Kristus. Inilah yang diberitakan para rasul, seperti juga yang dijelaskan oleh Yohanes dalam suratnya yang pertama : “Apa yang telah ada sejak semula, yang TELAH KAMI DENGAR, yang TELAH KAMI LIHAT DENGAN MATA kami, yang TELAH KAMI SAKSIKAN, dan yang TELAH KAMI RABA DENGAN TANGAN kami tentang FIRMAN HIDUP- itulah yang kami tuliskan kepada kamu” (Yohanes 1 :1). Karena telah didengar, dilihat dengan mata, disaksikan, dan diraba dengan tangan, sebagai sesuatu mahluk jasmani yang hidup sebagai manusia itulah Kristus disebut Firman hidup, berbeda dengan Kitab Taurat yang adalah benda mati yang tertulis. Itulah hukum tertulis itu mematikan kata Paulus. Hanya Firman yang hidup itulah yang menghidupkan. Dengan kata lain peristiwa Yesus (Firman) sebagai manusia yang hidup itulah yang menjadi inti dan dasar berita para rasul yang diberitakan dengan lisan maupun dalam tulisan. Dan dari seluruh peristiwa Firman “menjadi manusia” yang “hidup” ini maka yang sangat sentral dan penting adalah peristiwa penyaliban, kematian dan ke bangkitannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Paulus: “sebab YANG SANGAT PENTING telah kusampaikan kepadamu …. Ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan kitab suci bahwa ia telah dikuburkan, dan bahwa ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga …. Bahwa ia telah menampakan diri ….” (I korintus 15 :3-5). Inilah fondasi dari iman Kristen, bukan Taurat, bukan sini dan jelas bukan sabbat, sebab “jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (I Korintus 15 :17). Iman kita punya makna hanya karena kristus telah bangkit, dan kita dilepaskan dari dosa juga dikarenakan peristiwa yang sama.

Dengan demikian oleh kematian dan kebangkitan Kristus itulah kita dilepaskan dan dikeluarkan dari dosa dan maut, (sebagaimana yang dikatakan : “…oleh kematiannya ia memusnahkan dia, yaitu iblis …. Dengan jalan demikian ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan ….” (ibrani 2:14-15). Ayat ini menjelaskan bahwa manusia memang tidak bebas dan berada dalam perhambaan atau perbudakan, namun bukan perbudakan mesir seperti israel, tetapi perbudakan iblis dan maut. Dan kematian Kristuslah yang membebaskan manusia sebelum percaya kristus tak ada sangkut paut dengan pekerjaan fisik seperti perbudakan dan perhambaan Israel di Mesir, namun perbudakan pada maut, iblis, kelapukan dan dosa. Serta pelepasan mereka bukanlah pelepasan untuk menjadi suatu komunitas bangsa secara fisik dalam lokasi wilayah negara tertentu dengan ketentuan hukum sosial, politik dan keagamaan tertentu, namun pelepasan untuk mendapatkan hidup kekal di dalam Kristus. Maka jelas kalau begitu sabbat tak mempunyai sangkut paut dengan peristiwa semacam ini. Sabbat yang intinya “berhenti bekerja” karena memang merupakan peringatan “berhenti kerja”nya Israel dari perhambaan. Maka terlepasnya orang kristen dari dosa. Iblis, kelapukan dan maut haruslah bukan yang bersifat “berhenti kerja” namun ada snagkut pautnya dengan “hidup kekal” atau kristus itu sendiri. Pemaksaan Sabbat pada gereja Kristen berati pencangkokan benalu yang merusak makna keselamatan di dalam kristus itu sendiri. Karena makna Sabbat itu dipaksa bagaimanapun juga tidak dapat menyelaraskan diri dengan peristiwa mendasar dari sejarah pembebasan dan keluaran dari dosa, Iblis, kelapukan dan maut yang telah terjadi oleh kematian dan kebangkitan Kristus itu sendiri. Dengan demikian hubungan makna Sabbat dengan kematian dan kebangkitan Kristus itu tidak ada secara hakiki. Akhirnya hanya akan menimbulkan kekacauan fokus dan cara fikir saja, sehingga timbullan teologi tambal-sulam yang tidak konsisten dengan fakta dan kebenaran iman Kristen itu sendiri.

Jadi untuk supaya fokus kita terang mengenai makna keselamatan di dalam Kristus, haruslan kita juga terang apakah tanda Perjanjian Baru yang khas sebagaimana itu adalah tanda Perjanjian lama dengan Israel patut diperhatikan bahwa Perjanjian Baru keseluruhannya tak pernah memberitakan sedikitpun mengenai sentralitas dan pentinngya Sabbat ini. Jika Sabbat itu disinggung hanya karena konflik yang muncul antara para murid Yesus dengan orang-orang Yahudi mengenai masalah perayaan Hari Sabbat itu saja dan juga karena lingkup sejarah penulisan Perjanjian Baru itu adalah diantara bangsa Yahudi sehingga dalam menghitung waktu dan hari tak mungkin lepas begitu saja tanpa menyebutkan hari Sabbat. Tetapi Sabbat itu sendiri tak pernah menjadi inti berita Perjanjian baru. Kristus dan karyanyalah fokus berita Perjanjian baru. Bukan hukum sepuluh dan jelas bukan Sabbat.

SABBAT DALAM HIDUP KRISTUS

Diatas telah kita bahas mengenai sikap Yesus dan ajarannya mengenai Sabbat Yahudi , yang pada pokoknya Yesus mengubah dan memporak-porandakan makna Sabbat menjadi “melakukan sesuatu pekerjaan yang baik”. Dengan demikian Yesus sudah memulai suatu perombakan makna dari Sabbat sebagai tanda Perjanjian yang berpusat pada pengalaman keluaran dari Mesir, menjadi suatu peristiwa yang berpusat pada diriNya. Hal ini dibuktikan pada saat dia ditentang laum ulama Yahudi , dia mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan mengatakan : “Karena Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabbat” (matius 12:8). Sebagai Tuhan (penguasa) “atas” hari Sabbat, berati Yesus berkuasa melakukan apapun atas hari sabbat itu termasuk mengubah dan memberikan makna yang baru. Dengan demikian Yesus tidak tunduk pada ketentuan “berhenti dari pekerjaan apapun” Sabbatlah yang harus tunduk kepada Yesus, karena Yesus adalah Tuhan (penguasa) “atas” hari Sabbat.

Memang setiap hari Sabbat “menurut kebiasaannya ….. Ia masuk ke rumah Ibadat” (Lukas 4:16), namun dia melakukannya bukan karena Saabat dan segala ketentuannya itu berkuasa “atas” Dia, justru sebaliknya dia masuk ke rumah ibadat setiap hari Sabbat itu untuk menunjukkan bahwa sekarang bukan lagi sabbat yang harus menjadi tanda Perjanjian justru dirinyalah penggenap Perjanjian (lukas 4:21), dan dengan demikian dia sekarang yang berkuasa atas segala sesuatu termasuk hari sabbat, sehingga manusia hidup bukan lagi untuk hari sabbat, artinya tujuan hidup manusia bukan digunakan untuk mengabdi pada sabbat, namun sebaliknya “hari sabbat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari sabbat” (markus 2:27). Sabbat mengabdi pada kepentingan manusia.

Itulah sebabnya tak pernah sekalipun Yesus dalam pengajarannya meninggikan atau menyanjung Sabbat, dia membicarakan tentang Sabbat hanyalah dalam konteks konfrontasi perjumpaannya dengan pemimpin agama Yahudi yang menentang sikapnya terhadap Sabbat yang justru oleh mereka dilihat sebagai hujatan dan bertentangan dengan ketetapan dari kitab suci Perjanjian lama.

Kita berjumpa lagi dengan masalah Sabbat ini pada akhir kehidupan Kristus, yaitu pada saat penyaliban, kematian-penguburan, dan kebangkitannya dengan orang-orang Yahudi , tetapi para murid yang menulis injilah yang menyebutkannya, bukan sebagai bukti bahwa para murid itu mengajarkan supaya Sabbat itu dipelihara sebagai perintah kristus, namun hanya sebagai sarana penghitungan waktu untuk menjelaskan saat dan hari ketika mana Kristus disalibkan, mati dan bangkit itu, dengan menggunakan perhitungan hari menurut budaya Yahudi karena Yesus memang orang Yahudi dan ditengah-tengah bangsa Yahudi itu dia mengalami penyaliban, kematian-penguburan dan kebangkitannya itu.

Matius menerangkan saat dan hari ketika Yesus mengalami derita akhir drai hidupnya dan paginya (hari jum’at) dibawa menghadap pilatus (matius 27:1-2), dan disalibkan pada hari itu juga, : “keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah iman-iman kepala dan orang-orang Farisi bersama-sama menghadap pilatus” (matius 27:62), jadi menurut ayat ini hari ketika Yesus disalibkan dan dikuburkan dalam ayat-ayat sebelumnya dari matius 27 ini disebut oleh matius (perhatikan : bukan oleh Yesus) sebagai “hari persiapan” (paraskevee), yaitu hari jum’at sebagai “hari persiapan” bagi orang Yahudi wanita mengunjungi kuburan pada saat kebangkitan Yesus di sebut demikian : “setelah hari Sabbat lewat … pada hari pertama minggu itu ….”, yang menunjukan bahwa Yesus tidak melakukan apapun secara fisik diantara hari persiapan sampai dengan hari pertama minggu itu, yaiatu selama hari Sabbat itu Yesus berada dalam kuburan pasif tergeletak seolah-olah beristirahat dari semua karyanya selama 6 hari bagi penciptaan baru atas dunia ini, sejak minggu palem (matius 21:1-23), senin kudus (matius 24:3-35), selasa kudus (matius 24:36-26:2), rabu kudus (matius 26:2-16 “ dua hari lagi akan dirayakan paskah” ayat 2, menunjukan saat itu hari rabu, karena paskah terjadi hari sabtu), kamis kudus (matius 26:17-75), dan Jum’at agung (matius 27:1-61), dan pada hari sabtu yaitu hari ketujuh Yesus berhenti atau beristirahat dari segala karya penciptaan baru yang dilakukanny selama enam hari di dalam kuburan menanti penggenapannya yang dimateraikannya selama enam hari di dalam kuburan menanti sesudah Sabbat lewat, yaitu hari pertama minggu itu, hari pertama atau hati satu itulah hari ahad dalam bahasa arab. Dan karena hari ahad (satu) itu adalah hari kebangkitan Tuhan sebagai puncak dari karyanya selama enam hari dan beristirahat selama hari ketujuh dalam kuburan, maka hari pertama itu disebut hari Tuhan (kuriakee) yang sampai sekarang masih demikian dalam kalender gereja Orthodoks dan kalender nasional negara Yahudi , yang kata kuriakee (kyriaki dari katakyrios Tuhan) itu disebut dalam bahasa portugis “dominggos” dan menjadi bahasa indonesia “minggu”.

Demikianlah dalam penciptaan barupun Allah melalu sabdanya yang menjelma, berkarya selama enam hari dan beristirahat pada hari ke tujuh di dalam tergeletaknya sang Sabda menjelma ini di dalam kuburan. Namun berbeda dengan penciptaan lama dimana hari ketujuh itu sudah lengkap selesai penciptaan itu, dalam penciptaan baru ini, selesai dan puncak karya selama enam hari bagi penebusan sejak minggi palem itu bukan pada hari terkuburnya atau beristitahanya Kristus dalam kuburan, namun kebangkitannya pada hari ahad atau hari pertama, karena jika “kristus” tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (I kor. 15:17).

Itulah sebabnya jika hari ketujuh sebagai hari perhentian itu harus dirayakanpun maknanya sudah berbeda dari Sabbat dalam Perjanjian Lama. Ini harus berpusat pada karya penciptaan baru yang dilakukan Kristus selama seminggu kesengsaraanNya atau Pekan Sengsara itu. Dengan demikian Hari Sabbat sekarang mengingat saat penguburan atau perhentian Kristus dari segala karyaNya untuk menunggu penggenapannya dalam hari kebangkitanNya yang terjadi oada Hari Pertama ( Hari Ahad = Hari Minggu ) tadi. Itulah sebabnya dalam Gereja Purba yang tetap dilakukan oleh Gereka Orthodoks sampai sekarang, Sabbat itu tetap hari sabtu, bukan minggu, namun makna Sabbat itu berbeda dari makna yang diberikan oleh Perjanjian Lama. Bukan lagi itu tanda Perjanjian pelepasan dari Mesir, namun sebagai peringatan akan perhentian karya Kristus di dalam kuburan, dengan demikian meskipun kita merayakan hari sabtu sebagai hari Sabbat kita tak terikat lagi pada ketentuan-ketentuan Sabbat seperti yang digariskan oleh Perjanjian Lama, namun ketentuan Sabbat seperti yang digariskan Kristus sendiri. Yaitu bahwa pada hari Sabbat boleh melakukan sesuatu pekerjaan baik. Dan hari Sabbat sebagai peringatan hari perhentian (penguburan) Kristus itu dirayakan dengan menjalankan Sembahyang Senja, yang lambang-lambang ibadah itu secara detail menggambarkan keberadaan Kristus dalam kuburan tadi. Dengan demikian Hari Sabtu tak dilanggar, ketetapan-ketetapan Tauratpun tak dilanggar, karena sekarang kita bebas dari ketentuan Sabbat dalam Taurat, namun terikat dengan Kristus dalam peringatan deritaNya tadi. Namun karena hari Tuhan itu adalah hari pertama, perayaan Kebangkitan Kristus tetap dirayakan pada Hari Pertama tadi, yaitu pada hari minggu, dimana pada Hari Tuhan ini kita dipersatukan dengan Tubuh Tuhan yang bangkit itu melalui Perayaan Perjamuan Kudus yang dirayakan setiap kali kita bertemu pada Hari Tuhan ini. Jadi jelas minggu itu bukan Hari Sabbat, namun Hari Tuhan. Ini bukan perayaan hari Perhentian namun perayaan Hari Kebangkitan. Sedangkan Sabtu itulah Sabbat, namun bukan sebagai tanda Perjanjian keluaran Mesir, justru sebagai peringatan Hari Perhentian Kristus dalam kuburan. Dengan demikian Sabtu itu bukan hari terpuncak, namun harus dimateraikan oleh Hari Kebangkitan ( Hari Ahad = Hari Pertama ).

Dengan demikian kita melihat suatu ajaran Alkitab yang kosisten dan bersifat Kristosentris. Sabbat tetap sabtu, dan harus dirayakan sebagai peringatan Perhentian Kristus dalam kuburan, namun itu bukan akhir pada dirinya sendiri karena harus dimateraikan oleh peringatan Hari Kebangkitan, yaitu Hari Minggu. Maka kita diselamatkan terhadap main comot ayat-ayat Alkitab, tanpa melanggar yang ini atau yang itu dan tanpa berjalan terpincang-pincang sebentar lari ke Taurat lalu sebentar lari-lari ke Injil. Adalah suatu kekeliruan yang besar jika kita mengatakan bahwa Sabbat itu sudah diganti hari Minggu. Dalam kalender resmi Gereja Orthodoks yang juga kalender yang juga kalender nasional negara Yunani hari Sabtu itu disebut "Sabbato", jadi jelas Sabbat itu tetap hari sabtu. Dan juga suatu kekeliruan yang besar mengatakan bahwa hari minggu itu "Hari Tuhan" itu bearasal dari Perayaan Kafir. Sabbat tetap sabtu, seperti yang sudah kita katakan, namun itu harus dimeteraikan oleh perayaan Hari Kebangkitan yaitu hari minggu. Bagaimana suatu peringatan dari peristiwa maha penting ini dianggap sebagai perayaan agama kafir, adalah suatu yangmerupakan teka-teki besar?

Dalam Perjanjian Baru tak ada satupun perintah yang menyuruh orang Kristen untuk merayakan hari sabtu sebagai hari perhentian yang harus dirayakan. Jika dalam Injil disebutkan tentang hari persiapan, hari Sabbat dan hari perayaan dalam konteks kesengsaraan Yesus, itu hanya merupakan perhitungan saat sesuai dengan budaya Yahudi, namun bukan suatu perintah bagi orang Kristen, dan bukan pula merupakan bukti bahwa itu adalah perintah yang harus dijalankan. Ingat, bahwa waktu Yesus mati itu Gereja belum ada, orang Kristen dalam pengertian kita sekarang masih belum ada. Yang ada yaitu orang-orang Yahudi yangterikat dengan hukum-hukum agama Yahudi termasuk perintah Sabbatnya, yang mempercayai bahwa Yesus itulah Mesias. Namun mereka belum merasa sebagai suatu komunitas agama yang terpisah dari bangsa Yahudi . Gereja baru lahir pada rasul Roh Kudus turun di hari Pantekosta. Itupun tak langsung membuat para rasul itu sadar akan misi mereka bagi orang-orang non-Yahudi (kisah 1-: 28-29), sehingga Petruspun mula-mula merasa keberatan untuk datang ke rumah Kornelius. Beberapa tahun kemudian barulah orang-orang Kristen sadar akan keberadaan mereka dari umat Yahudi . Herankah kita kalau beberapa diantara mereka masih terikat hukum-hukum ketentuan Sabbat dalam Perjanjian Lama, sehingga makna Kristus itu sendiri baru secara pelan-pelan terhayati secara paripurna. Melihatlatar belakang ini maka kita tak mungkin menganggap sebutan akan nama-nama hari secara Yahudi dalam masa-masa akhir hidup Yesus itu sebagai perintah bagi gereja Kristen. Itulah cara budaya Yahudi menghitung waktu, tak lebih dan tak kurang.

SABBAT DAN PERTAMA DALAM PERJANJIAN BARU

"Alkitab tak pernah memerintahkan kita merayakan hari minnggu ! " demikian celoteh banyak orang. Namun kitab suci Kristen "Perjanjian baru" pun tak pernah memerintahkan orang merayakan hari sabtu, demikian sambut yang lain. kedua pernyataan yang demikian ini menunjukan kesalahpahaman yang besar mengenai makna kitab suci Perjanjian lama dan Perjanjian baru. Iman Kristen mengajarkan bahwa wahyu Ilahi itu bersifat berkembang secara pelan-pelan, yang seluruh perkembangan itu akhirnya berpuncak pada Yesus Kristus. Itulah sebabnya penulis surat ibrani mengatakan bahwa "pada zaman dahulu" Allah berbicara melalui "nabi-nabi" sedangkan "pada zaman akhir ini" Allah berbicara di dalam "Anaknya" (Ibrani 1:1) hal yang sama dikatakan paulus ketika dia mengatakan : "sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat" (Roma 10:4) dan ketika dia mengatakan "karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai memakan dan meminum atau mengenai hari raya, bulan baru atau Sabbat semua itu hanyalah bayangan … sedang wujudnya ialah Kristus" (kolose 2:16-17). Yang ini dtandaskan lagi oleh kristus:"Janganlah kamu menyangka, bahwa aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang untuk meniadakannya melainkan UNTUK MENGGENAPINYA" 9 Matius 5:17). Kristuslah wujud dan kegenapan hukum Taurat. Karena wujud dan kegenapan hukum taurat itu sendiri namun berwujud "Firman … menjadi manusia" (Yohanes 1:14), maka yang menjadi landasan beriman dan berbuat serta beribadah bagi umat kristen bukanlah hanya sekedar apa yang pernah diperintahkan saja oleh Yesus, seperti perintah-perintah Taurat, namun segala tingkah laku, peristiwa, ajaran dan bahka kepribadian kristus sendiri menjadi landasan iman, ibadah, akhlak dan tingkah laku Kristen. Ringkasnya Yesus dalam keuTuhan pribadi dan keberadaanya itulah Firman yang harus menjadi landasan hidup kristen.

Sebagai firman yang menjelma dalam sejarah, maka sejarah hidup Yesuslah sekarang menjadi hari peringatan yang harus dirayakan sebagai suatu tanggapan ucapan syukur kepada Allah, meskipun kalau bukan secara terang-terangan dikatakan harus dirayakan karena Injil yaitu Perjanjian Baruitu tak berdiri dari hukum tertulis namun hidup oleh Roh kudus, sehingga roh yang membangkitkan kristus itu (Roma 8:11) akan mendorong orang kristen untuk merayakan karya besar yang telah dilakukannya pada hari kristus dibangkitkan. Oleh orongan hidup roh inilah orang kristen merayakan hari kebangkitan. Bukti bahwa hari kebangkitan ini sudah diperingati akan tampak dalam hal-hal berikut ini :

"Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi " (Yohanes 20:19). Para murid jelas berkumpul pada hari minggu, hari pertama, namun para pembela sabbat Yahudi , bukan sabbat Kristen yaitu hari penguburan kristus, menyanggah dengan mengatakan bahw amereka berkumpul pada hari minggu karena takut pada orang-orang Yahudi bukan untuk merayakan hari kebangkita. Namun dalam struktur bahasa aslinya menunjukan bahwa takut orang Yahudi lalu berkumpul dalam hari mingu. Logika juga mengatakan jika orang takut akan masyarakat maka akan bertemu di tempat tersembunyi. Jadi minggunya bukan sebagai akibat dari takut orang Yahudi , namun tertutupnya pintu, maka jelas hari pertama itu sudah merupakan hari pertemuan para murid. Pertemuan hari minggu ini rupanya dilanjutkan lagi pada saat "Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu" (Yohanes 20:26), yang dalam kedua peristiwa ini selalu Yesus hadir ditengah-tengah mereka. Bahwa pertemuan hari minggu itu akhirnya menjadi kebiasan umat Kristen, dapat kita lihat dari Kisah rasul 20:7 "pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti" juga dalam tulisa paulus "pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing … menyisihkan sesuatu…" (I Korintus 16:2). Para pembela Sabbat Yahudi , akan mengatakan bahwa itu hanya suatu kebetulan saja, tak ada makna tertentu atas penyebutan hari pertama itu. Kalau hanya kebetulan saja, maka Alkitab berati berisi sesuatu yang tak dapat dipakai sebagai landasan hidup dan hanya berasa omong kosong saja. Pula jika itu suatu kebetulan mungkinkan yang kebetulan itu sampai diulang beberapa kali, dan smeuanya dalam konteks ibadah. Dua yang pertama berkumpul dimana Yesus hadir ditengah-tengah mereka, dan yang satu dalam konteks perjamuan kudus, serta yang terakhir dalam konteks memberikan persembahan. Pula bukankan Alkitab mengatakan bahwa "… dengan keterangandua atau tiga orang saksi suatu perkara sah" (II Kor. 13:2), padahal disini ada empat saksi mengenai hari pertama itu? Bukankah berdasarkan ketentuan Alkitab suatu perkara yang sah, dan bukan hanya sebagai suatu kebetulan saja ? pula tak ada bukti satupun dalam Alkitab yang menunjukan bahwa Kristus berada di tengah-tengah pertemuan muridnya pada hari sabtu. Padahal pertemuan Kristen adalah untuk mengundang hadirat Kristus. Dan Alkitab menunjukan bahwa KRistus hadir dalam pertemuan itu justru hari minggu, hari peringatan kebangkitannya sendiri. Jika dalam Perjanjian Baru ada bukti bahw apara murid terutama Paulus berbakti pada hari sabtu, itu terjadinya di dalam rumah ibadah Yahudi yang memang merayakan hari sabtu sebagai hari pertemuan (Kisah 13 :13-49), dan itupun demi pemberitaan Injil. Namun tak ada bukti satupun yang menunjukan hari sabtu sebagai hari yang disanjung oleh Umat Kristen di dalam Perjanjian baru.

4 komentar:

son mandelin mengatakan...

Blessings:

My path has crossed yours, here and now, for a reason. Please visit "Ancient's History" to seek out what it is.
You will know it when you find it.
your humble servant,
ancient clown

son mandelin mengatakan...

Ahoy there;

Please come aboard.

Capt. son

Anonim mengatakan...

Roman Catholic and Protestant Confessions
about Sunday and the Bible Sabbath



History reveals that it was decades after the death of the apostles that a politico-religious system repudiated the Sabbath of Scripture and substituted the observance of the first day of the week. The following quotations, all from Roman Catholic sources, freely acknowledge that there is no Biblical authority for the observance of Sunday, that it was the Roman Church that changed the Sabbath to the first day of the week.

In the second portion of this article are quotations from Protestants. Undoubtedly all of these noted clergymen, scholars, and writers kept Sunday, but they all frankly admit that there is no Biblical authority for a first-day sabbath.

ROMAN CATHOLIC CONFESSIONS

James Cardinal Gibbons, The Faith of our Fathers, 88th ed., pp. 89.
"But you may read the Bible from Genesis to Revelation, and you will not find a single line authorizing the sanctification of Sunday. The Scriptures enforce the religious observance of Saturday, a day which we never sanctify."

Stephen Keenan, A Doctrinal Catechism 3rd ed., p. 174.
"Question: Have you any other way of proving that the Church has power to institute festivals of precept?

"Answer: Had she not such power, she could not have done that in which all modern religionists agree with her-she could not have substituted the observance of Sunday, the first day of the week, for the observance of Saturday, the seventh day, a change for which there is no Scriptural authority."


John Laux, A Course in Religion for Catholic High Schools and Academies (1936), vol. 1, P. 51.
"Some theologians have held that God likewise directly determined the Sunday as the day of worship in the New Law, that He Himself has explicitly substituted the Sunday for the Sabbath. But this theory is now entirely abandoned. It is now commonly held that God simply gave His Church the power to set aside whatever day or days she would deem suitable as Holy Days. The Church chose Sunday, the first day of the week, and in the course of time added other days as holy days."

Daniel Ferres, ed., Manual of Christian Doctrine (1916), p.67.
"Question: How prove you that the Church hath power to command feasts and holy days?

"Answer: By the very act of changing the Sabbath into Sunday, which Protestants allow of, and therefore they fondly contradict themselves, by keeping Sunday strictly, and breaking most other feasts commanded by the same Church.'

James Cardinal Gibbons, Archbishop of Baltimore (1877-1921), in a signed letter.
"Is Saturday the seventh day according to the Bible and the Ten Commandments? I answer yes. Is Sunday the first day of the week and did the Church change the seventh day —Saturday — for Sunday, the first day? I answer yes. Did Christ change the day'? I answer no!
"Faithfully yours, J. Card. Gibbons"

The Catholic Mirror, official publication of James Cardinal Gibbons, Sept. 23, 1893.
"The Catholic Church, . . . by virtue of her divine mission, changed the day from Saturday to Sunday."

Catholic Virginian Oct. 3, 1947, p. 9, art. "To Tell You the Truth."
"For example, nowhere in the Bible do we find that Christ or the Apostles ordered that the Sabbath be changed from Saturday to Sunday. We have the commandment of God given to Moses to keep holy the Sabbath day, that is the 7th day of the week, Saturday. Today most Christians keep Sunday because it has been revealed to us by the [Roman Catholic] church outside the Bible."

Peter Geiermann, C.S.S.R., The Converts Catechism of Catholic Doctrine (1957), p. 50.
"Question: Which is the Sabbath day?
"Answer: Saturday is the Sabbath day.

"Question: Why do we observe Sunday instead of Saturday?
"Answer: We observe Sunday instead of Saturday because the Catholic Church transferred the solemnity from Saturday to Sunday."

Martin J. Scott, Things Catholics Are Asked About (1927), p. 136.
"Nowhere in the Bible is it stated that worship should be changed from Saturday to Sunday .... Now the Church ... instituted, by God's authority, Sunday as the day of worship. This same Church, by the same divine authority, taught the doctrine of Purgatory long before the Bible was made. We have, therefore, the same authority for Purgatory as we have for Sunday."

Peter R. Kraemer, Catholic Church Extension Society (1975),Chicago, Illinois.
"Regarding the change from the observance of the Jewish Sabbath to the Christian Sunday, I wish to draw your attention to the facts:

"1) That Protestants, who accept the Bible as the only rule of faith and religion, should by all means go back to the observance of the Sabbath. The fact that they do not, but on the contrary observe the Sunday, stultifies them in the eyes of every thinking man.

"2) We Catholics do not accept the Bible as the only rule of faith. Besides the Bible we have the living Church, the authority of the Church, as a rule to guide us. We say, this Church, instituted by Christ to teach and guide man through life, has the right to change the ceremonial laws of the Old Testament and hence, we accept her change of the Sabbath to Sunday. We frankly say, yes, the Church made this change, made this law, as she made many other laws, for instance, the Friday abstinence, the unmarried priesthood, the laws concerning mixed marriages, the regulation of Catholic marriages and a thousand other laws.

"It is always somewhat laughable, to see the Protestant churches, in pulpit and legislation, demand the observance of Sunday, of which there is nothing in their Bible."

T. Enright, C.S.S.R., in a lecture at Hartford, Kansas, Feb. 18,1884.
"I have repeatedly offered $1,000 to anyone who can prove to me from the Bible alone that I am bound to keep Sunday holy. There is no such law in the Bible. It is a law of the holy Catholic Church alone. The Bible says, 'Remember the Sabbath day to keep it holy.' The Catholic Church says: 'No. By my divine power I abolish the Sabbath day and command you to keep holy the first day of the week.' And lo! The entire civilized world bows down in a reverent obedience to the command of the holy Catholic Church."

PROTESTANT CONFESSIONS

Protestant theologians and preachers from a wide spectrum of denominations have been quite candid in admitting that there is no Biblical authority for observing Sunday as a sabbath.

Anglican/Episcopal

Isaac Williams, Plain Sermons on the Catechism, vol. 1, pp.334, 336.
"And where are we told in the Scriptures that we are to keep the first day at all? We are commanded to keep the seventh; but we are nowhere commanded to keep the first day .... The reason why we keep the first day of the week holy instead of the seventh is for the same reason that we observe many other things, not because the Bible, but because the church has enjoined it."

Canon Eyton, The Ten Commandments, pp. 52, 63, 65.
"There is no word, no hint, in the New Testament about abstaining from work on Sunday .... into the rest of Sunday no divine law enters.... The observance of Ash Wednesday or Lent stands exactly on the same footing as the observance of Sunday."

Bishop Seymour, Why We Keep Sunday.
We have made the change from the seventh day to the first day, from Saturday to Sunday, on the authority of the one holy Catholic Church."

Baptist

Dr. Edward T. Hiscox, a paper read before a New York ministers' conference, Nov. 13, 1893, reported in New York Examiner, Nov.16, 1893.
"There was and is a commandment to keep holy the Sabbath day, but that Sabbath day was not Sunday. It will be said, however, and with some show of triumph, that the Sabbath was transferred from the seventh to the first day of the week .... Where can the record of such a transaction be found? Not in the New Testament absolutely not.

"To me it seems unaccountable that Jesus, during three years' intercourse with His disciples, often conversing with them upon the Sabbath question . . . never alluded to any transference of the day; also, that during forty days of His resurrection life, no such thing was intimated.

"Of course, I quite well know that Sunday did come into use in early Christian history . . . . But what a pity it comes branded with the mark of paganism, and christened with the name of the sun god, adopted and sanctioned by the papal apostasy, and bequeathed as a sacred legacy to Protestantism!"

William Owen Carver, The Lord's Day in Our Day, p. 49.
"There was never any formal or authoritative change from the Jewish seventh-day Sabbath to the Christian first-day observance."

Congregationalist

Dr. R. W. Dale, The Ten Commandments (New York: Eaton &Mains), p. 127-129.
" . . . it is quite clear that however rigidly or devotedly we may spend Sunday, we are not keeping the Sabbath — . . 'The Sabbath was founded on a specific Divine command. We can plead no such command for the obligation to observe Sunday .... There is not a single sentence in the New Testament to suggest that we incur any penalty by violating the supposed sanctity of Sunday."

Timothy Dwight, Theology: Explained and Defended (1823), Ser. 107, vol. 3, p. 258.
" . . . the Christian Sabbath [Sunday] is not in the Scriptures, and was not by the primitive Church called the Sabbath."

Disciples of Christ

Alexander Campbell, The Christian Baptist, Feb. 2, 1824,vol. 1. no. 7, p. 164.
"'But,' say some, 'it was changed from the seventh to the first day.' Where? when? and by whom? No man can tell. No; it never was changed, nor could it be, unless creation was to be gone through again: for the reason assigned must be changed before the observance, or respect to the reason, can be changed! It is all old wives' fables to talk of the change of the Sabbath from the seventh to the first day. If it be changed, it was that august personage changed it who changes times and laws ex officio - I think his name is Doctor Antichrist.'

First Day Observance, pp. 17, 19.
"The first day of the week is commonly called the Sabbath. This is a mistake. The Sabbath of the Bible was the day just preceding the first day of the week. The first day of the week is never called the Sabbath anywhere in the entire Scriptures. It is also an error to talk about the change of the Sabbath from Saturday to Sunday. There is not in any place in the Bible any intimation of such a change."

Lutheran

The Sunday Problem, a study book of the United Lutheran Church (1923), p. 36.
"We have seen how gradually the impression of the Jewish sabbath faded from the mind of the Christian Church, and how completely the newer thought underlying the observance of the first day took possession of the church. We have seen that the Christians of the first three centuries never confused one with the other, but for a time celebrated both."

Augsburg Confession of Faith art. 28; written by Melanchthon, approved by Martin Luther, 1530; as published in The Book of Concord of the Evangelical Lutheran Church Henry Jacobs, ed. (1 91 1), p. 63.
"They [Roman Catholics] refer to the Sabbath Day, a shaving been changed into the Lord's Day, contrary to the Decalogue, as it seems. Neither is there any example whereof they make more than concerning the changing of the Sabbath Day. Great, say they, is the power of the Church, since it has dispensed with one of the Ten Commandments!"

Dr. Augustus Neander, The History of the Christian Religion and Church Henry John Rose, tr. (1843), p. 186.
"The festival of Sunday, like all other festivals, was always only a human ordinance, and it was far from the intentions of the apostles to establish a Divine command in this respect, far from them, and from the early apostolic Church, to transfer the laws of the Sabbath to Sunday."

John Theodore Mueller, Sabbath or Sunday, pp. 15, 16.
"But they err in teaching that Sunday has taken the place of the Old Testament Sabbath and therefore must be kept as the seventh day had to be kept by the children of Israel .... These churches err in their teaching, for Scripture has in no way ordained the first day of the week in place of the Sabbath. There is simply no law in the New Testament to that effect."

Methodist

Harris Franklin Rall, Christian Advocate, July 2, 1942, p.26.
"Take the matter of Sunday. There are indications in the New Testament as to how the church came to keep the first day of the week as its day of worship, but there is no passage telling Christians to keep that day, or to transfer the Jewish Sabbath to that day."

John Wesley, The Works of the Revelation John Wesley, A.M., John Emory, ed. (New York: Eaton & Mains), Sermon 25,vol. 1, p. 221.
"But, the moral law contained in the ten commandments, and enforced by the prophets, he [Christ] did not take away. It was not the design of his coming to revoke any part of this. This is a law which never can be broken .... Every part of this law must remain in force upon all mankind, and in all ages; as not depending either on time or place, or any other circumstances liable to change, but on the nature of God and the nature of man, and their unchangeable relation to each other."

Dwight L. Moody

D. L. Moody, Weighed and Wanting (Fleming H. Revell Co.: New York), pp. 47, 48.
The Sabbath was binding in Eden, and it has been in force ever since. This fourth commandment begins with the word 'remember,' showing that the Sabbath already existed when God Wrote the law on the tables of stone at Sinai. How can men claim that this one commandment has been done away with when they will admit that the other nine are still binding?"

Presbyterian

T. C. Blake, D.D., Theology Condensed, pp.474, 475.
"The Sabbath is a part of the decalogue — the Ten Commandments. This alone forever settles the question as to the perpetuity of the institution . . . . Until, therefore, it can be shown that the whole moral law has been repealed, the Sabbath will stand . . . . The teaching of Christ confirms the perpetuity of the Sabbath."

Written by: The Bible Sabbath Association

h2rley@yahoo.com

Anonim mengatakan...

saya hanya ingin menembahkan beberapa pandangan yang mungkin bisa membantu kita :

1. sebagai orang kristen, apapun golongan kita, kita harus menenpatkan FIRMAN TUHAN Yakni ALKITAB sebagai satu-satunya dasar iman kita. jangan pernah mengandalkan asumsi-asumsi /pertimbangan manusiawi yg jelas bertentangan dengan firman Tuhan.

2. sebagai orang kristen/Murid Kristus kita harus mengikuti teladannya dengan iman, apa teladan yang diberikan itulah yang harus kita ikuti. berkenaan dengan hari sabbath maka, Kristus meninggalkan teladannya, yaitu :
Tolong baca Lukas 4:16, Lukas 4:31, Lukas 6:6, Lukas 13:10, Markus 1:21, Markus 6:2

Lukas

4:16
Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab.

4:31
Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat.

6:6
Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya.

13:10
Pada suatu kali Yesus sedang mengajar dalam salah satu rumah ibadat pada hari Sabat.


Markus

1:21
Mereka tiba di Kapernaum. Setelah hari Sabat mulai, Yesus segera masuk ke dalam rumah ibadat dan mengajar.

6:2
Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: "Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?

-para rasul juga memelihara hari sabbath sama seperti Tuhan Yesus. anda bisa dapati dlm kitab Kisah Para Rasul.

3. Didalam Alkitab, .Tidak pernah ada pernyataan Yesus yang menguatkan pemeliharaan hari sabbath selain hari sabtu atau pengalihan hari perbaktian kepada hari minggu . Perubahan peribadatan dari hari sabbat ke hari minggu itu terjadi sebab kepopuleran dan pengaruh
penyembahan matahari dari budaya kekafiran Kekaisaran Romawi dan akhirnya dewan gereja pada konsili laodikea pada Tahun 364, yang mengeluarkan undang-undang pemeliharaan hari minggu dan melarang peribadatan pada hari sabtu(sabbath). dengan demikian, pemeliharaan hari minggu bukanlah atas dasar Firman Tuhan namun ajaran manusia.

--ROMAN CATHOLIC CONFESSIONS--
James Cardinal Gibbons, The Faith of our Fathers, 88th ed., pp. 89.
"But you may read the Bible from Genesis to Revelation, and you will not find a single line authorizing the sanctification of Sunday. The Scriptures enforce the religious observance of Saturday, a day which we never sanctify."

Stephen Keenan, A Doctrinal Catechism 3rd ed., p. 174.
"Question: Have you any other way of proving that the Church has power to institute festivals of precept?

"Answer: Had she not such power, she could not have done that in which all modern religionists agree with her-she could not have substituted the observance of Sunday, the first day of the week, for the observance of Saturday, the seventh day, a change for which there is no Scriptural authority."

hanya itu..
semoga bisa menguatkan saudara..
Terimakasih.

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...