Minggu, 28 Juni 2009

Antara Yesus, Hatiku dan Lingkunganku

Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia (Yoh 1: 1-5).

Pada kondisi yang lain di negeri kita tertulis fakta berikut ini: Antara periode tahun 1990 sampai dengan 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 % hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologis ini adalah yang kedua di bawah Brazil pada masa itu, dan sejak akhir 1990-an, penggusuran hutan primer makin meningkat hingga 26 %. Kini, hutan-hutan Indonesia adalah beberapa hutan yang paling terancam di muka bumi. Berdasarkan penafsiran citra landsat, pada tahun 2000–2005 tingkat kerusakan hutan mencapai 1,188 juta hektar/tahun, dengan total sebenarnya hutan yang terdegradasi seluas 59,6 juta hektar (Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Dephut). Mungkin sampai saat ini melalui adanya gerhan (gerakan rehabilitasi lahan) sejak tahun 2003 lalu maka diperkirakan degradasi hutan Indonesia sekarang tinggal menyisakan 56 juta hektar (3 juta hektar lebih hutan gundul telah mengalami perbaikan dan reforestasi).

Pertanyaan yang muncul dalam pikiranku adalah apa tujuan Allah menyelamatkan manusia tanpa Dia sendiri mengajarkan kita bagaimana mencintai alam dan lingkungan? Apakah Yesus pernah mengajarkan murid-muridNya cara memelihara alam dan lingkungan secara sustainable dalam Kitab Suci? Apakah dengan cara ini Yesus mengesampingkan alam ciptaanNya sendiri karena manusia sudah pasti tahu cara mengelolanya sejak dunia ini diciptakan? Lantas adakah pesan tersembunyi dari Injil bahwa ternyata Yesus pun seorang naturalis dan pro lingkungan hidup?

Yang membuat saya semakin heran adalah mengapa masih banyak orang Kristen yang meski bermurah hati, rajin beribadah serta memberikan donasinya ke gereja-gereja dan kaum papa namun masih tidak peduli dengan lingkungan hidup? Apakah kita hanya perlu mengasihi sesama manusia saja tapi di sisi lain cuek terhadap kondisi alam dan lingkungan kita?

Inilah pergumulan batin saya sebagai seorang Kristen ketika dua tahun lalu mulai menerjunkan diri menjadi penggiat lingkungan sampai akhirnya bersama kolega membentuk komunitas warga hijau. Ajaran Kristen cenderung antroposentris dimana karya penyelamatan Allah sangat dominan berbicara pada tataran hubungan antara DiriNya dengan manusia tanpa ada aspek keberlanjutan lingkungan secara eksplisit. Tetapi apakah memang demikian antroposentrisnya ajaran Sang Logos itu? Setelah bergumul dalam hati, berdoa dan terus berhikmat akan karunia Allah terhadap manusia dan bumi CiptaanNya ini, saya menjadi semakin yakin bahwa Allah melalui Sang FirmanNya Yesus Kristus ternyata juga seorang enviromentalist tulen? Mengapa bisa begitu? Jawabnya adalah sbb:

  1. Allah menciptakan alam semesta ciptaanNya adalah bersifat Cuma-Cuma untuk semua mahluk hidup. Ia tidak memberikan sinar matahari, bulan dan bintang hanya kepada orang benar. Ia tidak memberikan hujan hanya untuk orang beriman saja. Yang jahat, dan sesat sekali pun tetap menerima berkat hujan, angin, terang bulan yang sama besarnya dengan mereka yang benar di hadapan Allah. Inilah cinta kasih Allah tanpa batas dan tanpa syarat.
  2. Kadang-kadang Allah menghukum manusia lewat bencana alam seperti tsunami, badai dan sebagainya untuk diberlakukan ke setiap orang. Tidak lantas orang jahat menerima hukuman langsung dari Surga. Inilah yang disebut keadilan Allah kepada setiap orang secara non-diskriminatif. Keadilan ini penuh kebijaksanaanNya agar orang baik dan benar tidak melalukan kejahatan sebaliknya si jahat bertobat menjadi baik dan benar sehingga luput dari keadilanNya yang keras.

Kehadiran Yesus secara seimbang di hati manusia dan alam sekitar

Lalu apa hubungannya Inkarnasi Firman Allah dengan kondisi lingkungan di Indonesia? Justru inilah milestone yang harus menjadi titik balik kita dalam mencintai Yesus secara total. Mengapa demikian? Karena Yesus hadir di hati manusia bukan hanya mengajak kita untuk mencintai diriNya dan sesamanya tapi lebih jauh dari itu adalah supaya kita memelihara alam dan lingkungan hidup yang telah dikaruniakan secara gratis bagi umat manusia tanpa syarat.

Lalu apa hubungannya antara Yesus, diriku dan Alamku? Apakah Yesus perlu menyelamatkan alam ini bersama-sama manusia? Sebelum kita renungkan masalah ini maka menurut ada baiknya kita kutip tulisan Lynn White dalam bukunya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis. Menurut White bahwa demitologisasi terhadap alam ciptaan yang berakar dalam tradisi Yahudi-Kristen lah yang menjadi biang keladi terjadinya krisis lingkungan hidup yang menimpa bumi. Terlepas dari benar tidaknya kritik tersebut, tulisan Lynn White mendorong para teolog untuk merefleksikan sejumlah gagasan mendasar berkaitan dengan lingkungan hidup. Benarkah masalah lingkungan hidup akhirnya berakar pada misalnya pandangan kristiani tentang pembedaan yang tegas antara Allah pencipta yang transenden dengan alam ciptaan? Apakah kisah-kisah penciptaan dalam Kitab Suci memang mendorong atau membenarkan terjadinya perusakan dan eksploitasi alam?

"Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah tu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kejadian 1: 26-28). Melalui teks ini benarkah manusia diberikan kewenangan oleh Allah menguasai alam tanpa batas?

Penguasaan alam semesta oleh manusia dalam ayat tersebut di atas adalah harus secara berkesinambungan mengingat Yesus juga hadir pada segenap mahluk dan alam ciptaannya. Maksudnya adalah bahwa mahluk hidup dan ciptaanNya adalah instrumen atau sarana yang diberikan oleh Allah buat manusia secara sistematis demi keberlangsungan hidupnya. Menurut saya bahwa sama alam ciptaan termasuk lingkungan sekitar adalah diibaratkan tubuh manusia. Apabila tubuh itu rusak atau tercemar karena pola hidup yang tidak baik seperti memakai narkoba, mabuk-mabukan, merokok dan lain-lain maka orang tersebut akan semakin sulit hidupnya. Padahal Yesus mengajarkan kepada kita untuk tidak mencemari tubuh kita sendiri yang adalah bait Allah.

Begitu juga dengan relasi kita dengan alam sekitar, apakah pantas manusia mencemari dan merusak ekosistem, hutan, sungai dan lahan-lahan hijau yang telah dirancang oleh Allah buat kebutuhan dan keseimbangan hidup manusia? Keanekaragaman ciptaan Allah ini harus kita rawat dan kita jaga sebagai persembahan syukur bahwa kita adalah mahluk ciptaan yang fana. Bukankah suatu dosa berat apabila kita merampas dan menghancurkan alam lingkungan demi ujung-ujungnya adalah uang dan kekuasaan. Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Inilah sebenarnya pangkal mula kerusakan parah lingkungan hidup di Indonesia.

Maka dari itu saya mengajak para pembaca untuk segera bertindak dan peduli terhadap lingkungan kita karena hal-hal sbb:

  1. Memelihara dan menjaga lingkungan hidup adalah suatu panggilan dari Allah karena Dia telah memberikan segalanya untuk kita kelola secara benar dan bijaksana. Perbuatan menjaga lingkungan secara berkelanjutan adalah suatu pahala besar di mata Allah karena kita ikut menjaga suatu relasi unik antara mahluk hidup lain (tumbuh-tumbuhan dan binatang) dengan Allah sendiri. Relasi antar mereka tidak boleh dirusak oleh manusia karena akan melanggar sistem keseimbangan ciptaan itu sendiri. Dengan kata lain pribadi manusia perlu dipahami dalam kerangka komunitas ciptaan-ciptaan lain yang juga memiliki nilai sendiri dalam relasinya dengan Allah. Jadi kita perlu menolak antroposentrisme ketat yang dasar penilaian etisnya semata-mata martabat pribadi manusia belaka. Inilah perlunya manusia memegang erat etika lingkungan sebagai bagian dari moral kehidupan.
  2. Ketika Yesus lahir di hati saudara-saudari maka perlu kita yakinkan kembali hati ini bahwa perbuatan kita bukan hanya ditujukan untuk kebaikan terhadap sesama secara charity atau filantropis tetapi untuk kebaikan alam lingkungan sebagai rumah kita bersama. Yesus adalah untuk semua dan di dalam semua. ……….Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua. (1 Kor 15: 24 – 28).
  3. Apabila hati kita bersih dan dipenuhi oleh Roh Kudus maka kita juga secara langsung akan senantiasa menjaga kebersihan lingkungan dan alam sekitar. Kita tidak akan berani menebang hutan secara berlebih-lebihan, mengkonversi lahan-lahan hijau secara sembarangan, mencemari sungai, danau dan lautan demi kepuasan diri sendiri dan kehendak perut ini.
  4. Umat Kristiani yang telah membaca dan memahami isi Alkitab sudah barang tentu akan memahami bahwa manusia hidup bukan berhubungan dengan sesamanya saja. Tetapi lebih jauh dari itu manusia memiliki ketergantungan dan ikatan dengan alam sekitar yang kedua-duanya diciptakan oleh Allah. Sumber satu-satunya adalah Allah dan kembali kepada Allah.
  5. Dilain pihak para aktivis lingkungan harus memandang bahwa kegiatan mulia mereka sebagai untaian rasa syukur dan panggilan hidup yang bernilai di hadapan Allah. Sebab bisa saja bumi dan alam dipandang hanya sekedar kosmos tanpa Roh. Begitu juga bumi bukanlah ilah tetapi bagian kecil yang berharga dari ciptaan Allah yang perlu dijaga dan dirawat sesuai proporsinya. Bumi dan benda-benda angkasa lainnya tetap dipelihara oleh energi Allah sebagai cara Allah untuk membuat hukum alam semesta ini bekerja sesuai dengan rancanganNya.

Dari tulisan di atas maka hamba-hamba Allah akan menyadari bahwa Sang Firman lahir dalam hati kita untuk manusia dan lingkungannya. Sia-sialah kita mengklaim di hati kita ada Yesus tetapi tindakan kita justru melukai Yesus karena perilaku kita yang tidak ramah lingkungan. Kata dan perbuatan haruslah seimbang dan oleh karena itulah Sang Logos lahir untuk menyeimbangkan hidup manusia dengan alam sekitarnya. Dengan demikian tesis Lynn White di atas dapat kita patahkan.

Penulis: Leonard T. Panjaitan

Senin, 22 Juni 2009

Kebebasan Beragama di India Jauh Panggang dari Api

Cardinal: Gandhi Wanted More for India

Says Anti-Christian Persecution Is Part of Bigger Struggle


KKOTTONGNAE, South Korea, JUNE 16, 2009 (Zenit.org).- If Gandhi would have lived longer, India would not be facing some of the human rights abuses it still confronts, according to the president of the Indian episcopal conference.

Cardinal Telesphore Toppo, archbishop of Ranchi, spoke with ZENIT about India's Christian population and the challenges facing the nation, when he attended an international conference organized this month in Korea by the Catholic Charismatic Renewal.

India was the site of a wave of anti-Christian persecution last year, but the cardinal affirmed that Christians in India are still particularly committed to their faith.

India is a very religious nation, he said, where "Christianity is as old as Christianity itself." And, he added, the work of the Charismatic Renewal there has brought the "faithful to love the Word of God, which before had not been greatly appreciated by Catholics."

The cardinal explained that the faith in India dates back to the Apostle Thomas, but it is difficult to count the number of Catholics there today.

"In my state, when Belgian missionary Constant Lievens arrived in 1885, there were only 56 Catholics in all," the cardinal recounted. "Seven years later, however, when Lievens was forced to leave because of ill health, he left 80,000 baptized Catholics and over 20,000 catechumens. It was an incredible explosion of faith known as 'the miracle of Chotanagpur.'"

Fighting a cancer

Asked about May's elections, which brought a surprisingly marked majority to the Congress party, Cardinal Toppo told ZENIT that the vote was "a fantastic success because it marked the defeat of the fundamentalists."

"The new government is made up of people who follow the principles of Mahatma Gandhi, the best part of Hinduism," he contended. "If India today can boast the biggest democracy of the world, it is because of the religiosity of the people of India: a very diverse population whose different components have in common their faith in God and in their fellow humans."

But, the cardinal was less hopeful about an immediate halt to anti-Christian persecution.

"Persecution is difficult to contain," he said. "It is like a cancer."

In fact, the cardinal noted his fear that persecution might grow worse precisely because "fundamentalists are no longer in power and can no longer infiltrate the bureaucracy and put their people in key positions."

He recalled: "When I was appointed cardinal in 2003, the leader of one of these fundamentalist groups said, 'Why do we have to accept this foreign decree? Christians must leave India.' I come from a tribal country, Jharkhand, so I answered 'Let him leave first. I come from one of the first tribes of India, so I am more Indian than he is.'"

Struggle for freedom

Persecution is particularly aimed at Christians, the cardinal added, precisely because if tribal groups convert to Christianity, they could form an imposing middle class.

He explained: "In the eyes of the fundamentalists, the Muslims are also enemies of India, but Muslims retaliate so they are leaving them alone. The Christians they see as a threat they can eliminate.

"Their focus is particularly on tribe members, because the highest number of conversions takes place among them, as among the dalit, or 'untouchables.' Despite having undergone many persecutions throughout history, the tribal groups have maintained their own language and social system, so if they convert, they can form a middle class, which can be a catalyst between the dalit and the higher castes.

"Obviously, if the 100 million dalits and the 70 million tribals were to convert, this would amount to an immense political and social shift."

Cardinal Toppo said Hindu fundamentalists are a small number in India, making up only 11% of the population, and their ideas are far from the religion's traditional association with tolerance and peace.

"Can there be peace with the caste system," he asked. "Can there be peace when you do not recognize your brother as your equal? Mahatma Gandhi freed India from British imperialism, but that liberation has not been completed yet. Gandhi represented universality, an absolutely Christian idea. If he had lived longer he would have abolished the castes, child marriage, the dowry system, bride burning. … India must free itself of all these evils, as well as from fundamentalists.

"Fundamentalists are a very small part of the population […] but they have the same ideas as Hitler and Mussolini. Persecution must be viewed in this context. It comes within the sphere of the struggle for freedom: freedom of conscience. We still have a long way to go; the struggle for freedom, initiated by Gandhi, goes on."

Sabtu, 13 Juni 2009

Konstelasi Agama di Rusia: Politisi Manfaatkan SARA

Ancaman terbesar multikulturalisme Rusia bukan datang dari konflik bernuansa agama, tetapi justru dari serangan dan gelombang fasisme ultranasionalis yang marak sejak runtuhnya Soviet akhir 1980-an.

Banyak pengamat menduga, kelompok ekstremis yang jumlahnya puluhan dan anggotanya diperkirakan tak kurang dari 70.000 di seluruh Rusia sengaja dibiarkan dan dimanfaatkan oleh segelintir politisi Kremlin, termasuk Boris Yeltsin dan Vladimir Putin, untuk mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan pengaruhnya di Rusia. Dalam laporan Mei lalu, Komisi Amerika Serikat mengenai Kebebasan Beragama Internasional yang didukung Kongres kembali menempatkan Rusia dalam daftar watch list , bersama 10 negara lain. Termasuk, antara lain, sejumlah negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah, seperti Turkmenistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Belarusia, selain juga China, Korut, dan Arab Saudi.

Salah satu argumen dimasukkannya Rusia dalam watch list adalah Pembentukan Dewan Pakar Studi Religi (Expert Religious Studies Council) oleh Kementerian Kehakiman Rusia belum lama lalu. Dewan ini dinilai memiliki wewenang berlebihan untuk menginvestigasi organisasi agama, termasuk aktivitas dan literatur- yang mereka terbitkan, karena dugaan ekstremisme.

Ketua Dewan ini, Alexander Dvorkin, dikenal sangat antisekste. Wakilnya, Roman Silantyev, pernah menulis artikel yang sangat tendensius menyerang Islam radikal, dan di antara anggotanya ada lima anggota gereja ortodoks yang sangat vokal menyerang agama Protestan. Laporan ini juga mendesak Pemerintah AS agar menekan Rusia untuk membubarkan Dewan tersebut.

”Konstitusi memang menjamin kebebasan beragama dan pemerintah secara umum menghormati ini dalam praktiknya, tetapi dalam beberapa kasus, restriksi diberlakukan pada kelompok-kelompok agama tertentu. Konstitusi juga mengatur kesetaraan semua agama di depan hukum dan pemisahan gereja dengan negara, tetapi pemerintah sendiri sering tak menjalankan ini,” demikian laporan yang diedarkan di Kedubes AS Moskwa.

Mereka juga mengkritik diskriminasi berupa larangan bagi warga Muslim untuk bergabung dalam militer, tak memberi mereka kesempatan menjalankan ibadah salat lima waktu atau pilihan menu makanan halal di lokasi kerja. Juga disoroti sentimen antisemistis dan kebencian terhadap Katolik Roma dan agama Kristen non-ortodoks.

Isi laporan memunculkan reaksi kemarahan di pihak pemerintah dan gereja ortodoks Rusia. Mereka menyebut tudingan tersebut tak berdasar. Indonesia sendiri pernah dimasukkan daftar ini bersama Azerbaijan, Belarus, Israel, Turki, Brunei, Malaysia, dan Pakistan tahun 2005.

Dimanfaatkan

Sejumlah kalangan aktivis menuduh Pemerintahan Rusia di bawah Putin dan presiden yang sekarang, Dmitry Melvedev, berada di belakang langkah para penegak hukum, terutama di wilayah selatan Rusia, yang menjadikan Muslim sebagai target tudingan sebagai pelaku aksi terorisme dan ekstremisme. Sekitar 25 juta dari 142 juta penduduk Rusia adalah Muslim. Mereka terkonsentrasi di provinsi-provinsi bagian selatan Kaukasus, termasuk Chechnya, Ingushetia, dan Dagestan; di samping juga Tatarstan dan Bashkortostan, yang berada tak jauh dari Sungai Volga.

Penempatan Muslim sebagai target penyelidikan dimulai sejak peristiwa pengepungan teater Dubrovka di Moskwa (2002) dan penyanderaan sekolah di Beslan (2004). Serangan teroris yang melibatkan Islam militan itu menewaskan sekitar 500 orang.

Aleksei Malashenko dari Program on Religion, Society and Security Carnegie Moscow Center mengungkapkan, isu perang melawan ektremisme agama dipakai sebagai alat efektif bagi pejabat untuk memperkokoh posisinya, termasuk Yeltsin dan Putin. Yeltsin memperoleh popularitas dengan meredam pemberontakan di Chechnya pertengahan 1990-an. Perang di wilayah sama 1999 mengantar Putin ke tampuk kekuasaan melalui operasi kontrateroris terhadap pemberontak Chechnya.

Sebagian jurnalis dan aktivis oposisi sudah lama mencurigai sentimen rasisme ini dipicu pihak tertentu yang diuntungkan oleh bangkitnya sentimen nasionalisme di Rusia.

Menurut Aleksei, pecahnya dua kali perang di Chechnya (1994-1996 dan 1999) dan serangkaian serangan teroris di sejumlah wilayah Rusia semakin memunculkan kebencian terhadap kaum Chechens dan etnis Kaukasus lainnya. Opini publik berkembang ke arah kebencian pada etnis Ukraina, Georgia, Polandia, dan Moldova yang dianggap ikut berperan dalam revolusi di sejumlah negara tetangga Rusia. Sikap bermusuhan juga diarahkan kepada pendatang dari Estonia, Latvia, dan Lituania sebagai balasan sikap prejudice dan diskriminasi terhadap minoritas Rusia di negara-negara Baltik tersebut. Aleksei membagi wilayah Rusia dalam kaitan dengan Islam menjadi tiga, yakni wilayah di mana Muslim merupakan mayoritas, wilayah di mana Muslim merupakan minoritas tetapi bersatu dan solid, serta wilayah di mana Muslim relatif jarang. Wilayah di mana Muslim adalah mayoritas terutama ada di Kaukasus Utara.

Untuk wilayah yang berbeda, ditempuh pendekatan berbeda pula, sesuai kepentingan pemerintahan federal. Pada era pasca-Soveit, pemerintahan Rusia di bawah Putin menuntut adanya loyalitas para pemimpin Muslim pada negara, dengan menyubordinatkan kepemimpinan Muslim di bawah kepemimpinan negara. Secara umum, di bawah sistem politik yang ada sekarang, negara bisa dikatakan berhasil dalam mempertahankan kontrol terhadap sebagian besar komunitas Muslim.

Kendati demikian, kelompok oposisi politik berbasis agama bisa dikatakan tetap tak tersentuh dan mereka terutama terkonsentrasi di Kaukasus Utara.

Tuntutan pemisahan diri juga tak pernah surut di wilayah-wilayah Kaukasus Utara ini, sejalan dengan kian meningkatnya derajat otoriterisme dalam sistem politik Rusia, kurang seriusnya reformasi ekonomi, dan kian melebarnya kesenjangan kaya-miskin. ”Sampai sekarang ini kita masih belum tahu bagaimana mengatasi masalah di Kaukasus Utara dan kawasan Muslim lain yang penduduknya kelewat padat bergantung pada pertanian dan menghadapi kemiskinan ekstrem,” ujar analis, Maksim Sokolov. (TAT)

Jumat, 12 Juni 2009 | 06:09 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/12/06091949/politisi.manfaatkan.sara

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...