Mengkaji Kelemahan Reformasi Martin Luther
dan Implikasinya pada Protestanisme
By Leonard T. Panjaitan
Abad ke 16 merupakan masa yang cukup sulit dihadapi oleh Gereja Katolik ketika Dr. Martin Luther (periode kehidupan : 1483 - 1546 ) melancarkan reformasinya yang berbuntut pada perpecahan Gereja atau lebih dikenal sebagai skisma Barat sehingga melahirkan gereja-gereja Protestan bahkan hingga saat ini. Kritik dan kecaman Luther sebenarnya ditujukan terhadap kebijakan Paus Leo X (periode kepausan : 1513 – 1521) mengenai penjualan
Melihat kenyataan demikian sang imam Agustin ini menjadi gamang dan kemudian ia menulis 95 tesis yang merupakan pemikiran sekaligus kritikan tajam atas apa yang menjadi keresahannya terhadap kelakuan serta kebijakan Gereja Katolik saat itu. Tesis Luther tersebut dipakunya pada gerbang kampus
Namun demikian tidak selamanya reformasi menghasilkan suatu tatanan kehidupan gerejawi yang baik sekalipun hal itu memiliki semangat besar untuk melakukan koreksi total terhadap suatu keadaan atau rezim yang berkuasa. Maksudnya bahwa reformasi Luther justru menghasilkan perpecahan Gereja sedemikian parah yang tercermin dalam Protestanisme. Perpecahan yang mengakibatkan Tubuh Kristus menjadi terbelah-belah yang nampaknya belum bisa diakhiri oleh sejarah umat manusia saat ini. Oleh sebab itu sorotan kali ini adalah mengkaji sisi kelemahan reformasi Luther yang mungkin kurang disadari oleh saudara-saudara kita jemaat Protestan.
Sola Fide
Hanya menurut iman saja, inilah salah satu slogan Luther yang terkenal. Namun umat Kristen harus mencermati apakah Kitab Suci memang mengatakan secara eksplisit hanya menurut iman atau menurut iman saja ? Jawabannya adalah Tidak. Luther mengambilnya dari Roma
Lantas bila kita cermati Yakobus 2 : 14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seseorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan ? Dari ketiga kutipan ayat di atas memberi arti bahwa setiap orang seyogyanya tidak menafsirkan kitab suci sepotong-potong tanpa memperhatikan keseluruhan konteks yang relevan. Sehingga tidak heran ketika Luther menerjemahkan Vulgata (Kitab Suci asli berbahasa Latin) ke dalam bahasa Jerman, ia ingin menghapuskan
Sola Scriptura
Hanya menurut Kitab Suci saja, inilah slogan kedua Bapa Protestanisme itu. Alangkah bijaksananya kita mencermati pernyataan itu. Saya ingin bertanya, dimanakah Alkitab mengajarkan bahwa “hanya menurut Kitab Suci saja” ? Jawabannya adalah tidak ada. Kemudian apakah Alkitab itu satu-satunya otoritas tertinggi dalam kehidupan umat beriman ? Tidak. Justru otoritas tertinggi adalah Gereja. Mari kita lihat 1 Timotius 3 : 15 Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni Gereja (versi LAI adalah jemaat) Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran. Mari kita kutip juga ayat ini dalam versi bahasa Inggris : But if I tary long, that thou mayest know thou oughtest to behave thyself in the house of God, which is the church of the living God, the pillar and ground of the truth. Amanat St.Paulus kepada Timotius ini telah menguatkan bahwa hanya Gereja-lah otoritas tertinggi kebenaran. Begitu pula Efesus
Sekali lagi Sola Scriptura ini hanyalah asumsi atau perkiraan dalam melakukan pendekatan mengenai Kitab Suci. Sepanjang suatu asumsi itu cukup valid, kita berada pada alur yang benar, tetapi kalau asumsi itu salah maka bisa menuntun pada kesimpulan yang salah pula. Menurut buku Sola Scriptura (Hanya dengan Alkitab Saja) karangan Fr John Whiteford, Editor Jnana Shem-El Tohpati, Eikon, 2001 kesalahan mendasar dari sola scriptura ini adalah pertama Alkitab adalah kata akhir sebagai acuan iman, keselamatan dan ibadah, kedua Kitab Suci adalah dasar Gereja mula-mula dimana Tradisi adalah “penyelewengan manusia” yang datang kemudian dan ketiga setiap orang dapat mengartikan Kitab Suci untuk dirinya sendiri tanpa bantuan dari Gereja. Oleh sebab itu kalangan Protestan harus menyadari kekeliruan dalam memandang Kitab Suci. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kita diajarkan agar percaya kepada Kitab Suci sebagai sebuah Kebenaran namun Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan kepada kita agar percaya kepada Kitab Suci saja.
Tradisi Suci
Saya mengajak para pembaca untuk memahami secara jernih ajaran-ajaran para Rasul khususnya mengenai Tradisi ini. Mengapa disebut suci sebab kita percaya bahwa Tradisi yang berupa ajaran lisan yang diilhami Roh Kudus diturunkan oleh para Rasul kepada para Bapa Gereja lalu kepada generasi-generasi berikutnya sehingga pantaslah kalau ini disebut suci sama halnya dengan Alkitab yang kita sebut sebagai Kitab Suci. Oleh sebab itu apakah Tradisi Suci ini tidak perlu lagi karena semuanya sudah tertulis dalam Kitab Suci ? Jawabannya adalah Kitab Suci saja tidak cukup. Mari kita cermati Matius 16 : 19 Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. Secara implisit Yesus mengatakakan bahwa apa yang terikat dan terlepas itu adalah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran Gereja yang bertujuan mengikat manusia dengan Allah. Hal ini disampaikan-Nya kepada Petrus sebagai batu karang tempat Yesus mendirikan Gereja-Nya. Kemudian 2 Tesalonika
Dan pun bila kita sepakat bahwa Kitab Suci itu sederhana dan cukup jelas untuk dipahami tanpa penafsiran macam-macam lantas mengapa kini perpecahan Gereja kian melanda umat Kristen yang antara satu denominasi dengan yang lainnya saling bertentangan ? Bukankah ini karena perpektif umat beriman yang berbeda-beda dalam menafsirkan Kitab Suci ? Oleh sebab itu perlu suatu otoritas tertinggi yang memiliki wewenang untuk menafsirkan Kitab Suci secara sahih, jujur dan bertanggungjawab yakni Gereja. Dan juga nubuat-nubuat yang ada di dalam Kitab Suci tidak bisa sembarangan ditafsirkan oleh umat beriman tanpa bimbingan Gereja. Mari kita cermati 2 Petrus 1 : 20 Yang terutama harus kamu ketahui ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.
Implikasi Reformasi pada Protestanisme
Apa yang dilakukan oleh Dr Martin Luther untuk mereformasi kehidupan menggereja sebenarnya pantas dilakukan. Gereja Katolik dengan kepemimpinan Paus begitu absolut dan hampir tidak ada yang menyangkal bahwa Gereja ketika itu berada dalam masa kegelapan. Luther datang dengan semangat besar untuk mengkoreksi berbagai kebijakan Paus termasuk beberapa Tradisi dan doktrin Gereja Katolik. Hanya saja semangat Luther berlebihan sehingga ia sendiri ikut bertanggungjawab atas munculnya begitu banyak gereja-gereja Protestan yang saling berlawanan baik dari segi ajaran maupun liturginya. Sebagai contoh antara Protestanisme saja belum sepaham mengenai baptisan selam atau percik, pemahaman mengenai misteri sakramen yang belum jelas khususnya Ekaristi, Kristologi yang saling beranekaragam hingga penafsiran Kitab Suci yang berbeda-beda. Kemudian masalah api penyucian yang dicemooh oleh ajaran Protestanisme karena menurut mereka orang tidak perlu masuk dulu api penyucian, cukup dengan percaya kepada Kristus saja maka ia bisa langsung ke surga. Padahal keberadaan api penyucian secara tersirat sudah dikatakan oleh St Paulus di 1 Korintus 3 : 15 Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian tetapi ia sendiri akan diselamatkan tetapi seperti dari dalam api. Begitu pula dengan penghormatan terhadap Bunda Maria yang oleh Protestanisme pun diabaikan. Bahkan mereka memandang orang Katolik penyembah berhala karena patung-patung Bunda Maria dan para Santo bertebaran di dalam Gereja Katolik. Ayat-ayat mengenai Bunda Maria dalam Lukas begitu saja dilewatkan karena mereka sudah terlebih dahulu membenci Gereja Katolik. Padahal secara eksplisit peranan besar Bunda Maria dapat dibaca pada Wahyu 12. Hal-hal ini akibat persepsi yang keliru dari Protestanisme sehingga tuduhan mereka kepada Gereja Katolik sangat ngawur dan keterlaluan. Jadi kekeliruan-keliruan Protestanime seperti disebutkan di atas dapat menjadi obor yang menyesatkan bagi mereka yang mau dituntun dan suatu kerajaan yang mengapung bagi mereka yang mau hidup di dalamnya.
Dengan demikian buah-buah reformasi yang seharusnya diharapkan bisa menciptakan pembaruan kehidupan beriman kepada Allah justru berakibat terpecahnya Tubuh Kristus hingga 33.600 sekte di seluruh dunia. Manusia menyalahgunakan kebebasan sehingga masuklah kesombongan akal budi yang menjadi penyebab terpecah-pecahnya Kekristenan hingga kini. Reformasi justru melahirkan pandangan negatif beberapa sekte Protestan terhadap Tradisi Suci, Bunda Maria dan Kepausan. Bahkan diantara mereka secara gegabah mempersonifikasikan Paus sebagai kaki tangan setan. Di samping itu pula ada satu hal lagi yang dapat menjadi perhatian bersama yakni terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Indonesia khsususnya mengenai kata “Gereja” atau “jemaat” yang jumlahnya 114 kata dalam Perjanjian Baru. Kitab Suci asli berbahasa Latin atau Yunani menuliskan kata “ekklesia” namun dalam terjemahan Kitab Suci LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) menjadi “jemaat”. Timbul pertanyaan mengapa kata “Gereja” diganti menjadi kata “jemaat” ? Apakah ini dimaksudkan untuk menghilangkan kebingungan mengenai Gereja mana yang dimaksud menurut Perjanjian Baru ? Ataukah ini merupakan suatu pengaburan makna bahwa Gereja itu hakekatnya satu sama seperti Tubuh Kristus yang juga satu.
Secara literal kedua pengertian Gereja dengan jemaat agak berbeda. Sebab Gereja lebih menunjukkan kepada kesatuan struktur dan ajaran-ajaran-Nya sementara kata “jemaat” bisa berarti beberapa atau kumpulan umat beriman terlepas dari denominasi mana mereka berasal meskipun ada kesamaan esensi yakni umat beriman. Padanan kata yang tepat untuk “ekklesia” dalam bahasa Indonesia adalah “Gereja” sehingga ketidaktepatan penerjemahan dapat berimplikasi pada ketidaktepatan memahami Firman Allah khususnya Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Sebagai contoh Surat Paulus kepada “jemaat” Roma seharusnya diterjemahkan menjadi Surat Paulus kepada “Gereja” Roma yang kemudian dibacakan oleh Gereja itu kepada “jemaat” Roma. Jadi kalau hal-hal seperti ini disadari oleh seluruh umat beriman maka proses pencarian Kebenaran (The Truth) mengenai kesatuan Gereja tentu akan lebih mudah. Dari berbagai contoh di atas masih dapatkah kita katakan bahwa reformasi Luther telah berhasil dengan baik ???
Benang Merah
Kita semua tahu bahwa Gereja Kristus itu adalah Satu, Kudus, Apostolik dan Katolik sesuai dengan pengakuan iman para Bapa Gereja kita di Nikea (325) dan Kontantinopel (381). Oleh sebab itu bila terjadi suatu ketidaksepahaman hendaknya penyelesaian masalah dilakukan dalam kerangka kasih dan kerendahan hati. Sehingga apapun namanya entah reformasi atau revolusi sebaiknya dilakukan dari dalam Gereja sendiri bukan menjadi skismatik atau memecah belah keutuhan dan kesatuan. Hal ini pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar Katolik seperti St.Ignasius Loyola, Petrus Canisius dan Erasmus Huis yang tetap setia dengan Gereja Katolik hingga akhir hayatnya dan mereka ini juga hidup sejaman dengan Martin Luther. Kekurangan Luther adalah ia kurang sabar, emosional, dan meledak-ledak bahkan ia sendiri harus keluar dari imamatnya lalu kawin dengan Katherine Van Bora. Sikap Luther yang memandang Allah sebagai Allah penuh murka serta mudah menghukum membuat Luther begitu keras dalam menyerang Gereja Katolik. Seandainya saja Luther menyadari bahwa Allah itu mudah mengampuni dan penuh kasih maka wajah reformasi akan terasa cantik dan tetap berada dalam koridor ketaatan.
Reformasi yang dilakukan Luther dan berujung pada maraknya Protestanisme seharusnya berhenti pada masa-masa tersebut sebab tujuan dari reformasi adalah mengkoreksi perilaku Paus saat itu yang memang tidak luput dari kesalahannya sebagai manusia. Dan faktanya memang Gereja Katolik berubah dari waktu ke waktu ditandai dengan reformasi internal Gereja Katolik pada Konsili Trente (1545-1563) lalu puncaknya pada Konsili Vatican II (1962-1965). Oleh sebab itu tujuan dari reformasi sudah tercapai dan tidak ada alasan bagi kaum beriman untuk tetap melekatkan imannya dengan label “protestan” yang berkonotasi kurang baik. Dan perlu diingat bahwa oknum pejabat Gereja memang bisa salah namun Gereja sendiri sebagai Tubuh Kristus tak bisa salah.
Saya juga ingin mengajak kalangan Protestan untuk melakukan perenungan rohani secara komprehensif mengenai iman Kristen. Kekristenan adalah sebuah keluarga besar dalam kesatuan penuh dengan Roh Kudus dan bagaimana Keluarga Allah (the Family of God) itu adalah ide yang besar yang membuat iman Katolik menjadi relevan atau masuk akal. Bunda Maria adalah Bunda kita semua, Paus adalah figur bapak spiritual yang mengarahkan kita untuk menyembah dan memuji-muji Bapa Surgawi, Para Kudus (Santo-Santa) adalah saudara-saudari kita sehingga kita bisa saling mengenal, hari-hari pesta Para Kudus adalah seperti hari ulang tahun kita dan yang terutama adalah Ekaristi yang merupakan makanan rohani kita yang mana Kristus benar-benar hadir. Sekali lagi kita adalah Keluarga Allah. Kita bukanlah yatim piatu. Kita memiliki Rumah. Oh alangkah indahnya keistimewaan yang kita miliki dan alangkah banyaknya rahmat yang Allah berikan kepada kita semua. Amin.
4 komentar:
Pada intix smua kristen sama sj.ada pula tuhan beranak ama pux bini.pake logika donk!lihat islam!kt hanya pux satu tuhan,yaitu Allah SWT.KT TDK PNH MENGtuhanKAN nabi kita,MUHAMMAD SAW.atu lg,msk kitab ada pl perjanjian baru?d dlm islam memang km meyakini adanya injil,tp yang aslix.atu lg,YESUS kalian klo emang d'salib bkn utk menebus kesalahan umatx,tp kesalahanx sndr. . .
sy memandang reformasi sebagai sesuatu yang memang diijinkan Tuhan,..dan setiap orang Kristen menurut saya bebas untuk merasa "nyaman" di aliran mana pun, selama ia mampu bertanggungjawab atas konsekuensi imannya kepada Allah dan sesama..yang menyulitkan bagi gerakan ekumenis saat ini adalah mengubah paradigma org@ yg wawasannya kurang luas, dan kurang memahami alkitab dengan kacamata yang kontekstual..justru di dalam keanekaragaman sejarah, dan pendapat sesungguhnya Gereja mampu memberi sumbangsih yang komprehensif bagi dunia ini, cuma kadang@ lagi2 ego pribadi yang berbicara..Itulah tantangannya menurt saya..Trims TUhan Berkati Pak Pandjaitan
menanggapi artikel tentang sola scriptura,bahwa gereja adalah otoritas tertinggi dari alkitab.saya kurang sreg ya..
berarti klo kita mau keselamatan ,itu lebih percaya mana alkitab apa gereja?
sama saja klo kita mau berilmu.apa yg membuat kita pintar.sekolah apa belajar buku pelajaran?
karna gereja cuma sekedar alat perantara yg di buat manusia sampai k Tuhan.
tapi firman Tuhan adalah otoritas sumber dari segala pengetahuan dan tuntunan Tuhan supaya kita selamat.
gereja dalam arti sesungguhnya adalah tubuh kita,karna tubuh kita adalah bait Allah..Dengan apakah supaya tubuh kita bersih dan layak sampai ke hadirat Tuhan?dengan mengisi pengetahuan Firman dan melakukanya..that the point..
saya setuju dengan komentar dina esterina.memang bener reformasi itu ada dlm kekristenan..sama dengan negara kita,sesuatu yg gk bener n menyimpang akirnya d reformasi dng tujuan pembaharuan yb lebih baik untuk kedepanya,masa harus menurut sampai menutupi sesuatu yg kurang dan tidk sesuai.memang Tuhan mengijinkan itu terjadi untuk kita lebih tahu apa yg Tuhan mau untuk pembaharuan iman kristen yg sebenarnya tanpa terpengaruh kultur agamawi yg justru condong buatan tangan manusia..mungkin yg Tuhan mau back to basic,yaitu gereja mula2..dimana pengajaran kristen d awal cara Yesus mengajar yg alami.tanpa embel2 simbolik.yg justru gk berguna d mata Tuhan..dengan cara pengajaran kerasulan Yesus...yaitu iman,firman,dan roh Kudus.
Posting Komentar