Jumat, 02 Mei 2008

SELAYANG PANDANG KRISTEN KOPTIK DALAM NOVEL DAN FILM AYAT-AYAT CINTA

SELAYANG PANDANG KRISTEN KOPTIK

DALAM NOVEL DAN FILM "AYAT-AYAT CINTA"

Oleh: Bambang Noorsena, SH, MA *

1. Catatan Pengantar

Fenomena sukses film "Ayat-ayat Cinta", arahan Hanung Brahmantyo ini adalah menarik untuk dicermati. Film layar lebar yang diangkat dari novel karya Habiburrahman el-Shirazy ini [1] dalam waktu singkat telah berhasil meraup pemirsa lebih dari 3 juta orang di seluruh tanah air. Ada yang menonton ka­rena memang lebih dahulu sudah menbaca novelnya, ada pula yang hanya “sekedar ingin tahu", karena penyam­butan film ini yang cukup luas. Bukan hanya Dr. Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah, akan tetapi juga melibatkan Presiden SBY, Wakil Presiden Jusuf Kala, yang memberikan sambutan antusias.

Ada yang memuji, ada pula yang menanggapi biasa-biasa saja. Ada apa di balik novel dan film ini? Beberapa orang berkomentar, “ini iklan poligami”, “referensi baru buat pemilik rumah makan Wong Solo", tetapi ada pula yang serius mencermati kaitan film dan novel ini dengan hubungan Kristen-Islam di Mesir. Artikel singkat ini, mungkin tergolong yang terakhir, kebetulan tokoh Maria Girgis, yang digambarkan berasal dari keluarga Kristen Koptik, Gereja pribumi di Mesir, sebagai Gereja Ortodoks terbesar di dunia Arab. Sebagai seorang pengamat Gereja-gereja Timur, kenyataannya saya menemukan beberapa kejanggalan mengenai tradisi Kristen Koptik, yang digambarkan "secara sambil lari" dalam film ini.

2. Sekilas Film "Ayat-ayat Cinta"

Sebelum memberi beberapa catatan terhadap novel dan film ini, bagi yang tidak membaca novel atau menonton film ini, akan disarikan cerita yang diangkat oleh novelis muda lulusan Universitas Al-Azhar, Cairo, ini :

Dikisahkan, Maria Girgis (Carissa Putri), putri Tuan Butros dan Maddame Nafed [2] bertetangga flat (apartemen) dengan Fahri, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas al-Azhar. Maria, terlahir dari kelu­arga Kristen Koptik, digambarkan mengagumi Al-­Qur'an, karena ayat-ayatnya yang dilantunkan indah, bersimpati pada Fahri. Simpati yang akhirnya berubah menjadi cinta. Sayang sekali, Maria tidak pernah mengu­tarakan perasaan hatinya. Ia hanya menuangkannya dalam diary saja.

Selain Maria, ada juga Nurul (diperankan Melanie Putri), mahasiswi asal Indonesia, anak seorang kyai yang cukup kesohor, yang juga menimba ilmu di Al-­Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati kepadanya, tetapi sayang rasa cinta itu dihalangi oleh perasaan mindernya, karena Fahri hanya anak seorang petani. Cinta yang akhirnya tak terucapkan. Ada juga tetangga yang selalu disiksa "ayahnya", dan Fahri ingin menolongnya, tetapi justru itulah yang menjadi awal bencana baginya. Fahri harus beberapa saat mendekam di penjara, karena tu­duhan fitnah telah memperkosanya. Saat badai fitnah menimpa, saat itu Fahri sudah menikah dengan Aisha, gadis Turki yang menjadi warga Negara Jerman. Pen­dekatan diplomatik Indonesia buntu, gagal membebas­kan Fahri.

Tetapi berkat kewarganegaraan Jerman yang dimiliki Aisha, pengadilan Mesir melunak. Fahri bebas, setelah dibuktikan bahwa tuduhan itu fitnah belaka. Sebenarnya Fahri hanya difitnah, kesaksian Noura palsu karena dinyatakan di bawah tekanan Bahadur, "ayah"­nya. Padahal Bahadur, yang ternyata bukan ayah kan­dungnya, justru dialah yang memerkosanya, dan ingin menjualnya menjadi seorang pelacur. Sementara itu, Ma­ria sedang sakit, karena tekanan batin yang dideritanya karena Fahri telah menemukan “sungai Nil"-nya, dan dia ternyata bukan dirinya. Tetapi berkat kegigihan Aisha, istri Fahri, Maria berhasil dihadirkan ke pengadilan. Ke­datangannya menolong Fahri, karena ia menjadi saksi ketika Fahri dan Nurul menyembunyikan Noura di ru­mah Nurul, demi menyelamatkan Noura dari amukan Bahadur.

Justru Aisha sendiri, yang ketika Maria terbaring sakit, membaca diary-nya. Ternyata Maria memendam rindu kepada Fahri, cinta yang dibawanya sampai ia ter­baring sakit. Aisha terharu. Ia akhirnya bersedia "mem­bagi cinta" dengan Maria. Suaminya justru disuruh mengawini Maria, karena itulah satu-satunya obat bagi kesembuhannya. Fahri dan Maria pun kawin atas res­tunya. Madamme Girgis, ibu Maria, sangat berterima kasih dengan pengorbanan Aisha. Madamme Girgis me­meluk erat Aisha, ketika wanita keturunan Turki itu menghindar dari akad nikah yang sedang diselenggarakan antara Fahri dan Maria yang sedang berbaring sakit, karena tidak bisa menahan gejolak jiwanya. Beberapa menit terakhir film ini diisi dengan adegan kebersamaan antara Fahri dengan kedua istrinya. Ada cemburu antara kedua istri Fahri, tetapi keduanya berusaha keras "menjaga hati". Sementara Fahri mempergumulkan makna keadilan bagi kedua istrinya. Aisha sedang hamil tua dan menunggu kelahiran bayinya, sementara Maria kembali jatuh sakit. "Ajarilah aku shalat", ucap Maria kepada Fahri, "karena aku ingin shalat bersama kalian". Fahri dan Aisha terkejut luar biasa. Dan dalam keadaan terbaring Maria shalat bersama Fahri dan Aisha, dan gadis Kristen Koptik itu mengehembuskan nafas terakhirnya sebagai seorang muslimah.

3. Tradisi Kristen Koptik di Mesir - Selayang Pandang

Gereja Ortodoks Koptik adalah gereja pribumi Mesir. Gereja ini lahir sejak awal sejarah Kekristenan, diawali dari kedatangan Rasul Markus, murid Rasul Pe­trus sekaligus penerjemahnya, yang juga dikenal sebagai penulis Injil Markus [3]. Markus mati syahid di Alexandria tahun 54 M, dan sejak saat itu Kekristenan berkembang pesat di "Negeri Firaun" itu.

Berbeda dengan gereja-gereja di wilayah Arab utara, khususnya Gereja Ortodoks Syria, yang sejak sebe­lum zaman Islam sudah menggunakan bahasa Arab, terbukti dari temuan-temua prasasti pra-Islam di wilayah Syria (Inskripsi Zabad tahun 512 M, Inskripsi Ummul Jimmal para abad VI M, dan inskripsi Hurran al-Lajja tahun 568 M), Gereja Koptik mula-mula memakai bahasa Koptik. Tetapi setelah kedatangan Islam, Gereja Koptik di Mesir mulai memakai bahasa Arab, berdam­pingan dengan bahasa Koptik. Bahasa Koptik adalah bahasa zaman Firaun yang aksara-aksaranya diperbarui dengan meminjam aksara Yunani.

Perlu dicatat pula, di seluruh gereja Timur, termasuk Gereja Ortodoks Koptik, masih dilestarikan ta­ta-cara ibadah dalam penghayatan budaya Kristen mula­-mula. Misalnya: Shalat Tujuh Waktu (Sab'ush shala­wat)[4], Shaum al-Kabir (Puasa Besar) pra-Paskah, selama minimal 40 hari, [5] membaca Injil dengan cara dilantunkan secara tartil (dikenal dengan Mulahan Injil- yang para­lel dengan Tilawat al-Qur'an, dan masih banyak lagi. Anda bisa menyaksikan seorang pemuda yang komat­-kamit membaca Kitab di tangannya sewaktu naik bus, atau kendaraan lain di Mesir. Siapakah mereka? Ternyata bukan hanya pemuda Islam yang membaca al-Qur'an, tetapi juga pemuda-pemuda Koptik dengan tatto Salib [6] di tangan sedang membaca kitab Agabea. Itulah Kitab Shalat Tujuh waktu, yang tidak pernah mereka alpakan, juga ketika mereka sedang berkendara di jalan, sepulang kantor, atau berangkat ke kampus.

Informasi terakhir, meskipun orang Muslim atau orang Kristen di Mesir sama-sama berbahasa Arab, tetapi antara keduanya tetap bisa dibedakan. Idiom-­idiom keagamaan mereka berbeda, tetapi juga tidak ja­rang pula sama atau paralel. Di koran-koran berbahasa Arab, ucapan bela sungkawa orang Kristen biasanya di­awali ungkapan : Intiqala ila Amjadis samawat (Telah berpulang kepada Kemuliaan Surgawi), cukup mudah dibedakan dengan kaum Muslim: Inna Iillahi wa Inna Ilayhi Raji’un (Sesungguhnya semua karena Allah dan kepada-Nya pula semua akan kembali). Tapi ada banyak persamaan tradisi, misalnya: pertunangan, perkawinan, kematian, dan masih banyak lagi.

4. Resensi atas Novel dan Film "Ayat-ayat Cinta"

Kalau tidak berpretensi bisa atau mampu dalam meresensi sebuah novel apalagi sebuah film. Saya hanya ingin memberi beberapa catatan atas beberapa tradisi Mesir pada umumnya, dan tradisi Kristen Koptik di Mesir khususnya, yang kadang-kadang kurang tepat di­sampaikan dalam film ini:

4.1. Adat-Istiadat, Bahasa dan Budaya

Beberapa tokoh dalam film ini gagal memerankan tokoh orang Mesir. Madamme Nafed (Marini), mamanya Maria, kala mengucapkan kata: "bisyur'ah" (cepat !), tampak kurang ekspresif. Alangkah lebih "Egypt" nu­ansanya, bila ia berkata dengan penekanan: "Yala, yala, bisyur'ah, Ya Maria!", misalnya. Begitu juga, sebagai sosok gadis Mesir, Maria yang diperankan Carissa Putri, rasanya terlalu calm dan "melankolis". Ketika ia mengucapkan "Afwan" (terima kasih kembali), menja­wab kata-kata Fahri ketika menerima kiriman juice mangga yang dikirim Maria melalui tariakn keranjang kecil dari jendela kamarnya: “Musyakirin awi’ala ashir Manggo" (Terima kasih banyak atas juice mangga) [7]. Lebih ekspresif, seandainya Maria mengatakan: "Afwan Ya Habibi!".

Malahan dalam suatu pesta perkawinan yang digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi ja­greed (suatu bunyi siulan ibu-ibu yang menandai pe­nyambutan acara-acara kegembiraan mereka). Yang juga tidak kalah penting untuk dicermati, dialek Arab tokoh Maria ketika bertanya : Qamus 'Arabi?, diucapkan dalam dialek terlalu "Saudi Arabia": Qomus ‘Arabi? Saya kira ini salah satu kekhasan mahasiswa Islam asal In­donesia, karena ketika belajar bahasa Arab di pesantren, lebih mirip dialek Saudi Arabia yang memang lebih "fushah" (klasik). Tetapi tidak demikian dengan dialek Mesir, mereka tidak mengucapkan: Subhro, Mubarok, Rohmat, melainkan: Subhra, Mubarak, Rahmat, dan sebagainya.

Begitu juga, ungkapan salah seorang Mesir ketika melerai pertengkaran: "Khalash! Khalash!" (sudah, sudah!), lebih "Mesir" lagi kalau diucapkan: "Khalash, khalash ba'ah!". Begitu juga, biasanya seorang Mesir mengucapkan kara "La, la, la" (tidak, tidak, tidak!), sambil dengan jari terlunjuk bergerak-gerak, dan bibir berdecak. Ucapan "ahlan", biasanya diucap­kan berkali-kali : "Ahlan, ahlan, ahlan..." Yang lebih mengganjal lagi, dalam salah satu percakapan, seorang tokoh mengucapkan dialek Mesir bercampur dengan bahasa Arab klasik: Asyan Ana bahibaki awi (Karena saya sangat mencintaimu), mestinya: Asyan Ana bahibik awi. Asyan adalah ucapan cepat dari alashan, sedangkan Ana Bahibak, Ana bahibik, dalam bentuk klasiknya: Ana uhibuka, Ana uhibuki.

Lokasi syuting yang memang tidak dibuat di Mesir, membuat pemirsa tidak bisa secara utuh meng­ikuti dan membayangkan "suasana Mesir". Mulai ru­mah-rumah warga kelas menengah ke atas, lengkap dengan mashrabiya-nya [8], jalan-jalan kota lama Cairo yang macet, tidak terkecuali Midan Tahrir dengan wa­rung-warung Asher (juice) segarnya.. Malahan dalam suatu pesta perkawinan yang digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi jagreed (suatu bunyi siulan ibu-­ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembi­raan mereka). Masih banyak adat kebiasaan lain, yang dalam film ini tidak berhasil ditonjolkan dengan baik, se­hingga ber-"suasana Indonesia dan India", ketimbang ber-"suasana Mesir", dan negara-negara Arab di Timur Tengah pada umumnya.

4.1. Tradisi Kristen Koptik

Ada kesan kuat saya, bahwa penulis novel ini, sekalipun lama tinggal di Mesir, tidak mengetahui budaya dan tradisi Kristen Koptik. Misalnya, penggambaran Maria yang tertarik dengan Al-Qur'an karena ayat-ayat­nya di-"tilawat"-kan dengan indah. Padahal tradisi untuk membaca Kitab Suci dengan tartil bukan hanya tradisi Islam, melainkan tradisi Timur Tengah (baik Yahudi maupun Kristen Timur) jauh sebelum lahirnya Islam. Sampai hari ini, gereja-gereja Timur (baik Gereja-gereja Ortodoks maupun Katolik ritus Timur) membaca Kitab Suci yang tidak jauh berbeda.

Simbol salib hanya ditonjolkan untuk mengisi latar belakang Koptik keluarga Maria, tetapi tradisi Koptik sama sekali tidak dipahaminya. Misalnya; Madamme Girgis digambarkan berdoa dengan melihat ke­dua tangan, padahal orang-orang Kristen di Timur Tengah berdoa dengan cara menengadahkan tangan, sama dengan Islam. Bedanya, dalam Islam diawali dengan ru­musan Basmalah: Bismillahi rahmani rahim (Dengan Nama Allah Yang Pengasih dan Penyayang), sedangkan dalam Kristen dengan membuat tanda salib dan berkata: Bismil Abi wal Ibni wa Ruhil Quddus al-Ilahu Wahid, Amin (Dengan Nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Yang Maha Esa, Amin).

Masih ada hal yang sangat menganggu, yaitu tattoo Salib di tangan Maria terbalik, dan terlalu besar ukurannya. Dan terakhir, permintaan Maria kepada Fahri ketika ia terbaring sakit: "Ajarilah aku shalat!", mestinya lebih baik diperjelas : "Ajarilah aku shalat secara Islam!". Mengapa ? Sebab kata "shalat" saja, di Mesir dan di negara-negara Arab yang di dalamnya umat Islam dan Kristen hidup bersama-sama, bukan merupakan terma eksklusif Islami. Jadi berbeda dengan negara-negara Muslim non-Arab.

Orang-orang Kristen Koptik juga mengenal­ waktu-waktu shalat yang tujuh kali sehari. Waktunya sama dengan shalat Islam, ditambah dengan "shalat jam ketiga" (kira-kira jam 09.00 pagi, untuk memperingati turunnya Roh Kudus, Kis. 2:15), dan jam 24.00 tengah malam, yang dikenal dengan, shalat Nishfu Lail (tengah-malam). Lima waktu shalat selebihnya untuk mengenal Thariq al-Afam (Via Dolorosa) atau jam-jam sengsara Kristus.

Lebih jelasnya, kala shalat, jauh sebelum zaman Islam kata ini sudah dipakai dalam bentuk Aram tselota. Menariknya, waktu-waktunya memang sama dengan Islam (Subuh, Dhuhr, ‘Asyar, Maghrib dan Isya), dan dua sisanya sejajar dengan salat sunnah Dhuha’ dan Tahajjud. Meskipun demikian, istilah, untuk waktu-­waktu salat tersebut berbeda, dan waktu-waktu doa ini mempunyai makna teologis terkait dengan jam-jam sengsara Yesus Kristus (Thariq al-Afam) sebagai berikut:

1. "Salat jam pertama" (Shalat as Sa’at al-Awwal), kira-kira jam 06.00 pagi waktu kita, untuk mengenang saat kebangkitan Kristus Isa Al-Masih) dari antara orang mati (Mrk.16:2).

2. "Salat jam ketiga" (Shalat as-Sa'at ats-Tsalitsah), kira-kira jam 9 pagi, yaitu waktu pengadilan Kristus dan turunnya Roh Kudus (Mrk. 15:25; Kis. 2:15).

3. "Salat jam keenam" (Shalat as-Sa'at as-Sadi-sah), kira-kira jam 12 siang, yaitu waktu penyaliban Kristus (Mrk. 15:33, Kis. 3:30).

4. “Salat jam kesembilan” (Shalat as-Sa’at at Tasi’ah­), kira-kira jam 3 petang, untuk mengenang kematian Kristus (Mrk. 15:33,38; Kis. 3:1);

5. "Salat Terbenamnya Matahari" (Shalat al-Ghurub), yaitu waktu penguburan jasad Kristus (Mrk.15:42).

6. "Salat waktu tidur" (Shalat ai-Naum), untuk mengenang terbaringnya tubuh Kristus;

dan;

7. "Salat Tengah Malam" (Shalat as-Satar atau Shalat Nishfu al-Layl) adalah jam

berjaga-jaga akan kedatangan Kristus (Isa Al-Masih) yang kedua kalinya (Why. 3:3)[9].

Salat Tujuh waktu (As-Sab'u Shalawat) ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Me­ngapa? Karena praktek doa ini, khususnya seperti yang dipelihara di biara-biara, sudah ada jauh sebelum zaman Islam. "Kanonisasi (waktu-waktu) salat" (Shalat al­-Fardhiyah), sudah mulai dilakukan dalam sebuah doku­men gereja kuno berjudul Al-Dasquliyyat atau Ta'alim ar-Rusul yang editing terdininya dikerjakan oleh St.Hypolitus pada tahun 215 M. [10]

5. Novel Religi, Film Dakwah: Bukan Film Cinta Biasa

Seperti komentar banyak tokoh dalam novel “Ayat-ayat Cinta”, memang hasil karya Habiburrahman el-Shirazy ini bukan sekedar novel cinta biasa, melainkan novel cinta, religi, figh, politik yang sarat dengan pesan-­pesan keagamaan. Novel ini ingin menghadirkan Islam secara damai, multi-kultural, sarat sentuhan nilai cinta kasih, dan jauh dari gambaran kekerasan yang selama ini sering di-stigmakan oleh orang Barat.

Meskipun demikian, novel ini juga sarat terhadap apologetika untuk membela Islam. Semangat dakwah yang berkobar-kobar perlu diacungi jempol, tetapi ter­kadang "kelewat batas". Misalnya, dalam Bab 33: "Nya­nyian dari Surga" (tetapi bagian ini untungnya tidak divisualisasikan dalam film), Maria bertemu dengan Bunda Maria, Ibunda Isa Al-Masih dalam mimpinya ketika terbaring sakit. Di Bab Ar-Rahmah (pintu Rah­mat), Bunda Kristus itu, menampakkan diri begitu ang­gun dan luar biasa. "Dia (Allah) mendengar haru biru tangismu", kata Bunda Maria, "Apa maumu?". "Aku ingin masuk surga. Bolehkah?", tanya Maria sambil menangis.

"Boleh", jawab Bunda Maria. "Memang surga diperuntukkan untuk semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya". "Apa kuncinya?", tanya Maria. "Nabi pilihan Muhammad Saw telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?", tegas Bunda Maria. "Aku tidak mengikuti ajarannya", kata Maria. "Itu salahmu!", kata Bunda Maria lagi. Lalu dijelaskan bahwa jalan. ke surga itu harus lewat Islam.

"Maria, dengarlah baik-baik!", kata Bunda Kristus kepadanya. "Nabi Muhammad sudah mengajarkan kunci untuk masuk surga, "Barangsiapa berwudhu dengan baik lalu mengucapkan: Asyhadu ‘an La ilaha illallah wa asyhadu anna Muhamadan ‘abduhu wa rasuluh (Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Hamba-Nya dan Rasul-Nya), maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya dan ia boleh masuk yang mana ia suka." Maria akhirnya masuk Islam, mengucapkan syahadat dan me­laksanakan shalat sebelum ajal menjemputnya. Inilah "ending" novel dakwah ini.

6. Catatan Reflektif

Catatan reflektif saya, untuk mengakhiri artikel singkat ini, sedikit saja. Setiap orang bebas untuk me­nyatakan keyakinannya. Termasuk keyakinan bahwa sur­ga itu hanya "hak orang-orang Muslim". Kalau anda tertarik dengan tawaran ini, silakan saja. Bebas dan tidak ada yang melarang. Tetapi pernahkah anda berpikir, apa­kah orang lain yang berkeyakinan berbeda bebas juga mengutarakan keyakinannya ? Seperti keyakinan bahwa Bunda Maria, tokoh paling suci dalam Kekristenan sete­lah Yesus Kristus, telah menunjuk bahwa jalan ke surga harus melalui Muhammad.

Bolehkah orang Kristiani, yang mempercayai bahwa Yesus adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, dan tidak seorangpun yang sampai kepada Bapa kecuali melalui Kristus (Yoh. 14:6), meminjam "lisan Nabi Muhammad" untuk mengajar keyakinan itu ? Moga-­moga anda membolehkannya, seperti kami tidak men-­demo ketika "Ayat-ayat Cinta" meminjam "mulut suci Bunda Maria" untuk dakwah agama Islam. Kalau begini, mengapa harus marah kepada Ahmadiyah ? Sebaliknya, mengapa harus mengelu-elukan "Injil Yudas", dan "The Da Vinci Code", tanpa mempertimbangkan pera­saan orang lain yang tidak menyetujuinya ? Katakanlah, "berjuta-juta orang Kristen yang tersakiti perasaannya" karena publikasi novel dan film itu ?"

Padahal film ini akan lebih mendidik lagi, kalau misalnya diungkap juga fakta keberdampingan harmonis kehidupan umat Kristen dan umat Islam di negeri yang oleh Ibnu Khaldun dijuluki "lbunda Dunia" ini. Mi­salnya, tenda-tenda Ma’idah ar-Rahman (Jamuan Sang Pengasih), yaitu jamuan makan gratis yang dibuka di jaan-jalan kota Kairo, yang di beberapa wilayah Koptik, seperti Subhra, misalnya, selalu dibuka oleh uskup Gereja Ortodoks Koptik sebagai simbol persatuan nasi­anal (Wihdat al- Wathani). Begitu juga, kehadiran Syeikh Al-Azhar, Dr. Muhammad Tanthawi, pada acara ‘Idul Milad (Natal) di Katedral Al-Qidis Marqus, Abbasiya. Tradisi saling mengucapkan selamat hari raya, baik hari-hari raya Islam maupun hari-hari raya Kristen, juga menjadi kebiasaan yang patut dijadikan referensi di negara-negara mayoritas Muslim non-Arab, seperti Afga­nistan, Pakistan, dan Indonesia akhir-akhir ini, yang terkadang "lebih Arab ketimbang negara-negara Arab sendiri" [11].

Dan akhirnya, berbarengan dengan perasaan sedih dan menyayangkan peredaran film "The Fitna", saya yang terus menerus mencoba memahami sukacita anda menyambut film "ayat-ayat Cinta", izinkanlah saya mengucapkan : Mabruk, (Selamat!) atas prestasi dan sukses film ini. Ini bukan basa-basi. Karena sekalipun ada yang tidak saya setujui isinya, tapi hati saya turut merasakan gembira bila anda bergembira.

*) Bambang Noorsena adalah pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), alumnus Kajian Perbandingan Agama pada Dar Comboni Institute, Cairo, Mesir.

7. Lampiran Novel Ayat-ayat Cinta

Hal. 400 - HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Yang kuhafal, adalah surat Maryam yang tertera di dalam Al-Quran. Dengan mengharu biru aku membacanya penuh penghayatan.

"Selesai membaca surat Maryam aku lanjutkan surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti karenaa Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa anggun dan sucinya keluar mendekatiku dan berkata, “Aku Maryam”. Yang baru saja kausebut dalam ayat-ayat suci yang kau baca. Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru tangismu. Apa maumu ? Aku ingin masuk surga. Bolehkah? “Boleh”. Surga memang diperuntukkan bagi semua hamba­Nya: Tapi kau harus tahu kuncinya?' Apa itu kuncinya ?

'Nabi pilihan Muhammad Saw. telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?' Aku tidak mengikuti ajarannya.' Itulah salahmu.'

Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad Saw, maka aku tidak diperkenankan untuk memberitahukan padamu.

Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung menubruknya dan bersimpuh di kakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon agar diberitahu kunci surga itu. Aku hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung. Aku akan melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam, tolonglah aku. Berilah aku kunci itu! Aku tidak mau pergi selama-lama­nya. Aku terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah.



[1] Habiburrahman EI Shirazy, Ayat-ayat Cinta : Sebuah Novel Pembangun Jiwa. Edisi Revisi (Jakarta: Basmala dan Harian Republika.2006).

[2] Nama Girgis (arabisasi dari nama George, seorang santo atau al-qidis, yang sangat popuJer di Gereja-gereja orthodoks), Butros (arabisasi dari Petrus) dan nama-nama dalam bahasa Yunani, Ibrani atau Koptik, orang-orang Kristen Arab bisa juga memakai nama-nama Arab sebelum dan sesudah Islam. Biasanya, nama-nama Kristen Arab misalnya: Abdul Masih (Hamba Kristus), Abdul Fadi (Hamba Sang Penebus), cukup mudah dibedakan dengan nama-nama Arab Muslim: Abdul Aziz, Ramadhan, Mahmud, Ahmad, Ashraf dan sebagainya. Tetapi nama-nama seperti Abdullah (Hamba Allah), Ibrahim, Ishak, Mukmin, dan masih banyak lagi, adalah nama-nama netral yang dipakai baik orang Kristen maupun Islam

[3] Irish Habib al-Masri, Qishah Al-Kanisah al-Qibthiyyah. Jilid I (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 20-33. Lihat juga: A. Wessels, Arab and Christian? Christian in the Middle East (Kampen: Kok Pharos Publishing House, 1995), him. 126.


[4] 4Lihat panduan Shalat dalam Gereja Orthodoks Koptik: A/-Ajabiyya: As-Sab'u Sha/awot An-Nahtriyyah wa Lailiyyat (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2001).


[5] 5AI-Qush Yoanis Kamal, Tartib UshbO' A/-A/om (Oar al-Jilli ath-Thaba'ah,2001).


[6] Munculnya tradisi tattoo salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan Tahun Kesyahidan (Anno Martyri), yang tidak termasuk tahun syamsiah (matahari) ataupun qamariyah (bulan), tetapi disebut tahun kawakibiyah (tahun bintang).

[7] Kata "musyakirin awi ala ..." (Terima kasih banyak atas...) adalah dialek khas Mesir, kata "awi" asalnya dari: "qa­wwi" (besar), dalam bahasa Arab klasik: "Syukran 'ala... " (terima kasih atas...), atau "Alfu syukran 'ala ..." (beribu terima kasih atas...)

[8] Mashrabia adalah jendela kecil yang terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran halus, biasanya digunakan oleh anak-anak gadis orang kaya untuk mengintip keluar tetapi orang tidak bisa melihat ke dalam.


[9] Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur. melaksanakan salat tujuh waktu baik sebelum maupun sesudah Islam dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dome. Indiana: University of Nostre Dame Press, Lt.). Demikialah catalan Aziz S. Atiya mengenai pelestarian ibadah ini pada tiap-tiap Gereja: Orthodoks Koptik: "These seven hours consisted of the Morning prayer, Terce, Sext, None, Vespers, Compline and the Midnight prayer..." (hlm. 128). Mengenai Gereja Orthodoks Syria, "...keep usual hours from Matins to Compline, with they describe as the 'protection prayer' (Suttara) before retiring" (hlm. 124). Se­dangkan Gereja Maronit di Lebanon: "Seven in number., they are the Night Office, Matins, Third, Sixth and Nine Hours, Verpers and Compline" (hlm. 414). Lebih lanjut. mengenai Shalat Tujuh Waktu ini dalam bahasa Arab. lihat: Mar Ignatius Afram al-Awwal Borshaum (ed.), Al-Tuhfat al-Ruhiyyahi fi ash-Shalat al-Fardhiyyah (Aleppo. Suriah: Dar al-Raha Ii an-Nasyr. 1990).

[10] Marqus Dawud (ed.), Al-Dasquliyyah, ar Ta'alim ar­ Rusul (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), Bab: Auqat Shalawat (Waktu-waktu Salat), hlm. 171-172.


[11] Lih. Artikel saya: Bambang Noorsena, "Ramadhan di Cairo", di Surabaya Post, 20 Agustus 2004, yang dimuat kembali di www.iscs.id

Sumber : Acara Forum Fokus di Gedung Kasih Bersaudara - Lt.4, Awal April 2008

Sabtu, 01 Maret 2008

Apa Yang Ditulis Yesus di Atas Tanah

Apa Yang Sedang Kristus Tulis di Tanah ?


St. Nikolai Velimirovich (1880-1956)

Uskup Nikolai, teolog bertalenta yang memadukan pengetahuan tingkat tinggi dengan kesederhanaan jiwa yang tenggelam dalam kasih seperti Kristus dan kerendahan hati, kerap dijuluki "Krisostomos Baru" karena kotbahnya yang inspiratif sebagai bapa Rohani rakyat Serbia, ia senantiasa mendorong mereka untuk memenuhi panggilannya sebagai sebuah bangsa yang melayani Kristus. Selama Perang Dunia II, ia dipenjara dalam kamp konsentrasi Dachau. Kemudian ia melayani sebagai pimpinan gereja di Amerika, tempatnya wafat.

Suatu ketika, Tuhan Yang Mahakasih duduk di depan Kenisah Yerusalem, memberi makan hati yang lapar dengan ajaran-Nya yang manis. Dan seluruh rakyat datang kepada-Nya (Yoh 8:2). Tuhan bicara pada orang banyak tentang kebahagiaan kekal, tentang sukacita tanpa akhir bagi orang benar di tanah air abadi dalam Surga. Dan mereka bergembira dalam sabda suci-Nya. Kepahitan banyak jiwa yang kecewa dan permusuhan para pendosa lenyap, laksana salju di bawah sinar cemerlang surga. Siapa yang tahu berapa lama adegan ajaib dari damai serta kasih antara Surga dan bumi ini akan berlanjut, bukankah sesuatu yang tak terduga sekarang berlangsung. Sang Mesias yang mencintai manusia tak pemah letih mengajar orang banyak, dan kawanan saleh tak pemah jemu mendengar hikmat yang demikian menyembuhkan dan ajaib.

Namun, sesuatu yang menakutkan, liar, dan kejam terjadi. Kali ini seperti yang sudah-sudah bersumber dari para ahli Taurat dan orang Parisi. Seperti kita semua tahu, para ahli Taurat dan Parisi kelihatan memelihara hukum, tapi sebetulnya melanggarnya. Tuhan kita sering menghardik mereka. Misalnya Ia berkata, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik !... di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan (Mat 23:27,28)."

Apa yang telah mereka perbuat ? Mungkinkah mereka menangkap pemimpin komplotan bandit ? Bukan itu. Mereka membawa paksa seorang perempuan malang berdosa, yang kedapatan berbuat zinah; ia diseret ke muka dengan seloroh kemenangan dan teriakan kasar memekakkan telinga. Sesudah mendorongnya ke hadapan Kristus, mereka berseru, "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal ini (Yoh 8:4-5; bdk. 1m 20:10, Ul 22:22) ?’’.

Perkara diajukan dengan cara ini oleh para pendosa, yang mencela dosa-dosa orang lain dan mahir menutupi kekurangan mereka sendiri. Kerumunan orang yang ketakutan menyingkir, memberi jalan bagi sesepuh mereka. Beberapa kabur karena ngeri, sebab Tuhan baru saja bicara tentang hidup dan kebahagiaan, sementara mulut-mulut nyaring ini menuntut kematian.

Pantaslah untuk bertanya mengapa para tetua dan penjaga hukum tidak merajam sendiri si perempuan berdosa ? Kenapa mereka membawanya pada Yesus ? Hukum "Musa memberi mereka wewenang untuk merajamnya. Tak seorang pun akan keberatan. Siapa yang protes di zaman kita, ketika hukuman mati dijatuhkan atas seorang kriminal ? Mengapa para sesepuh Yahudi membawa si perempuan berdosa pada Tuhan? Bukan untuk memperoleh keringanan vonis atau grasi dari-Nya ! Tak satu pun hal tersebut ! Mereka menyeretnya berikut rencana jahat yang sudah disiapkan untuk menjebak Tuhan dalam ucapan melawan hukum, sehingga mereka bisa turut mendakwa-Nya. Mereka harap sekali pukul dua nyawa tersingkir, nyawa si perempuan dan Kristus. Apakah pendapat-Mu?

Mengapa mereka menanyai Dia saat hukum Musa sudah jelas ? Sang Penginjil menerangkan niat mereka dalam kalimat berikut, "Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya (Yoh 8:6)." Mereka sekali mengangkat tangan melawan Dia sebelum merajam-Nya, tapi Ia menghindari mereka. Sekarang mereka punya kesempatan memenuhi hasratnya. Dan terjadi di sana, di muka Bait Salomo, tempat loh perintah tersimpan dalam Tabut Perjanjian, di sanalah Dia, Kristus, harus mengucapkan sesuatu menentang hukum Musa; lalu tujuan mereka tercapai. Mereka akan merajam sampai mati baik Kristus maupun si perempuan pendosa. Mereka jauh lebih ingin merajam Kristus daripada si perempuan, seperti akan mereka perbuat dengan hasrat lebih besar saat meminta Pilatus membebaskan penyamun Barabas menggantikan Kristus.

Semua yang hadir menduga satu dari dua hal ini terjadi; Tuhan dalam belas kasihNya akan membebaskan si perempuan berdosa dan karena itu melanggar hukum, atau Dia akan menjunjung hukum dengan berkata, "Lakukan seperti tertulis dalam hukum", dan karena itu mengingkari perintah-Nya sendiri mengenai belas kasihan dan kebaikan penuh kasih. Dalam hal pertama Ia akan divonis mati; dan untuk yang kedua, Ia akan jadi bahan tertawaan dan cemooh.

Saat para penjebak mengajukan pertanyaan, "Apakah pendapat-Mu?", sebuah keheningan mati terjadi, kesunyian di antara kerumunan orang yang berkumpul; kesunyian di antara para hakim atas si perempuan pendosa; kesunyian dan nafas tertahan dalam jiwa si perempuan terdakwa. Keheningan besar muncul dalam sirkus besar ketika para pawang hewan buas membawa masuk singa­-singa dan harimau jinak dan menyuruh mereka memperagakan berbagai gerak, mengambil beragam posisi serta melakukan atraksi atas perintah pawang. Tapi yang kita lihat di hadapan bukan pawang binatang buas, melainkan Pawang manusia, sebuah tugas yang jauh lebih sulit daripada yang pertama. Sebab lebih sukar menjinakkan mereka yang liar karena dosa, daripada menjinakkan yang secara alami liar. "Apakah pendapat-Mu?" sekali lagi mereka memaksa-Nya, terbakar kedengkian, wajah mereka menegang.

Kemudian Legislator moralitas dan tingkah laku manusia membungkuk lalu menulis dengan jari-jari-Nya di tanah, seakan-akan Ia tidak mendengarkan mereka (Yoh 8:6). Apa yang Tuhan tulis dalam debu? Sang Penginjil diam mengenai soal ini dan tak mencatatnya. Terlalu jijik dan keji untuk ditulis dalam Kitab Sukacita. Namun, hal tersebut tersimpan dalam Tradisi Orthodox Suci kita, dan ia mengerikan. Tuhan menulis sesuatu yang tak terduga dan mengejutkan para tetua, penuduh si perempuan pendosa. Dengan jari Ia menyingkap kefasikan rahasia mereka. Sebab siapa yang menunjukkan dosa orang lain merupakan pakar dalam menyembunyikan dosanya sendiri. Tapi sia-sia mencoba menyembunyikan apa pun dari mata Dia Yang Maha Melihat.

"M (eshulam) mencuri perbendaharaan Bait Suci," tulis jari Tuhan di atas debu.

"A (sher)berzinah dengan istri saudaranya;

"S (halum) bersumpah palsu;

"E (led) memukul ayah sendiri;

"A (marikh) bersemburit;

"Y (oel) menyembah berhala."

Demikianlah satu pernyataan menyusul yang lain ditulis pada debu oleh jari mempesona Sang Hakim yang adil. Dan mereka yang padanya kata-kata ini ditujukan, menunduk, membaca apa yang tertulis dengan kengerian tak terlukiskan. Mereka gemetar ketakutan, dan tak berani menatap satu sama lain. Mereka tak berpikir lagi tentang si perempuan berdosa. Mereka hanya berpikir tentang dirinya dan ajal mereka sendiri, yang tertulis di atas tanah. Tak satu pun lidah mampu bertutur, untuk mengucap pertanyaan menyusahkan dan jahat itu, "Apakah pendapat-Mu?" Tuhan tak bicara apa pun. Yang teramat cemar cuma layak ditulis pada tanah kotor. Alasan lain mengapa Tuhan menulis di atas tanah bahkan lebih mulia dan mengagumkan. Yang tertulis pada debu mudah terhapus dan disingkirkan. Kristus tak menghendaki dosa mereka diketahui semua orang. Kalau la inginkan hal itu, akan diumumkan-Nya di muka semua orang, akan dituntut-Nya mereka dan dibuat-Nya mereka dirajam sesuai hukum. Tapi Dia, Sang Anak Domba Allah tanpa cela, tak memikirkan pembalasan atau kematian bagi mereka yang merancang bagi­Nya seribu kematian, yang menghendaki ajal-Nya melebihi hidup kekal untuk mereka. Tuhan hanya mau memperbaiki mereka, membuat mereka berpikir tentang dirinya dan dosa-dosa pribadi. la hendak mengingatkan mereka bahwa sementara menanggung beban pelanggaran sendiri, seharusnya mereka tidak menjadi hakim kejam atas pelanggaran orang lain. Ini saja yang Tuhan inginkan. Dan setelah hal tersebut usai, debu kembali tersapu, dan apa yang tertulis lenyap.

Sesudahnya Tuhan kita yang mulia bangun dan berkata ramah pada mereka, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu (Yoh 8:7)." Ini seperti seorang yang mengambil senapan dari musuhnya lalu berkata, "Sekarang tembak !”. Para hakim congkak atas si perempuan berdosa sekarang berdiri tanpa senjata, layaknya pesakitan di hadapan Sang Hakim, bungkam dan tak bergeming di tanah. Tapi Sang Juruselamat yang murah hati, membungkuk lagi dan menulis di tanah (Yoh 8: 8). Apa yang ditulis-Nya kali ini? Mungkin saja pelanggaran rahasia yang lain, supaya mereka tidak buka mulut untuk waktu lama. Atau bisa jadi la menulis orang macam apakah seharusnya para sesepuh dan pemimpin rakyat. lni tak penting kita ketahui. Yang paling pokok di sini ialah lewat tulisan-Nya di tanah la meraih tiga hasil: pertama, la menghancurkan dan meniadakan badai yang dimunculkan para tetua Yahudi terhadap-Nya; kedua, la membangunkan nurani mati dalam jiwa mereka yang membatu walau cuma sejenak; dan ketiga, la menyelamatkan si perempuan berdosa dari kematian. lni jelas dari perkataan lnjil, "Tetapi setelah mereka [para sesepuh] mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggal lah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya (Yoh 8:9)."

Pelataran Kenisah mendadak kosong. Tak seorang pun tinggal, kecuali mereka berdua yang divonis mati para tetua, si perempuan berdosa dari Yang Tanpa Dosa. Si perempuan berdiri, sementara la tetap menunduk ke tanah. Keheningan mendalam berkuasa. Tiba-tiba Tuhan bangkit kembali menatap sekeliling, dan saat melihat tak ada seorang pun kecuali si perempuan, Ia berkata padanya, "Hai perempuan, dimanakah mereka pendakwamu? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" Tuhan tahu tak seorang pun menghukumnya; tapi melalui pertanyaan ini Ia berharap memberinya keyakinan, agar dia bisa mendengar dan paham lebih baik apa yang akan Ia sampaikan padanya. Ia bertindak seperti dokter mahir, yang mula-mula menyemangati pasiennya lantas memberinya obat. Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Si perempuan kembali bisa bicara dan ia menjawab, "Tidak ada, Tuhan." Perkataan ini terucap oleh makhluk malang, yang sebentar tadi tak punya harapan untuk pernah bicara kata lain, seorang ciptaan yang seakan amat merasakan helaan nafas sukacita sejati pertama kali dalam hidupnya.

Akhirnya, Tuhan Yang Baik berkata pada si perempuan, "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang (Yoh 8: 11). "Saat serigala melepas mangsanya, si gembala tentu tak menginginkan pula kematian dombanya. Namun, penting untuk dicermati bahwa sikap tak menghakimi Kristus bermakna lebih daripada sikap tak menghakimi manusia. Waktu orang tak menghakimimu karena dosamu, artinya mereka tak menjatuhkan hukuman bagi dosa, tetapi membiarkan dosa itu bersama dan di dalammu. Namun, ketika Allah tidak menghakimi, ini berarti Ia mengampuni dosamu, menariknya keluar darimu seperti [membersihkan] nanah dan membuat jiwamu bersih. Karena ini perkataan, "Aku pun tidak menghukum engkau." bermakna sama seperti, "Dosamu sudah diampuni; pergilah putri-Ku, dan jangan berdosa lagi."

Sungguh sukacita tak terperi! Sukacita dari kebenaran! Sebab Tuhan menyibak kebenaran pada mereka yang terhilang. Sungguh sukacita dalam kebenaran! Karena Tuhan menciptakan keadilan. Sukacita dalam belas kasihan! Karena Tuhan menunjukkan kemurahan. Sukacita dalam hidup! Karena Tuhan menjaga kehidupan. lnilah Injil Kristus, artinya Kabar Baik. Inilah Warta Penuh Sukacita, Ajaran Sukacita. Lnilah selembar halaman dari Kitab Sukacita.

Diterjemahkan dari "What Was Christ Writing on the Ground?" dalam Message of he Month (June 2004), The Brotherhood of St. Poimen. [http://members.cox.net/orthodoxheritage/ Orthodox%20Message.htm]

Sumber : Synaxis GOI Edisi Juli 2007

Selasa, 05 Februari 2008

St. Agustinus dalam Tradisi Orthodox Yunani

Santo Agustinus dalam Tradisi Orthodox Yunani

By Rev. Dr. George C. Papademetriou

Dalam beberapa dekade akhir, bukan hanya teologinya bahkan sosok Agustinus itu sendiri dianggap sebagai heretik (bidat-penerj) oleh beberapa teolog dalam Gereja Orthodox. Suatu serangan pada pribadinya menjadikan segelintir teolog, mengeluarkannya dari daftar para suci. Sementara itu, yang lain menyerukan teologi Orthodox untuk mengevaluasi dan menyusun kembali pribadi Agustinus bagi tempatnya yang sesungguhnya sebagai seorang teolog­-filsuf agung dari Gereja semesta.

Dalam tatanan untuk menjernihkan keberadaan Agustinus berkenaan kepada ke­Orthodoxi-an Yunani-nya, tesis saya dalam artikel ini menyatakan dia sebagai seorang "suci" dari Gereja dan tidak akan pernah menghapusnya dari daftar para suci. Adalah benar bahwa beberapa pengajarannya begitu tingginya dikritik dan dicap sebagai heretik, namun ini terjadi setelah kematiannya. Kontroversi doktrinal yang teramat sangat penting yang berkisar di sekitar namanya adalah filioque. Doktrin lain yang tidak diterima oleh Gereja adalah pandangannya tentang dosa asal, doktrin rahmat, dan predestinasi. Penekananku dalam artikel ini adalah untuk menghadirkan tulisan-tulisan Orthodox, baik itu yang kuno maupun modern, mengenai pribadi dan teologi Agustinus.

SANTO PHOTIOS

Teolog utama-pertama dari Gereja Orthodox yang mendekat untuk mencengkeram filioque adalah Santo Photius yang juga berurusan dengan pribadi Santo Agustinus. Dia membuat argumen yang menyatakan bahwa seorang suci yang keliru mengenai suatu doktrin yang disusun sesudah dia mati adalah tidak layak dianggap bersalah sebagai heretik dan bahwa kekudusan dari pribadi itu tidaklah berkurang. Dalam kasus Agustinus ini, Santo Photius menduga bahwa tulisan-tulisannya di-distorsif-kan. Photius bertanya, "Bagaimana bisa seseorang yang terpercaya, yang setelah selang beberapa tahun, tulisan-tulisannya tidaklah distorsif ?"[1] Santo Photius bersikeras bahwa sekalipun tulisan-tulisan itu otentik dan orang Latin mengutip tulisan-tulisan tersebut untuk mendukung pengajaran-pengajaran palsu mereka, mereka melakukan sebuah tindakan yang merugikan bagi bapa-bapa Gereja ini. Photius menyatakan, "Bacalah Ambrosius atau Agustinus atau bapa gereja mana saja yang engkau pilih : yang manakah dari mereka yang berkeinginan mengiyakan apapun yang berlawanan dengan suara sang Guru ?" Lebih jauh, dia berkata : “Jika para bapa yang mengajarkan pendapat-pendapat yang sedemikian tidak mengurangi atau mengubah pernyataan-pernyataan yang benar itu, lalu engkau mengajarkan kata-katamu sebagai sebuah dogma juga, ini adalah fitnah lainnya yang melawan bapa-bapamu, menambahkan pendapat ke-egoan-mu ke dalam pengajaran dari para bapa ini”. [12]

Photius berargumen bahwa meskipun para bapa ini diberkahi dengan kekudusan, mereka di saat yang sama adalah manusia dan tidak lepas dari kesalahan. Dan juga Photius menasihali orang-orang Latin untuk “membiarkan” Ambrosius dan Agustinus apa adanya. Dia menyatakan: "Meskipun mereka dihiasi dengan bayangan kemuliaan, mereka adalah manusia. Jika mereka tergelincir dan jatuh dalam kesalahan, oleh beberapa kelalaian atau kekeliruan, baiklah kita tidak melawannya atau memperdebatkan mereka. Karena, apakah untungnya bagimu ?" [3]

Walaupun Agustinus dan Ambrosius memakai filioque, mereka tidaklah bermaksud untuk memasukkannya ke dalam Kredo. Penambahan filioque kepada Kredo adalah menyakitkan bagi Orthodox Yunani. Photius membuat ini nyata dalam pemyataan berikut :

"Karena mereka tidak, bahkan dalam tingkatan yang paling rendah, ikut serta dalam segala sesuatu itu, yang membuat engkau bertumbuh. Mereka yang lebih dihiasi dengan banyak teladan-teladan kebajikan dan kesalehan kemudian memasyurkan tiap pengajaranmu melalui kelalaian atau kekeliruan tidak akan pernah ditentukan sebagai dogma”. [14]

Photius berpendapat bahwa para bapa, termasuk Ambrosius dan Agustinus, tidak mengajarkan kesalahan, namun jika mereka melakukannya, mereka adalah manusia, dan tak seorangpun manusia terbebas dan kesalahan. Dia berkata, "karena mereka adalah manusia seutuhnya (anthropoi) dan diciptakan, dan tak ada seorangpun yang disusun dari debu dan kodrat yang sementara saja dapat terhindar dari beberapa langkah dari kecemaran”. [5]

Photius bersikeras bahwa meskipun orang suci tersebut, Ambrosius dan Agustinus, mungkin saja mengajarkan doktrin yang keliru mengenai filioque, tetapi mereka itu adalah

bagian terkecil. Mayoritas dari para bapa gereja, consensus partum, berada pada sisi doktrin yang benar dan yang harus kita ikuti. Photius menyatakan: "Jikalau Ambrosius, Agustinus dan Jerome yang agung serta beberapa lainnya yang adalah berpendapat sama dan pada tingkatan yang sama dan di saat yang sama memiliki reputasi besar akan kebajikan dan kehidupan yang masyur, mengajar diantara yang lain, bahwa sang Roh Kudus juga keluar dari sang Putera, hal ini tidaklah mengurangi pentingnya mereka bagi Gereja”. [6]

Photius melanjutkan dalam paragrap yang sama, berargumen bahwa, adalah yang jelas dan utama untuk mengatakan pada mereka (Latin) bahwa, jika sepuluh atau bahkan duapuluh dari bapa gereja yang berbicara dalam hal yang sama itu, ribuan (myrion) dari bapa gereja tidak mengatakan hal-hal yang seperti itu. Dia berkata, "Siapakah kemudian yang mencerca bapa-bapa itu?" Dan, "Bukankah mereka yang terbatas kesalehannya dari bapa-bapa yang sedikit dalam kata-kata mereka yang diucapkan dan menaruhnya dalam pertentangan kepada sinode dan melebihkan yang sedikit kepada para bapa yang jumlahnya lebih besar yang mempertahankan doktrin sejati ?" Dia melanjutkan untuk bertanya pada orang Latin demikian, "Siapakah yang menjadi pelanggar (huvristes) dari Agustinus dan Jerome serta Ambrosius yang suci (ieron)? Bukankah dia yang memaksakan mereka untuk datang ke dalam pertentangan dengan majelis para Guru dan Pengajar? Atau apakah dia yang tidak melakukan apapun, namun meminta (axion) untuk mengikuti statuta dari para Guru ?" [7]

Santo Photius menyarankan untuk membiarkan para bapa gereja Latin tersebut apa adanya, yang mana doktrin-doktrinnya berada dalam konflik dengan keputusan dari Kitab Suci dan Konsili-Konsili Ekumenis, karena dengan menggunakan mereka untuk mendukung kesalahan­-kesalahan dari orang-orang Latin, mereka membuka kesalahan-kesalahan dari orang-orang saleh ini. Respek yang pantas bagi orang-orang suci ini adalah mendiamkan kelemahan-kelemahan mereka.[8]

Lebih lanjut lagi, Photius menyarankan bahwa seseorang harusnya simpatik dengan bapa-bapa ini karena teologi mereka pada masa dari kebingungan kesejarahan yang mengarahkan mereka dari kesalahan­-kesalahan beberapa doktrin. Jadi, Photius mempertahankan bahwa dia yang mati, tidaklah hadir untuk membela dirinya sendiri dan tak seorangpun yang lain dapat mengerjakan pembelaannya. Dan karena alasan itu, tak seorang pun menduga akan membuat suatu dakwaan melawan dia (kategoros). [9]

Photius beralasan bahwa pada Konsili bersama tahun 879-880, utusan dari Roma Lama (Vatikan-penerj.) setuju dengan teologi dari Roma Baru (Konstantinopel-penerj.), bahwa sang Roh Kudus dikeluarkan hanya dari sang Bapa. Pada konsili itu semua setuju mengenai Kredo Kudus dan Konsili-Konsili Ekumenis menyegelnya dengan tanda tangan iman mereka bahwa sang Roh Kudus dikeluarkan hanya dari sang Bapa; dan bahwa Roma Lama dalam pribadi dari Paus Yohanes melalui wakil­-wakilnya (topoteritai) berada dalam komuni dengan Photius dan Gereja Konstantinopel karena mereka berada dalam kesesuaian dalam teologi mereka. [10]

lnilah bukti nyata yang jelas dari awalnya bahwa Photius tidak meniadakan Agustinus dari daftar para suci dan bapa-bapa Gereja, walaupun dia menerima bahwa Agustinus, sebagai seorang manusia, keliru dalam beberapa masalah-masalah doktrinal. Ini adalah penjelajahanku dari beberapa referensi yang berkenaan pada Agustinus dalam tulisan dari Santo Photius. Kekudusan dan kebajikan adalah permanen dalam kedengkian dari kelemahan manusia yang jatuh ke dalam kegagalan. Agustinus, di mata Santo Photius dan orang-orang Byzantin, tetap tinggal sebagai salah seorang dari para bapa Gereja Barat-Latin.

HESIKASME DAN AGUSTINUS

Agustinus pada dirinya sendiri tidaklah secara pribadi diserang oleh para Hesikasme (pelaku perenungan diri mendalam­ - penerj) dari abad ke empat belas namun teologi Agustinus dihukum dalam pribadi Barlaam, yang menyebabkan kontroversi. Hasil akhir ini menuai penghukuman pada para pengikut Agustinian barat yang dihadirkan di Timur oleh rahib Salabrian, Barlaam, dalam Konsili-Konsili dari abad ke empat belas.

Palamas, sang protagonist (penyokong-penerj.) Orthodox, menulis banyak risalah-risalah melawan filioque dan dasar presuposisi (asumsi-asumsi-penerj.) teologikal filsafat dari teologi Latin. Santo Gregorius Palamas mengikuti presuposisi teologikal para Bapa Kappadokia dan mempertahankan bahwa esensi Allah sepenuhnya transenden dan mendukung bukti akan partisipasi pribadi dalam energi-energi yang tak terciptakan. Bahwa adalah, dia menentang identitas dari esensi yang dipertalikan dalam Allah. Konflik dari teologi pewahyuan ini didasarkan pada Agustinian, yang berasal dari Barat melalui Barlaam, yang menimbulkan reaksi penentangan. Pewahyuan bagi Palamas adalah secara langsung dialami dalam energi-energi ilahi dan adalah menolak untuk meng-konseptualisasi-kan pewahyuan. Pandangan para Agustinian akan pewahyuan melalui penciptaan simbol-simbol dan penerangan visi, ditolak. Bagi Agustinian, visi Allah adalah sebuah pengalaman intelektual. lni tidak diterima oleh Palamas. Penekanan Palamas adalah bahwa sang ciptaan, termasuk manusia dan para malaikat, tidak dapat mengetahui atau memahami esensi Allah. [11]

Dalam pribadi Barlaam, Timur menolak teologi Agustinus. Timur menduga bahwa Agustinian menerima presuposisi neo-Platonik, bahwa yang suci mampu untuk memperoleh visi dari esensi ilahi sebagaimana pola dasar dari segenap yang ada. Barlaam berpendapat dibawah pengaruh neo-Platonis yang melalui ekstasis, penyebab keluarnya jiwa dari tubuh ketika dipergunakan dalam cara yang murni, seseorang yang memiliki visi dari pola dasar yang ilahi. Palamas menyebut ini kegagalan berhala Yunani dan mempertahankan bahwa manusia mencapai theosis melalui partisipasi dalam energi-energi ilahi. [12]

Belakangan, karena alasan politis, para kaisar Byzantin berusaha bersatu dengan Roma untuk menyelamatan kekaisaran. Sang Kaisar, Patriarkh dan sebuah delegasi datang ke Ferrara pada tahun 1438 untuk ikut serta pada sebuah konsili dengan sang Paus dan membawa penyatuan di antara orang-orang Yunani dan orang-orang Latin.

Dalam perdebatan antara orang-orang Yunani dan Latin, berkali-­kali kewenangan dari Agustinian mengemuka. Teolog Orthodox Yunani yang tidak mau menyerah, Mark Eugenikos, menggunakan karya Agustinus untuk mendukung pandangan-pandangannya. Dalam memandang pada kesalahan-kesalahan Agustinus, dia mencoba menempatkannya dalam terang terbaik yang paling mumpuni, mengikuti teladan Santo Photius. Dia membuat referensi pada Santo Gregorius Nyssa yang setuju dengan doktrin-doktrin Origenes. Dia berkata, "adalah akan lebih baik untuk memberikan mereka kebungkaman, dan tidak sepenuhnya memaksa kita, karena demi pembelaan kita, untuk membawa mereka keluar melalui pintu terbuka”. [13]

SANTO GENNADIUS SCHOLARIUS

Juga hadir pada Konsili di Ferrara-Florence, seorang teolog yang hebat, Gennadius Scholarius. Dia memahami bangsa Latin dan teologi Latin. Dia menterjemahkan beberapa risalah-risalah dari Thomas Aquinas ke dalam bahasa Yunani demi untuk kemudahan-kemudahan dari rekan-rekannya. Dia menghabiskan begitu banyak waktu mempelajari dan menulis mengenai Agustinus dalam debat tentang filioque. Scholarius mendekati Santo Agustinus dan semua bapa-bapa gereja yang lain sebagai individu-individu yang harus disesuaikan dengan dogma-­dogma dan pengajaran Gereja. Dia berkata, "kita percaya dalam Gereja; mereka (orang Latin) dalam Agustinus dan Jerome." Gereja memegang teguh kepada dogma dan pengajaran Tuhan kita yang secara menyeluruh telah diberikan melalui para rasul dan konsili-konsili. [14]

Gennadius mengekspresikan pendapatnya bahwa tiada individu pribadi yang adalah "santo" dalam pengasingan. Dalam mana kasus bahwa Gereja akan patuh kepada para pengajar dan berubah menurut kepada pola tingkah personalitas yang kuat.

Gereja memiliki ukuran-ukurannya dan hukumnya sendiri untuk menyucikan seorang pribadi. Para suci dibimbing dan diarahkan melalui sang Roh Kudus, secara khusus mereka yang memiliki keutamaan dalam kebajikan dan kekudusan. Bimbingan sang Roh Kudus bagi para suci ini bukan berarti bahwa mereka adalah satu. Para suci memiliki pikiran-pikiran mereka sendiri yang dapat saja bertolak belakang dengan pengajaran Allah, demikian juga tindakan-tindakan mereka, karena tiada seorangpun yang tanpa kesalahan atau dosa (hamartema). [l5]

Pada titik ini, bahwa para suci dapat salah, Scholarius memperkuat argumennya melawan orang-orang Latin yang mendasarkan doktrin palsu mereka dari filioque mengenai validitas dan kekudusan Agustinus. Scholarius mengkonstruksi kasusnya sebagai berikut: ‘’Namun mereka menyatakan bahwa yang terberkati Agustinus mengatakan hal­-hal ini. Namun kita percaya tiada satu pun baik dalam Agustinus maupun dalam Damaskinos tetapi dalam Gereja yang mana Kitab Suci yang kanonikal tegaskan dan Sinode-Sinode menyeluruh dari umat beriman percayai, Gereja Kristus’’. [16]

Contoh lain yang dia berikan adalah Gregorius Nyssa yang keliru mengenai doktrin eskatologi dan juga adalah seorang santo dari Gereja [17]. Dalam semua diskusi ini mengenai "Agustinus yang terberkati," Scholarius tidak menolak kekudusan dan nilai pengajaran Agustinus. Dalam kenyataannya dia mengutuk mereka yang menolak kekurangsuciannya. Dia berkata: "barangsiapa yang tidak percaya dan tidak menyebut Agustinus suci dan terberkati, dia dikutuk." [l8]

Dalam menjelaskan permasalahan ini, Scholarius beralasan bahwa doktrin-doktrin dari teolog barat harusnya dinilai menurut pada standar Kristen Orthodox Timur. lni karena kejelasan dari bahasa Yunani. Dia memberikan tiga argumen dalam mempertahankan posisi Kekristenan Timur sebagai yang unggul : bahwa bahasa Yunani lebih luas dan fleksibel daripada bahasa Latin demikian juga lebih jelas dalam arti. Dan, tentu saja, bahasa Yunani adalah sumber dan bahasa Latin. Dia memberi rujukan pada Agustinus, Athanasius, dan Gregorius sang Teolog yang menyatakan bahwa bahasa Latin sangat terbatas dan penyebab dan skisma antara Timur dan Barat.

Alasan kedua adalah rumusan dogma jelas dinyatakan dalam bahasa Yunani.[19] Bapa-bapa dan pengajar Timur merumuskan dogma­-dogma itu dengan amat sangat teliti karena mereka berjuang melawan doktrin-doktrin heretik. Karena alasan ini, rumusan dogma sangat mereka butuhkan untuk mengartikulasikan iman dengan ketelitian tinggi dalam tataran tidak untuk memberi para heretik kesempatan untuk menyerang mereka karena ketidak-akuratan dan ketidakjelasan mereka. [20]

Alasan ketiga yang dia berikan adalah bahwa dogma diberlakukan dalam bahasa Latin untuk mengekspresikan dirinya sendiri dalam terma-­terma universal dan umum (katholikoterais kai genidoterais lexesi), sebaliknya di Timur, para Bapa Gereja menggunakan nama-nama spesifik dan tepat (idikoterois onomasi) dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin Kekristenan. [21]

Scholarius mengemukakan bahwa Agustinus menerima dan mengembangkan fllioque atas dasar empat presuposisi sbb :

1. Agustinus berada dibawah pengaruh Hilarius yang diikutinya dan gurunya, Ambrosius. Dia menunjuk pada Jerome, yang memperoleh pendidikan di Timur dalam bahasa Yunani, terhindar dari bahasa filioque. Perbedaan antara Hilarius dan Ambrosius pada satu sisi dan Agustinus pada sisi yang lain adalah bahwa dua bapa Gereja yang pertama mengekspresikan sebuah pendapat pribadi sebaliknya Agustinus berjuang melawan segenap mereka yang mengekspresikan pandangan-pandangan berlawanan dengannya.[22]

2. Mengenai dasar Kitab Suci yang menyatakan bahwa sang Roh sebagai kuasa yang dikeluarkan dari sang Putera untuk menyembuhkan segenap yang sakit, demikian halnya sang Putera yang mengirim dan menghembuskan sang Roh pada para Rasul, Agustinus mentafsirkan bagian tersebut pada dasar dari pendapat Hilarius dan Ambrosius. [23]

3. Agustinus menggunakan model-model kemanusiaan yang melampaui batas-batas untuk menggambarkan Tritunggal Mahakudus dan karena alasan itulah dia jatuh dalam kesalahan.[24]

4. Agustinus mengikuti posisi Platonik bahwa Allah pada dasarnya adalah sang Baik (Agathon). Sang Baik secara kekal menurunkan (Aidios) sang Akal (Nous). Sang Akal adalah penyebab dari segala sesuatu dan adalah juga disebut penyebab kedua, dan menunjuk pada "idea" dan "logos”. Dari akal, jiwa dunia memperoleh vitalitas bagi segenap mahluk yang hidup. Jadi, Scholarius menganggap bahwa Agustinus mentransfer pandangan ini ke dalam Trinitas Kekristenan. Sang "Baik" (Agathon) adalah tidak diperanakkan dan tidak terbatasi untuk dipahami (agenneton). Sang Akal (Nous) adalah diperanakkan hanya dari sang Baik. Sang Jiwa diturunkan dari sang Akal dan kembali kepada sang Baik. Sang Jiwa adalah koneksi relasional sebagai kasih antara sang Baik dan sang Akal. Pandangan-pandangan tersebut tidak hanya diterima oleh Plato, namun juga oleh Plotinus demikian halnya oleh sebagian besar heretik.[25]

Scholarius menyalahkan Agustinus karena pendekatan filosofisnya yang terkenal buruk bagi pewahyuan. Hal ini adalah pengaruh Manikeisme yang Agustinus alami pada waktu pra-Kristennya dalam keterlibatan dengan para heretik itu. Keberhalaannya dan teladan Manikeisme tetap ada tersisa dalam segenap kehidupannya. Faktanya, Scholarius berkata "Tuhan melepaskan kita dari dialektika Agustinian. " [26]

Scholarius menerima bahwa Agustinus percaya dalam iman dari Gereja dan menyetujui Kredo Konstantinopolitan, [27] dalam kedengkian dari kenyataan bahwa dia keliru sebagai seorang individu manusia, [28] lni tidaklah menjauhkannya dari kekudusannya. Bagi Scholarius, Agustinus adalah pribadi "terberkati" bahkan "bijaksana" yang patut memperoleh pujian dan hormat [29]. Dia amat mengkritisi teologi Agustinus karena dia merasa bahwa dia tidak terlepas dari pengaruh pada saat berkutat dengan filsafat pagan Yunaninya sebelum dia berpindah ke Kristen.

PERIODE MODERN

Teolog Orthodox Yunani terkemuka abad ke tujuh belas, Dositheos, Patriarkh Yerusalem, menentang bahwa karya-karya dari Santo Agustinus dirusakkan dengan dan doktrin-doktrinnya yang distorsif. Karena alasan itu Orthodox tidak menerima mereka tanpa kehati-hatian. Tetapi seluruh karya mereka yang bersesuaian dengan ke-Orthodoxi-an amat sangat diterima. Dositheos sendiri menggunakan Agustinus yang "terberkati" untuk mendukung pandangan-pandangannya akan doktrin­-doktrin Orthodox. [30]

Teolog kenamaan dari abad ke delapan belas, Nikodemus Hagiorite, memasukkan nama Santo Agustinus dalam Synaxarites (buku para suci). Dia menyatakan sebagai berikut: "Dalam mengenang bapa kita diantara para suci, Agustinus, Uskup Hippo." [31] dan dia memasukkan dua syair sebagai berikut: "Engkau yang menyala oleh kasih Allah, engkau menunjukkan pada semua hal-hal yang baik, ya yang terberkati Agustinus”. [32]

Nikodemus menunjuk pada Agustinus sebagai yang "ilahi dan suci" (Theios kai ieros), menulis bahwa Agustinus adalah seorang guru yang hebat dan teolog "masyur dalam Gereja Kristus." Nikodemus memujinya karena sejumlah buku-buku agung yang dikarangnya. Meskipun begitu dia menyesalkan bahwa sedikit sekali yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani bagi keperluan rohani dan kemajuan dari orang Orthodox Yunani. Dia mengatakan kita tercerabut (sterometha) dari kemakmuran rohani akan tulisan-tulisan bernilai itu. [33] Sehingga bagi Nikodemus, nama Santo Agustinus tertera dalam buku para suci dan juga dalam kalender (tanggal15 Juni) baik itu Yunani maupun Rusia.

Dalam patrologi modern dan buku pegangan dogmatik dari para penulis Orthodox, Agustinus termasuk di dalamnya. Dia memberikan ruang yang sejajar sebagai seorang bapa dan hirarki dari Gereja dan dipuji karena sejumlah besar tulisan-tulisannya yang hebat serta kedalamannya. [34] Juga, filsafat dari Santo Agustinus dihargai dan dianalisis oleh para pemikir Orthodox Yunani seperti Constantine Logothetis and Joannis Theodorakopoulos.[35]

Eusebius Stephanou menulis beberapa tahun yang lalu bahwa Santo Agustinus harusnya didudukkan kembali pada posisinya yang semestinya didalam Gereja. Hanya dalam ke-Orthodoxi-an pikiran-­pikirannya dapat secara obyektif dievaluasi karena kesalahan-kesalahan dari pihak barat didasarkan pada pikiran-pikirannya.[36]

Teolog Orthodox Yunani yang lain, menganggap Santo Agustinus sebagai seorang filsuf-teolog Orthodox. Karya terbaru yang simpati kepada Santo Agustinus diajukan oleh Metropolitan Yunani Utara, Uskup Augustinos Kantiotes. Sebuah simposium yang diselenggarakan di Tesaloniki dan tiga jilid kecil yang diterbitkan memuji karya-karya dan pengajaran Santo Agustinus. Karya-karya ini telah diedarkan untuk pemakaian secara umum. [37] Buku lainnya menyatakan bahwa "Santo Agustinus milik dari Gereja Kristus semesta yang tak terpisahkan, sama baik di Barat maupun di Timur, karena dia hidup sebelum skisma”. [38]

Seraphim Rose menulis sebuah buku kecil yang mencoba untuk membuktikan ke-tidakbersalahan Santo Agustinus dari persfektif Orthodox. [39] Pendekatan ini tidak secara menyeluruh diterima dalam ke-Orthodoxi-an. Masa kini, para teolog Orthodox menyerang Agustinus sebagai seorang pencetus dari pengajaran heretik.

Fr. John Romanides dan Fr. Michael Azkoul seeara tajam mengkritik Agustinus. Fr. Romanides dalam disertasi doktoralnya di Universitas Athena pada tahun 1957 secara kasar menilai Agustinus sebagai sumber segala heretik barat dan perubahan dogma.

Romanides, dalam karyanya, Franks, Romans, Feudalism and Doctrine, secara tegas menyerang karya dan doktrin Agustinus sebagai heretik. Dalam sebuah metode analitis, Romanides menekankan pada arah dari kesalahan-kesalahan filsafat teologis Agustinus mengenai filioque. Kesalahan mendasar Agustinus dalam penolakannya terhadap "pembedaan antara yang persona dan yang substansinya (meskipun ini adalah sebuah pembedaan biblis) dan menyamakan yang Allah dengan yang atributNya." [40] Lalu Romanides menyalahkan Agustinus dengan mengatakan bahwa dia "tidak akan pernah memahami pembedaan antara (1) esensi dan energi dari Tritunggal Kudus, (2) ke-individualitasan yang tak terungkapkan dari hipostasis-hipostasis ilahi." [41]

Romanides mengkritisasi Agustinus karena berspekulasi mengenai doktrin dari Tritunggal Kudus. Dia menganggap bahwa Agustinus dibingungkan antara "diperanakkan" dan dikeluarkan" serta menyamakan mereka dengan energi-energi ilahi.[42].

Presuposisi teologis Agustinus keliru karena dia menolak tradisi patristik. Presuposisinya, menurut Romanides, adalah didasarkan pada hermeunetika kitab suci dan filsafat dan bukan pada bapa-bapa Gereja. Kritik yang pertama, seseorang yang menguraikan dengan basis kitab suci yakni yang Agustinus lakukan, akan mengalami rnisinterpretasi menyeluruh terhadap Kitab Suci karena dia menyamakan Esensi Ilahi dengan energi-energi Ilahi. Dan yang kedua, atau secara filosofis, Romanides menganggap bahwa teologi Agustinus didasarkan pada Neoplatonisme. Yaitu, sebuah model dari jiwa manusia yang digunakan sebagai sebuah gambar memadai dari Tritunggal Kudus. [43]

Michael Azkoul, seorang konservatif, dan teolog yang memegang teguh kalender tua, secara sama menyerang teologi Agustinus dan karya­-karyanya dianggap heretik. Dia menekankan bahwa Agustinus tidaklah dikenal di Timur dan hingga sekarang pun dia tidak dimasukkan dalam daftar dari para orang suci. Dia menyatakan bahwa, "Tulisan-tulisannya adalah bohong yang mendasari setiap heretik yang sekarang menimpa keyakinan di Barat." [44]

Dalam salah satu bukunya, Azkoul menghadirkan dan mendukung dasar tesisnya bahwa Agustinus jatuh ke dalam beberapa heretik dan menjadi sumber bagi ke-heretikan Barat dan karena alasan itulah dia tidak dimasukkan ke dalam daftar orang suci Orthodox. Dia menyalahkan Agustinus bagi perubahan bentuk teologi dari Barat. [45]

KESIMPULAN

Dalam mengkaji ulang literatur Orthodox Yunani kita melihat bahwa para teolog Orthodox Yunani adalah sangat kritis pada Agustinus dan kesalahan-kesalahannya. Meskipun begitu, tidak dimanapun akan kita temukan bukti dalam tulisan-tulisan patristik bagi anggapan bahwa namanya harus disingkirkan dari daftar para suci. Di mulai dengan Photios, secara umum, Orthodox Yunani merasa bahwa Agustinus sebagai seorang suci yang doktrin-doktrinnya telah diubah atau di-distorsif-kan oleh Barat dan bahwa sebagai manusia dia dikelirukan pada ajaran-ajaran tertentunya. Sebagai Orthodox Yunani kita menghormati pribadi dari Santo Agustinus. Pandangan Vladimir Lossky yang, melalui sebuah pemahaman yang lebih baik akan Agustinus di Timur, adalah mungkin untuk menjembatani dua posisi dalam teologi. Mengutip Lossky: "Rekonsiliasi akan terwujud dan filioque tidak akan langgeng sebagai suatu "impedimentum dirmens" (penundaan yang diperlukan-penerj) saat ketika Barat, yang mana telah dibekukan begitu lamanya dalam kungkungan dogmatis, berhenti mengganggap teologi Byzantin sebagai sebuah inovasi absurd yang mana ditemukan dalam sebuah bentuk yang kurang tegas di dalam para Bapa Gereja dari abad-abad pertama Gereja. " [46]

Saya berkeinginan untuk mengakhirinya dengan Kidung Apolitikion yang dilagukan dalam Gereja Orthodox pada tanggal 15 Juni, Pesta dari Santo Agustinus:

"Ya yang terberkati Agustinus, engkau yang telah dibuktikan menjadi suatu bejana kebijaksanaan dari sang Roh Kudus dan pengungkap dari kota Allah; engkau juga yang secara layak melayani sang Juruselamat sebagai seorang bijaksana yang mengempan Allah. Ya bapa yang benar, berdoalah pada Kristus Allah kiranya dia menganugerahi kita belas kasihan yang besar. "[47]

[1] J.P. Migne, Patrologiae Cursus Completus. Series Graeca. Vol. 102, Book 2. Paris (1857-1866), c. 352, cited as PG. Photios, Mystagogia, 71.

[2] Photios, Mystagogia, 67. PG 102, c.345. Saint Photios. The Mystagogy of the Holy Spirit. Trans. Joseph P. Farrell. (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1987)p.91

[3] Farrell, p.91.

[4] Photios, Mystagogia, 67; Farrell, p.91.

[5] Farrell, The Mystagogy, 69, p.93; PG 102, c. 352; Mystagogia. 70.

[6] Letter of Photios to Metropolitan Archbishop of Aquieleia, Liber, 117. PG 102, c.809.

[7] Ibid.

[8] PG 102, c. 809, 812 Letter to the Metropolitan Archbishop of Aquieleia, Liber 117.

[9] Letter to Archibishop of Aquieleia, Liber 122, PG 102, c.816.

[10] Letter to the Archbishop of Aquieleia, Liber 125, PG 102, c.820. Konsili tahun 879-880 menghukum pra Karoligian tanpa menyebut mereka. Lihat John S. Romanides, Franks, Romans, Feudalism and Doctrine; An Interplay Between Theology and Society (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1981) p. 66. [11] Romanides, Franks, Romans, Feudalism, p.67

[12] Antonios Papadopoulos, Theologike Gnosiologia Kata Tous Niptikous Pateras (Thessalonike: Patriarchal Institute for Patristic Studies, 1977) pp. 79-81.

[13] "Marci Archiepiscopi Ephesii Oratio Prima de Igne Purgatorio," Ch. 11 in Patrologia Orientalis, Vol. 15. Trans. and edited by Louis Petit. Turnhout/Belgique: Editions Brepols (1973) p. 53. See also Seraphim Rose, The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church (platina, CA: Saint Herman of Alaska Brotherhood, 1983) p. 30.

[14] Theodoros N. Zeses, Gennadios B' Scholarios Bios-Sygrammata-Didaskalia (Thessalonike: Patriarchal Institute of Patristic Studies, 1980) p. 455. Gennadios Scholarios. Oeuvres Completes (Paris: Maison de la Bonne Presse, 1929). Tome ii, p.64 . See also Demetri Z. Niketa. "The presence of Augustine in the Eastern church" (in Greek) Kleronomia Vol. 14, No.1 (June 1982) pp. 7-24.

[15] Scholarios, Oeuvres II, pp. 58-59

[16] Scholarios, Oeuvres Tome III, p. 83: alIa fasin, oti taut' Augoustinos O makarios legei: All' hemeis eis the ekklesian pisteuomen, en ai kanonikai grafai synistosi kai ai koinai ton piston synodi, ten Ekklesian Cristou paristanousai, auk eis Augoustinon, Dud' eis Damaskenon.'

[17] Ibid.

[18] Scholarios, Oeuvres III, p. 59: kai eis tis fronei kai legei ton Augoustinon agion kaimakarion einai anathema.

[19] Scholarios, Oeuvres, III, p. 58.

[20] Ibid. III p.59.

[21] Ibid. III, p.58

[22] Scholarios, Oeuvres, II, p. 46.

[23] Ibid. p.47.

[24] Ibid. II, p. 48.

[25] Ibid. II, p. 48.

[26] Ibid.,II, p. 46: Rysai bernas, kyrie, tes Augoustiniou dialektikes.

[27] PG 160, c. 693.

[28] Scholarios, Oeuvres, II, p. 49: Augoustinon de kai tina allan ton didaskalon dynasthai tes aletheias en tini diamartanein hegoumetha, kan oposeoun agiosyne didaskalia dienegken.

[29] Scholarios, Oeuvres, III, p. 59: makarios esti kai sophos kai epainetos tes toiaytes philotimias. See also PG 160, c. 718.

[30] Nicodemos the Hagiorite, Synaxaristes Vol. 2. Athens: Constantine Ch. Spanos Publishing House (1868) p. 207 note. Dositheos makes reference to (blessed) Augustine, in his Homologia tes Orthodoxou Pisteos. (Athens, 1949) off Print from Theologia 20 (1949) pp. 147, 156.

[31] Ibid. Vol. 2, p.206.

[32] Ibid. Vol. 2, p.206.

[33] Ibid. Vol. 2, p.207. Dia juga merujuk pada terjemahan Yunani dari De Trinitate oleh Maximos Planoudes dan salinannya tersedia di Gunung Athos.

[34] Demetrios S. Balanos, Patrologia (The Ecclesiastical Fathers and Teachers of the First Eight Centuries) in Greek. (Athens: I.L. Alevropoulos Press, 1930) pp. 463-482. Dia memberikan sebuah analisa yang baik dari karya dan pengajaran Agustinus. Lihat juga Panagiotes K. Chrestou. Pateres kai Theologoi tau Christianismou Vol. 1. (Thessalonike: n.s., 1971) pp. 257-269. Dia mencirikan Agustinus sebagai salah satu dari pengajar universal teragung dari Gereja dan salah satu dari filsuf terpenting dunia." p.157. Constantine G. Bonis. "Ho Hagios Augustinos Episkopos Hipponos." Epistemonike Eperteris tes Theo1ogikes Scholes Panepistemiou Athenon Vol. 15 (1965) pp. 535-632.

[35] Constantine I. Logothetis, He Philosophia ton Pateron kai tau Mesou Aionos (Athens: I. K. Kollaros Press, 1930) pp. 278-344. And Ioannis N. Theodorakopoulos. "Ho Hieros Augoustinos." Philosophika kai Christianika Meletimata. (Athens: G. Rode Brs. Press, 1973) pp. 95-187. Kedua pengarang tersebut memuji filsafat Agustinus sebagai salah satu dari filsuf Kristen teragung dunia. Mereka memberikan analisa yang baik sekali mengenai filsafatnya.

[36]

[37] Eusebious Papastephanou, Christianismos kai philosophia (Athen: n.p., 1953) p.14, n. 1. See also: Theodore Stylianopoulos. "The Filioque: Dogma, Theologoumenon or Error?" Spirit of Truth: Ecumenical Perspectives on the Holy Spirit. Theodore Stylianopooulos and S. Mark Heim, eds. (Brookline: Holy Cross Orthodox Press, 1986) pp. 25-28. .

[38] Aimilianos Timiades, Ho Hieros Augoustinos (Thessalonike: Christianike Elpis Press, 1988) p. 7. Dalam bukunya ini pada halaman 324 kehidupan dan karyanya dihadirkan dan isinya dianalisis. Meskipun begitu, sang Pengarang tidak secara kristis mengevaluasi pikiran Agustinian dari perspektif Orthodox.

[39] Seraphim Rose, Place of Blessed Augustine, p. 30.

[40] Romanides, Franks, Romans, Feudalism, p.74

[41] Ibid. p.74

[42] Ibid. p. 88.

[43] John Romanides, Dogmatike kai Symbolike Theologia tes Orthodoxou katholikes Ekklesias Vol. 1 (Thessalonike: P. Pournaras Press, 1973) p. 383. Lihat juga ktitiknya pada Agustinus dalam "Highlights in the Debate over Theodore of Mopuestia's Christology dan Beberapa Saran-Saran untuk suatu Pendekatan yang 'Segar'." The Greek Orthodox Theological Review 5: 2 (Winter 1959-1960): 182-83.

[44] Michael Azkoul, The Teachings of the Holy Orthodox Church. Vol. 1 (Buena Vista, Co: Dormition Skete, 1986) p. 199. Lihat kritik buku ini oleh Bishop Chrysostomos of Oreoi in The Greek Orthodox Theological Review 32: 1 (Spring 1987) pp. 100-103.

[45] Michael Azkoul, The Influence of Augustine of Hippo on the Orthodox Church. Texts and Studies in Religion. Vol. 56. (Lewiston, NY: Edwin Mellen Press, 1990). Lihat tinjauan saya, The Greek Orthodox Theological Review 39:3-4. (1994) pp. 379-381.

[46] Vladimir Lossky, "The Procession of the Holy Spirit in Orthodox Trinitarian Doctrine." In The Image and Likeness of God (Crestwood, NY: St. Vladimir's Seminary Press, 1974) p. 96.

[47] Nikolaos S. Halzinikolaou, Voices in the Wilderness: An Anthology of Patristic Prayers (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1988) p. 109.


Sumber : Synaxis GOI Juli 2007

♥ HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU

 ♥ *HATIMU MUNGKIN HANCUR, NAMUN BEGITU JUGA HATIKU* sumber: https://ww3.tlig.org/en/messages/1202/ *Amanat Yesus 12 April 2020* Tuhan! Ini ...